Raka mengusap layar ponsel seraya berkata, “Fix deh, gue butuh self-care hari ini. Udah stress banget dari kemarin, Tara. Liat deh Sofia, dia baru share teknik meditasi baru yang katanya bisa ngusir semua overthinking dalam lima menit.”
Tara mendongak dari buku yang ia baca, “Oh, yang lima menit itu? Hmmm… Gue pernah denger. Namanya ‘5-Minute Miracle Meditasi’. Kayaknya lebih ajaib dari sapu terbang Harry Potter.”
Raka tertawa kecil, “Hahaha, iya! Sofia bilang, habis meditasi itu, overthinking gue bakal lari terbirit-birit. Kayak dapat ancaman bom mental.”
“Gue penasaran, ya, kenapa semua hal sekarang instan. Meditasi? Lima menit. Self-care? Tiga langkah simpel. Bahkan relationship goals cuma perlu foto aesthetic buat feed. Padahal kan, masalah mental itu nggak bisa cuma diusir kayak lalat,” ujar Tara.
Raka tersenyum, sambil kembali menatap ponselnya, “Iya sih, tapi siapa tahu ini jalan pintas menuju kebahagiaan. Gue udah capek sama overthinking soal kerjaan, belum lagi deadline numpuk.”
“Raka, self-care itu bukan makanan siap saji. Kita butuh waktu buat benar-benar ngerasain dampaknya. Menurut penelitian, meditasi itu emang bagus, tapi hasilnya baru kelihatan kalau rutin, bukan kayak benerin Wi-Fi yang lemot,” ujar Tara lagi.
“Wi-Fi yang lemot tuh masalah dunia modern banget. Gue udah meditasi lima menit, eh Wi-Fi malah mati total. Jadi, gimana dong?” sahut Raka.
Tara tertawa, “Coba lo meditasi biar Wi-Fi lo nggak down, mungkin bisa bantu! Eh tapi, serius nih, meditasi lima menit itu cuma buat ngasih lo jeda kecil. Nggak bakal tiba-tiba bikin lo tercerahkan kayak Buddha dalam semalam. Mungkin lo bakal ngerasa lega sebentar, tapi kalau besok-besok lo overthinking lagi, siap-siap aja.”
“Jadi lo bilang Sofia salah dong?” balas Raka.
Tara mengangguk menjawab, “Sofia nggak sepenuhnya salah, tapi dia juga nggak sepenuhnya benar. Otak kita itu kayak komputer tua yang kadang perlu reboot total, bukan cuma di-refresh sebentar. Kita butuh waktu buat rewire pola pikir, dan itu nggak bisa dikejar dalam hitungan menit.”
Raka menghela napas panjang, “Ya, ya… Jadi apa dong solusi jangka panjangnya? Harus meditasi sambil lari marathon, gitu?”
Tara tertawa terbahak-bahak, “Gue nggak bilang lo harus multitasking meditasi sambil lari, Rak. Tapi coba deh pelan-pelan. Mulai dari hal kecil. Meditasi lima menit boleh, tapi combine sama habit lain yang ngebantu lo relax. Misal, matiin notifikasi ponsel lo sebentar, atau baca buku tanpa distraksi layar.”
Raka mendengus, “Matiin notifikasi? Lo tahu kan, gue kayak kehilangan arah hidup kalau notifikasi gue nggak bunyi.”
“Justru itu masalah lo, Rak. Lo udah jadi budak notifikasi! Gue baca studi dari Harvard yang bilang kalau kebiasaan lo mantengin layar terus-terusan tuh bikin otak lo kecanduan dopamine—dan itu penyebab lo overthinking. Mungkin lo butuh detoks digital lebih dari meditasi,” jawab Tara.
Raka menggaruk kepala sambil berkata, “Ya ampun, detoks digital? Lo tahu nggak sih, gue cuma bisa detoks kalau ponsel gue mati total atau nggak ada sinyal. Kalau nggak, jari gue otomatis scroll.”
Tara menghela napas sambil tersenyum, “Kayak gue bilang tadi, lo nggak bisa ngarep keajaiban lima menit buat nyembuhin semua masalah lo. Ini perjalanan panjang, Rak. Dan kadang, jalan keluarnya bukan dari teknologi, tapi dari balik teknologi itu sendiri—yaitu, ngelepas sejenak. Percaya deh.”
