KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Bersambung
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Madhoe Retna
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Cinta dalam Diam Nayla

    Cinta dalam Diam Nayla

    BY 31 Agu 2025 Dilihat: 10 kali
    Cinta dalam Diam_alineaku

    Bab 1: Sahabat Sejak Kecil

    Hujan turun dengan lembut sore itu, membasahi jalanan kecil di depan rumahku. Aku, Nayla, duduk di dekat jendela, memperhatikan rintik-rintik hujan yang jatuh dengan pikiran yang entah melayang ke mana. Di sisi lain kota ini, ada seseorang yang selalu berhasil membuatku tersenyum, bahkan tanpa dia tahu.

    Raka—sahabat kecilku. Dia adalah seseorang yang sangat berbeda denganku. Jika aku pendiam dan pemalu, maka dia adalah sosok yang supel, penuh percaya diri, dan begitu populer di sekolah. Tak ada yang tak mengenal Raka. Sementara aku? Aku hanya bayangan yang selalu ada di dekatnya, menjadi tempatnya berbagi cerita dan keluh kesah.

    Kami sudah berteman sejak kecil, sejak pertama kali dia membantuku saat aku terjatuh di taman bermain. Sejak saat itu, kami selalu bersama. Namun, seiring bertambahnya usia, aku mulai menyadari sesuatu yang selama ini berusaha kutepikan. Aku jatuh cinta padanya. Diam-diam, tanpa pernah berani mengatakannya.

    Bab 2: Senyum yang Tak Bisa Kumiliki

    Hari-hariku selalu dipenuhi dengan kebersamaan dengannya, meski aku tahu, aku bukan satu-satunya yang ada di dunianya. Gadis-gadis di sekolah berlomba-lomba menarik perhatiannya, dan aku hanya bisa berdiri di sudut, tersenyum pahit saat melihatnya tersenyum untuk orang lain.

    “Nay, nanti kita pulang bareng, ya?” Raka tersenyum sambil menepuk kepalaku. Aku hanya mengangguk, menyembunyikan debaran jantungku yang semakin cepat.

    Aku ingin mengatakan perasaanku. Aku ingin dia tahu. Tapi ketakutan selalu mengalahkan keinginanku. Ketakutan bahwa setelah aku mengatakannya, persahabatan kami akan berubah. Aku lebih memilih berada di sisinya sebagai sahabat, daripada kehilangan dia sepenuhnya.

    Bab 3: Cinta yang Tak Berbalas?

    Suatu hari, aku melihatnya berbicara dengan seorang gadis dari kelas sebelah. Matanya berbinar, senyumnya begitu tulus. Itu bukan senyum yang dia berikan padaku sebagai sahabat, tapi senyum yang ia berikan kepada seseorang yang istimewa. Hatiku benar-benar terluka . Aku tahu, aku tidak memiliki tempat di hatinya seperti yang kumau.

    Malam itu, aku menulis di buku harianku:

    Jika aku bisa memilih, aku ingin menjadi gadis itu. Gadis yang bisa membuatnya tertawa seperti itu, yang bisa memegang tangannya tanpa ragu. Tapi aku hanya sahabatnya, dan mungkin, akan selalu begitu.

    Bab 4: Keberanian dalam Diam

    Aku mulai menjauh, mencoba menghilangkan perasaan yang semakin menyakitkan. Tapi Raka menyadarinya.

    “Nay, kenapa akhir-akhir ini kamu menghindar?” tanyanya suatu hari, tatapannya penuh dengan kebingungan.

    Aku menggeleng dan tersenyum tipis. “Nggak kok, Rak. Aku cuma lagi sibuk.”

    Dia mengernyit, tak percaya dengan jawabanku. Aku ingin mengaku. Aku ingin mengatakan bahwa aku mencintainya, tapi kata-kata itu tertahan di tenggorokanku.

    Aku menyadari, mungkin ini waktunya aku belajar merelakan.

