Pagi itu, matahari merambat pelan di balik tirai kamar, seperti jemari hangat yang menyibak mimpi. Seberkas cahayanya jatuh di kelopak mataku, membangunkanku dari sisa kantuk. Di luar, suara khas Vespa biru Bapak muncul, lengking halus diikuti dengung rendah, menggema lembut sampai ke lantai kamar dan dadaku sekaligus.
Aku melompat turun dari ranjang.
“Mau ikut ke Pasar Gede, nggak?” panggil Bapak. Suaranya selalu terasa seperti selimut tipis yang menenangkan.
“Tentu, Pak. Tunggu sebentar ya! Aku mandi sebentar, aku ikut!” seruku, setengah berlari ke kamar mandi.
Air dingin membasuh pipi, tetapi semangat ke Pasar Gede memberiku kehangatan yang sudah lebih dulu mengusir dingin itu. Hari Minggu ku tandai dengan bintang merah di kalender pikiranku. Hari istimewa, hari berburu cerita. Dalam benakku, berkelebat sampul-sampul warna-warni yang belum kutahu isinya. Apakah kali ini kisah penyihir cilik, petualangan detektif sekolah, atau dongeng dari negeri yang tak ada di peta? Jantungku berdegup lebih cepat tiap kali membayangkan bagaimana rasanya membuka halaman pertama buku yang akan dibelikan Bapak.
Begitu mesin Vespa kembali bergetar, Ibu sudah duduk manis di jok belakang, merapikan rambutnya dengan jari dan memeriksa isi tas kecil yang selalu ia bawa ke pasar. Aku naik ke bagian depan, tangan mungilku memeluk stang logam yang dingin. Angin pagi mengusap wajah, membawa aroma roti tawar yang baru keluar dari tungku, bercampur bau tanah basah selepas siraman Subuh. Jalan kota masih lengang, belum dihimpit gedung tinggi atau klakson yang tak sabar, sehingga deru Vespa kami menggema lepas, seakan menuliskan lagu petualangan di udara. Setiap meter yang kami lewati terasa seperti halaman yang dibuka. Aku menoleh ke Bapak. Matanya menyala di balik kaca helm kesayangannya, helm khas milik anggota POLRI. Aku tahu, di balik tatapan itu tersimpan janji tak terucap. Di antara gerobak sayur dan kios rempah nanti, akan ada satu buku yang menunggu untuk pulang bersama kami.
Sesampainya di Pasar Gede, Ibu akan segera masuk ke dalam pasar, membawa tas belanja besar untuk membeli kebutuhan dapur, seperti sayur mayur segar, ikan segar, tempe dan tahu, minyak goreng, dan bumbu dapur. Langkahnya mantap, tahu benar arah yang dituju. Aku sempat melirik ke arahnya sejenak, lalu segera kembali menatap Bapak.
“Pak, ayo kita ke toko buku!” kataku dengan mata berbinar dan suara yang hampir tak bisa disembunyikan dari getar kegembiraan.
Bapak tersenyum sambil menggandeng tanganku. “Ayo. Tapi kamu jangan lari-lari ya, nanti kepisah.”
Genggaman tangan Bapak hangat dan kokoh, tapi ada gemetar kecil di hatiku yang tak bisa diam. Kami menyusuri lorong-lorong pasar yang mulai ramai oleh pembeli. Kain sarung bergelantungan, keranjang rotan tertumpuk tinggi, dan suara para pedagang saling bersahutan menawarkan dagangan. Aroma rempah, ikan asin, dan kue pasar bercampur menjadi satu. Tapi semua itu seperti hanya latar kabur dalam lukisan besar.
Aku tak begitu memperhatikan itu. Dalam benakku, hanya ada satu tujuan. Langkahku terasa lebih cepat setengah detik dari Bapak, meski tangannya tetap menggenggamku erat. Jantungku berdetak semakin kencang saat kami mendekati sisi barat pasar, tempat toko buku langganan kami berdiri, bersebelahan dengan lapak penjual seragam sekolah.
Toko buku itu kecil dan penuh sesak, seakan tak cukup ruang untuk menampung segala cerita di dalamnya. Tapi justru di sanalah letak keajaibannya. Bau khas kertas yang sedikit apek, suara lembaran dibalik perlahan, dan deretan buku-buku yang ditata rapi membuatku merasa seperti sedang memasuki dunia lain. Aku menahan napas sejenak di ambang pintu, seperti seseorang yang hendak masuk ke negeri impian.
