KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Cerita Anak
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » 10 Kisah Sukses Disabilitas Netra Dalam Mengatasi Segala Rintangan Dalam Kehidupan (Bagian 2)

    10 Kisah Sukses Disabilitas Netra Dalam Mengatasi Segala Rintangan Dalam Kehidupan (Bagian 2)

    BY 15 Jun 2024 Dilihat: 78 kali
    10 Kisah Sukses Disabilitas Netra Dalam Mengatasi Segala Rintangan Dalam Kehidupan_alineaku

    Mimpi yang Kudaki demi Cita yang Tercapai

     

    “Hiduplah seperti air, yang mengalir ke mana dia bisa”

    Hai semuanya, namaku Aldi Janwar. Biar gampang, panggil saja aku Aldi. Aku lahir di salah satu kota di Jawa Barat. Aku merupakan anak pertama dari 3 bersaudara. Nah, karena aku adalah anak pertama, jadi sudah pasti aku merupakan tulang punggung bagi keluarga. Apa lagi, aku adalah seorang laki-laki, tanggung jawabku sangat dibutuhkan bagi keluarga kami. Adikku yang pertama bernama ViVi, sedang adikku yang terakhir bernama Juliana.

    Seperti kisah-kisah lain dalam buku ini, aku juga merupakan seorang tunanetra. Aku mengalami hal ini sejak aku menghirup wangi ibuku di dunia. Dulu, aku dilahirkan dengan dibantu oleh dukun beranak yang kala itu dipercaya oleh sebagian masyarakat di desaku. Pada saat aku lahir, mataku mengeluarkan cairan berwarna kuning tanpa henti. Pengobatan pertama ialah ke rumah sakit mata di Bandung. Menurut pemeriksaan, mataku tidak berkembang secara sempurna pada saat dalam kandungan. Hal itu menyebabkan ukuran bola mataku lebih kecil daripada mata orang-orang pada umumnya. Seperti teman-teman netra yang lain, aku juga sudah menjalani pengobatan ke mana pun semampu orang-tuaku. Ibuku sangat mendukung segala usaha yang dilakukan oleh keluarga dalam memperjuangkan kesembuhan untukku. Kondisi terakhir sebelum dihentikannya pengobatan tersebut, mataku memang dapat disembuhkan jika ada donor mata yang cocok.

    masa kecil aku mungkin gak ada yang luar biasa, sejak usia 3 tahun aku setiap pagi bersama kakek dan nenek. bahkan ketika mereka mulai berjamaah shalat subuh di masjid, sering kali aku terbangun ketika sudah berada dalam gendongan kakek atau nenek yang saat itu dalam perjalanan ke sana. Yah, aku selalu mengeluhkan rasa dingin yang cukup menusuk tulang.

    “Nek, Kek, aku masih ngantuk, diginiin.” 

    Maklumlah, di kampungku ini hawanya cukup menusuk tulang, apa lagi jika mentari belum menampakkan sinarnya. Siang harinya, saat anak-anak lain masih betah bersama tumpukan mainan mereka, aku pasti diajak pergi ke sawah atau kebun oleh  kakek dan nenek. Dan karena itu, di usia 6 tahun aku jadi tahu bagaimana mereka bercocok tanam.

    “Alhamdulillah, sedikit banyak aku bisa kalau hanya sekedar menanam kangkung, kacang, melinjo,. coklat, atau singkong dan pisang.”

    Di usia 5 tahun, aku juga pernah diajak ayah untuk memancing ikan, dan saat itu interaksi aku dengan teman sebaya pun cukup dekat. Kami bermain ketapel, kelereng, bahkan sampai bersepeda mengitari jalan-jalan di desa. Tak hanya dekat dengan ayah, ibu, kakek atau nenek, aku juga dekat dengan saudara-saudara yang lain, seperti om dan tante. Usiaku yang tidak terlampau jauh dengan mereka, membuatku lebih sering memanggil mereka dengan sebutan kakak. Yah, begitulah mereka. Karena aku adalah anak pertama, jadi mereka pun memaklumi dan  mereka tidak keberatan jika hal tersebut aku lakukan.

    Ketika aku masih kecil aku tidak pernah merasa di beda-bedakan. Aku diberi kebebasan untuk ikut main, mengaji, dan jalan-jalan bersama teman-teman sebaya di kampung. Akan tetapi, kekhawatiran dari ayah dan ibu membuatku sulit untuk bepergian ke tempat yang cukup jauh. Aku tidak diperbolehkan untuk mengunjungi rumah teman-teman yang berada di satu sekolah denganku.

    Di usia 6 tahun aku dikenalkan dengan huruf-huruf latin yang dibuat dari potongan kertas sebesar telapak tangan, dan di ikut sertakan dalam pengajian anak-anak di madrasah untuk mulai belajar mengaji dengan cara menghafal ayat demi ayat alquran. Sejak aku punya teman, akhirnya jadi senang berpetualang. Pernah suatu kali, ada yang bertanya padaku, iya adalah seorang teman yang cukup akrab dengan aku.

    “Mata kamu kenapa, Al? Kok beda dari yang lain?”, tanyanya sambil menatapku dengan tajam.

    Yah, aku memang merasakan tatapannya. Instingku memang cukup kuat untuk mengetahui hal itu. Lantas, aku jawab saja begini:

    “Iya, aku memang tidak bisa melihat seperti yang lain. Akan tetapi, dengan begini aku jadi nggak takut sama yang namanya gelap. Kalau di rumah lagi mati lampu, aku jadi bisa cariin lilin atau lampu minyak.”

    Yah, tentu saja dia hanya tersenyum. Mungkin, karena dia masih kecil jadi belum bisa mencerna itu semua dengan baik. Selain berpetualang di desa kelahiran, aku juga pernah ikut ayah kerja di semarang bersama ibu, tinggal di kota tasik bersama kakek dan nenek dari ayah, bahkan akhirnya aku sekolah disana. Aku sekolah bisa dibilang sedikit terlambat dibanding anak-anak lainnya. Hal ini dikarenakan keluargaku sempat merasa kebingungan untuk mencari sekolah yang tepat bagiku.

    Saat kelas satu SD, aku sudah berusia 9 tahun. Memang tak jarang teman-teman difabel netra di Indonesia mengalami keterlambatan dalam bersekolah. Bahkan, yang lebih buruk lagi ada juga yang tidak bersekolah sama sekali. Hal ini disebabkan kurangnya wawasan dari orang-tua seputar pendidikan bagi disabilitas. Selain itu, jauhnya sekolah khusus dari jangkauan masyarakat juga acapkali menjadi faktor utama.

