Part 1
Dunia Terbalik
Malam hampir larut. Kurebahkan tubuh di samping putri kecil yang sudah terlelap sejak tadi. Lelah sekali rasanya tubuh ini setelah seharian bekerja. Apa lagi tadi mendapat bagian kerja menuang permen. Jadi banyak berdiri dan mondar-mandir. Kakiku terasa sangat pegal.
Aku bekerja di sebuah perusahaan kembang gula yang cukup terkenal di daerah Tangerang. Kerja shift panjang, masuk jam tujuh pagi dan pulang jam tujuh malam, tentu sangat melelahkan.
Baru saja hendak memejamkan mata, kudengar suara pintu kamar dibuka.
“Sudah mau tidur, Mi?” Suara khas A’ Asep, suamiku, membuat mataku terbuka kembali. Nadanya agak sewot.
Semenjak punya anak, panggilan kami berubah menjadi Abi dan Umi untuk mengajari anak agar mengikuti. Dulunya panggilan kami adalah Aa’ dan ‘Eneng’.
“Masih sore, juga,” lanjutnya.
Melihat jam dinding sudah menunjuk angka sepuluh lewat lima belas menit. Kemudian kudengar pintu kembali ditutup.
“Jam sepuluh lewat, kok, dikata masih sore?” Aku bergumam dalam hati.
A’ Asep mungkin tak tahu bagaimana rasanya orang capai? Apalagi sepulang kerja masih harus mengerjakan pekerjaan rumah. Mencuci piring, menyapu lantai, dan membereskan rumah yang berantakan. Dia tak pernah mau membantu mengerjakannya. Menurutnya, pekerjaan rumah itu pekerjaan istri. Katanya ‘Dunia Terbalik’ jika seorang suami mencuci baju, mencuci piring, memasak, atau mengerjakan pekerjaan rumah lainnya.
Memang dasarnya pemalas. Sudah tidak bekerja, membantu pekerjaan rumah pun tidak mau. Ingin enaknya sendiri saja. Aku sudah sering memintanya untuk membantu pekerjaan rumah, tapi seperti itu jawabannya, ‘Dunia Terbalik’.
Ya, anggap saja dunia terbalik, karena sebagai laki-laki dia tidak mau bekerja, sehingga aku lah yang harus mengambil alih peran sebagai tulang punggung keluarga.
Aku bangkit dari tidur. Dengan malas mengayun langkah keluar kamar mencari sosok A’ Asep. Aku takut dia marah kalau mengabaikannya. Biasanya begitu, dia selalu marah melihatku tidur sore-sore.
Laki-laki berwajah tampan, berhidung mancung, dengan warna kulit sawo matang itu tampak asik nonton acara film di televisi. Duduk di lantai beralas tikar. Aku mengambil duduk di sebelahnya.
“Ayo tidur, Bi. Aku udah ngantuk,” ajakku.
“Masih sore. Umi, mah udah mau tidur aja!” jawabnya dengan nada sedikit kesal. Matanya masih tertuju ke layar kaca.
“Aku capai, Bi. Tadi kerja nuang,” jawabku.
“Semenjak kerja, Umi jadi kurang perhatian sama aku,” ucapnya, sangat menusuk perasaan.
Kurang perhatian bagaimana maksudnya? Setiap pagi sebelum berangkat kerja aku sudah memasak, mencuci baju, mencuci piring, dan menyapu. Memang, kalau yang mengasuh anak setiap aku bekerja adalah dia, dibantu oleh Toni, adiknya yang sudah lulus SMP dan tak melanjutkan lagi karena faktor biaya.
Kami di sini tinggal di rumah kakek dan nenek A’ Asep. Ibunya A’ Asep sudah meninggal semenjak ia masih kecil. Sedangkan ayahnya menikah lagi dan tinggal di kampung lain. Semenjak itu dia dan adiknya tinggal bersama kakek neneknya.
Rumah yang kami tempati ini adalah rumah kakek dan nenek A’ Asep, tapi sudah diberikan kepada A’ Asep dan sudah atas namanya. A’ Asep adalah cucu kesayangan. Sejak kecil ia sangat dimanja. Segala keinginannya dituruti, padahal mereka hanya orang biasa, bukan orang kaya. Hal itulah yang menyebabkan A’ Asep sampai saat ini masih belum bisa berpola pikir dewasa, tak mengerti tentang tanggung jawabnya sebagai suami.
“Kurang perhatian bagaimana maksudnya, Bi?”