Di balik meja kayu tempat menumpuk buku-buku baru, berdiri seorang pemuda berwajah ramah dan berkulit sawo matang. Ia mengenal kami. Ia tahu, aku bukan sekadar anak kecil yang numpang lewat. Aku adalah pemburu cerita. Dan hari itu, aku siap menemukan satu lagi kisah yang akan kubawa pulang dan kubaca berkali-kali hingga menghafal setiap halamannya.
“Assalamu’alaikum, Pak Rodjan!” sapa penjual buku itu dengan suara hangat ketika melihat wajah Bapak, penuh nada akrab yang hanya muncul dari perjumpaan yang sudah berulang kali.
“Wa’alaikumussalam, Mas Amir,” balas Bapak sambil tersenyum, lalu menjabat tangan Mas Amir erat. “Lagi ada buku baru, Mas?”
Mas Amir, begitu Bapak memanggil penjaga toko buku itu, adalah keturunan Arab yang sudah lama membantu keluarganya menjaga toko buku kecil ini. Wajahnya bersih, jenggotnya tipis, dan senyumnya seperti pintu yang selalu terbuka. Ia mengenal Bapak dengan baik, karena sejak dulu Bapak memang rajin datang. Tak selalu membeli, tapi selalu bertanya, melihat-lihat, dan berbincang.
“Alhamdulillah, baru datang kemarin, Pak. Ada buku cerita anak-anak baru juga nih,” katanya sambil melangkah ringan ke rak sebelah kiri dan menunjuk tumpukan buku yang baru saja disusun.
Aku nyaris tak bisa menahan diri. Begitu Mas Amir memberi isyarat, aku langsung mendekat, seperti semut menemukan gumpalan gula. Jemariku menyentuh sampul-sampul warna-warni yang masih kaku, beberapa dari mereka bahkan masih terbungkus plastik bening. Bau tinta cetakan baru menyeruak, membuat jantungku berdebar seperti bunyi kertas yang dibalik cepat.
Mataku tertumbuk pada satu buku berjudul Kisah Walisongo: Sunan Gresik. Sampulnya bergambar seorang laki-laki berjubah putih dengan sorban hijau, berdiri di tepi pelabuhan dengan latar kapal kayu besar. Di sebelahnya ada buku Petualangan Anak Saleh, dengan ilustrasi anak-anak yang sedang berlayar naik perahu, wajah mereka ceria, seperti aku saat ini.
“Yang itu bagus, dik,” kata Mas Amir sambil menunjuk buku tentang Walisongo. “Bahasanya ringan, tapi kisahnya mendalam. Banyak anak-anak suka.”
Aku mengangguk kecil, masih menimbang-nimbang, mataku berpindah dari satu buku ke buku lain. Tapi diam-diam, hatiku sudah memilih. Ada sesuatu dari gambar pelabuhan di buku itu yang membuatku merasa seolah diajak pergi jauh, bukan hanya membaca tapi benar-benar ikut menjejaki jejak para wali.
Bapak memperhatikan dari kejauhan, matanya teduh, senyumnya seperti tahu isi kepalaku. “Yang kamu pilih, itu aja?” tanyanya pelan.
Aku mengangguk cepat, lalu menoleh ke Mas Amir. “Boleh dibuka nggak, Mas?”
“Boleh, dong. Sini, biar Mas bukakan plastiknya.” jawabnya sambil mengambil gunting kecil dari balik meja. Tangannya lincah, dan dalam hitungan detik, buku itu terbuka di tanganku seperti sebuah rahasia yang siap diceritakan.
“Pak, aku boleh pilih dua?” tanyaku pelan sambil menoleh ke arah Bapak, sedikit ragu, tapi mataku belum bisa lepas dari dua buku yang sejak tadi terus kupeluk erat.
“Boleh,” jawab Bapak, lalu mengusap kepalaku sebentar. “Satu buat kamu, satu buat Adik, ya. Bapak juga mau cari buku Fiqih di rak belakang.”