    Aku sekolah di sekolah luar biasa (SLB) swasta sejak SD sampai SMA. Setelah belajar huruf braille di tahun 2000, akhirnya aku masuk kelas 1 SD pada tahun ajaran 2001-2002 dan kebetulan mempunyai keterampilan musik dalam memainkan keyboard.

    Bulan pertama di sekolah SD aku di ikut sertakan dalam lomba nyanyi bersama salah seorang teman di kota tasik.

    “alhamdulillah, dalam lomba itu kami menjadi juara 3 dan sejak saat itu aku semakin memperdalam musik dengan keyboard sederhana yang aku miliki.”

    Di tahun-tahun berikutnya, barulah aku dikenalkan dengan berbagai pelajaran seperti: tataboga, keterampilan dalam membuat anyaman keset, samak, atau melipat dengan kertas origami.

    Kelas 5 SD, aku mulai punya grup musik sederhana yang anggotanya terdiri atas lima personil. Namun, mereka merasa tidak terikat dalam grup band tersebut. Al hasil, 5 anggota ini sering berganti orang setiap kami diundang ke acara yang berbeda, misalnya tampil dalam acara hajatan atau menyambut hari kemerdekaan di bulan agustus.

    Ketika menginjak bangku sekolah menengah pertama, aku sempat merasa bosan bersekolah karena hanya bertemu dengan teman yang sama. Yah, memang seperti itulah kondisi lingkungan di sekolah luar biasa. Murid di SLB memang relatif lebih sedikit dibanding di sekolah reguler. Sebenarnya, saat itu aku menginginkan  bersekolah di sebuah SLB terkenal di kota lain, yakni kota kembang Bandung. Tetap, alhamdulillah disini juga ada sedikit motivasi untuk belajar setelah aku mencoba sesuatu yang baru.

    Karena aku suka sejarah, jadi aku saat itu lebih memilih untuk mempelajari Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Secara kebetulan, di semester II kelas 7 ini aku ikut lomba cerdas cermat IPS di ibukota untuk mewakili sekolah sekaligus mencoba keterampilan lain selain musik.

    Sejak kelas 8, aku mulai suka dengan dunia usaha kecil-kecilan. Mungkin, hal ini karena di dalam pelajaran IPS itu ada pembelajaran yang membahas mengenai ilmu yang berkaitan dengan perekonomian, makanya aku suka dengan usaha-usaha kecil seperti berdagang pulsa dan sebagainya. Apalagi, saat itu aku juga dikenalkan dengan teknologi screen reader (program pembaca layar) yang ternyata mempermudah aku dalam belajar dan berselancar di sosial media.

    Sejak aku berkenalan dengan cara-cara mencari uang, aku pun semakin penasaran untuk belajar lebih banyak lagi agar pendapatanku semakin meningkat. Akan tetapi, sayangnya dunia musik saat itu terpaksa aku tinggalkan karena keterbatasan alat yang dimiliki. Di kelas 10, aku mulai berani menggunakan komputer, dan ternyata aku lebih merasa nyaman dengan dunia baruku ini. Yaa, memang aku bukanlah seorang  gamer seperti kebanyakan orang-orang yang jago dalam bermain komputer. Tapi, aku memang suka dengan hal-hal baru yang ternyata tidak membatasiku sebagai tunanetra.

    Saat itu, aku hanya mempelajari perkembangan teknologi melalui sosial media dan website-website pendukung. Karena itulah, aku menjadi tidak begitu memahami penggunaan komputer secara utuh. Aku hanya berpikir bahwa yang pasti, dengan bisa menjual pulsa, lagu, atau kaset saja aku sudah senang dan merasa kalau teknologi itu membuat hidup aku lebih mudah. Begitulah diriku. Aku tetap berada di sekolah yang sama hingga diriku pun akhirnya berhasil menyelesaikan pendidikanku selama 12 tahun. Jujur saja, mimpi itu masih tetap berada di hati kecilku. Ya, mimpi untuk sekolah SMA di luar kota, meski hal itu tidak berhasil aku raih. Akhirnya, aku hanya mengikuti dan menerima apa yang ada di sekolah itu saja. Selebihnya, aku harus memuaskan diri dengan mencari wawasan dan pengetahuan dari luar.

    Sedikit ceritaku mengenai keaktifanku di sekolah, aku adalah orang yang takut dengan panggung, tapi mau tidak mau aku dipaksa untuk berani tampil di depan umum. Di usia 7 tahun, aku pernah dipaksa untuk membacakan sebuah pidato dalam acara kenaikan kelas di madrasah tempat aku mengaji.

    ketika lomba nyanyi juga, aku hampir saja diikutkan dalam kegiatan tersebut. Tetapi, karena memang dasarnya aku tidak berbakat untuk bernyanyi, aku menghindar dengan berbagai cara supaya aku hanya  bermain musik saja.

    Kelas 1 SD, aku akhirnya mengikuti lomba bernyanyi dan memainkan keyboard untuk mengiringi salah satu teman sekolah. Syukur Nya, saat itu kami menang dan menjadi juara 3.

    Disaat aku menduduki kelas 5 dan memiliki grup musik, panggung yang aku takuti itu menjadi semakin sering aku datangi, karena kebetulan hampir sebulan sekali ada panggilan untuk menghibur orang dalam acara hajatan atau kenaikan kelas, bahkan tak jarang group band kami diminta untuk mengisi di acara  ulang tahun.

    Waktu SMP aku ikut lomba cerdas cermat, tapi kebetulan cuma sampai di babak perempat final,  ketika aku kelas 8 aku sering ikut lomba penggunaan huruf morse atau uji ketajaman panca indra dalam acara kepramukaan.

    Kelas 1 SMA, aku kembali mengikuti lomba. Kali ini, lomba mengarang menjadi pengalaman baru untukku. Aku sangat senang mengikuti lomba ini, karena aku juga cukup menyukai pelajaran bahasa indonesia. Dalam kegiatan itu, aku mengambil tema bencana alam. Sayangnya, aku hanya mampu bertahan hingga di babak penyisihan saja.

    Ada satu hal yang paling berkesan diantara semua itu. Hal tersebut adalah ketika aku aktif di kegiatan pramuka. Di sana,  aku banyak belajar dengan lomba-lomba yang diikuti seperti: menguji pendengaran dengan huruf morse yang dibunyikan dengan pluit atau mengenali berbagai jenis tanaman dan bumbu dengan penciuman dan pengecap lidah sambil tangan terikat.

     

    Wajar bila saat ini,

    Ku iri pada kalian,

    Yang hidup bahagia berkat suasana indah dalam rumah

     

    Lagu itu terus terngiang dalam pikiranku. Dalam hidup ini, tidak akan selalu baik-baik saja. Setelah kalian mengenal siapa diriku, kini aku akan menceritakan salah satu ujian besar yang menimpa keluarga kami.