    Bab 5: Ujian untuk Persahabatan

    Ketika aku berusaha menjaga jarak, Raka semakin dekat dengan Dinda, gadis yang sering kulihat bersamanya. Mereka mulai sering menghabiskan waktu bersama, tertawa, bercanda, dan bahkan pulang sekolah berdua. Aku merasa seperti seseorang yang perlahan menghilang dari hidupnya.

    Suatu hari, aku melihat mereka berdua di kafe dekat sekolah, duduk berhadapan dengan senyum mengembang. Dinda kemudian meraih tangan Raka, dan jantungku terasa seperti dihantam sesuatu. Aku segera berbalik, berlari menjauh sebelum air mataku jatuh.

    Di rumah, aku menangis dalam diam. Aku bertanya-tanya, apakah aku terlambat? Apakah selama ini aku hanya menganggap ada kesempatan, padahal sebenarnya aku tidak pernah memilikinya?

    Bab 6: Takdir yang Berbicara

    Waktu berlalu, dan aku semakin menjaga jarak. Hingga suatu hari, aku melihat Raka berdiri di depan rumahku, menunggu dengan wajah serius.

    “Kita perlu bicara, Nay,” katanya.

    Jantungku berdetak lebih cepat. Aku mengikutinya ke danau tempat kami biasa bermain dulu. Raka menatapku dalam, membuatku semakin gelisah.

    “Aku nggak tahu apa yang terjadi sama kamu, tapi aku nggak mau kehilangan sahabatku,” katanya lirih.

    Aku menggigit bibir. Haruskah aku jujur? Haruskah aku mengakui perasaan ini?

    “Raka, aku…” Aku menarik napas dalam. “Aku suka sama kamu. Dari dulu.”

    Aku menunduk, menunggu reaksinya. Tapi yang kudengar hanyalah helaan napas panjang.

    “Nay…” suara Raka terdengar pelan, nyaris berbisik. “Aku sayang sama kamu, tapi bukan seperti itu. Kamu adalah sahabat terbaikku, bagian penting dalam hidupku, dan aku nggak mau kehilangan itu.”

    Aku terdiam. Dadaku terasa sesak. Aku menatapnya, mencari kebohongan di matanya, tapi tidak menemukannya. Dia tulus. Dia memang hanya melihatku sebagai sahabat.

    Aku tersenyum kecil, meski rasanya sakit. “Aku mengerti, Rak. Aku hanya butuh waktu untuk menerima ini.”

    Dia mengangguk pelan. “Aku nggak akan kemana-mana, Nay. Aku akan tetap di sini, seperti dulu.”

    Bab 7: Cinta yang Berubah

    Tiga tahun berlalu sejak perpisahan itu. Awalnya, mereka masih saling berkirim pesan, menelepon, dan berbagi cerita. Namun, seiring waktu, komunikasi mulai terputus. Kesibukan masing-masing, perbedaan zona waktu, dan kehidupan yang terus berjalan membuat mereka semakin jauh.

    Bagi Nayla, kehilangan Raka bukan hanya kehilangan seorang kekasih, tetapi juga kehilangan sahabat yang telah menjadi bagian penting dalam hidupnya. Malam-malamnya dipenuhi dengan kesepian. Dia sering menatap layar ponselnya, berharap ada pesan dari Raka, namun yang dia dapatkan hanyalah keheningan.

    Di suatu malam yang dingin, Nayla duduk di balkon kamarnya, memeluk dirinya sendiri sambil menatap langit. “Raka, kamu apa kabar? Masih ingat aku?” bisiknya pelan, matanya berkaca-kaca.

    Dia tidak tahu bahwa di tempat lain, di sudut kota yang berbeda, Raka juga sedang duduk termenung, merindukan seseorang yang dulu selalu ada untuknya.

