KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Bu, Apakah Cantik yang Utama? (Chapter 3)

    Bu, Apakah Cantik yang Utama? (Chapter 3)

    BY 13 Feb 2025 Dilihat: 79 kali
    Bu, Apakah Cantik yang Utama (Chapter 3)_alineaku

    Perkenalan Bu Inrani, Guru yang Elegan

     

    Langkah kaki terdengar mendekat, bergerak lembut di sepanjang lorong SMA Nusantara. Sepatu hak tinggi itu mengisi udara dengan ritme yang tegas namun tenang, mengundang setiap kepala yang mendengarnya untuk menoleh. Suasana di kelas XI B yang semula dipenuhi bisikan perlahan mereda. Semua mata tertuju ke pintu, menanti kedatangan sosok yang telah banyak dibicarakan sejak hari pertama sekolah.

     

    Ketika pintu itu akhirnya terbuka, seorang wanita masuk dengan langkah anggun, seolah keberadaannya memenuhi seluruh ruangan. Bu Inrani—begitulah nama yang kini melekat di benak para siswa. Rambut hitamnya ditata rapi, terurai dengan sentuhan profesional. Ia mengenakan blus putih bersih yang diselipkan dengan rapi ke dalam rok pensil hitam selutut. Sebuah bros kecil berbentuk bunga menghiasi kerahnya, menambah kesan elegan yang sulit diabaikan.

     

    Sepatu hak tingginya bergerak pelan di atas lantai, menciptakan ritme yang terdengar seperti penanda bahwa ia adalah seseorang yang disiplin dan terorganisasi. Map tebal di tangan kirinya memberi kesan bahwa ia datang dengan persiapan matang. Senyum tipis menghiasi wajahnya, tetapi ada aura dingin di balik keanggunannya.

     

    “Selamat pagi, anak-anak,” sapanya dengan suara lembut namun penuh wibawa.

     

    “Selamat pagi, Bu,” jawab seluruh siswa serempak, berdiri seperti yang diajarkan saat menyambut guru baru.

     

    Ananta, yang duduk di barisan tengah, memperhatikan setiap gerakan Bu Inrani dengan hati-hati. Ia merasa ada sesuatu yang berbeda dari wanita ini, sesuatu yang sulit dijelaskan. Tatapan Bu Inrani menyapu ruangan, seperti seorang jenderal yang sedang menginspeksi pasukannya. Matanya tajam namun tidak menusuk, lebih seperti sedang mengukur potensi dari setiap individu di hadapannya.

     

    “Saya adalah Inrani Suwarna,” katanya sambil menatap langsung ke arah siswa. “Mulai hari ini, saya akan menjadi wali kelas kalian sekaligus guru Bahasa Indonesia. Saya percaya, kelas ini adalah ruang bagi kalian untuk berkembang, bukan hanya secara akademis tetapi juga sebagai manusia yang memiliki karakter. Dan saya di sini untuk memastikan itu terjadi.”

     

    Ananta menelan ludah. Kata-kata itu terdengar penuh janji, tetapi ada nada di baliknya yang membuatnya bertanya-tanya apakah Bu Inrani adalah tipe guru yang akan memperhatikan semua siswa atau hanya beberapa saja.

     

    Bu Inrani berjalan perlahan ke meja guru. Ia meletakkan mapnya di atas meja dengan gerakan hati-hati, seolah-olah setiap tindakannya memiliki tujuan. Kemudian, ia menatap kelas lagi, mengamati wajah-wajah yang duduk di hadapannya.

     

    “Kalian adalah kelas yang menarik,” katanya sambil menyilangkan tangan di depan dada.

     

    “Saya bisa melihat bahwa ada banyak potensi di ruangan ini. Tetapi potensi saja tidak cukup. Kalian harus bekerja keras untuk mengembangkannya. Ingat itu.”

     

    Ananta merasa ada sesuatu yang menusuk dari cara Bu Inrani berbicara. Ia tidak tahu apakah itu dorongan motivasi atau peringatan terselubung.

     

    Bu Inrani lalu mengambil spidol dan menulis namanya di papan tulis dengan huruf tegak bersambung yang indah: Bu Inrani Suwarna. Tulisan itu begitu rapi dan presisi, mencerminkan kepribadiannya.

     

    “Sebelum kita mulai, saya ingin tahu lebih banyak tentang kalian. Tetapi kali ini, saya tidak akan meminta kalian memperkenalkan diri satu per satu. Sebaliknya, saya ingin kalian menuliskan sesuatu di selembar kertas.”

     

    Ia berjalan pelan, menyisir pandangan ke setiap sudut kelas.

