“Ikatlah ilmu dengan menulis.” begitu kata bijak dari Ali Bin Bi Thalib, sahabat Rasulullah SAW, yang menjadi motivasiku untuk terus belajar menulis. Kata bijak beliau lainnya adalah, “Kesempatan datang bagai awan berlalu. Pergunakanlah ketika ia nampak di hadapanmu.”
Kesempatan belajar menulis dengan serius kudapatkan ketika usiaku sudah lebih dari lima puluh tahun. Allah mempertemukanku dengan seseorang yang mengajari menulis hingga karyaku bisa diterbitkan
Aku yang terlahir di desa kecil dengan sepuluh bersaudara, sejak kelas satu SD sudah diajarkan mandiri. Melakukan pekerjaan rumah, menyapu, mencuci baju, dan membantu Ibu memasak, sudah kami lakukan sesuai dengan giliran yang ditetapkan ortuku.
Karena disiplin yang ketat di rumah, mungkin itu yang membuatku sedikit bandel di sekolah. Ketika kelas 6, pada saat jam pelajaran matematika aku meminta ijin ke toilet mengajak teman sebangku. Selang berapa lama beberapa temanku juga ikut keluar. Selesai buang hajat kami tidak segera kembali ke kelas, malah ngobrol di belakang kelas. Hal itu memicu kemarahan guruku. Maka kami tidak diijinkan mengikuti pelajarannya selama tiga hari.
Tidak diizinkan masuk kelas bukan membuat kami bersedih. Kami tetap masuk sekolah seperti biasa, kami bermain di lapangan rumput depan sekolah. Kami bermain perang-perangan. Aku membagi teman-teman menjadi para tokoh pejuang, dan sebagian sebagai tentara Belanja. Kutulis dialog singkat dan adegan yang harus kami lakukan.
Karena serunya bermain perang-perangan, berlari, tembak-tembakan, berguling-guling di lapangan rumput, hingga masuk parit, salah satu temanku pingsan. Karena kami sedang disetrap, maka kami tidak menyampaikan hal itu kepada guru. Tapi atas perintahku, salah satu teman kuminta menjemput orang tua teman yang pingsan itu. Orang tua temanku, menemui guru minta ijin membawa pulang temanku, yang katanya memang menderita kelainan jantung.
Setelah kejadian itu, hukumanku bersama 12 temanku ditambah menjadi seminggu. Namun seperti biasa kami tetap masuk sekolah walau hanya bermain di lapangan depan sekolah. Hari pertama aku mengajak teman-teman bermain deklamasi. Aku yang membuat teks deklamasi untuk dilombakan. Siapa yang juara akan kami traktir kerupuk sambal. Hari berikutnya, kami bosan di lapangan, aku mengajak teman-teman main di gubuk tingkat yang ada di sawah tak jauh dari sekolah. Kami bernyanyi bergembira dengan syair lagu yang kami karang sendiri. Karena asyiknya bernyanyi, kami tidak menyadari gubuk kelebihan kapasitas itu mulai bergoyang dan akhirnya ambruk.
Suara ambruknya gubuk yang keras mengundang pekerja di sawah berhamburan datang. Untunglah kami tidak mengalami luka serius. Perangkat desa juga mendatangi kami, karena kebetulan gubuk yang roboh tidak jauh di belakang balai desa. Kami pun diantar kembali ke sekolah oleh salah satu aparat desa. Begitu aparat desa pulang, kami dimarahi oleh guru. Kami dihukum menulis permohonan maaf dan penyesalan atas perbuatan kami. Bukan permohonan maaf yang kutulis, tapi sebuah puisi yang bukan hanya berisi permohonan maaf tapi berisi tuntutan agar kami dibimbing bukan hanya disalahkan atas perbuatan kami.
Berbeda ketika aku sudah mulai masuk SMP tahun 1982, aku sudah tidak lagi bandel seperti saat SD. Aku menjadi ketua kelas dan pengurus OSIS. Wali kelas memintaku untuk mengawasi anggota kelas yang nakal dan melaporkan kepadanya setiap hari. Otomatis setiap hari aku menulis laporan kepada wali kelas. Entahlah saat itu aku lebih suka menulis laporan dalam bait-bait puisi. Hingga suatu hari, ketika ada lomba mencipta puisi antar kelas dalam rangka Bulan Bahasa, aku ditunjuk mewakili kelas bersama empat temanku. Alhamdulillah aku menjadi juara satu.