Aku langsung tersenyum lebar. Rasanya seperti mendapat izin terbang. Dua buku. Dua petualangan. Hatiku riang bukan main. Jemariku memeluk kedua buku itu erat-erat, seolah mereka bisa kabur kapan saja. Setiap kali mendapat buku baru, rasanya seperti mendapatkan hadiah ulang tahun, hanya saja ini bisa terjadi lebih sering, dan selalu membawa kejutan berbeda. Kertas-kertas baru itu seakan berbisik padaku, mengajak masuk ke dunia yang belum kutahu, tapi terasa hangat dan menjanjikan. Aku membayangkan membacanya di rumah nanti, di dekat jendela kamar, sambil membiarkan angin sore menggerakkan halaman-halamannya.
Mas Amir memperhatikan dengan senyum hangat. Ia menoleh pada Bapak yang kini sudah kembali dengan dua buku tebal di tangan.
“Pak Rodjan, anaknya ini semangat banget ya kalau lihat buku. Sepertinya menurun dari Bapak,” katanya sambil menata kembali beberapa buku yang mulai miring.
Bapak tertawa kecil. “Iya, Mas. Saya senang anak-anak saya suka baca buku. Dulu waktu kecil, saya juga paling senang kalau diberi buku. Jaman saya kecil, buku mahal sekali. Sekarang makanya saya memang agak memanjakan mereka untuk urusan beli buku.”
“Alhamdulillah,” jawab Mas Amir sambil membenahi rak. “Kalau gitu, nanti saya kabari kalau ada buku cerita anak baru lagi. Biar bisa langsung pilih yang bagus.”
Bapak mengangguk sambil mengelus punggungku yang sibuk mengamati buku yang kupilih, “Terima kasih, Mas. Ditunggu kabarnya.”
Bapak segera membayar harga buku – buku yang kami beli. Mas Amir memasukkan buku-buku kami ke dalam kantong coklat tipis. Tapi bagiku, kantong itu terasa seperti peti harta karun.
Sebelum pergi, Mas Amir melambaikan tangan dan berseru, “Sampai ketemu lagi, Pak Rodjan! Hati-hati di jalan!”
Aku melambaikan tangan juga, lalu memeluk erat kantong buku di dadaku.
Kami berjalan kembali melewati lorong pasar yang kini semakin ramai. Aroma gorengan hangat dan suara ibu-ibu menawar harga memenuhi udara. Di seberang pasar, Ibu sudah menunggu di dekat Vespa, membawa beberapa kantong belanjaan. Matanya langsung berbinar melihat kami datang.
“Dapat apa aja?” tanyanya sambil menatap kantong buku di tanganku.
Aku hanya tersenyum, terlalu senang untuk langsung menjawab. Tapi dalam hati, aku tahu, sore nanti aku akan duduk bersama Adik, membacakan kisah petualangan dari buku baruku. Bapak membantu mengambil sebagian belanjaan dari tangan Ibu. Aku melihat satu kantong kecil berisi aneka jajan pasar. Ada lupis berselimut kelapa, cenil warna-warni, dan klepon yang manis dan meletup di mulut.
“Ini buat oleh-oleh Mas Rudi sama Adik di rumah,” kata Ibu sambil tersenyum. “Tadi ada yang baru datang, jadi Ibu beli sekalian.”
Aku mengangguk pelan, membayangkan wajah Adik yang akan bersorak senang saat melihat jajanan kesukaannya. Rasanya lengkap sekali pagi itu. Buku untukku dan Adik, jajan pasar untuk kami sekeluarga, dan kebersamaan yang tak bisa dibeli di mana pun. Tapi dalam hati, aku tahu, sore nanti aku akan duduk bersama Adik, membacakan kisah petualangan dari buku baruku.
Di rumah, setelah makan siang, aku segera membuka buku cerita baruku dan membacanya dengan semangat yang tak bisa kutahan. Setiap halaman kubaca perlahan, seolah ingin menyerap setiap kata dan gambar ke dalam ingatanku. Gambar-gambar kecil di pinggir halaman seperti jendela menuju dunia lain, membuat imajinasiku melayang bebas. Dalam benakku, aku melihat Sunan Gresik berjalan dari satu tempat ke tempat lain, berdakwah dengan penuh kelembutan, menanam benih Islam dengan sabar dan bijaksana.