     

    “Tuliskan nama kalian, satu hal yang kalian sukai tentang pelajaran Bahasa Indonesia, dan satu hal yang kalian ingin pelajari lebih lanjut. Ingat, saya ingin jawaban yang jujur. Ini bukan untuk menilai kalian, tetapi untuk memahami kalian.”

     

    Para siswa mulai sibuk menulis. Ananta menghela nafas pelan, merasa lega karena tidak perlu berbicara di depan kelas. Ia menatap kertas di depannya dan mulai menulis.

     

    Nama: Ananta Rendra

    Hal yang saya sukai: Membaca puisi Chairil Anwar

    Hal yang ingin saya pelajari: Cara menulis esai yang baik

     

    Ia melirik ke depan, memperhatikan bagaimana Bu Inrani berdiri dengan tenang di dekat meja guru, mengamati kelas dengan ekspresi yang sulit diterjemahkan. Ia tampak begitu tenang, tetapi kehadirannya memenuhi ruangan dengan kewibawaan yang membuat siapa pun merasa harus berhati-hati.

     

    Setelah beberapa menit, Bu Inrani meminta siswa untuk mengumpulkan kertas mereka. Ia mengambil tumpukan kertas itu dan meletakkannya di mejanya, tetapi tidak langsung membacanya. Sebaliknya, ia kembali berdiri di depan kelas, memegang spidol di tangannya.

     

    “Sekarang, mari kita mulai dengan pertanyaan sederhana,” katanya. 

     

    “Apa yang kalian pikirkan ketika mendengar kata ‘sastra’?”

     

    Beberapa siswa mengangkat tangan, dan Bu Inrani mempersilahkan mereka berbicara. Hazara, yang duduk di barisan depan, memberikan jawaban yang penuh wawasan tentang bagaimana sastra adalah cerminan kehidupan.

     

    “Jawaban yang bagus, Hazara,” kata Bu Inrani dengan senyum kecil. 

     

    “Kamu tampaknya memiliki pemahaman yang mendalam tentang ini.”

     

    Ananta memperhatikan bagaimana Bu Inrani memberikan perhatian penuh pada siswa yang berbicara. Ia merasa sedikit cemas, bertanya-tanya apakah ia akan mendapatkan perhatian yang sama jika ia berani mengungkapkan pendapatnya.

     

    Ketika akhirnya ia memberanikan diri untuk berbicara, Bu Inrani mendengarkan dengan serius. 

     

    “Menurut saya, sastra adalah cara untuk memahami emosi manusia yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata biasa,” kata Ananta dengan suara pelan.

     

    Bu Inrani mengangguk kecil. 

     

    “Pandangan yang menarik, Ananta. Saya setuju bahwa sastra memiliki cara unik untuk menyentuh perasaan yang sulit diungkapkan. Tetapi, saya ingin kamu memperjelas argumenmu di masa depan. Jangan hanya berhenti di permukaan.”

     

    Ananta merasakan pipinya memanas. Komentar itu terasa seperti pujian sekaligus kritik, dan ia tidak tahu bagaimana harus merespons.

     

    Ketika pelajaran berlanjut, Bu Inrani memberikan tugas sederhana: menulis sebuah paragraf tentang apa yang membuat mereka tertarik pada sastra. 

    “Ingat,” katanya. “Saya tidak mencari jawaban yang benar. Saya mencari jawaban yang datang dari hati kalian.”

     

    Ketika bel akhirnya berbunyi, menandakan akhir pelajaran, Bu Inrani menatap kelas dengan sorot mata yang serius tetapi hangat. 

     

    “Saya senang bertemu dengan kalian hari ini,” katanya. 

     

    “Saya harap kita bisa bekerja sama untuk menjadikan semester ini bermakna. Ingat, saya percaya pada kalian. Sekarang giliran kalian untuk percaya pada diri sendiri.”

     

    Ananta berjalan keluar kelas dengan pikiran yang penuh. Ada sesuatu tentang Bu Inrani yang membuatnya terkesan sekaligus gugup. Ia tidak tahu apakah semester ini akan menjadi mudah atau sulit, tetapi satu hal yang pasti: Bu Inrani bukanlah guru biasa. Dan, itu membuatnya merasa bahwa perjalanan ini akan menjadi sesuatu yang tidak akan pernah ia lupakan.

     

     

    Kreator : JESINTA DEWI SRIKANDI

    Bagikan ke

    Comment Closed: Bu, Apakah Cantik yang Utama? (Chapter 3)

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]

      Sep 18, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024
    • Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]

      Sep 05, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021