Desa ku gempar. “Ayahmu mati”. Salah seorang tetangga berucap setengah teriak. Aku hanya termangu sambil bingung, tak tahu harus menjawab apa, atau berbuat apa. Waktu itu usiaku baru berumur empat tahun kurang sedikit. Sekolah SD pun belum, cuma sekali waktu ikut ayah ke madrasah, karena beliau seorang guru.
Aku bergegas setengah berlari ke ruang tengah. Rumah panggung ku terbuat dari papan, baik dinding maupun lantai nya. yang tentu saja kalau ada orang melangkah akan terdengar suara kaki dengan jelas menyentuh lantai. Apalagi waktu itu aku setengah berlari ikut di belakang abang yang menggandeng tanganku. Orang2 yang mengerumuni jenazah ayahku serentak menoleh ke arahku dan abng yang baru datang dengan pandangan memelas.
Mataku menangkap sosok emak yang duduk bersimpuh disamping ayah. Dengan wajah yang tampak tegar walaupun air menggenang di kelopak matanya. Mulut emak tampak berkomat kamit merangkai doa. Perlahan aku mendekati emak, ikut duduk bersimpuh di samping kirinya. Emak perlahan menarik tubuh kecilku ke pangkuannya. Aku menangis terisak, walaupun agak bingung aku memaknai tangisan itu, karena belum sepenuhnya mengerti arti kehilangan. Tidak lama, perlahan ku angkat kepalaku dari pangkuan emak, kakak dan abangku yang baru pulang sekolah sambil berlari bersimpuh di samping jenazah ayah sambil menangis sesenggukan.
Orang-orang yang bertakziyah semakin banyak berdatangan, bahkan tetangga desa juga banyak yang datang. Ayah yang seorang guru ngaji memang banyak dikenal. Beliau banyak mengajar di surau dan madrasah. Bahkan hampir setiap sore sampai malam setelah isya. Mulai dari ilmu fiqih, aqidah, syariah pun beliau ajarkan. Beliau juga dikenal pembimbing tasawuf, mengajarkan bagaimana membersihkan hati (tazkiyatun nafs). Aku yang masih kecil tidak tau persis dari mana beliau belajar. Tapi dari orang-orang yang belajar dengan ayah, aku dengar mereka simpatik dan senang dengan cara mengajar ayah yang tegas, mendetail, namun sekali waktu diselingi cerita-cerita para Nabi, sahabat, dan para ulama yang sholeh. Bahkan sekali waktu beliau melucu dengan gayanya yang khas, seperti cerita Abu Nawas, Robi’ah Al Adawiyah, dan beberapa tokoh sufi kharismatik lainnya.
Sebagian pentakziyah sedang menyiapkan peralatan untuk memandikan jenazah, dari ember yang sudah terisi penuh air, gayung, lalu sabun dan wewangian. Juga tampak kembang aneka warna yang dicampurkan membentuk warna warni yang indah, menambah suasana sakral, atau bahkan bisa dikatakan mencekam. Di ruangan sebelah terlihat pak kaum dibantu dengan dua orang lainnya menyiapkan kain kafan. Sementara para jamaah ibu-ibu membaca Yasin diimami seorang ustadz sahabat dari ayah. Emak masih di posisi yang sama sambil memegang buku Yasin yang sudah usang mengikuti jamaah ibu-ibu lainnya membacakan Yasin buat ayah. Sekali waktu beliau membetulkan kumbut (selendang) yang menutupi rambutnya yang mulai banyak bertabur uban.
Tiba2 emak berteriak! Semua jamaah menengok ke arah emak. Beliau terlihat mengusap wajah almarhum ayah. Berulang. Sambil menyeka air mata, emak mengguncang-guncang dada ayah. Orang- orang yang ada disekitar jenazah ayah kebingungan, termasuk aku dan abang yang ada di sisi emak. perlahan aku memalingkan wajah ke jenazah ayah. Aku terkesiap, seakan tak percaya ku lihat tampak bibir ayah tersenyum seperti belum meninggal. Anehnya lagi perlahan matanya terbuka sedikit. Aku tertegun, tak tahu apa yg harus aku lakukan. Emak berucap, “ayah belum mati”, sambil perlahan memeluk tubuh ayah. Orang-orang semakin keheranan. Ada yang mendekat, bahkan ada yg seolah melompat ingin mengetahui apa yg terjadi.
Orang-orang yang berkerumun membuat suasana jadi semakin gaduh. Tak terkecuali aku. Ku beranikan diri mendekat ke wajah ayah. Ku cium pipi beliau yang putih. Air mataku menetes di wajahnya yang pucat. Kurasakan tangan beliau perlahan memelukku. Ku balas pelukan ayah, kembali mengusap pipinya.