Sore harinya, aku menghampiri Bapak yang duduk santai di teras, dikelilingi cahaya keemasan matahari sore, sambil membaca buku Fiqih yang tadi dibelinya.
“Pak, aku sudah selesai baca cerita Sunan Gresik!” seruku, duduk di sampingnya. “Hebat ya, dia berdakwah ke banyak tempat. Tapi kok bisa ya orang zaman dulu kuat banget jalan kaki jauh-jauh?”
Bapak menutup bukunya perlahan, lalu menoleh ke arahku. “Itu karena semangatnya besar, Nak,” jawabnya lembut. “Mereka bukan cuma jalan kaki. Kadang harus sembunyi dari ancaman, tidur di alam terbuka, bahkan menahan lapar. Tapi semua itu dilakukan demi menyebarkan ilmu dan kebaikan.”
Jawaban Bapak itu tinggal lama di kepalaku. Seperti nasihat yang diam-diam tumbuh menjadi akar dalam diriku.
Hari-hari itu berjalan penuh warna. Setiap bulan, kegiatan ke Pasar Gede selalu membawa cerita baru. Kadang aku menemukan kisah para nabi, kadang tentang hewan-hewan dalam Al-Quran, atau cerita rakyat dengan nilai moral yang menyentuh. Semua buku itu kubaca berulang-ulang, sampai hafal letak gambar dan kalimat favoritku. Hampir selalu ada sesi cerita di sore hari bersama Bapak, dan tak lama kemudian, Adikku yang masih kecil mulai tertarik. Ia akan duduk di sampingku sambil memegang kakinya sendiri, lalu bertanya dengan polos, “Itu ceritanya tentang siapa?”
Waktu terus berjalan, dan hari-hari itu kini telah berlalu. Aku tumbuh dewasa, dan sekarang telah menjadi seorang ibu dari anak yang juga gemar membaca. Setiap kali kami pergi ke toko buku bersama, dan kulihat matanya berbinar saat memilih buku cerita, hatiku terasa hangat. Saat berdiri di kasir untuk membayar bukunya, seringkali aku merasa seperti ditarik kembali ke masa kecil. Seolah aku sedang berdiri lagi di toko buku sempit di Pasar Gede, memeluk buku baru, sementara Bapak menatapku sambil berkata, “Pilih buku yang kamu suka, Nduk.”
Kebiasaan itu kini telah menurun. Dari Bapak, ke aku, lalu ke anakku. Bukan sekadar kebiasaan membeli buku, tapi juga semangat membaca, rasa ingin tahu, dan momen-momen kebersamaan yang tak tergantikan. Setiap kali aku memandang rak – rak buku bacaan anakku dan aku yang memanjang di kamar lantai 2 rumahku, aku terkenang momen – momen membaca bersama Bapak.
Walau Pasar Gede kini telah banyak berubah, dan suara vespa biru Bapak tak lagi terdengar di halaman rumah, kenangan itu tetap hidup. Ia hidup di sela-sela halaman buku, di tatapan penasaran anakku, di dalam obrolan kecil kami saat membahas cerita yang baru saja dibacanya. Setiap kali anakku bertanya tentang tempat atau tokoh dalam cerita, aku akan tersenyum dan menjawabnya dengan cerita yang sama seperti dulu pernah kudengar dari Bapak. Karena sesungguhnya, buku cerita, kenangan, dan cinta tak pernah benar-benar hilang. Mereka hidup dalam kata-kata, dalam tawa yang mengalir di ruang keluarga, dalam pelukan diam di teras rumah, dan dalam hati yang tak pernah lupa.
Kreator : Indriyati Rodjan
Part 15: Warung Kopi Klotok Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]
Part 16 : Alun – Alun Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]
Dalam dunia pendidikan modern, pendekatan sosial emosional semakin banyak dibahas. Salah satu model yang mendapatkan perhatian khusus adalah **EMC2 sosial emosional**. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan Definisi EMC2 sosial emosional? Mengapa pendekatan ini penting dalam pembelajaran? Mari kita bahas lebih lanjut untuk memahami bagaimana EMC2 berperan dalam perkembangan siswa secara keseluruhan. Definisi EMC2 Sosial […]
Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]
Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]
Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]
Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]
Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,, begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]
Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]
Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]
Comment Closed: Berburu Buku di Pasar Gede
Sorry, comment are closed for this post.