KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Bersambung
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Madhoe Retna
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Ayah Mati Suri

    Ayah Mati Suri

    BY 17 Okt 2024 Dilihat: 143 kali
    Ayah Mati Suri_alineaku

    Desa ku gempar. “Ayahmu mati”. Salah seorang tetangga berucap setengah teriak. Aku hanya termangu sambil bingung, tak tahu harus menjawab apa, atau berbuat apa. Waktu itu usiaku baru berumur empat tahun kurang sedikit. Sekolah SD pun belum, cuma sekali waktu ikut ayah ke madrasah, karena beliau seorang guru.

     

    Aku bergegas setengah berlari ke ruang tengah. Rumah panggung ku terbuat dari papan, baik dinding maupun lantai nya. yang tentu saja kalau ada orang melangkah akan terdengar suara kaki dengan jelas menyentuh lantai. Apalagi waktu itu aku setengah berlari ikut di belakang abang yang menggandeng tanganku. Orang2 yang mengerumuni jenazah ayahku serentak menoleh ke arahku dan abng yang baru datang dengan pandangan memelas. 

     

    Mataku menangkap sosok emak yang duduk bersimpuh disamping ayah. Dengan wajah yang tampak tegar walaupun air menggenang di kelopak matanya. Mulut emak tampak berkomat kamit merangkai doa. Perlahan aku mendekati emak, ikut duduk bersimpuh di samping kirinya. Emak perlahan menarik tubuh kecilku ke pangkuannya. Aku menangis terisak, walaupun agak bingung aku memaknai tangisan itu, karena belum sepenuhnya mengerti arti kehilangan. Tidak lama, perlahan ku angkat kepalaku dari pangkuan emak, kakak dan abangku yang baru pulang sekolah sambil berlari bersimpuh di samping jenazah ayah sambil menangis sesenggukan. 

     

    Orang-orang yang bertakziyah semakin banyak berdatangan, bahkan tetangga desa juga banyak yang datang. Ayah yang seorang guru ngaji memang banyak dikenal. Beliau banyak mengajar di surau dan madrasah. Bahkan hampir setiap sore sampai malam setelah isya. Mulai dari ilmu fiqih, aqidah, syariah pun beliau ajarkan. Beliau juga dikenal pembimbing tasawuf, mengajarkan bagaimana membersihkan hati (tazkiyatun nafs). Aku yang masih kecil tidak tau persis dari mana beliau belajar. Tapi dari orang-orang yang belajar dengan ayah, aku dengar mereka simpatik dan senang dengan cara mengajar ayah yang tegas, mendetail, namun sekali waktu diselingi cerita-cerita para Nabi, sahabat, dan para ulama yang sholeh. Bahkan sekali waktu beliau melucu dengan gayanya yang khas, seperti cerita Abu Nawas, Robi’ah Al Adawiyah, dan beberapa tokoh sufi kharismatik lainnya.

     

    Sebagian pentakziyah sedang menyiapkan peralatan untuk memandikan jenazah, dari ember yang sudah terisi penuh air, gayung, lalu sabun dan wewangian. Juga tampak kembang aneka warna yang dicampurkan membentuk warna warni yang indah, menambah suasana sakral, atau bahkan bisa dikatakan mencekam. Di ruangan sebelah terlihat pak kaum dibantu dengan dua orang lainnya menyiapkan kain kafan. Sementara para jamaah ibu-ibu  membaca Yasin diimami seorang ustadz sahabat dari ayah. Emak masih di posisi yang sama sambil memegang buku Yasin yang sudah usang mengikuti jamaah ibu-ibu lainnya membacakan Yasin buat ayah. Sekali waktu beliau membetulkan kumbut (selendang) yang menutupi rambutnya yang mulai banyak bertabur uban.

     

    Tiba2 emak berteriak!  Semua jamaah menengok ke arah emak. Beliau terlihat mengusap wajah almarhum ayah. Berulang. Sambil menyeka air mata, emak mengguncang-guncang dada ayah. Orang- orang yang ada disekitar jenazah ayah kebingungan, termasuk aku dan abang yang ada di sisi emak. perlahan aku memalingkan wajah ke jenazah ayah. Aku terkesiap, seakan tak percaya ku lihat tampak bibir ayah tersenyum seperti belum meninggal. Anehnya lagi perlahan matanya terbuka sedikit. Aku tertegun, tak tahu apa yg harus aku lakukan. Emak berucap, “ayah belum mati”, sambil perlahan memeluk tubuh ayah. Orang-orang semakin keheranan. Ada yang mendekat, bahkan ada yg seolah melompat ingin mengetahui apa yg terjadi. 

     

    Orang-orang yang berkerumun membuat suasana jadi semakin gaduh. Tak terkecuali aku. Ku beranikan diri mendekat ke wajah ayah. Ku cium pipi beliau yang putih. Air mataku menetes di wajahnya yang pucat. Kurasakan tangan beliau perlahan memelukku. Ku balas pelukan ayah, kembali mengusap pipinya.