    Seperti yang semua orang ketahui, sebagai anak pertama, apa lagi mempunyai adik yang kesemuanya perempuan, aku selalu berusahha bertanggung jawab untuk menciptakan suasana yang hangat di antara kedua adikku. Didalam keluarga kecil ini, kami adalah anak-anak yang semuanya paling dekat dengan ibu dan keluarganya. Ibuku adalah seorang ibu rumah tangga yang cukup aktif dalam bertani dan berjualan, sedangkan ayah kami adalah seorang buruh harian lepas yang bisa bekerja apa saja. Bukti dari kerja keras ayah adalah: waktu aku kecil dulu, ayah pernah bekerja di sebuah pabrik tas yang ada di Kota Bandung, bekerja sebagai sopir truk di Magelang, serta pernah bekerja di sebuah pabrik sepatu dan sandal yang ada di Jakarta. Begitulah ayah kami. Beliau selalu berusaha membahagiakan keluarganya dengan baik.

    Di zaman itu, komunikasi kami hanya dapat dilakukan dengan cara surat-menyurat. Saat aku dan adiku yang pertama lahir, ayah tidak ada dalam mendampingi ibu tercinta. Hal itu terjadi karena berkirim surat di zaman tersebut seringkali terlambat penerimaannya. Saat ayah kerja, kami tidak tahu apa saja yang terjadi kepada beliau. Yang aku dan seluruh keluarga tahu, ayah hanya fokus untuk membahagiakan kami. Aku sangat menyayangi beliau, karena beliau sangat dekat dengan aku dan Vivi (adikku yang pertama). Sepulang ayah dari luar kota, sering kali beliau membawakan kami mainan dan makanan enak.

    Pada tahun 2006, ayah memutuskan untuk berhenti bekerja di tempat-tempat yang jauh dari jangkauan kami. Di tahun itulah, Juliana yakni adiku yang terkecil lahir ke dunia ini dan menambah ramai suasana keluarga ini. Meskipun jaraknya cukup jauh dengan aku dan Vivi, tetapi kami sangat menyayangi dan berusaha menjaganya dengan baik. Juliana sangat beruntung kala itu, karena ayah hadir dalam proses kelahirannya. Sempat aku merasa iri, tapi hal itu memang wajar saja dirasakan oleh anak remaja normal seperti aku dan Vivi. Karena ayah sudah tidak berpetualang dalam menghidupi keluarga, akhirnya ibu memutuskan untuk bekerja sebagai pedagang demi menambah pundi-pundi bagi keluarga kami.

    Pada tahun berikutnya, ayah kembali bekerja. Kali ini, sebuah mebel di Kota Tasik menjadi pilihan ayah untuk menyambung hidup kami. Karena pada dasarnya ayah adalah seorang pekerja yang cekatan, dalam pekerjaannya ini ayah telah menghasilkan satu set meja, kursi, dan lemari dalam sebuah proyek di mebel tersebut.

    Seiring perkembangan waktu, aku dan Vivi perlahan melihat perubahan sikap pada ayah. Sebagai anak, kami tidak tahu permasalahan apa detailnya yang menimpa rumah tangga ayah dan ibu. Perlahan namun pasti, hubungan ayah dan ibu menjadi semakin renggang. Ayah sering bepergian ke luar rumah tanpa sepengetahuan kami. Pernah di suatu malam, aku tak sengaja mendengar cekcok dari arah kamar mereka. Entah mereka sedang memperdebatkan apa. Yang terdengar hanya isak tangis ibu sambil berkata:

    “Tolong jangan seperti ini! Saya tidak tega dengan ketiga anak kita.”

    Di balik dinding kamarku, teriris sudah hati ini. Juliana yang masih sangat kecil, Vivi yang masih membutuhkan kasih sayang seorang ayah, membuat hati ini sangat terluka. Malam itu telah menjadi saksi kepiluan diriku. Betapa tidak, aku hanyalah seorang anak lelaki yang memiliki keterbatasan dan tak berdaya dalam memperjuangkan keharmonisan ayah dan ibu. Sungguh, aku tak kuasa menahan tangis. Betapa hebatnya ibuku saat itu. Di tengah permasalahan yang terjadi, ibu tetap menjadi seorang pedagang yang tanpa henti berjuang demi anak-anaknya. Sementara itu,ayah masih bekerja dan kali ini beliau menjadi seorang buruh di sebuah pabrik sandal.

    Pada tahun 2009, akhirnya usai sudah penderitaan ibuku. Ya, yang terjadi bukanlah happy ending sesuai keinginan aku dan Vivi. Di tahun ini, ayah dan ibu telah resmi bercerai. Saat peristiwa itu terjadi, Vivi dan Juliana tidak henti-hentinya menangis. Sedangkan aku? Aku hanya bisa memendam rasa sakit ini sendirian. Sebulan setelahnya, ayah kami memutuskan untuk menikah dengan wanita lain. Jujur, saat itu aku sempat membencinya. Aku rasa, kasih sayang ayah selama ini pudar sudah dengan kejadian ini. Akan tetapi, ibu dan keluarganya selalu menasihatiku. Mereka selalu bilang bahwa tidak baik aku merasa benci kepada ayah sendiri, karena meski begitu beliau masih orang-tua yang harus aku hormati.

    Setelah berbagai ujian itu, aku kembali bangkit dan melanjutkan sekolah di Kota Tasik. Vivi dan Juliana juga kembali bersekolah di sana. Saat itu, Juliana memang sudah mulai memasuki sekolah Taman Kanak-Kanak di Kota Tasik.

     

    Setelah aku menceritakan mengenai lika-liku perjuanganku dan keluarga, kini saatnya aku menceritakan urusan hatiku. Yaps, betul.  Apa lagi kalau bukan soal cinta? Ya, meski aku seorang difabel netra, bukan berarti aku tidak pernah memadu kasih dengan seorang gadis. Aku memang tidak dapat melihat seperti apa rupa gadis-gadis yang pernah atau sedang bersamaku saat ini, tetapi aku dapat merasakan kasih sayangnya dari berbagai perhatian yang mereka berikan padaku.

    Percintaan aku boleh dikata sama dengan kisah-kisah anak muda lainnya. Suka-dukanya di masa remaja sering mewarnai hidup aku dengan berbagai rasa dan cerita yang sulit untuk dibayangkan. Karena terbentuk dari karakter aku yang cukup pendiam jika kehabisan kata atau pertanyaan saat berbicara dengan lawan jenis yang disenangi, tidak jarang akan membuat aku terdahulu oleh pria lain atau berujung pada sikap saling mendiamkan sampai salah satu di antaranya peka akibat rasa cemburu.

