KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Misteri
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Sains
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Bu, Apakah Cantik yang Utama? (Chapter 22)

    Bu, Apakah Cantik yang Utama? (Chapter 22)

    BY 17 Feb 2025 Dilihat: 52 kali
    Bu, Apakah Cantik yang Utama (Chapter 22)_alineaku

    Kebenaran yang Terkuak

    Hari itu, matahari bersinar redup, seolah menyatu dengan suasana hati para siswa di kelas. Setelah percakapan intens di hari sebelumnya, banyak yang merasa suasana semakin memanas. Tak ada lagi suara riang yang biasanya terdengar sebelum pelajaran dimulai. Bahkan Dira, yang biasanya suka melontarkan lelucon kecil, tampak diam di tempat duduknya.

     

    Bu Inrani masuk ke kelas dengan langkah perlahan. Matanya menyapu setiap sudut ruangan, memperhatikan raut wajah siswa-siswanya yang tampak tegang. Namun kali ini, ada sesuatu yang berbeda di wajahnya—seperti keraguan yang tersembunyi di balik sikap tegasnya.

     

    “Baik,” ucap Bu Inrani, membuka pelajaran. Suaranya tenang tapi tegas. “Sebelum kita melanjutkan pelajaran, saya ingin menyelesaikan sesuatu yang masih tertinggal.”

     

    Seketika, semua perhatian tertuju padanya. Bahkan Ananta yang biasanya duduk tegak dan penuh percaya diri kini merasa gugup. Ia tahu, diskusi hari sebelumnya belum berakhir.

     

    “Setelah membaca surat kalian, mendengar pendapat dari beberapa siswa, dan berdiskusi dengan kalian di ruang guru kemarin, saya merasa perlu mendengar suara semua orang di ruangan ini,” kata Bu Inrani. Suaranya terdengar lebih lembut, meskipun masih membawa nada formal. Ia menatap seluruh kelas.

     

    “Apakah ada yang ingin berbicara?”

     

    Hening.

     

    Siswa-siswi saling berpandangan, seolah menunggu seseorang untuk memulai. Suasana menjadi semakin tegang. Hingga akhirnya, sebuah suara yang tidak terduga memecah keheningan.

     

    “Bu.”

     

    Semua kepala menoleh ke arah Hazara, yang perlahan berdiri dari tempat duduknya di barisan depan. Matanya menatap lurus ke arah Bu Inrani, meski raut wajahnya tampak gugup.

     

    “Saya ingin mengatakan sesuatu.”

     

    Ruangan itu menjadi lebih sunyi dari sebelumnya. Bahkan suara detik jam dinding terasa lebih jelas di telinga Ananta. Semua siswa menatap Hazara dengan ekspresi tak percaya. Hazara, yang biasanya diam dan menerima, kini berdiri di depan semua orang, siap untuk berbicara.

     

    Bu Inrani mengangguk pelan. “Silahkan, Hazara.”

     

    Hazara menarik napas dalam-dalam sebelum mulai bicara. 

     

    “Saya rasa mereka benar, Bu,” katanya dengan suara pelan tapi jelas.

     

    “Saya sudah membaca surat yang mereka tulis, dan… saya menyadari bahwa mereka punya alasan yang kuat.”

     

    Ucapan itu membuat beberapa siswa membelalak kaget. Bahkan Ananta tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya.

     

    “Saya tahu,” lanjut Hazara. “Saya sering diperlakukan istimewa. Mungkin karena saya sering mendapat nilai tinggi, atau mungkin karena saya sering dianggap sebagai siswa teladan. Tapi… sebenarnya, itu tidak selalu membuat saya nyaman.”

     

    Hazara berhenti sejenak, menatap teman-temannya di kelas. Matanya bertemu dengan tatapan Dira, lalu Ananta. 

     

    “Saya tidak pernah bermaksud untuk menyakiti siapapun, tetapi sekarang saya menyadari bahwa perhatian lebih yang saya dapatkan ini membuat teman-teman saya merasa diabaikan. Dan itu tidak benar.”