    Sementara itu, kehidupan Nayla mulai berubah. Orang tuanya menjodohkannya dengan seorang pria baik bernama Arga. Awalnya, Nayla ragu. Namun, seiring waktu, dia mulai mengenal Arga lebih dalam. Lelaki itu lembut, penuh perhatian, dan selalu sabar dalam mendekatinya. Nayla mulai membuka hatinya sedikit demi sedikit, meski bayangan Raka masih sesekali menghantuinya.

    Suatu sore, saat berjalan bersama Arga di taman kota, Nayla bertemu dengan Raka. Mereka saling menatap tajam, terkejut melihat satu sama lain setelah sekian lama. Waktu seakan berhenti sesaat, meninggalkan mereka dalam kebisuan yang dipenuhi emosi yang tak terungkapkan.

    Raka akhirnya tersenyum tipis dan menyapa. “Hai, Nay. Apa kabar?”

    Nayla menarik napas dalam, berusaha menenangkan dirinya. “Hai, Raka. Aku baik. Kenalkan, ini Arga,” katanya sambil menoleh ke pria di sampingnya.

    Arga mengulurkan tangan, sementara Raka menatapnya dengan ekspresi yang sulit ditebak.

    Suatu sore, Nayla berjalan sendirian di tepi danau yang indah tempatnya bermain saat masih kecil sambil menikmati hembusan angin yang menerpa wajahnya. Tak disangka, dari arah berlawanan, seorang pria yang sangat dikenalnya sedang berdiri menatapnya.

    “Raka?” suara Nayla bergetar.

    Raka tersenyum samar, langkahnya perlahan mendekat. “Hai, Nay. Lama nggak ketemu.”

    Mereka duduk di bangku kayu di tepi danau, berbicara tentang masa lalu, mengenang kebersamaan mereka. Mata Raka menatap Nayla dengan kerinduan yang begitu dalam. Namun, tepat saat suasana mulai terasa hangat, Nayla menggigit bibirnya dan berkata dengan suara pelan.

    “Aku akan bertunangan minggu depan … dengan Arga.”

    Raka terdiam. Senyumnya pudar, matanya menyiratkan luka yang tak pernah ia sadari sebelumnya. Hatinya tertusuk, menyadari bahwa ia terlambat memahami perasaannya sendiri.

    Angin berhembus lembut, membawa keheningan yang menyakitkan di antara mereka.

    Bab 8: Menjelang Pertunangan

    Semakin dekat hari pertunangan, hati Nayla semakin gelisah. Tatapan Arga yang penuh kasih selalu menenangkannya, namun di saat yang sama, ada ruang kosong dalam hatinya yang tak kunjung terisi. Malam-malamnya dipenuhi dengan mimpi-mimpi tentang Raka. Suaranya, tawanya, cara dia menyentuh rambut Nayla dengan lembut—semua itu masih melekat erat dalam ingatannya.

    Di suatu malam sebelum tidur, Nayla menatap cincinnya lama. Sebuah pertanyaan terus menghantui pikirannya.

    Apakah aku benar-benar mencintai Arga, atau aku hanya ingin lari dari perasaan yang tak tersampaikan?

    Saat itu, pesan dari Raka masuk di ponselnya.

    “Nay, bisakah kita bertemu sebelum pertunanganmu? Hanya sebentar saja.”

    Tangan Nayla gemetar. Hatinya ingin menolak, tetapi perasaannya berontak. Air mata menggenang di matanya. Nayla, apa yang sebenarnya kau inginkan?

    Angin malam berhembus lembut, membawa keraguan yang semakin mengguncang hatinya.

    Bab 9: Pertemuan yang Mengguncang Hati

    Nayla akhirnya memutuskan untuk menemui Raka. Hatinya masih bimbang, tetapi ada sesuatu dalam dirinya yang mendorongnya untuk pergi. Ia memilih tempat di tepi danau, tempat di mana mereka dulu sering menghabiskan waktu bersama. Langit senja memantulkan warna keemasan di permukaan air, menciptakan suasana yang begitu indah, namun hatinya berantakan.