    Cinta pertamaku jatuh pada seseorang yang di waktu kecil selalu bermain bersama, karena sebagian besar teman-temanku adalah perempuan. Saat itu memang tidak ada yang mengira kalau salah satu di antara teman- teman perempuan itu adalah orang yang aku sukai. Namanya Sarah. Kata adiku Vivi, Sarah adalah seorang gadis kecil yang sangat baik padanya. Suatu hari, aku pernah bertanya mengenai wajah Sarah pada adik kecilku itu. Kemudian, Vivi mendeskripsikan padaku tentang Sarah.

    “Sarah itu nggak tinggi-tinggi amat, A. Dia punya tahi lalat di pipinya. Wajahnya bundar, ada lesung pipit di pipi sebelah kirinya. Terus, rambutnya itu hitam dan bergelombang. Kalau kulitnya sih, dia itu sawo matang. Tinggi badannya paling Cuma beda 5 cm sama A Aldi.”

    Ketika mendengar hal itu, aku hanya senyum-senyum sendiri sambil membayangkan wajah Sarah.

    Saat itu aku pun masih hijau dan belum tahu apa artinya cinta, yang aku sadari itu hanya merasa senang bila berdekatan dengan Sarah,  tapi merasa sedih bila aku tidak bertemu dan pasti merasa kehilangan jika dia tidak ikut hadir dan bermain bersama kami.

    Aku tergolong orang yang sulit dalam membentuk kepekaan terhadap lawan jenis yang dihadapi. Sering kali aku merasa apa yang aku rasa itu takut salah, dan berusaha mencari pembenaran yang cukup memakan waktu. Karena itulah, aku biasanya akan merasa lebih mudah untuk menghadapi sikap perempuan yang lebih terbuka daripada menghadapi orang yang sikapnya sama-sama tertutup. Orang yang aku sukai sampai bisa benar-benar pacaran untuk pertama kalinya adalah orang yang dipertemukan waktu aku kelas 3 SD. Dari segi usia mungkin aku cuma lebih tua 3 tahun darinya, tapi untuk sekolah, dia adalah orang yang bisa dibilang lebih tua dariku yang mengalami keterlambatan dalam bersekolah.

    Namanya Viona. Dahulu, dia sering kali dipanggil Yoyo, karena dia adalah gadis yang agak tomboy. Akan tetapi, aku lebih suka memanggilnya Vio. Selain panggilan itu menurutku sangat imut, aku juga merasa lebih enjoy jika memanggilnya begitu.

    karena kami sama-sama duduk di masa-masa akhir menjadi pelajar, kami pun sering menghabiskan waktu di toko buku atau perpustakaan. Viona adalah gadis yang sempurna, dia bukanlah penyandang disabilitas sepertiku. Bagiku dia adalah pendengar yang baik, dan dari sanalah aku bisa banyak belajar untuk lebih kreatif dalam berkarya. Dia selalu membantuku membacakan buku apa saja yang aku butuhkan untuk membantu proses belajarku.

    Hubungan kami memang tidak berlangsung lama. Saat aku duduk di kelas 6, dia pergi mendahuluiku untuk menghadap yang maha kuasa karena kecelakaan. Kejadian itu masih teringat hingga sekarang. Ketika itu, aku yang baru selesai bermain musik dengan teman-teman, mendadak merasakan firasat buruk tentang Vio. Sesaat setelah itu, tiba-tiba aku mendapatkan telepon dari keluarga Vio yang mengabarkan tentang kecelakaan yang telah merenggut nyawanya. Kebetulan, aku dan keluarga Vio sudah sangat akrab. Keluarganya bilang kalau pada saat sedang menyebrang jalan, Vio yang kala itu sedang tidak fokus dan agak sedikit mengantuk tertabrak mobil hingga kepalanya membentur aspal. Sontak, aku sangat terguncang mendengar kabar itu. Air mata ini tak kuasa untuk tetap bertahan pada tempatnya.

    Tidak lama setelah itu, hadirlah seseorang yang membantuku dalam mengikhlaskannya dan menjadi pacarku yang ke dua. Gadis ini bernama Paramita. Aku biasanya memanggil dia Dek Mita. Dia adalah salah satu artis dalam grup musik yang dibentuk teman-temanku. Selain cantik, Dek Mita adalah seorang gadis yang lembut dan penyayang. Sama seperti Viona, dia juga adalah bukan penyandang disabilitas. Jadi, dengan kata lain, Dek Mita adalah seseorang yang bisa melihat dengan normal, tidak seperti diriku.

    Selain bermain musik, belajar pun sering bersama-sama kami lakukan. Baik itu di rumahnya, atau pun di sekolah. Hal ini, membuat aku berharap bahwa hubungan ini akan berhasil sampai kami lulus sekolah, bahkan mungkin menikah setelah lulus kuliah nanti.

    Yah, ternyata kenyataan berkehendak lain. Aku harus merasakan sakit dan kecewa berlipat-lipat daripada ditinggal mati kekasih hati yang aku jaga selama ini. Tiga tahun aku jaga dia baik-baik, ternyata aku harus mengikhlaskannya ketika aku mengetahui  kekasihku ini telah hamil dan dipaksa menikah oleh kedua orang-tuanya. Yaa, begitulah kehidupan Dek Mita yang sering bernyanyi dari panggung ke-panggung, tidak menyadari bahwa dirinya telah salah dalam memilih jalan hidupnya.

    Disamping itu, perpisahan ibu dan ayah pun masih terasa berat, aku ingat saudara kecilku yang belum merasakan kasih sayang ayah seperti kakak-kakaknya. Pada akhirnya, aku pun kalah dalam menjaga calon pendamping hidup, sekaligus kecewa dengan perpisahan kedua orang tuaku dengan meninggalkan adik kecil yang seperti menganggapku sebagai kakak sekaligus ayah.

    Di tahun yang sama dengan perceraian orang-tuaku, akhirnya tubuh ini memutuskan untuk menyerah dalam beraktivitas dan memikirkan hal-hal yang membuatku merasa terbebani. Yah, aku divonis terkena penyakit Anemia akut. Saking parahnya, aku sampai mengalami koma selama 14 hari. Di saat-saat itu, hanya ibu dan adik-adikku yang menjadi penopang sisa kekuatanku. Kala itu, dokter memvonis diriku hanya mampu bertahan sekitar 40 persen lagi untuk tetap hidup. Berbagai pengobatan pun dilakukan. Ibuku telah melahirkan anak yang kurang sempurna. Maka dari itu, beliau tidak ingin gagal lagi dalam mempertahankan hidupku. Kantung demi kantong darah juga menjadi salah satu cara untuk membuatku hidup lebih lama. Karena golongan darah yang langka, akhirnya dokter harus susah payah mencarikan donor darah yang cocok untukku.

