KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Bu, Apakah Cantik yang Utama? (Chapter 15)

    Bu, Apakah Cantik yang Utama? (Chapter 15)

    BY 14 Feb 2025 Dilihat: 60 kali
    Bu, Apakah Cantik yang Utama (Chapter 15)_alineaku

    Kekecewaan Para Siswa Pintar

    Hari itu, suasana ruang kelas terasa penuh ketegangan meski pelajaran telah usai. Ananta duduk di bangkunya, mengamati teman-temannya yang sibuk berkemas dengan wajah muram. Tak ada canda tawa seperti biasanya. Mereka yang biasanya ceria kini lebih banyak diam, seolah sedang memikirkan hal yang sama: keadilan yang hilang di kelas mereka.

     

    Rani, yang duduk di depan Ananta, menoleh ke belakang sambil menopang dagu. 

     

    “Aku nggak ngerti lagi, Nan. Kayaknya, buat Bu Inrani, kita ini nggak pernah cukup bagus.”

     

    Dea, yang sedang memasukkan buku ke dalam tas, menimpali. “Iya. Padahal kita belajar mati-matian. Tapi yang dihargai cuma mereka yang punya tampilan menarik. Apa gunanya kita berusaha?”

     

    Kata-kata Dea menggantung di udara, membuat suasana semakin suram. Faisal, yang duduk di dekat jendela, melempar pandangannya keluar. Ia mendengus pelan, lalu berkata, “Aku capek. Kalau kayak gini terus, aku lebih baik nggak usah terlalu serius belajar. Buat apa?”

     

    Ananta merasakan perasaan yang sama dengan teman-temannya, tetapi ia tak ingin menyerah begitu saja. Ia tahu, di balik kemarahan mereka, ada kekecewaan mendalam yang butuh diredam. Namun, apa yang bisa ia lakukan?

     

     

    Jam istirahat kedua tiba, dan mereka berkumpul di sudut kantin seperti biasa. Namun, kali ini suasana obrolan mereka lebih serius daripada sebelumnya.

     

    “Hazara lagi-lagi dapat perhatian khusus tadi pagi,” ujar Rani dengan nada sinis. 

     

    “Soal yang dia nggak ngerti, Bu Inrani bimbing sampai dia bisa jawab. Sementara aku? Kalau salah, ya udah, disuruh duduk aja.”

     

    Dea menatap Rani dengan ekspresi sama muramnya. “Aku juga ngerasain, Ran. Kayaknya kita cuma ada di kelas ini buat mengisi bangku, bukan buat diperhatikan.”

     

    Ananta mendengarkan keluhan-keluhan itu dengan hati yang bergejolak. Ia tahu apa yang teman-temannya rasakan, karena ia merasakannya juga. Tetapi mendengar langsung dari mereka membuatnya sadar bahwa ini bukan lagi soal dirinya semata.

     

    “Kalau kita terus-terusan begini, nggak ada yang bakal berubah,” ucap Faisal, menghentikan pembicaraan yang nyaris menjadi ajang saling curhat. “Tapi ngomong-ngomong, siapa di antara kita yang berani bilang langsung ke Bu Inrani? Ada?”

     

    Semua saling berpandangan, tetapi tak satupun yang menjawab.

     

    “Aku nggak mungkin,” kata Rani akhirnya. “Aku takut malah makin dianggap remeh.”

     

    Dea menggeleng. “Aku juga nggak berani.”

     

    Faisal menatap Ananta. “Kamu gimana, Nan?”

     

    Pertanyaan itu membuat Ananta terdiam sejenak. Ia memikirkan kembali semua yang telah terjadi, bagaimana ia selalu merasa seperti bagian dari “bayangan” di kelas itu. Tetapi lebih dari itu, ia memikirkan teman-temannya yang merasakan hal yang sama.

     

    “Masalahnya bukan cuma soal aku,” jawab Ananta akhirnya. “Ini soal kita semua. Kita harus cari cara biar Bu Inrani bisa lihat kalau kita juga layak dihargai.”