     

    Sesaat kemudian, kami lihat jenazah ayah perlahan bangun, lalu duduk. Para jamaah takziyah ada yang menjerit, juga ada yg lari keluar karena takut. Antara percaya dan tidak, aku dan Abang serta kakak serta Merta memeluk ayah, sambil menangis bersamaan. Ustadz kawan ayah yang semula mengimami pembacaan Yasin segera mengucap Takbir “Allohu Akbar”, sambil menenangkan para jamaah takziyah. Tak lama kemudian beliau menghampiri ayah, lalu mengusapkan tangannya ke wajah ayah. Tampak mulutnya komat Kamit membaca sholawat. Kemudian beliau meminta segelas air. Abang ku segera bergegas ke belakang, lalu kembali dengan membawa segelas air putih hangat dan diserahkan kepada ustadz. Ustadz Imron mendekatkan air putih itu ke mulut ayah, tampak khusyuk beliau membaca ayat-ayat Qur’an, kemudian mendekatkan gelas tersebut ke bibir ayah sambil memberi isyarat agak ayah meminum air tersebut. 

     

    Ayah meminum air tersebut beberapa Teguk. Wajah dan bibir beliau yang semula pucat, perlahan tampak segar. Beberapa saat kemudian ustadz Imron memeluk tubuh ayah. Tampak air mata beliau berlinang, dibalas ayah dengan pelukan juga. Persahabatan keduanya memang sangat kental, bisa dikatakan sahabat seperjuangan. 

     

    Perlahan kegaduhan para pentakziyah mulai mereda. Mereka hanyut dalam pikirannya masing-masing. Tampak dari wajah mereka sejuta pertanyaan yang entah apa jawabannya. Ada yang saling berbisik, tak jelas apa yang mereka bicarakan, ada yang tetap asyik menikmati hisapan rokok sambal nongkrong di pinggir jalan, ada juga yang perlahan beranjak pulang.

    Setelah keadaan mulai tenang, Ustadz Imron meminta semua orang untuk berkumpul di ruang tamu. Dengan suara yang masih lemah, ayah mulai bercerita. Beliau menjelaskan bahwa selama “kematian” sementaranya, ia mengalami perjalanan spiritual yang luar biasa. Ayah menceritakan bagaimana ia bertemu dengan para ulama besar yang telah mendahuluinya, dan bagaimana ia diberi kesempatan kedua untuk kembali ke dunia dengan tujuan menyelesaikan misinya sebagai pendidik dan pembimbing spiritual.

    “Saya diberi amanah untuk menyampaikan pesan bahwa kita harus lebih memperhatikan kebersihan hati dan keikhlasan dalam beribadah,” ujar ayah dengan mata berkaca-kaca. “Kehidupan dunia ini hanyalah sementara, dan kita harus mempersiapkan diri sebaik-baiknya untuk kehidupan yang kekal.”

    Cerita ayah membuat semua yang hadir terdiam, merenungkan makna kehidupan dan kematian. Beberapa di antara mereka mulai menangis, terharu dan tersadar akan pentingnya introspeksi diri.

     

    Sejak kejadian itu, desa kami berubah. Orang-orang menjadi lebih rajin beribadah dan belajar agama. Madrasah dan surau selalu penuh dengan jamaah yang ingin mendengarkan ajaran ayah. Bahkan, banyak orang dari desa-desa tetangga yang datang untuk belajar.

    Aku yang saat itu masih kecil, tumbuh dengan pemahaman bahwa kehidupan dan kematian adalah misteri yang harus dihormati. Pengalaman ayah menjadi pelajaran berharga bagi kami sekeluarga dan seluruh masyarakat desa.

     

    Bertahun-tahun kemudian, ketika aku sudah dewasa dan menjadi guru seperti ayah, aku sering merenung tentang kejadian itu. Aku sadar bahwa peristiwa kembalinya ayah dari “kematian” bukan sekadar keajaiban, tapi juga sebuah tanggung jawab. Tanggung jawab untuk menjalani hidup dengan lebih bermakna, untuk selalu berbuat baik, dan untuk menjaga kebersihan hati.

     

    Kini, setiap kali aku mengajar, aku selalu teringat wajah ayah yang tersenyum setelah “kembali”. Senyum itu seolah mengingatkanku bahwa hidup ini adalah anugerah yang harus dimanfaatkan sebaik-baiknya. Dan bahwa kematian, bagaimanapun menakutkannya, hanyalah pintu menuju kehidupan yang lebih abadi.

     

    Desa kami yang dulu gempar karena “kematian” ayah, kini dikenal sebagai desa para ulama dan orang-orang saleh. Semua itu berkat pelajaran berharga dari pengalaman ayah yang tak terlupakan itu. Dan kami, keluarganya, selalu bersyukur atas kesempatan kedua yang diberikan kepada ayah, yang pada akhirnya menjadi berkah bagi banyak orang.

     

     

    Kreator : Mahesa Arjuna

    Bagikan ke

    Comment Closed: Ayah Mati Suri

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Dalam dunia pendidikan modern, pendekatan sosial emosional semakin banyak dibahas. Salah satu model yang mendapatkan perhatian khusus adalah **EMC2 sosial emosional**. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan Definisi EMC2 sosial emosional? Mengapa pendekatan ini penting dalam pembelajaran? Mari kita bahas lebih lanjut untuk memahami bagaimana EMC2 berperan dalam perkembangan siswa secara keseluruhan. Definisi EMC2 Sosial […]

      Okt 02, 2024
    • Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]

      Sep 18, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021