    Singkat cerita, setelah berbagai pengobatan akhirnya aku dapat melewati masa kritis dengan baik. Aku pun harus belajar berdiri dan berjalan layaknya bayi berusia 2 tahun. Di tahun berikutnya aku baru mulai aktif kembali bersekolah dan berorganisasi seperti biasa. Grup musik sudah tidak menarik lagi bagi aku, karena saat itu aku mulai suka dengan komputer yang ternyata manfaatnya lebih banyak dan bisa menghasilkan keuntungan yang lebih besar dari pada bermain musik yang pesaingnya pun tidak kalah banyaknya seperti pemijat yang saat itu menjadi pilihan favorit bagi teman-teman di kota tasik.

    Di tahun 2011 aku sedikit lebih aktif dalam organisasi kemasyarakatan, dan disini aku dipertemukan dengan seseorang yang di kemudian hari menjadi istriku dan memberi seorang keturunan yang hingga saat ini harus aku jaga. Namanya Kinara Anindita. Aku dan teman-teman sering memanggilnya Kinar. Yah, perkenalan kami memang tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan kisah-kisah cinta yang pernah aku jalani sebelumnya, bahkan aku pun hanya ingin menganggapnya sebagai saudara. Dahulunya, dia pernah berpacaran dengan salah satu sahabatku di grup musik. Dia sangat baik padaku. Sering kali dia curhat tentang sahabatku yang acapkali pernah menyakitinya. Aku tak pernah menduga sebelumnya bahwa dia akan menjadi istriku, karena sejak ditinggal nikah itu, aku punya kekasih lagi walau hubungan kami masih sebatas jarak jauh, dan bertemu hanya sebulan sekali.

    Tahun 2016, adik aku pun ternyata telah mempunyai seorang pacar dan berencana untuk menikah. Padahal aku sebagai kakaknya masih saja menjalin hubungan jarak jauh berulang kali. Hingga saat itu, mungkin aku sudah 3 kali menjalin hubungan jarak jauh gara-gara ditinggal nikah. Banyak yang terjadi saat berhubungan secara jarak jauh itu. Di tahun 2013, di tikung teman sendiri. Di tahun 2015, aku tidak mendapat kejelasan dari kekasih yang tiba-tiba saja hilang bak ditelan bumi.

    Singkat cerita, karena budaya di tempatku menganjurkan bahwa sebelum sang adik menikah, kakaknya harus menikah terlebih dahulu. Akhirnya, aku menikahi Kinara. Sebetulnya, aku juga sangat bimbang dengan pilihanku ini. Kalau boleh jujur,  dalam hatiku aku tidak mencintai Kinar. Aku hanya menganggapnya sebagai adik angkat saja. Kebetulan, saat aku menyatakan bahwa aku akan menikahinya, dia tengah bersedih hati karena ibunya baru saja pergi ke hadapan sang pencipta. Mungkin karena kesedihan itulah, hatinya menjadi mudah luluh padaku.

    Aku masih mengingatnya dengan detail kejadian itu. Di suatu senja yang cerah, aku baru saja menghadiri acara 40 hari meninggalnya ibu Kinar. Tiba-tiba saja, Kinar duduk di sampingku dengan berlinang air mata. Sedetik kemudian, dia mulai bertanya padaku:

    “Kak Al, kakak nggak akan ninggalin aku seperti ibu, kan?”

    Mendengar pertanyaan itu, seketika aku teringat kepada Vivi adiku tersayang.

    “Nggak, Kinar. Tenanglah, aku tidak akan meninggalkanmu.” Jawabku sambil mengusap kepalanya. Repleks, Kinar menghambur dalam pelukanku. Badannya sangat kurus kala itu. Tubuhnya pun berkeringat dingin seperti orang sedang sakit.

    “Kin, sebenernya ada yang aku mau sampaikan ke kamu.”

    Kinar kembali menarik tubuhnya dari pelukanku, serta  mendengarkanku dengan seksama. “Sebetulnya, aku ada niat untuk menikahimu. Kamu tahu, kan, bahwa menikah itu adalah ibadah? Aku yakin, dengan kita menikah kita akan terhindar dari zinah dan bisa mendatangkan keberkahan.”

    Kinar kembali menangis sesenggukan. Tak lama kemudian, dia pun mulai bersuara.

    “Kak Al, sungguh aku tak menyangka aku akan mendengar pernyataan ini dari bibirmu. Ya, sejujurnya aku sudah menyukaimu sejak kamu selalu menghiburku setiap saat. Insyaallah, aku mau menikah denganmu, Kak Al.”

    Hatiku begitu lega kala itu. Akhirnya, aku bisa menolong 2 orang sekaligus. Membantu adiku untuk menikah, serta membantu Kinar untuk menjalani hidupnya kembali dengan aku sebagai pendamping hidup, serta imam baginya.

     

    Kinar tidak hanya seorang tunanetra, tetapi dia juga mempunyai sebuah penyakit lain, yakni epilepsi yang dideritanya sejak kecil. Sebetulnya, aku dan keluarga sudah berusaha untuk melakukan pengobatan dan terapi. Akan tetapi, semua usaha kami nihl tiada hasilnya. Aku tak pernah mengeluhkan hal itu padanya. Bagi aku saat itu yang mungkin telah menerima berbagai guncangan hati, hanya menyimpan harapan bahwa suatu saat nanti aku bisa merasakan cinta yang luar biasa berawal dari kasih sayang yang memang selalu aku dapatkan darinya.

    Suka-duka bersama kami lewati dalam mahligai rumah tangga ini selama 5 tahun, dan semakin lengkap dengan hadirnya seorang anak perempuan berwajah cina di tahun 2019. Akan tetapi, begitulah kehidupan, ternyata perjalanan hidup kami pun semakin menanjak dan semakin sulit. Aku tak mengira bila hadirnya seorang anak ini masih tidak mampu membuat aku semakin kuat untuk bersamanya. Selain itu, keluarga kami pun agak sedikit menyepelekan kami dalam mengurus si kecil. Mereka masih beranggapan bahwa disabilitas tidak layak untuk merawat anak sendirian, apa lagi dengan kondisi Kinar yang ternyata semakin hari semakin memburuk. Waktu buah hati kami lahir, Kinar saat itu dirawat oleh ibu dan keluargaku. Oya, aku sedikit lupa. Kami memberi nama anak kami dengan nama yang sangat unik, yaitu Carina Putri Permata Hati. Harapan kami, semoga anak ini dapat menjadi permata yang berharga bagi siapapun yang menyayanginya dengan tulus.

