Kekecewaan Para Siswa Pintar
Hari itu, suasana ruang kelas terasa penuh ketegangan meski pelajaran telah usai. Ananta duduk di bangkunya, mengamati teman-temannya yang sibuk berkemas dengan wajah muram. Tak ada canda tawa seperti biasanya. Mereka yang biasanya ceria kini lebih banyak diam, seolah sedang memikirkan hal yang sama: keadilan yang hilang di kelas mereka.
Rani, yang duduk di depan Ananta, menoleh ke belakang sambil menopang dagu.
“Aku nggak ngerti lagi, Nan. Kayaknya, buat Bu Inrani, kita ini nggak pernah cukup bagus.”
Dea, yang sedang memasukkan buku ke dalam tas, menimpali. “Iya. Padahal kita belajar mati-matian. Tapi yang dihargai cuma mereka yang punya tampilan menarik. Apa gunanya kita berusaha?”
Kata-kata Dea menggantung di udara, membuat suasana semakin suram. Faisal, yang duduk di dekat jendela, melempar pandangannya keluar. Ia mendengus pelan, lalu berkata, “Aku capek. Kalau kayak gini terus, aku lebih baik nggak usah terlalu serius belajar. Buat apa?”
Ananta merasakan perasaan yang sama dengan teman-temannya, tetapi ia tak ingin menyerah begitu saja. Ia tahu, di balik kemarahan mereka, ada kekecewaan mendalam yang butuh diredam. Namun, apa yang bisa ia lakukan?
—
Jam istirahat kedua tiba, dan mereka berkumpul di sudut kantin seperti biasa. Namun, kali ini suasana obrolan mereka lebih serius daripada sebelumnya.
“Hazara lagi-lagi dapat perhatian khusus tadi pagi,” ujar Rani dengan nada sinis.
“Soal yang dia nggak ngerti, Bu Inrani bimbing sampai dia bisa jawab. Sementara aku? Kalau salah, ya udah, disuruh duduk aja.”
Dea menatap Rani dengan ekspresi sama muramnya. “Aku juga ngerasain, Ran. Kayaknya kita cuma ada di kelas ini buat mengisi bangku, bukan buat diperhatikan.”
Ananta mendengarkan keluhan-keluhan itu dengan hati yang bergejolak. Ia tahu apa yang teman-temannya rasakan, karena ia merasakannya juga. Tetapi mendengar langsung dari mereka membuatnya sadar bahwa ini bukan lagi soal dirinya semata.
“Kalau kita terus-terusan begini, nggak ada yang bakal berubah,” ucap Faisal, menghentikan pembicaraan yang nyaris menjadi ajang saling curhat. “Tapi ngomong-ngomong, siapa di antara kita yang berani bilang langsung ke Bu Inrani? Ada?”
Semua saling berpandangan, tetapi tak satupun yang menjawab.
“Aku nggak mungkin,” kata Rani akhirnya. “Aku takut malah makin dianggap remeh.”
Dea menggeleng. “Aku juga nggak berani.”
Faisal menatap Ananta. “Kamu gimana, Nan?”
Pertanyaan itu membuat Ananta terdiam sejenak. Ia memikirkan kembali semua yang telah terjadi, bagaimana ia selalu merasa seperti bagian dari “bayangan” di kelas itu. Tetapi lebih dari itu, ia memikirkan teman-temannya yang merasakan hal yang sama.
“Masalahnya bukan cuma soal aku,” jawab Ananta akhirnya. “Ini soal kita semua. Kita harus cari cara biar Bu Inrani bisa lihat kalau kita juga layak dihargai.”
“Tapi gimana caranya?” tanya Dea dengan nada putus asa.
Ananta menggeleng. “Aku belum tahu. Tapi aku yakin, kalau kita diam saja, nggak ada yang bakal berubah.”
—
Hari-hari berikutnya, suasana kelas semakin terasa berat. Bisikan-bisikan kecil tentang favoritisme Bu Inrani terus terdengar, meski hanya di kalangan siswa. Hazara, meskipun mungkin tak sepenuhnya sadar akan situasi itu, tetap menjadi pusat perhatian, baik di mata Bu Inrani maupun siswa lainnya.
Di sisi lain, kelompok Ananta mulai kehilangan semangat. Mereka yang dulu dikenal sebagai siswa-siswa yang paling aktif dan berprestasi kini lebih banyak diam. Bahkan ketika Bu Inrani memberikan tugas, tak ada lagi antusiasme seperti dulu.
Suatu siang, setelah jam pelajaran selesai, Ananta duduk sendirian di mejanya. Teman-temannya sudah pulang lebih dulu, tetapi ia masih terpaku pada buku catatannya yang kosong. Di dalam kepalanya, berbagai pikiran berkecamuk.
Ia teringat ucapan Faisal di kantin beberapa hari lalu: Apa gunanya belajar keras kalau yang dihargai cuma penampilan?
Kata-kata itu terus bergema di pikirannya, seolah menjadi cermin bagi kekecewaannya sendiri. Ananta mengepalkan tangannya di bawah meja. Ia merasa marah, tetapi juga merasa tak berdaya.
—
Keesokan harinya, kelas kembali diisi oleh pelajaran Bu Inrani. Seperti biasa, Hazara menjadi perhatian utama. Ketika Hazara berbicara, Bu Inrani mendengarkan dengan penuh perhatian. Ketika Hazara bertanya, Bu Inrani menjawab dengan sabar dan detail.
Namun, ketika Rani mengangkat tangan untuk bertanya, respon Bu Inrani jauh berbeda.
“Rani, pertanyaanmu sudah jelas jawabannya di buku. Kamu baca lagi, ya.” kata Bu Inrani dengan nada datar.
Rani terdiam, wajahnya memerah. Ia menunduk, tidak berani membalas.
Momen itu menjadi titik balik bagi Ananta. Ia merasa cukup. Ia tidak bisa lagi membiarkan hal ini terjadi.
Setelah pelajaran selesai, ia mendekati teman-temannya yang sedang membereskan buku mereka.
“Kita harus lakukan sesuatu,” katanya dengan nada tegas.
Dea menatapnya dengan bingung. “Lakukan apa, Nan?”
“Kita harus cari cara buat tunjukin ke Bu Inrani kalau kita juga layak dihargai. Kita nggak bisa terus-terusan diam.”
“Tapi gimana caranya?” tanya Faisal.
Ananta berpikir sejenak, lalu berkata, “Aku belum tahu. Tapi aku yakin, kalau kita semua bersatu, kita bisa lakukan sesuatu yang besar.”
Rani mengangguk pelan. “Oke, aku setuju. Aku juga udah capek diperlakukan kayak gini terus.”
Dea dan Faisal saling pandang, lalu mengangguk setuju.
“Kalau begitu,” kata Ananta. “Kita mulai rencanakan sesuatu. Ini bukan cuma soal aku atau kalian. Ini soal semua siswa yang merasa tidak dihargai. Kita harus buktikan kalau kita juga bisa bersinar, bahkan tanpa menjadi favorit siapa pun.”
Kreator : JESINTA DEWI SRIKANDI
Comment Closed: Bu, Apakah Cantik yang Utama? (Chapter 15)
Sorry, comment are closed for this post.