Sesaat kemudian, kami lihat jenazah ayah perlahan bangun, lalu duduk. Para jamaah takziyah ada yang menjerit, juga ada yg lari keluar karena takut. Antara percaya dan tidak, aku dan Abang serta kakak serta Merta memeluk ayah, sambil menangis bersamaan. Ustadz kawan ayah yang semula mengimami pembacaan Yasin segera mengucap Takbir “Allohu Akbar”, sambil menenangkan para jamaah takziyah. Tak lama kemudian beliau menghampiri ayah, lalu mengusapkan tangannya ke wajah ayah. Tampak mulutnya komat Kamit membaca sholawat. Kemudian beliau meminta segelas air. Abang ku segera bergegas ke belakang, lalu kembali dengan membawa segelas air putih hangat dan diserahkan kepada ustadz. Ustadz Imron mendekatkan air putih itu ke mulut ayah, tampak khusyuk beliau membaca ayat-ayat Qur’an, kemudian mendekatkan gelas tersebut ke bibir ayah sambil memberi isyarat agak ayah meminum air tersebut.
Ayah meminum air tersebut beberapa Teguk. Wajah dan bibir beliau yang semula pucat, perlahan tampak segar. Beberapa saat kemudian ustadz Imron memeluk tubuh ayah. Tampak air mata beliau berlinang, dibalas ayah dengan pelukan juga. Persahabatan keduanya memang sangat kental, bisa dikatakan sahabat seperjuangan.
Perlahan kegaduhan para pentakziyah mulai mereda. Mereka hanyut dalam pikirannya masing-masing. Tampak dari wajah mereka sejuta pertanyaan yang entah apa jawabannya. Ada yang saling berbisik, tak jelas apa yang mereka bicarakan, ada yang tetap asyik menikmati hisapan rokok sambal nongkrong di pinggir jalan, ada juga yang perlahan beranjak pulang.
Setelah keadaan mulai tenang, Ustadz Imron meminta semua orang untuk berkumpul di ruang tamu. Dengan suara yang masih lemah, ayah mulai bercerita. Beliau menjelaskan bahwa selama “kematian” sementaranya, ia mengalami perjalanan spiritual yang luar biasa. Ayah menceritakan bagaimana ia bertemu dengan para ulama besar yang telah mendahuluinya, dan bagaimana ia diberi kesempatan kedua untuk kembali ke dunia dengan tujuan menyelesaikan misinya sebagai pendidik dan pembimbing spiritual.
“Saya diberi amanah untuk menyampaikan pesan bahwa kita harus lebih memperhatikan kebersihan hati dan keikhlasan dalam beribadah,” ujar ayah dengan mata berkaca-kaca. “Kehidupan dunia ini hanyalah sementara, dan kita harus mempersiapkan diri sebaik-baiknya untuk kehidupan yang kekal.”
Cerita ayah membuat semua yang hadir terdiam, merenungkan makna kehidupan dan kematian. Beberapa di antara mereka mulai menangis, terharu dan tersadar akan pentingnya introspeksi diri.
Sejak kejadian itu, desa kami berubah. Orang-orang menjadi lebih rajin beribadah dan belajar agama. Madrasah dan surau selalu penuh dengan jamaah yang ingin mendengarkan ajaran ayah. Bahkan, banyak orang dari desa-desa tetangga yang datang untuk belajar.
Aku yang saat itu masih kecil, tumbuh dengan pemahaman bahwa kehidupan dan kematian adalah misteri yang harus dihormati. Pengalaman ayah menjadi pelajaran berharga bagi kami sekeluarga dan seluruh masyarakat desa.
Bertahun-tahun kemudian, ketika aku sudah dewasa dan menjadi guru seperti ayah, aku sering merenung tentang kejadian itu. Aku sadar bahwa peristiwa kembalinya ayah dari “kematian” bukan sekadar keajaiban, tapi juga sebuah tanggung jawab. Tanggung jawab untuk menjalani hidup dengan lebih bermakna, untuk selalu berbuat baik, dan untuk menjaga kebersihan hati.
Kini, setiap kali aku mengajar, aku selalu teringat wajah ayah yang tersenyum setelah “kembali”. Senyum itu seolah mengingatkanku bahwa hidup ini adalah anugerah yang harus dimanfaatkan sebaik-baiknya. Dan bahwa kematian, bagaimanapun menakutkannya, hanyalah pintu menuju kehidupan yang lebih abadi.
Desa kami yang dulu gempar karena “kematian” ayah, kini dikenal sebagai desa para ulama dan orang-orang saleh. Semua itu berkat pelajaran berharga dari pengalaman ayah yang tak terlupakan itu. Dan kami, keluarganya, selalu bersyukur atas kesempatan kedua yang diberikan kepada ayah, yang pada akhirnya menjadi berkah bagi banyak orang.
Kreator : Mahesa Arjuna
Comment Closed: Ayah Mati Suri
Sorry, comment are closed for this post.