    Singkat cerita, aku dan istri telah berhasil membuat orang-tua kami percaya bahwa kami bisa merawat Carina dengan hanya berdua saja. Akhirnya, kami membawa Carina ke Jakarta. Karena Kinar harus diawasi setiap waktu, aku memutuskan untuk meminta bantuan seorang teman untuk menjaganya di rumah selagi aku bekerja. Betapapun rumitnya hidup ini, aku sangat bersyukur dengan kehadiran mereka. Terlebih lagi aku bahagia karena Carina dapat terlahir dengan normal, tidak seperti kedua orang-tuanya.

    Suatu ketika istriku sedang memasak dengan menggendong anak kami. Kebetulan, saat itu Alia (temanku sekaligus pengasuh Carina) sedang pergi ke pasar. Tiba-tiba saja epilepsi Kinar  kumat dan mengakibatkan pisau yang dipegangnya pun tidak sengaja menusuk tepat diatas leher anak kami  hingga berdarah. Jeritan Kinar dan Carin  begitu keras, hingga membuat tetangga kami pun segera masuk ke dalam rumah dan merampas anak kami dari gendongan ibunya. Pada saat kejadian itu, aku sedang bekerja dan langsung mendapat kabar dari tetangga tersebut.

    Seusai kejadian itu, perlahan aku merenungi nasibku. Aku tak mengerti lagi mengapa semua ini bisa terjadi. Mau tidak mau, aku harus segera mengambil keputusan demi kebaikan Carin dan Kinar.

    Di sinilah aku berkonsultasi dengan keluarga besar dari kedua belah pihak, hingga pada akhirnya kami pun terpaksa harus berpisah karena aku rasa tidak sejalan lagi dengan pemikiran dan keinginan keluarga istri. Aku lebih memilih sendiri dengan membesarkan anak, dan istriku akhirnya aku kembalikan pada keluarganya. Apa hendak dikata, mungkin disini aku memang kejam karena telah meninggalkannya, tapi aku tidak mampu lagi jika harus terus membiayai proses berobat dia sambil membesarkan anak yang tentu harus menjadi prioritas untuk saat ini. Apalah aku, siapalah aku ini, untuk makan sendiri dan mengirim uang jajan pada anak pun terkadang masih ngutang. jadi, yah, biarlah orang berkata apa, meskipun berat, tapi aku tetap harus menerima keadaan ini.

    Lalu, bagaimana dengan mimpi-mimpiku? Apakah pernikahan itu mampu menyurutkan semangatku untuk meraih cita-citaku? Jawabannya adalah, mari sejenak kita menoleh ke belakang.

     

    Tak terasa, waktu berlalu begitu cepat. Kini, aku sudah hampir menyelesaikan pendidikanku di sekolah yang cukup membosankan ini. Aku tak mengerti, mengapa aku tak semudah kawan-kawan yang lain untuk diizinkan merantau ke sekolah yang aku inginkan. Pernah suatu ketika, aku berniat untuk pindah ke salah satu sekolah di Bandung, untuk melanjutkan SMA. Akan tetapi, orang-tua-ku tidak mengizinkan hal tersebut. Mereka menganggap bahwa aku masih belum sanggup untuk berada jauh dari jangkauan mereka.

    Selain karena keluarga, sekolah ini juga sangat mempertahankan  aku karena hanya aku dan beberapa teman yang aktif dalam berorganisasi dan mengikuti berbagai macam lomba. Sejujurnya, aku ingin sekali mencoba tinggal di asrama dan membuktikan bahwa aku dapat hidup mandiri tanpa bantuan mereka. Yah, semua ini memang hal yang cukup dilematis bagi aku dan keluarga.

    Selesai SMA, aku semakin nekad dalam mewujudkan harapanku. Akhirnya, waktu itu aku pergi menuju Jakarta dan Bandung sendirian. Setelah mengetahui pembelajaran teknologi bagi tunanetra melalui sosial media, aku bertanya pada salah satu kakak kelasku yang ada di Bandung, tentang apakah ada kursus komputer di sana. Beruntung, kakak kelasku bersedia membantu. Ternyata, kursus tersebut berada di Jakarta. Aku diberitahukan bahwa ada sebuah yayasan, bernama Yayasan Mutiara Jari. Yayasan tersebut menaungi pelatihan-pelatihan untuk difabel netra. Akhirnya, aku mencoba mendaftarkan diri tanpa sepengetahuan orang-tuaku. Tak disangka, kesempatan itu semakin terbuka lebar bagiku. Di hari yang cerah kala itu, dering telepon di rumahku mengubah seluruh hidupku. Saat itu, ibu yang menerima telepon tersebut sangat terkejut.

    “Halo, apakah benar ini dengan orang-tua dari Aldi Janwar?”

    “Iya, Pak. Kebetulan, ini dengan ibunya Aldi. Mohon maaf ini siapa ya?”

    “Begini, Bu. Perkenalkan, saya Bram dari Yayasan Mutiara Jari Jakarta. Saya ingin menginformasikan bahwa putra ibu telah diterima kursus di yayasan kami secara intensif.” Mendengar hal tersebut, ibu langsung shock dan menanyakan semuanya padaku. Yah, setelah aku menceritakan semuanya dengan jujur, akhirnya aku diizinkan untuk berangkat ke Jakarta.

    Di Jakarta, aku ditemani oleh ibu selama beberapa waktu. Kami mencari kost-kostan yang lumayan murah untuk kami tinggali. Saat itu, aku masih belum menikah, sehingga tidak membutuhkan tempat yang terlalu luas. Yayasan Mutiara Jari yang informasinya kudapatkan dari facebook ini memang cukup menarik bagiku, karena disana ternyata banyak teman yang merupakan sesama difabel netra dari berbagai kalangan, baik yang baru mengalami sebagai tunanetra, ataupun tunanetra sejak lahir. Yang lebih membahagiakannya lagi adalah, banyak pilihan peminatan bakat yang bisa aku ikuti baik secara gratis maupun berbayar. Kesendirian di perantauan membuat aku berdebar-debar, meskipun sebelumnya aku telah belajar mencari penghidupan sendiri, tapi yang namanya tinggal di kota besar dan kurangnya peminat yang membeli sesuatu secara online pada waktu itu, cukup membuat aku hampir menyerah. Apa lagi, di Jakarta ini sering diguyur hujan dan banjir pun sering menenggelamkan kamar kost  yang aku sewa.