Wali kelas bangga padaku. Aku akan diberi hadiah, tapi aku harus menulis dulu satu puisi dengan tema “Pahlawan Garam Alergi 3Ta”. Aku yang saat itu sedang dihadapkan pada suatu masalah, salah persepsi dengan tema itu. Sehingga puisiku malah menyuarakan isi hati tentang permasalahan yang kuhadapi. Ternyata yang dimaksud wali kelasku, Pahlawan Garam Alergi 3Ta adalah guru alergi tahta, harta, dan wanita …
Lulus SMP 1985, aku bercita-cita masuk SMA karena kelak aku ingin menjadi POLWAN. Namun bapakku yang seorang Kepala Sekolah SD, ingin aku menjadi guru. Sehingga beliau mendaftarkanku ke SPG Negeri di kotaku, dengan modal DANENku yang tinggi. Aku tidak berani membantah kemauan bapakku.
Aku yang suka baca majalah, saat itu menemukan sebuah artikel tentang keberhasilan seorang POLWAN. Salah satu poin yang kubaca, pendidikan terakhirnya ketika masuk POLWAN adalah SKP jurusan tata boga (sekarang SMK). Maka terbitlah ideku, untuk masuk SKP. Aku menyampaikan kepada bapakku untuk daftar di SKP dengan alasan ingin mengembangkan keterampilan menjahit.
Bapak menyetujui permintaanku, dengan syarat jika aku diterima di SPG Negeri aku harus tetap masuk di SPG. Aku pun menyetujui syarat itu, dengan terus berharap semoga diterima di SKP dan tidak lulus di SPG. Namun sudah garis takdir, di SKP namaku ranking 1 dan di SPG namaku ranking 2. Maka sesuai perjanjian aku harus masuk SPG.
Hari-hari pertamaku di SPG hingga satu semester aku tidak semangat. Mengikuti pelajaran pun asal-asalan. Sampai suatu ketika, saat libur semester, aku diajak kakakku untuk ikut ke sekolah tempatnya mengajar di daerah terpencil. Perjalanan menuju SD terpat kakakku mengajar ditempuh jalan kaki kurang lebih 2 jam, melalui jalanan licin berlumpur. Sepatu yang kami pakai praktis terbalut lumpur tebal, hingga harus kami bersihkan dulu di aliran sungai kecil berair jernih di pinggir jalan menuju SD.
“Ana guru wadon … ana guru wadoon …!” (ada guru perempuan) kata salah satu warga ketika aku masuk perkampungan dekat SD kakakku. Semua warga keluar dari rumah melihat kehadiranku, aku tersenyum melihat kehebohan mereka.
Pekerjaan pertama yang diberikan kakak kepadaku, adalah aku diminta mengajar kelas 3 mapel olahraga. Kubawa anak-anak ke lapangan desa, berjalan sekitar 300 meter dari sekolah. Aku yang sejak SD suka olahraga dan aktif di Pramuka, tidak kesulitan mengajar mereka. Kuajarkan fun game dengan memanfaatkan bola dan hasduk yang kami bawa dari sekolah. Mereka tampak bahagia dan ceria, jujur kuakui ada rasa sejuk menyelinap di hatiku menyaksikan wajah-wajah mereka.
Dari jauh kulihat ibu-ibu berlari menghampiriku dengan mengangkat ujung kain jarik yang dipakainya. Aku deg-degan, apa aku berbuat salah ya, apa dia ibu dari murid yang baru ku ajar ya, apa … berbagai pertanyaan berkecamuk di kepalaku.
“Bu guru, monggo mampir teng griyo kula, kula nggadah tedan sekedik!” (bu guru mari mampir ke rumahku, aku punya sedikit makanan). Ajaknya membuatku yang tadi deg-degan menjadi lega. Setelah anak-anak kuminta kembali ke sekolah, aku pun mampir ke rumahnya, di seberang jalan depan lapangan tempatku mengajar tadi. Disana sudah disediakan hidangan makanan dengan sayur, ikan asin goreng, sambal terasi, buah pisang dan manggis, yang katanya tumbuh di belakang rumahnya.
Hari kedua aku di sekolah kakak, aku diminta menjangar mata pelajaran Bahasa Indonesia, tetap di kelas 3. Hari itu anak-anak kuajak belajar membaca dengan judul bacaan Ke Kebun Binatang. Salah satu kalimat dalam bacaan itu adalah : “di kebun binatang ada gajah, harimau, dan elang”. Kutanya anak-anak, tahukan mereka gajah, harimau, dan elang.
”Anak-anak tahu gajah?”
Serentak mereka menjawab, “Tahu Buu …, besar ada tlale-nya!”
“Anak-anak tahu harimau?”
Kembali serentak menjawab, “Tahu Buu …, macan, serti kucing!”
“Anak-anak tahu elang?”