     

    Kata-kata Hazara membuat suasana kelas berubah. Beberapa siswa mulai mengangguk pelan, merasa lega mendengar Hazara mengakui kebenaran itu.

     

    Bu Inrani terdiam, matanya fokus pada Hazara. Ia tidak menyangka bahwa siswa andalannya, yang selalu diam dan patuh, akan mengutarakan hal seperti itu.

     

    Hazara melanjutkan, “Mereka benar, Bu. Semua siswa di kelas ini berusaha. Semua orang bekerja keras, bahkan jika hasilnya tidak selalu terlihat di atas kertas. Saya rasa, teman-teman saya pantas mendapatkan pengakuan yang sama.”

     

    Untuk pertama kalinya, ada keheningan di wajah Bu Inrani yang tidak biasanya. Ia menatap Hazara, seolah sedang mencoba memahami apa yang baru saja ia dengar.

     

    Ananta, yang duduk di barisan tengah, akhirnya memberanikan diri untuk berbicara. “Bu, kami tidak pernah menyalahkan Hazara. Dia selalu menjadi teman yang baik bagi kami. Kami hanya ingin kesempatan yang sama, agar usaha kami juga dihargai.”

     

    Dira menambahkan, “Apa yang Hazara katakan benar, Bu. Kami semua ingin belajar, dan kami ingin merasa bahwa apa yang kami lakukan berarti.”

     

    Bu Inrani menarik nafas panjang. Ia tampak sedang memikirkan sesuatu dengan sangat serius. Semua siswa menunggu reaksinya, berharap ada perubahan yang akan terjadi.

     

    Akhirnya, Bu Inrani berbicara. 

     

    “Hazara,” katanya dengan suara yang lebih lembut. 

     

    “Saya menghargai kejujuranmu. Dan saya juga menghargai apa yang telah disampaikan teman-temanmu.”

     

    Ia berhenti sejenak, lalu melanjutkan. “Saya tidak pernah berniat untuk bersikap tidak adil. Tetapi saya akui, mungkin saya telah membuat beberapa siswa merasa diabaikan tanpa saya sadari. Jika itu yang terjadi, saya minta maaf.”

     

    Kata-kata itu mengejutkan semua orang. Bu Inrani, yang selama ini dikenal tegas dan keras kepala, kini mengakui kesalahannya di depan kelas.

     

    “Saya berjanji akan berusaha lebih baik,” lanjutnya. 

     

    “Saya ingin setiap siswa di kelas ini merasa dihargai, tidak peduli bagaimana nilai mereka atau seberapa sering mereka berbicara di kelas. Kalian semua berharga.”

     

    Suasana kelas perlahan berubah. Ketegangan yang sebelumnya menyelimuti ruangan mulai mencair. Beberapa siswa saling melempar senyum, merasa lega bahwa perjuangan mereka akhirnya mendapatkan hasil.

     

    Hazara duduk kembali di tempatnya, merasa beban di pundaknya sedikit berkurang. Ia menatap Ananta dan tersenyum kecil. Ananta membalas senyuman itu, merasa bahwa langkah besar baru saja diambil untuk memperbaiki keadaan.

     

    Ketika pelajaran dimulai kembali, suasana kelas terasa berbeda. Ada rasa solidaritas baru di antara siswa-siswa, dan ada harapan bahwa hari-hari yang lebih baik akan datang. Bagi Ananta dan teman-temannya, ini bukan hanya tentang melawan ketidakadilan, tetapi juga tentang belajar bagaimana berbicara, mendengar, dan menemukan cara untuk berubah bersama-sama.

     

    Dan, untuk pertama kalinya, Ananta merasa bahwa perjuangannya selama ini tidak sia-sia.

     

     

    Kreator : JESINTA DEWI SRIKANDI

    Bagikan ke

    Comment Closed: Bu, Apakah Cantik yang Utama? (Chapter 22)

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]

      Sep 18, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024
    • Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]

      Sep 05, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021