    Ketika ia tiba, Raka sudah menunggunya. Matanya berkaca-kaca, seperti menahan sesuatu yang selama ini ia pendam. Nayla menelan ludah, mencoba menenangkan debaran jantungnya.

    “Terima kasih sudah datang,” suara Raka terdengar serak.

    Nayla mengangguk pelan, berdiri di hadapannya dengan canggung. Tak ada kata yang keluar dari mulutnya. Ada ketakutan yang menjalar dalam dirinya, takut mendengar sesuatu yang akan menggoyahkan keputusannya.

    “Nay…” Raka menarik napas dalam sebelum akhirnya melanjutkan, “Aku nggak tahu harus mulai dari mana, tapi selama tiga tahun kita berpisah, aku sadar satu hal. Aku nggak pernah benar-benar bisa melupakanmu. Aku selalu mencarimu di mana-mana, tapi kamu nggak ada. Aku mencoba menjalani hidupku tanpa kamu, tapi rasanya ada yang hilang.”

    Nayla menatapnya dengan mata berkabut. “Raka, aku… aku sudah memilih jalanku. Aku akan bertunangan dengan Arga minggu depan.”

    Mata Raka berubah sendu, tetapi ia tidak mundur. “Kamu yakin, Nay? Yakin kalau dia yang kamu inginkan? Atau kamu hanya berusaha menghindari aku?” suaranya mengandung luka, tapi juga penuh harapan.

    Nayla menggigit bibir, merasa dadanya semakin sesak. “Aku… aku nggak tahu, Raka. Aku pikir aku sudah melupakanmu, aku pikir aku sudah bisa menerima bahwa kita hanya sahabat. Tapi setelah bertemu denganmu lagi… semua perasaan itu kembali. Aku takut.”

    Raka meraih tangannya, menggenggamnya erat. “Aku juga takut, Nay. Takut kehilanganmu lagi. Takut kalau aku terlambat menyadari semuanya. Tapi sekarang aku di sini, berdiri di depanmu, dengan perasaan yang jelas. Aku mencintaimu. Bukan sebagai sahabat, tapi sebagai seseorang yang ingin menghabiskan sisa hidupnya bersamamu.”

    Air mata Nayla jatuh tanpa bisa ia tahan. “Raka… kenapa baru sekarang? Kenapa kamu nggak menyadari ini dulu? Kenapa harus di saat aku sudah memilih orang lain?”

    Raka tersenyum pahit. “Karena aku bodoh. Karena aku terlalu takut mengakui perasaanku sendiri. Tapi aku nggak mau berbohong lagi. Aku ingin kamu tahu semuanya.”

    Mereka terdiam, hanya suara angin danau yang menemani. Nayla menatap cincin pertunangannya, hatinya bergetar. Selama ini, ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa Arga adalah pilihan terbaik. Tetapi hatinya berteriak untuk sesuatu yang lain.

    Raka mendekat, menatapnya penuh harapan. “Aku nggak akan memaksamu, Nay. Aku hanya ingin kamu jujur pada hatimu sendiri. Kalau kamu benar-benar mencintai Arga, aku akan pergi. Tapi kalau ada sedikit saja perasaan untukku, aku akan berjuang untuk kita.”

    Nayla menarik napas gemetar. Ini adalah titik di mana ia harus memilih. Antara masa lalu yang penuh kenangan dan masa depan yang telah direncanakan.

    Air matanya terus mengalir. Apakah ia akan mengikuti kata hatinya, atau tetap pada keputusannya?

    Konflik batin berkecamuk dalam dirinya. Ia mencintai Raka—itu adalah kebenaran yang tak bisa ia ingkari. Tetapi Arga adalah sosok yang baik, yang selalu ada untuknya selama Raka menghilang dari hidupnya. Jika ia memilih Raka, ia takut menyakiti Arga, takut mengecewakan keluarganya yang sudah merestui pertunangan mereka. Tetapi jika ia tetap bersama Arga, ia takut akan selamanya bertanya-tanya tentang bagaimana hidupnya seandainya ia memilih cintanya yang sesungguhnya.