Raka melihat ponselnya lagi, “Hmm… Gue coba, deh. Tapi kalau Wi-Fi gue tiba-tiba lemot, lo yang tanggung jawab, ya.”
Tara tertawa dan membalas, “Wi-Fi nggak bisa dibenerin pakai meditasi, Rak! Tapi kalau lo bisa benerin pola pikir lo, itu udah lebih dari cukup.”
Tara masih melanjutkan tertawanya seraya berujar, “Haha, Raka… Lo selalu terobsesi sama ‘mental health hacks‘ yang lo liat di sosmed. Hari ini meditasi, besoknya apa? Minum teh ajaib biar ‘stress free’?”
Sambil menggeleng-gelengkan kepala, Raka menjawab, “Teh ajaib? Jangan meremehkan kekuatan herbal, Ta! Ini bukan teh sembarangan, ada campuran bunga lavender, chamomile, sama daun kelor. Katanya sih bisa bikin pikiran jadi lebih tenang dan… gimana ya… jauh dari overthinking gitu. Lo nggak penasaran?”
Sambil menahan tawa Tara membalas, “Bunga lavender? Duh, gue sih lebih takut jadi zombie karena kebanyakan nyium aroma terapi. Lo emang yakin semua yang lo liat di sosmed tuh valid? Apa jangan-jangan lo korban tren?”
“Tren? Ya ampun, gue ini udah kayak ilmuwan! Gue riset dulu sebelum nyoba. Artikel di Instagram itu, Ta, dikutip langsung dari penelitian Harvard. Lo tau kan, Harvard? Bukan sekadar omongan random di timeline!” sahut Raka.
Tara mengernyitkan dahi, “Harvard? Lo yakin itu bukan sekadar kata ‘Harvard’ yang ditempel biar orang percaya? Sosmed kan pinter banget bikin hal-hal yang nggak penting keliatan penting. Besok-besok ada tips: ‘Cara Mudah Jadi CEO dengan Mandi Air Garam’—dan lo bakal percaya juga?”
Raka tertawa kecil, “Haha, nggak sejauh itu, sih. Tapi, jujur aja, ada benarnya kok. Gue lagi coba detox mental, biar lebih mindful. Lo tau nggak, katanya otak kita itu dibombardir sama informasi setiap detik—kayak file zip yang di-unzip terus-menerus.”
Tara mengangkat alis dan berkata,“Oke, jadi lo sekarang ‘mindful’ karena teh ajaib dan meditasi? Bukannya jadi lebih stres karena nambah ritual yang lo liat dari video-video random?”
Raka, sambil berpikir sejenak, menjawab, “Hmm… lo ada benarnya juga. Kadang gue sampe stres sendiri nyoba semua metode itu. Gue tuh mau tenang, tapi malah makin sibuk mikirin cara buat tenang. Gimana ya?”
Tara tertawa lepas sambil menjawab, “Itu namanya paradoks, Rak. Lo terlalu fokus ngejar ‘ketenangan’ sampai-sampai lo lupa kalau ketenangan tuh nggak bisa dikejar kayak diskon flash sale. Santai aja! Kadang, cara terbaik buat tenang tuh nggak ngelakuin apa-apa. Dan lo nggak perlu bayar buat itu.”
Raka berpikir sebentar kemudian bertanya, “Lo ada poin. Gue udah ngabisin waktu buat meditasi, teh-tehan, afirmasi positif, tapi akhirnya malah makin capek. Lo pikir, ada cara yang lebih simpel?”
Tara, dengan tersenyum bijak, menjawab, “Simpel? Ya, hidup aja. Kadang yang lo butuhin bukan teh lavender atau mantra ‘I’m enough’. Lo butuh ngelakuin hal biasa, kayak ngobrol sama temen tanpa mikir algoritma otak lo lagi ‘rewiring’ atau apa. Hah, manusia sejak zaman batu nggak pake teh-tehan, Rak!”
Raka tertawa keras,“Hah! Bener juga! Manusia gua nggak meditasi sambil nyalain lilin aromaterapi, ya? Mereka cuma makan, tidur, berburu, selesai. Gue butuh lebih banyak gaya hidup manusia gua deh, kayaknya.”
Tara sambil menyindir, menyahut,“Tapi lo tetep bisa nge-post foto teh lo itu di Instagram, kan? Biar lo tetep ‘terlihat’ mindful.”