    Pada masa-masa sulit seperti ini, hasil usaha kecil aku dan kiriman ibu dari kampung terasa kurang, Hingga, akhirnya modal usaha yang kudapat dari bantuan Usaha Ekonomi Produktif provinsi jawa barat pun terkuras habis. Disinilah pentingnya membangun komunikasi dan relasi bagiku. Pada akhir tahun 2013 itu aku baru sekitar 3 bulan di jakarta, akhirnya dipertemukan dengan salah seorang teman dari sosial media. Sejak saat itu, aku pun bergabung dalam komunitas teknologi bagi tunanetra.

    untuk yang pertama kalinya, aku mulai terlibat dalam project pembuatan film dokumenter dan kembali berpetualang ke kota yogyakarta, semarang, temanggung, dan surabaya untuk launching film sekaligus mengikuti acara teknologi keliling disana. Akhirnya aku pun semakin dekat dengan teman dan keluarganya, dan ketika kosan terendam banjir pun aku tidak perlu lagi tidur di masjid sendirian. Aku bisa tinggal dan tidur di rumah teman meskipun mereka non muslim. Sejak saat itu, aku mulai membuka diri untuk lebih aktif di jakarta dan sekitarnya, selain bisa meningkatkan usaha, ternyata ini juga bisa meningkatkan literasi untuk menambah berbagai pengalaman dan wawasan.

    Sejak tahun 2014, banyak lowongan pekerjaan yang telah aku coba. Ada yang lolos dalam pemberkasan, bahkan sampai lolos dalam interview tapi belum pernah ada yang sampai berhasil kerja lebih dari magang selama 5 hari. Saat itu aku hanya sampai jadi pengajar komputer selama 1 minggu di sebuah bimbel, dan selebihnya ngajar di persatuan tunanetra indonesia jakarta dengan waktu yang tidak menentu.

    Tahun 2016 aku mencoba untuk ikut kursus pemrograman di Yayasan Mutiara Jari jakarta bersama IBM karena ada tawaran untuk bekerja di Bukalapak dan Astra Toyota finance. Setelah lulus dalam kursus bahasa pemrograman di tahun 2017 itu, aku mendapat tawaran untuk kuliah di Universitas Pamulang dan  juga mendapatkan beasiswa penuh. Aku berkuliah dengan mengambil jurusan Teknik Informatika. Alasanku mengambil jurusan itu adalah untuk membuktikan bahwa seorang difabel netra dapat berkembang dengan minat bakatnya sendiri, tidak mesti harus berkuliah pada program studi tertentu yang dianggap layak bagi mereka. Kesempatan ini aku sambut dengan gembira, karena memang sejak 2013 aku sebenarnya berharap bisa meningkatkan skill di dunia teknologi ini dengan cara berkuliah di jurusan yang tepat, tapi pada waktu itu, di indonesia memang cukup sulit untuk tunanetra masuk pada jurusan tersebut. Selain karena matematika yang dianggap sulit bagi tunanetra, ini juga disebabkan karena dalam jurusan teknik informatika ini ternyata ada hal-hal yang harus dilakukan secara visual seperti: komputer grafik, merancang sistem dengan bentuk diagram, dan ada praktikum fisika yang prosesnya pun membutuhkan penglihatan. Kedua temanku pernah mencoba untuk daftar di salah satu kampus negeri dan kampus swasta untuk kuliah pada jurusan ini, tapi tidak berhasil karena alasan yang sama. Alhamdulillah, akhirnya Universitas Pamulang mau mencoba dan membimbing kami bertiga untuk kuliah pada jurusan yang kami minati. Selain itu, aku dan teman-teman netra lainnya dapat mempelopori mahasiswa tunanetra Universitas Pamulang berikutnya untuk berkuliah di sini. Sekarang, Universitas Pamulang sudah menerima mahasiswa disabilitas di semua jurusan.

    Di tahun 2017 inilah akhirnya aku mulai merasakan indahnya perkuliahan dan bangga menjadi seorang mahasiswa pada jurusan yang sangat aku impikan, tapi tanggung jawab aku dan teman-teman pun sangat berat, sebagai mahasiswa percobaan pada jurusan yang dianggap sulit bagi tunanetra, tentu membuat proses belajar untuk kami pun menjadi berlipat ganda. Mau tidak mau, saat libur pun harus kami korbankan dengan belajar terus dan mengikuti berbagai les tambahan agar kami mampu mengikuti semua mata kuliah yang paling sulit dan belum pernah kami fahami sebelumnya.

    alhamdulillah, kami bertiga pun tetap kuliah meskipun agak tersendat-sendat karena berbagi waktu, sarana dan prasarana yang masih dalam pengembangan, juga karena berbagai kesulitan yang harus kami hadapi dengan cara-cara baru yang harus dicoba dan dicoba terus hingga akhirnya bisa mencapai nilai minimal untuk dapat lulus dan melewati semuanya. Di tahun 2019, tepat 5 bulan sebelum anak perempuan aku lahir, aku pun mencoba kursus contact center training dari asosiasi contact center indonesia bersama thisable enterprise dan diterima kerja di PT. MayBank Indonesia Finance selama 6 bulan sebagai agent contact center.

    pada tahun 2020, kontrak kerja ini pun harus berakhir karena pandemi yang mengakibatkan terjadinya pengurangan karyawan di seluruh perusahaan yang ada. Semua disabilitas yang bekerja di MayBank Indonesia Finance juga terkena pemberhentian kerja ini, dan membuat kami mencari usaha baru lagi sendiri-sendiri. Disinilah masa-masa sulitku yang harus dijalani selama 2 tahun lebih, tidak hanya berdampak pada hubungan keluarga dan rumah tangga, dampak buruk yang kurasa ini pun hampir menggoyahkan semangatku dalam berkuliah. Untungnya, karena ini adalah sesuatu yang paling aku minati, dan disertai tanggung jawab pada perubahan yang terjadi di kampus tempat aku kuliah, aku pun berusaha sedapatnya untuk tetap bertahan meskipun harus banyak mengorbankan hal penting lainnya.

    sebulan pasca pemberhentian kerja dan lahirnya anak perempuanku, aku pun mulai usaha baru dengan menjadi pedagang keliling yang tidak menentu, dampak pandemi memang tidak selamanya negatif, hampir semua orang merasa kesulitan untuk mencari penghidupan atas keluarganya masing-masing, akhirnya kita harus berbagi dan saling bahu membahu bersama tetangga yang tinggal di sebelah kontrakan, mereka berusaha kreatif untuk membuat berbagai jenis makanan ringan seperti: cilok, kue donat, dan berbagai makanan menarik lainnya. Sedangkan aku, istri, dan teman-teman yang tinggal dalam satu kontrakan pun menjadi pedagang keliling untuk menjajakan apa yang mereka buat. pada akhir 2020, aku pun mulai merasa cocok dengan usaha baru ini, aku dan teman-teman mulai tetap menjadi pedagang kerupuk keliling di berbagai perumahan yang ada di wilayah Bekasi dan Jakarta Timur. Setiap hari kami bergantian untuk mencari dan menjelajahi perumahan yang tidak terkena pembatasan akibat pandemi.