    Dadanya sesak, seolah-olah ada sesuatu yang menekannya. Matanya menatap Raka yang masih menunggu dengan harapan, tetapi di benaknya bayangan Arga pun muncul. Ingatannya berputar pada bagaimana Arga selalu ada, bagaimana lelaki itu begitu sabar dan memahami dirinya. Namun, di saat yang sama, kenangan bersama Raka juga begitu kuat—tawa mereka, kebersamaan mereka, janji-janji yang dulu tak pernah mereka sadari memiliki makna lebih.

    “Aku nggak tahu harus bagaimana, Raka…” bisiknya lirih. “Aku takut membuat pilihan yang salah. Aku takut menyakiti seseorang.”

    Raka menatapnya dengan penuh kelembutan. “Aku nggak bisa memutuskan untukmu, Nay. Tapi aku ingin kamu memilih dengan hatimu, bukan karena tekanan atau ketakutan. Jika aku harus pergi agar kamu bisa bahagia, aku akan pergi. Tapi jika ada sedikit saja ruang untukku dalam hatimu, aku akan bertahan.”

    Nayla menggigit bibirnya, menahan isakan yang hampir pecah. Hatinya terombang-ambing di antara dua pilihan. Pilihan yang bisa mengubah hidupnya selamanya.

    Malam itu, Nayla menenangkan diri dalam sujudnya. Dalam keheningan kamar, ia berwudhu dan melaksanakan sholat tahajud. Air matanya mengalir di setiap doa yang ia panjatkan, memohon petunjuk kepada Allah.

    “Ya Allah, Engkau Maha Mengetahui isi hatiku, Engkau yang mengetahui mana yang terbaik untukku. Jika Raka adalah takdirku, maka dekatkanlah aku padanya dengan cara yang baik. Jika Arga adalah yang terbaik untukku, maka tetapkanlah hatiku padanya dan jauhkanlah segala keraguan ini. Aku hanya ingin menjalani kehidupan ini dengan ketenangan dan kebahagiaan, ya Allah. Bimbinglah aku, tunjukkanlah jalan yang benar.”

    Nayla bersimpuh dalam tangisnya, berharap ada cahaya yang menyinari hatinya, memberi jawaban atas kebingungan yang tengah melanda.

    Bab 10: Ujian Hati

    Hari pertunangannya semakin dekat, tetapi keraguan di hati Nayla semakin kuat. Arga yang selama ini selalu bersikap lembut dan pengertian, mulai merasakan perubahan sikap Nayla.

    “Kamu kenapa, Nay? Sepertinya akhir-akhir ini kamu sering melamun,” tanya Arga pada suatu malam ketika mereka sedang makan malam bersama.

    Nayla terdiam, menatap piringnya tanpa nafsu makan. “Aku hanya… merasa sedikit lelah, Ga. Banyak hal yang kupikirkan.”

    Arga menatapnya lekat. “Kamu yakin ini yang kamu inginkan? Pertunangan kita?”

    Pertanyaan itu menusuk hatinya. Matanya membesar, seakan tidak percaya Arga justru menanyakannya lebih dulu.

    “Kenapa kamu bertanya seperti itu?”

    Arga menarik napas panjang. “Karena aku merasakan sesuatu berubah dalam dirimu, Nay. Aku tahu kamu mencoba menyembunyikannya, tapi aku bukan orang bodoh. Aku hanya ingin kamu jujur. Jika hatimu tidak benar-benar untukku, lebih baik kita hentikan semuanya sekarang. Aku tidak ingin menjadi seseorang yang hanya kamu pilih karena terpaksa.”

    Air mata mulai menggenang di pelupuk mata Nayla. Ia menggenggam jemarinya sendiri, hatinya bergemuruh.

    “Aku tidak ingin menyakiti siapapun, Arga.”

    “Tapi dengan bertahan dalam keraguanmu, kamu justru menyakiti dirimu sendiri… dan aku.”