     

    “Tapi gimana caranya?” tanya Dea dengan nada putus asa.

     

    Ananta menggeleng. “Aku belum tahu. Tapi aku yakin, kalau kita diam saja, nggak ada yang bakal berubah.”

     

     

    Hari-hari berikutnya, suasana kelas semakin terasa berat. Bisikan-bisikan kecil tentang favoritisme Bu Inrani terus terdengar, meski hanya di kalangan siswa. Hazara, meskipun mungkin tak sepenuhnya sadar akan situasi itu, tetap menjadi pusat perhatian, baik di mata Bu Inrani maupun siswa lainnya.

     

    Di sisi lain, kelompok Ananta mulai kehilangan semangat. Mereka yang dulu dikenal sebagai siswa-siswa yang paling aktif dan berprestasi kini lebih banyak diam. Bahkan ketika Bu Inrani memberikan tugas, tak ada lagi antusiasme seperti dulu.

     

    Suatu siang, setelah jam pelajaran selesai, Ananta duduk sendirian di mejanya. Teman-temannya sudah pulang lebih dulu, tetapi ia masih terpaku pada buku catatannya yang kosong. Di dalam kepalanya, berbagai pikiran berkecamuk.

     

    Ia teringat ucapan Faisal di kantin beberapa hari lalu: Apa gunanya belajar keras kalau yang dihargai cuma penampilan? 

     

    Kata-kata itu terus bergema di pikirannya, seolah menjadi cermin bagi kekecewaannya sendiri. Ananta mengepalkan tangannya di bawah meja. Ia merasa marah, tetapi juga merasa tak berdaya.

     

     

    Keesokan harinya, kelas kembali diisi oleh pelajaran Bu Inrani. Seperti biasa, Hazara menjadi perhatian utama. Ketika Hazara berbicara, Bu Inrani mendengarkan dengan penuh perhatian. Ketika Hazara bertanya, Bu Inrani menjawab dengan sabar dan detail.

     

    Namun, ketika Rani mengangkat tangan untuk bertanya, respon Bu Inrani jauh berbeda.

     

    “Rani, pertanyaanmu sudah jelas jawabannya di buku. Kamu baca lagi, ya.” kata Bu Inrani dengan nada datar.

     

    Rani terdiam, wajahnya memerah. Ia menunduk, tidak berani membalas.

     

    Momen itu menjadi titik balik bagi Ananta. Ia merasa cukup. Ia tidak bisa lagi membiarkan hal ini terjadi.

     

    Setelah pelajaran selesai, ia mendekati teman-temannya yang sedang membereskan buku mereka.

     

    “Kita harus lakukan sesuatu,” katanya dengan nada tegas.

     

    Dea menatapnya dengan bingung. “Lakukan apa, Nan?”

     

    “Kita harus cari cara buat tunjukin ke Bu Inrani kalau kita juga layak dihargai. Kita nggak bisa terus-terusan diam.”

     

    “Tapi gimana caranya?” tanya Faisal.

     

    Ananta berpikir sejenak, lalu berkata, “Aku belum tahu. Tapi aku yakin, kalau kita semua bersatu, kita bisa lakukan sesuatu yang besar.”

     

    Rani mengangguk pelan. “Oke, aku setuju. Aku juga udah capek diperlakukan kayak gini terus.”

     

    Dea dan Faisal saling pandang, lalu mengangguk setuju.

     

    “Kalau begitu,” kata Ananta. “Kita mulai rencanakan sesuatu. Ini bukan cuma soal aku atau kalian. Ini soal semua siswa yang merasa tidak dihargai. Kita harus buktikan kalau kita juga bisa bersinar, bahkan tanpa menjadi favorit siapa pun.”

     

     

    Kreator : JESINTA DEWI SRIKANDI

    Bagikan ke

    Comment Closed: Bu, Apakah Cantik yang Utama? (Chapter 15)

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]

      Sep 18, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024
    • Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]

      Sep 05, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021