Raka balas bercanda, “Haha, ya kali! Hidup mindful, tapi likes-nya masih tetep dianggap penting!”
“Eh, jangan gitu dong. Ini penting, apalagi di zaman sekarang. Self-care itu kan bagian dari mental health awareness. Bener nggak, Ravi?” tanya Tara kepada Ravi yang baru saja bergabung.
Ravi menghela napas kemudian menjawab, “Hmm… Awareness, ya? Gue setuju mental health penting, tapi belakangan ini banyak yang salah kaprah. Sekarang banyak orang menganggap awareness itu cuma sebatas nge-post di IG atau nyoba tren baru, padahal di balik itu ada isu yang lebih dalam.”
Sofia yang menyusul datang, tiba-tiba duduk di meja mereka dengan penuh semangat, “Hai, guys! Aku dengar mental health? Oh iya, jangan lupa ikut giveaway aku ya, ada paket detox mind terbaru, bikin pikiran kamu plong dalam seminggu! Dijamin!”
Tara menggoda, “Wah, Sofia! Giveaway-nya bisa bikin semua masalah hilang nggak? Misal utang, drama sama temen, atau bahkan… overthinking sepanjang hari? Ajaib!”
Sofia tertawa kecil, “Ya tentu aja nggak se-instan itu, Tara. Tapi penting kan buat kita aware sama kondisi mental kita? Gue ngerasa, selama kita rajin melakukan ritual-ritual self-care kayak ini, kita bisa lebih sehat secara emosional.”
Ravi mengangguk skeptis, “Self-care memang penting, tapi… gimana caranya kalian tau teknik-teknik yang kalian dapat itu bener-bener membantu? Banyak orang ngikutin tren tanpa ngerti betul apa yang mereka butuhkan. Kesehatan mental bukan cuma soal detox ini itu atau posting kata-kata inspiratif. Itu nggak semudah masak mie instan.”
Raka merasa tertantang, “Wah, Ravi… Lo nggak percaya sama mindfulness yang gue lakuin tiap pagi?”
Ravi menjawab,“Percaya kok, kalau itu emang bikin lo lebih tenang. Tapi mental health juga perlu dukungan profesional kalau ada masalah yang lebih serius. Nggak semua bisa selesai dengan postingan motivasi atau rutinitas self-care. Kesehatan mental itu kayak software yang kadang perlu update, bukan cuma di-refresh.”
Tara mengangguk setuju sambil melipat tangan, “Nah, itu yang gue omongin, Rak. Kadang orang terlalu ngejar tren ‘wellness’ tapi lupa cari bantuan yang bener-bener tepat. Ngejar self-care tapi lupa ngecek ke psikolog, itu kayak ngecek suhu badan pake kamera depan. Nggak nyambung!”
Sofia menyela, “Tapi kan, dengan nge-post hal-hal positif dan ikutan tren, kita juga menyebarkan awareness ke orang lain, kan?”
Ravi tersenyum tipis lalu menjawab, “Iya, tapi kalau yang disebar itu cuma permukaan, kita cuma ngasih ilusi bahwa kesehatan mental itu sekadar soal ‘ngilangin stress’ dengan cara yang singkat. Padahal, yang dibutuhkan seringkali lebih kompleks. It’s not a ‘one-size-fits-all’ solution.”
Raka berpikir keras kemudian menyahut, “Hmm, jadi maksud lo… gue cuma ikut-ikutan tren?”
Ravi segera menjawab, “Bukan cuma lo, Rak. Ini masalah yang lebih besar dari kita semua. Sosial media bikin kita mudah fokus ke hal-hal yang kelihatan keren, tapi sebenernya kita butuh lebih dari sekadar itu. Mental health awareness yang asli itu menyadari kapan kita butuh bantuan, kapan harus berhenti ikut tren, dan bener-bener mendalami diri kita sendiri.”
Sofia menghela napas panjang, “Ya ampun, gue jadi ngerasa semua yang gue lakukan ini nggak berguna… Giveaway gue jadi kayak… meaningless?”
Ravi menjawab, “Nggak gitu, Sof. Justru kita perlu nyadarin orang-orang buat lebih realistis. Gue nggak bilang lo salah, tapi lo bisa ngasih awareness yang lebih mendalam, bukan cuma surface-level tips. Kayak, lo bisa nambahin informasi penting di setiap post, kayak kapan harus cari bantuan profesional, bukan cuma kasih tips kayak ‘minum teh biar rileks.’”