Kelas senyap, tak ada jawaban.
Kuulang lagi, “Anak-anak tahu elang?”
Setelah hening sejenak, satu anak mengacungkan tangan, “Tahu Bu, wadahe jangan!” (tempat sayur/ mangkuk terbuat dari seng, yang biasa dipakai tempat sayur di desa).
Aku tersenyum simpul, “Elang itu nama burung, nak. Kalau disini burung Bido Jali atau burung Rajawali.”
Sejak saat itu aku tertarik jadi guru. Ternyata, ada kebahagiaan dan seni tersendiri menjadi guru. Aku mulai semangat dan serius belajar. Sayangnya ketika aku lulus SPG tahun 1988, di tempatku sudah ada peraturan untuk tidak lagi mengangkat guru SD, untuk dapat mengajar di SD harus melanjutkan kuliah ke PGSD. Mengingat gaji Bapak sebagai guru saat itu sangat kecil, sementara aku masih punya tiga orang adik, maka aku memutuskan untuk ikut pengangkatan guru di Irian Jaya.
Kebetulan saat itu aku sedang patah hati karena diputus kekasihku, cinta pertamaku. Aku sudah bertekad untuk membawa pedih hatiku meninggalkan tempat kelahiranku sejauh mungkin. Saat ada teman yang mengajak mendaftar guru di Irian Jaya, tanpa pikir panjang aku menyetujui. Aku pun menyampaikan rencanaku kepada ortuku. Ibuku menolak keras dan menangis. Kata beliau, pergi ke Irian Jaya sama saja dengan kehilangan anak.
Aku tetap bersikeras berangkat ke Irian Jaya, ortuku tetap bersikeras melarang. Akhirnya, aku mogok makan dan seharian mengunci diri di kamar. Ortuku yang akhirnya mengetahui kenapa aku bersikeras akan ke Irian Jaya, membujukku untuk makan dan menjanjikanku untuk melanjutkan kuliah di salah satu perguruan tinggi di kotaku. Aku hanya diam tak merespon.
Malam harinya kembali Bapak membujukku, membawa makanan ke kamarku. Aku tetap diam meringkuk dalam selimut. Sebenarnya hati tak tega, melihat beliau begitu. Ketika beliau keluar kamar, aku bangun perlahan dan mengambil buku harianku. Kutulis dalam secarik kertas, “Sama juga bohong, kalau aku kuliah di kota ini tetap saja masih ketemu dia…”
Ketika Bapak kembali ke kamarku, beliau membaca secarik kertas yang kutaruh di atas bantal. Beliau keluar, dan kudengar berbicara dengan Ibu. Terdengar isak tangis Ibu. Tak lama Bapak dan Ibu masuk kamarku. Dengan lembut, Ibu membuka selimut yang menutup seluruh tubuhku.
“Nduk tangio, kesuk isuk tak terno nang Malang, nang umahe budhe. Kuliah nang kana wis…!” ( Nak bangunlah, besuk tak antar ke Malang, ke rumah budhe. Kuliah di sana saja).
Aku pun bangun menangis dan memeluk erat ibuku. Keesokan harinya aku bersama Bapak berangkat ke Malang, masih belum tahu harus kuliah dimana. Tiba di rumah budhe aku menemukan dua brosur pendaftaran mahasiswa baru tergeletak di atas bufet. Satu dari Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) dan satu lagi dari Universitas Wisnuwardhana Malang (UNIDHA).
Kuberikan dua brosur itu kepada Bapak. Di UMM sudah masuk gelombang 3, sementara di UNIDHA masuk gelombang dua. Yang dilihat pertama oleh Bapak adalah besarnya uang kuliah. Tentu saja saat itu di UNIDHA jauh lebih murah. Bapak pun memintaku kuliah di UNIDHA ambil Keguruan D3 Jurusan PMP. Aku pun menyetujui yang penting aku kuliah dan jauh dari kota kelahiranku.
Satu semester kuliah di jurusan PMP sungguh sangat membosankan harus membaca buku-buku tebal tentang PP dan undang-undang. Bersama temanku aku menghadap sekretaris Dekan yang kebetulan sepupu temanku. Aku menyampakan kebosannanku di jurusan PMP. Setelah mengetahui bakat dan minatku, maka beliau memintaku pindah ke S1 jurusan Bahasa dan Satra Indonesia.