“Ya, sering tidur sore. Nggak mikirin kebutuhanku.”
Selalu itu yang jadi masalah. Padahal, seandainya aku tidak capai, tentu aku juga pasti melayaninya. Seandainya saja dia mau membantu pekerjaan rumah, mungkin aku tidak terlalu capai.
Namun, aku sudah lama diam, tak mempermasalahkan hal itu, nanti ujungnya malah ribut.
Pernah aku mengatakan padanya bahwa nabi Muhammad saja sering melakukan pekerjaan rumah sendiri. Maksudku agar dia sadar, selevel nabi saja masih mau mengerjakan pekerjaan rumah. Lalu siapa kita? Mengapa harus gengsi untuk membantu pekerjaan istri?
Namun, jawabnya, “Tapi aku itu bukan Nabi!” Nadanya malah tinggi.
Semenjak saat itu, aku tak pernah lagi membahas masalah pekerjaan rumah. Kalau masih sanggup dikerjakan, kalau sudah capai ditinggal dulu. Masih ada hari esok. Dari pada kecapaian, nanti aku sakit.
Akhirnya aku harus menyadari bahwa ‘tipe’ suami itu berbeda-beda. Ada yang mau membantu pekerjaan rumah, ada pula yang tidak. Aku harus rela menerima segala kekurangannya. Termasuk tidak pernah diberikan nafkah lahir. Aku harus berusaha ikhlas. Kalau tidak ikhlas, apa yang kita lakukan nanti malah tidak mendapat pahala.
Walau sesungguhnya aku sering dibuat iri oleh teman-teman yang mempunyai suami baik, bertanggung jawab dan bersedia membantu pekerjaan rumah
Pernah suatu ketika aku berkunjung ke tempat Murni, teman dekat di pabrik. Dia tinggalnya masih ngontrak. Suaminya juga bekerja, tapi di lain pabrik. Ketika aku datang, melihat suaminya sedang mencuci baju. Kamar mandinya di luar, jadi bisa terlihat olehku dia sedang mencuci baju. Padahal katanya dia baru pulang kerja.
Rasa iri seketika menusuk-nusuk hati. Mengapa suamiku tidak bisa seperti itu?
“Udah, kamu berhenti kerja lagi aja, Mi, ” kata A’ Asep membuyarkan lamunan.
“Berhenti kerja? tanyaku penuh heran dengan jalan pikirannya. “Terus bagaimana kebutuhan hidup sehari-hari? Apa kita mau mengandalkan Engkong terus?” Kami biasa memanggil Kakek dengan sebutan ‘Engkong’ dan Nenek dengan sebutan ‘Emak’.
Sejak masih gadis, aku sudah bekerja di perusahaan itu. Setelah menikah aku berhenti. Kemudian karena A’ Asep tak mau bekerja, maka setelah punya anak usia dua tahun, aku minta ijin kepadanya untuk kembali bekerja dan diizinkan.
Memang dari sebelum menikah aku sudah tahu kalau A’ Asep belum mempunyai pekerjaan tetap. Ia hanya menjadi tukang ojek di pangkalan. Aku pikir setelah menikah ia akan mencari pekerjaan yang lebih baik. Melamar ke pabrik-pabrik, karena di daerah ini sudah banyak pabrik. Atau minimal semakin rajin ke pangkalan untuk narik penumpang.
Namun, ternyata aku salah. Ia malah jarang sekali ke pangkalan semenjak menikah. Sementara untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, kami mengandalkan Kakek yang masih bekerja sebagai ‘cleaning service’ di perusahaan yang sama dengan tempatku bekerja.
Aku tak ingin lagi merepotkan Kakek. Di usianya yang sudah tua, seharusnya ia sudah pensiun, tapi malah menjadi tulang punggung bagi keluarga.
Aku kasihan melihatnya saat pulang kerja tampak kecapaian. Apakah A’ Asep tak pernah berpikir sejauh itu?
“Itu, mah, gampang. Nanti aku kerja,” jawabnya.
“Abi kerja dulu, baru aku mau berhenti. ” Aku mengajukan syarat.
Aku tidak mau percaya dulu dengan ucapannya itu. Meski sesungguhnya harapan ini sangat tinggi agar A’ Asep mau bekerja sehingga aku bisa mendapat nafkah lahir darinya seperti istri-istri yang lain.
Bersambung.
Comment Closed: Bukan Jodoh Selamanya
Sorry, comment are closed for this post.