Setiap Kamis aku selalu berpuasa. Sambil menunggu saatnya buka puasa, aku tidur-tiduran. Di luar langit semakin gelap. Petir saling berlomba memancarkan kilatan warna. Gemuruh angin semakin kuat. Rintik-rintik hujan pun semakin gede. Hatiku deg-degan, takut terjadi sesuatu.
“Ma … air gede,” kata anakku yang kecil.
“Mas ke mana, De?” tanyaku sambil jalan ke pintu depan.
“Mas ke garasi, takut air tambah naik,” jawab anakku.
Aku dan anakku memasang plat di pintu, kemudian pinggir-pinggirnya diberi tanah liat supaya tidak rembes. Di depan rumah air mulai naik. Air sudah sampai teras. Aku dan anakku mulai panik.
“Sudah De. Air semakin tinggi. Cepat masuk rumah!” ajakku pada si kecil.
Dalam hitungan beberapa menit air begitu cepat naik, merendam rumah-rumah di kampungku. Di rumahku mencapai 50 cm. Barang-barang sudah dinaikkan ke tempat yang lebih tinggi. Suamiku dipindahkan ke kamar tengah yang sudah ditinggikan/diurug. Sambil beres-beres, aku khawatir karena anakku yang gede belum pulang dari garasi.
Di jalan gang depan rumah, air sudah sepinggang orang dewasa. Aku berusaha tenang. Sambil menunggu si sulung. Setiap orang yang lewat rumah, selalu kutanya berapa besar air di sungai. Ternyata air sudah luber, melewati jembatan dan kirmir pinggir sungai.
“Bu, pinggir sungai RW 17 jebol. Makanya, air semua tumpah ke kampung kita, “kata tetanggaku yang lewat.
“Pinggir sungai sebelah mana, Pak?” tanyaku.
“Itu belakang SMP, dekat jembatan Bu,”jawabnya.
“Ya Allah…mudah-mudahan hujan cepat berhenti dan air pun cepat surut,”batinku.
Di mulut gang, tampak anakku berjalan menerjang air bah. Dia melawan arus air bah. Berjalan sambil berpegangan ke pagar-pagar tetangga. Rumahku ke jalan raya sekitar 50 meter. Tapi terasa lama sekali menunggu si sulung sampai depan rumah.
“Hati-hati Mas. Pegangan yang kuat!” teriakku.
Dia hanya mengangguk-angguk. “Ya Allah…berilah kekuatan dan keselamatan kepada anakku.”
Aku terus berdoa dan memandang perjuangan anakku melawan arus. Ternyata untuk melewati jalan gang pun begitu sulit, memerlukan perjuangan yang berat.
Rumah pak ustad, rumah Eneng, dan rumah pakde Kamsidi telah terlewati. Tinggal dua rumah lagi. Aku terus berdoa dan memberi semangat kepada anakku. Rumah mbak Atun terlewati. Tinggal rumah teh Lia. Alhamdulillah…akhirnya sampai juga.
“Ma…airnya gede dan arusnya kencang sekali. Mas hampir terbawa arus. Untung cepat-cepat memegang pagar rumah pak ustad,” katanya.
“Alhamdulillah selamat sampai rumah Mas. Cepat ganti baju dan makan. Takut masuk angin!’ perintahku.
Aku duduk termangu di pintu kamar melihat keadaan rumah seperti kolam. Tiba-tiba aliran listrik pun padam. Sampai pukul 12 malam air belum surut. Bahkan pukul 1 malam, air nambah 2 sentian. Aku hanya bisa berdoa dan pasrah menghadapi musibah banjir ini.
Anakku yang kecil mulai menguap. Saya menyuruhnya untuk tidur saja. Sementara si sulung bolak-balik saja mengontrol debit air. Akhirnya, pukul 2 dini hari air mulai turun sekitar 5 cm. Kuputuskan untuk istirahat. Mudah-mudahan saat terbangun air sudah pergi meninggalkan rumahku.
Pukul 4 pagi aku terjaga dari tidurku. Lampu masih mati. Air pun masih betah dalam rumah. Alhamdulillah air mulai turun sekitar 30 cm.
Setelah solat subuh, aku mempersiapkan untuk sarapan pagi. Aku masak di atas , tempat jemur pakaian. Alhamdulillah persediaan bahan makanan masih ada. Air masih utuh 1 torrent.
Sampai tengah hari, air masih bertahan di dalam rumah. Listrik pun belum hidup kembali. Persediaan baterai hp mulai menipis. Anak-anakku memutuskan ke SMP untuk ikut ngecas. Sambil belanja mencari bahan=bahan pokok, takut banjir bertahan lama di kampungku.
Hampir pukul 4 sore mereka kembali ke rumah. Mereka laporan sambil melihatkan foto dan video sekitar jembatan. Benteng/kirmir dekat jembatan jebol. Perumahan SD 2 rumah roboh. Rumah-rumah penduduk sekitar jembatan banyak yang rusak. Mereka dievakuasi sampai pukul 1 dini hari. Tempat pengungsian di SMP. Kebetulan anak-anak masih libur sekolah semester ganjil.
Melihat foto dan video sangat memprihatinkan. Terbayang bagaimana kaget dan paniknya kedatangan air tiba-tiba. Mereka tidak bisa menyelamatkan barang-barang. Dapat keluar dari rumah pun bersyukur. Ada yang sampai membobol langit-langit langsung naik ke genting. Karena air menenggelamkan rumah mereka.
Di rumahku juga sampai pukul 5 sore belum surut-surut. Aroma tidak sedap mulai tercium. Aku dan anak-anakku mulai membuang sampah-sampah yang terdampar di teras. Sekalian mengurangi lumpur ada sekitar 20 cm tebalnya di teras itu.
Menjelang magrib air pun meninggalkan rumah kami. Cepat-cepat kami membersihkan lumpur dalam rumah, lumayan tebal juga. Walaupun sudah dibenteng takesi pintu depan, tetap air masuk dari pembuangan kamar mandi.
Alhamdulillah pukul setengah 8 malam rumah sudah beres. Namun jalan gang depan rumah masih ada genangan air. Mudah-mudahan tidak terjadi banjir susulan.
Keesokkan harinya air sudah pada pergi. Warga bahu -membahu, gotong royong membersihkan lumpur dan sampah sisa-sisa banjir. Banyak bantuan dan alat berat yang diturunkan. BPBN, PMI, TNI, POLRI, dan elemen –elemen masyarakat lainnyalangsung terjunke TKP. Mereka memberi bantuan kepada korban banjir.
Tiga hari aliran listrik baru menyala lagi. Kami terbantu. Bisa mengalirkan air bersih dari pompa air. Kami bisa membersihkan rumah dengan air bersih. Selama padam listrik, kebutuhan air menampung dari air hujan. Untuk minum ada bantuan dari PDAM .
Selam 2 minggu masa tanggap darurat bencana banjir. Para pejabat pemerintahan, aparat, dan anggota legislatif langsung ke TKP dan turun tangan membantu korban banjir.
Banjir bandang di Kampungku melukiskan cerita pilu. Beberapa keluarga kehilangan rumahnya. Banyak keluarga kehilangan harta bendanya. Bahkan dokumen-dokumen penting terbawa arus entah kemana.
Banjir bandang telah berlalu. Semoga tidak terulang kembali. Kami ikhlas menerima musibah ini. Tuhan tidak akan memberikan cobaan diluar kemampuan umatnya.
Kreator : N. Ai Kusumawati
Comment Closed: Banjir Bandang
Sorry, comment are closed for this post.