    Hati Nayla semakin bergetar. Mungkinkah ini jawaban dari doanya? Mungkinkah inilah jalan yang diberikan Allah untuk menunjukkan siapa yang benar-benar ada di hatinya?

    Bab 11. Akhir dari semua jawaban

    Setelah malam itu, Nayla akhirnya memberanikan diri untuk mengambil keputusan. Ia menemui kedua orang tuanya dan mengungkapkan kegundahannya. Awalnya, mereka terkejut dan khawatir, tetapi melihat kesungguhan di mata Nayla, mereka akhirnya mengerti bahwa kebahagiaan putri mereka lebih penting dari segalanya.

    Dengan hati mantap, Nayla memilih Raka—seseorang yang selama ini selalu mendukungnya dalam diam, yang membuatnya merasa tenang hanya dengan keberadaannya. Setelah melewati berbagai rintangan dan keberanian untuk jujur pada dirinya sendiri, Nayla merasakan kebahagiaan yang selama ini terasa jauh dari genggamannya.

    Ia lalu menemui Raka di sebuah taman yang dulu sering mereka kunjungi. Dengan tangan yang sedikit gemetar, Nayla menatap Raka yang terlihat terkejut dengan ajakannya.

    “Aku ingin bicara sesuatu, Ka,” ujar Nayla pelan.

    Raka mengangguk, menunggu dengan sabar. “Apa itu, Nay?”

    Nayla menarik napas dalam. “Aku membatalkan pertunanganku dengan Arga. Aku menyadari sesuatu… bahwa selama ini, hatiku lebih tenang saat bersamamu. Aku ingin jujur pada diriku sendiri dan memilih orang yang benar-benar aku cintai.”

    Raka terdiam sejenak, memproses kata-kata Nayla. Lalu, perlahan, senyum hangat muncul di wajahnya. “Aku tidak pernah berharap terlalu banyak, Nay. Yang kuinginkan hanya kebahagiaanmu. Tapi jika kebahagiaan itu bersamaku, aku adalah orang yang paling beruntung.”

    Air mata Nayla menggenang, kali ini bukan karena kebingungan atau kesedihan, melainkan karena kelegaan dan kebahagiaan. Raka menggenggam tangannya, meyakinkan bahwa ia tidak akan membiarkan Nayla menghadapi semuanya sendirian.

    Beberapa hari kemudian, dengan penuh tekad, Raka menemui kedua orang tua Nayla. Di ruang tamu keluarga Nayla, ia duduk dengan gugup, tetapi matanya memancarkan ketulusan.

    “Pak, Bu, sejak lama saya menyimpan perasaan ini terhadap Nayla. Saya selalu ingin melihatnya bahagia, meskipun dulu saya hanya bisa mendukungnya dari kejauhan. Kini, setelah Nayla memilih saya, saya ingin datang dengan niat baik, untuk melamarnya secara resmi. Saya berjanji akan selalu menjaga dan membahagiakannya.”

    Ayah dan ibu Nayla saling bertukar pandang. Ada keheningan yang cukup lama sebelum akhirnya ayah Nayla angkat bicara. “Kami hanya ingin yang terbaik untuk Nayla. Jika kamu yakin bisa membahagiakannya dan mendukungnya dalam segala hal, maka kami pun merestui.”

    Nayla yang berdiri di samping ibunya tak kuasa menahan haru. Ia menggenggam tangan ibunya erat, sementara Raka tersenyum lega. Restu itu adalah awal dari kebahagiaan yang lebih besar bagi mereka berdua.

    Keluarganya, meskipun sempat ragu, akhirnya menerima keputusannya dengan lapang dada. Mereka melihat senyuman tulus di wajah Nayla, senyuman yang mungkin sudah lama tidak muncul. Saat akhirnya Raka melamar Nayla dengan ketulusan, ia tahu bahwa keputusannya telah membawanya ke tempat yang benar—ke dalam pelukan seseorang yang benar-benar ia cintai.