    Saat itu aku mulai kurang fokus untuk berkuliah, hingga  pada akhirnya banyak nilai yang harus mengalami penurunan dan wajib untuk diulang saat menyelesaikan skripsi. menjelang akhir tahun ini Aku pun kembali mengajar komputer dalam Jambore TIK Nasional yang diadakan oleh kominfo untuk disabilitas. Selain bisa digunakan untuk mengganti mata kuliah magang yang sebetulnya tidak wajib, kegiatan ini pun membuat aku kembali bersemangat untuk terus kuliah dan ingin lulus meskipun mungkin tidak tepat waktu akibat ada kesulitan dalam pengajuan judul skripsi, dan karena adanya beberapa mata kuliah yang harus di ulang.

    Awal tahun 2021 aku akhirnya diberi informasi bahwa di Universitas Pamulang ada lowongan untuk bekerja di perpustakaan. Akhirnya aku coba dan ternyata pada bulan april aku pun dipanggil untuk mulai magang disana selama 3 bulan. Sejak saat itu hingga sekarang, aku akhirnya menetap menjadi karyawan di perpustakaan Universitas Pamulang. Dari mulai bekerja di perpustakaan, fokus untuk kuliah pun mulai kembali menjadi prioritasku, meskipun telah puluhan judul aku coba untuk skripsi, tapi ternyata belum ada satu pun yang lolos dan diterima. Pada akhir bulan juli, disaat hubungan aku bersama istri mulai renggang akibat kurangnya kesepahaman antar keluarga, aku pun akhirnya dipertemukan dengan seseorang yang secara tidak sengaja menjadi pacarku berikutnya. Mungkin, ini aneh, aku yang telah berumah tangga dan hampir diambang kehancuran ini bisa-bisanya tertarik dengan seseorang yang baru aku kenal.

    tapi hati siapa yang tahu, semua ini terjadi bukan karena kehendak yang aku ada-adakan, ini semua terjadi seakan mengalir begitu saja. Pada awal tahun 2022, aku telah resmi berpisah dengan istri yang selama 5 tahun menemaniku dalam suka dan duka, ini terjadi bukanlah karena orang yang saat itu hadir dalam hidupku, tapi ini semua memang aku lakukan dengan sadar dan hati yang terbuka. Ternyata itu pun tidak serta merta membuat aku lebih tenang, karena saat persuratan diurus, keluarga mantan istriku pun menggugat kembali. Akhirnya pada bulan Juni, sidang perceraian itu pun harus kembali dilakukan. Setelah sidang untuk yang kedua kalinya, kami pun tetap berpisah dan persuratan pun selesai kami urus sampai tuntas.

    Orang yang baru hadir dalam hidupku ini telah banyak membantuku dalam urusan perkuliahan, dari akhir 2021. Saat itu, dia telah berusaha mencarikan solusi dalam pengajuan judul skripsi yang sulit untuk aku lewati. Kemudian,  pada bulan maret 2022, dia pun memberikan sebuah kontak jasa skripsi yang telah iya hubungi untuk berkonsultasi. Meskipun berat, akhirnya aku pun menghubungi kontak tersebut dan membayar jasanya untuk mendapatkan rekomendasi judul skripsi yang relevan.

    Setelah mendapatkan rekomendasi dari sana, akhirnya aku pun berhasil memasukan satu dari 25 judul yang diajukan, dan mulai bimbingan sejak bulan april, kemudian sidang pada bulan juli, dan akhirnya wisuda sekaligus menerima ijazah pada bulan februari 2023. Suka-duka bersama kami lewati sejak dia kuliah di kota bandung pada tahun 2021, kemudian pindah dan lanjut kuliah di Universitas yang sama denganku, tetapi dengan jurusan yang berbeda. Sampai  saat ini. aku sangat berterima kasih atas bantuan yang dia berikan, aku pun tidak tahu dengan apa bisa membalas jasanya yang berarti itu. Akan tetapi, kini kami pun telah berbeda jalan dalam menentukan arah di dunia percintaan. Ya, aku sudah terlalu lelah dan tua untuk mulai menata kembali hati dan percintaan ini. Entah aku akan sendiri selama-lamanya, atau mungkin akan ada cinta lain yang kembali menghidupkan hati yang lelah ini. Saat ini, aku hanya akan fokus pada pekerjaan dan perkembangan anakku yang dirawat oleh neneknya di kampung. Biarlah hidup seperti ini, tapi aku merasa tenang dan nyaman dalam menjalani aktivitasku.

     

     

    Kreator : Ade Yayang Latifah

    Bagikan ke

    Comment Closed: 10 Kisah Sukses Disabilitas Netra Dalam Mengatasi Segala Rintangan Dalam Kehidupan (Bagian 2)

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Menurut Stephen Covey Manusia Memiliki Kebutuhan Dasar, Kecuali? a. To Live b. To Love c. To Listen d. To Leave the Legacy Jawaban: c. To Listen Menurut Stephen Covey Manusia Memiliki Kebutuhan Dasar, Berikut Pembahasannya: Stephen Covey, seorang penulis dan konsultan manajemen terkenal, dalam karya-karyanya sering membahas tentang kebutuhan dasar manusia. Dalam bukunya yang terkenal, […]

      Jun 25, 2024
    • Hari sudah menunjukkan pukul 14.30. Suasana di sekolah tempat Ustadz Hamdi mengabdikan diri sudah mulai sepi. Anak-anak sudah banyak yang pulang. Ustadz Hamdi masih duduk di meja kerjanya sambil memeriksa satu persatu tugas murid-muridnya. Saat itu tiba-tiba HP Ustadz Hamdi berdering “Kriiing, kriiing, kriiing…”  “Halo…., Assalamu alaikum !”  “Wa alaikum salam. Ini Lisa, pak Ustadz.” […]

      Jun 06, 2024
    • Aku adalah teman sekelas Sky di SMP, kami berada dikelas yang sama selama 3 tahun. Sekarang setelah masuk SMA kami berada di sekolah dan kelas yang sama. Sky selalu menjadi orang terpopuler di sekolah, Sky tinggi,  tampan, dan sangat ramah. Namun sayangnya aku merasa dia selalu dingin hanya padaku, aku bahkan tidak tau alasan dibalik […]

      Jun 10, 2024
    • Mahaga Belom Bahadat adalah bahasa Dayak Ngaju yang mempunyai makna yaitu menjaga kehidupan yang saling menghargai, menghormati serta menjunjung tinggi kehidupan Adat Istiadat maupun tradisi kearifan lokal di wilayah yang kita tempati. Era zaman sekarang ini sudah banyak sekali para generasi yang melupakan prinsif-prinsif hidup yang telah dulu ditinggalkan para leluhur(nenek moyang) kita, padahal banyak […]

      Jun 02, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021