Sambil tertawa kecil Tara menyahut, “Iya, Sof! Pasti lebih keren kalau lo kasih tips ‘kalau teh hijau nggak mempan, coba psikolog hijau!’”
Sofia memandang serius seraya menahan tawa kemudian berkata, “Eh, sounds good! Mungkin gue bisa jadi influencer untuk detoks tren juga. Siapa tau, kali ini lebih berdampak, ya?”
Raka tertawa, “Lo jadi influencer anti-tren, Sof? Lo bisa mulai dengan video tutorial cara uninstall Instagram!”
Tara menjawab, “Wah, jangan-jangan Sofia malah bikin tren baru… ‘Tren melawan tren!’”
Ravi tertawa, “Lo tahu, ironi-nya? Kalau kita mulai gerakan ‘Detox from Trends,’ itu bisa jadi… tren baru!”
Tara bersemangat, “So, gimana kalau kita bikin gerakan baru di sosmed? Detox from Trends—kurangi ikut-ikutan, mulai bener-bener mendalami apa yang kita butuhin buat mental kita sendiri. Mulai dari hal kecil, kayak… log out dari semua platform sosial media selama sehari penuh?”
Raka sambil mengangkat tangan, memberi komentar, “Wow, itu keren! Akhirnya lo ngomong sesuatu yang relatable, Tara! Lo pasti dapet banyak followers… Eh, tapi kan tujuan kita justru untuk berhenti peduli sama followers!”
Sofia menyahut, “Eh, tapi serius… mungkin ini ide bagus. Gue udah kebanyakan ngikutin tren detox ini itu, kenapa nggak cobain tren… nggak ngikutin tren?”
Semua tertawa ringan, tapi jelas-jelas berpikir lebih dalam tentang apa yang baru saja dibahas.
Pesan Moral:
Kadang kita terlalu berharap ‘solusi instan’ buat masalah kompleks. Meditasi lima menit sih oke, tapi kalau Wi-Fi lemot aja nggak bisa dibenerin dalam lima menit, apalagi mental kita!
Self-care bukan kaya ramen instan yang tinggal seduh. Seringkali, yang kita butuhkan bukan teknik kilat dari sosmed, tapi proses jangka panjang—kayak upgrade software otak, bukan sekadar refresh browser.
Kadang kita kejar tren detox dengan nyari teh-teh ajaib. Padahal, zaman manusia gua aja nggak pake teh lavender buat tenang. Yang mereka lakukan? Makan, tidur, dan berburu! Sederhana, kan?
Kalau kamu cuma bisa detoks digital pas sinyal hilang, mungkin itu artinya kamu udah kecanduan lebih dari yang kamu kira. Kadang solusi mental health itu nggak melibatkan teknologi, tapi justru rehat dari teknologi itu sendiri.
Kamu hidup untuk notifikasi atau notifikasi hidup untuk kamu? Kalau notifikasi jadi pusat hidup, mungkin waktunya untuk detoks dopamine. Harvard aja setuju—otak butuh jeda, bukan sekadar terus-terusan dapet likes!
Ngejar self-care tapi nggak ngecek ke psikolog tuh kayak ngukur suhu badan pake kamera depan ponsel. Mungkin kamu butuh alat yang lebih tepat buat bener-bener paham kondisi kesehatan mental kamu.
Ngasih tips positif di sosmed oke, tapi jangan cuma sekadar bikin ‘ilusi’ bahwa masalah mental bisa selesai dengan detox seminggu. Mental health itu perjalanan panjang, bukan lomba lari cepat menuju kebahagiaan.
“Mindful itu Bukan Sekadar Foto Teh di Instagram” Teh lavender dan meditasi pagi nggak langsung bikin kamu tercerahkan dadakan kayak Buddha. Kadang mindfulness itu simple yaitu dengan cara ngobrol sama temen, tanpa mikir algoritma otak kamu yang lagi ‘rewiring.’
Kreator : Adwanthi
Part 15: Warung Kopi Klotok Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]
Part 16 : Alun – Alun Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]
Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]
Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]
Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]
Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]
Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]
Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,, begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]
Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]
Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]
Comment Closed: Asli Peduli? atau Modal Caption?
Sorry, comment are closed for this post.