    Tak ada lagi keraguan, tak ada lagi beban di hatinya. Hanya ada kebahagiaan yang memenuhi setiap sudut hidupnya, seolah alam semesta ikut merestui cinta yang akhirnya ia pilih dengan sepenuh hati.

    Bab 12. Menatap Masa Depan

    Melangkah dengan penuh keyakinan menuju masa depan yang ia pilih sendiri. Dengan Raka di sisinya, Nayla tahu bahwa perjalanan mereka tidak akan selalu mudah, tetapi kali ini, ia tidak akan lagi menahan perasaannya dalam diam. Cinta mereka mungkin penuh liku, tetapi akhirnya, ia memilih untuk memperjuangkannya.

    Sementara itu, Arga menerima keputusan Nayla dengan lapang dada. Meskipun hatinya terluka, ia tahu bahwa cinta sejati tidak bisa dipaksakan. “Aku hanya ingin kamu bahagia, Nay,” katanya dengan senyum tulus, meski matanya menyimpan kesedihan. “Jika Raka adalah orang yang bisa memberikan itu, aku merelakanmu.”

    Di tepi danau tempat segalanya bermula, Nayla dan Raka kembali duduk berdampingan, seperti dulu. Namun kali ini, tidak ada lagi jarak yang memisahkan hati mereka. Raka menggenggam tangan Nayla dengan erat, menatapnya dengan penuh cinta.

    “Aku janji, aku nggak akan menyia-nyiakan kesempatan kedua ini,” bisik Raka.

    Nayla tersenyum, merasa damai untuk pertama kalinya setelah sekian lama. “Dan aku janji, aku nggak akan lagi mencintaimu dalam diam.”

    Langit senja memancarkan warna keemasan, seakan merestui kisah mereka yang akhirnya menemukan jalannya. Cinta yang sempat tertunda kini menemukan tempatnya. Bukan lagi dalam diam, tapi dalam keberanian untuk mencintai dan dicintai.

     

    Tamat

    Sinopsis: Cinta dalam Diam Nayla

    Sejak kecil, Nayla dan Raka selalu bersama. Persahabatan mereka tumbuh seiring waktu, tetapi tanpa disadari, perasaan di hati Nayla juga ikut berkembang. Sayangnya, ia memilih memendamnya, takut mengubah persahabatan yang telah mereka bangun selama bertahun-tahun.

    Ketika Raka mulai dekat dengan gadis lain, Nayla perlahan menjauh, berusaha merelakan perasaannya. Waktu berlalu, dan kehidupan membawa Nayla ke jalan yang berbeda. Ia dijodohkan dengan Arga, seorang pria baik yang tulus mencintainya. Namun, di tengah persiapannya untuk bertunangan, takdir mempertemukannya kembali dengan Raka. Pertemuan itu mengguncang hatinya, membangkitkan kembali perasaan yang ia kira sudah hilang.

    Dihadapkan pada dua pilihan—cinta pertama yang baru menyadari perasaannya atau pria yang selalu ada untuknya—Nayla harus menentukan masa depannya. Akankah ia mengikuti kata hatinya atau tetap melangkah sesuai rencana yang telah ditetapkan?

    “Cinta dalam Diam Nayla” adalah kisah tentang keberanian, ketulusan, dan menemukan cinta sejati di tengah kebimbangan.

     

     

    Kreator : Dewi Wirstanti

    Bagikan ke

    Comment Closed: Cinta dalam Diam Nayla

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Dalam dunia pendidikan modern, pendekatan sosial emosional semakin banyak dibahas. Salah satu model yang mendapatkan perhatian khusus adalah **EMC2 sosial emosional**. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan Definisi EMC2 sosial emosional? Mengapa pendekatan ini penting dalam pembelajaran? Mari kita bahas lebih lanjut untuk memahami bagaimana EMC2 berperan dalam perkembangan siswa secara keseluruhan. Definisi EMC2 Sosial […]

      Okt 02, 2024
    • Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]

      Sep 18, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021