Hari-hari kuliahku semakin menyenangkan karena sudah sesuai dengan bakat dan minatku. Untuk dapat melupakan cinta pertamaku, kusibukkan diri dalam organisasi kemahasiswaan. Aku menjadi anggota Resimen Mahasiswa, Mahasiswa Pecinta Alam, dan Fordimapelar. Aku paham jika membiayai kuliah tidaklah mudah bagi ortuku yang hanya mengandalkan gaji guru, sementara aku masih memiliki tiga orang adik yang harus dibiayai juga. Maka ketika salah satu dosen menawarkan untuk menjadi asistennya kuterima dengan senang hati. Setiap Sabtu aku mengajar Sejarah Sastra dan Kajian Apresiasi Puisi di Cabang Unidha yang ada di Kasembon, wilayah Malang paling Barat.
Hidup, mati, jodoh, dan rejeki sudah digariskan oleh Allah. Maka setelah melalui berbagai drama selesai mengikuti KKN di Pamotan, Dampit. Aku menikah dengan mantan kekasihku (cinta pertamaku) pada 17 Februari 1992. Pernikahanku dikaruniai dua orang putri, yang pertama Septian Retnani dan yang kedua Dwi Setyorini.
Karena mengurus anak kuliah sempat terhenti. Namun, atas dukungan orang tua dan suami, alhamdulillah tahun 1994 aku lulus kuliah. Empat tahun murni menjadi ibu rumah tangga. Aktif di Dharma Wanita dan menjadi pengurus PKK di kecamatan. Menjadi sarjana di desa tidak luput dari berbagai sindiran.
“Untuk apa wanita sekolah tinggi-tinggi kalau akhirnya hanya jadi tukang masak di dapur.” salah satu kalimat yang dilontarkan ibu-ibu julid.
“Masi sarja cekelane yo tetep gerus …!” sambung ibu-ibu julid yang lainnya.
Semua sindirin kusimpan dalam hati, walau dengan rasa nelangsa, Ketika ada kesempatan pendaftaran CPNS, aku meminta izin kepada suami untuk mendaftar. Dua kali mendaftar gagal. Yang ketiga kalinya karena syarat mendaftar guru salah satunya adalah menjadi GTT, maka aku pun meminta izin kepada suami untuk mendaftar GTT. Melamar di salah satu sekolah negeri ditolak mentah-mentah. Aku pun melamar GTT di salah satu Madrasah Tsanawiyah. Hari itu juga aku diterima di MTs. Sunan Ampel, Kandang Tepus, Senduro, Lumajang.
Dua bulan kemudian ada pendaftaran CPNS guru. Atas ijin suami dan orang tua, alhamdulillah aku lulus. Penempatan pertama sebagai guru Bahasa Indonesia di SMPN 2 Tekung Lumajang, pada 1 Maret 1999. Kemudian mutasi ke SMPN 1 Pasrujambe, Lumajang 2004 -2017. Pernah menjadi Instruktur Nasional K13 Bahasa Indonesia pada tahun 2013-2018.
Sejak tahun 2017 hingga sekarang menjadi kepala sekolah. Awal pengangkatan ditugaskan di SMPN Satu Atap Gondoruso, Pasirian, Lumajang, kemudian beberapa kali mutasi: ke SMPN 3 Pasirian, SMPN 4 Candipuro, dan sekarang di SMPN 2 Tempeh, Lumajang. Dan tugas lain sebagai Kepala Pusdiklatcab Gerakan Pramuka Lumajang sejak 2021 hingga sekarang.
Pengalaman menulis, sejak tahun 2010 aktif menulis di Majalah Suara PGRI Lumajang. Mulai menulis buku dan diterbitkan, sejak mengenal Uti Ninik Sirtufi Rahayu. Atas bimbingan beliau buku antologi pertama terbit “Aku Cinta Indonesia Bumbu & Rempah” diterbitkan CV. Dandelion Publisher. Sampai sekarang terus belajar menulis. Sudah memiliki beberapa buku antologi, diterbitkan CV. Dandelion Publisher dan beberapa penerbit lainnya, serta memiliki satu buku novelet berjudul “Yang Pupus Kembali Bersemi” diterbitkan oleh CV. Huwara Publisher.
Kreator : Niken Nuruwati
Part 15: Warung Kopi Klotok Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]
Part 16 : Alun – Alun Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]
Dalam dunia pendidikan modern, pendekatan sosial emosional semakin banyak dibahas. Salah satu model yang mendapatkan perhatian khusus adalah **EMC2 sosial emosional**. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan Definisi EMC2 sosial emosional? Mengapa pendekatan ini penting dalam pembelajaran? Mari kita bahas lebih lanjut untuk memahami bagaimana EMC2 berperan dalam perkembangan siswa secara keseluruhan. Definisi EMC2 Sosial […]
Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]
Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]
Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]
Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]
Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,, begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]
Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]
Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]
Comment Closed: YANG KUCARI
Sorry, comment are closed for this post.