Pagi itu, di bawah sinar matahari yang masih lembut, Yoga dan Yosi berjalan perlahan menyusuri jalan setapak di Taman Geopark Ciletuh, sebuah warisan geologi yang diakui oleh UNESCO. Gemuruh lembut dari air terjun di kejauhan seolah-olah menjadi latar musik untuk langkah mereka. Perjalanan ini adalah bagian dari misi mereka sebagai pegiat lingkungan, namun di dalam hati, keduanya merasakan sesuatu yang lebih dari sekadar penjelajahan alam.
Yoga: “Yosi, pernahkah kamu berpikir bagaimana alam ini terbentuk? Seperti Ciletuh ini, jutaan tahun proses geologis yang akhirnya membentuk lanskap yang kita lihat sekarang. Ini bukan hanya soal batu dan air, tapi soal sejarah dan kesabaran. Mungkin cinta juga begitu, bukan? Butuh waktu untuk terbentuk, terasah oleh pengalaman, dan akhirnya menjadi sesuatu yang indah dan penuh makna.”
Yosi: “Iya, Yoga. Kadang aku berpikir, alam adalah cermin dari cinta yang sejati. Ciletuh ini, dengan seluruh keagungannya, mengajarkan kita tentang harmoni antara waktu dan kejadian. Setiap lembah, setiap air terjun, adalah hasil dari proses panjang yang penuh kesabaran. Seperti cinta, yang tak bisa dipaksakan atau dipercepat, tapi harus dibangun sedikit demi sedikit, dengan penuh kesadaran.”
Mereka berhenti di dekat Curug Sodong, salah satu air terjun ikonik di Ciletuh. Derasnya air yang jatuh dari ketinggian, menciptakan buih putih yang mengalir dengan tenang ke kolam di bawahnya. Yoga menatap air terjun itu dengan kagum, lalu kembali menatap Yosi.
Yoga: “Air terjun ini… Seperti cinta yang tulus dari Allah, mengalir tak terbendung, memberi kehidupan pada setiap tempat yang dilaluinya. Namun, tak ada paksaan dalam alirannya, hanya mengikuti gravitasi yang ditetapkan-Nya, seperti cinta Allah yang selalu hadir, tapi tak pernah memaksa. Cinta kita pada-Nya, pada alam, haruslah seperti ini. Mengalir dengan tenang, tanpa paksaan, namun penuh kekuatan.”
Yosi: “Benar, Yoga. Alam ini mengajarkan kita tentang makna cinta dalam segala aspeknya. Lihat saja bagaimana hutan ini hidup, bagaimana air ini mengalir. Semua bergerak dalam keharmonisan yang telah ditentukan oleh Sang Pencipta. Seperti itu juga cinta seharusnya; tidak menuntut, tidak menguasai, tapi memberikan ruang bagi setiap makhluk untuk hidup dan berkembang. Dalam cinta yang sejati, kita harus belajar untuk melepaskan, namun tetap peduli, seperti Allah yang mencintai ciptaan-Nya tanpa pamrih.”
Mereka melanjutkan perjalanan, melewati perairan Batik yang unik dengan pola-pola alami yang terbentuk di atas permukaan air. Yoga melihat pola-pola tersebut dengan penuh rasa ingin tahu.
Yoga: “Pola-pola ini… Sepertinya tak ada yang kebetulan dalam cara mereka terbentuk. Ini mengingatkanku pada bagaimana setiap pertemuan, setiap kejadian dalam hidup kita, juga bukan kebetulan. Semua adalah bagian dari rencana yang lebih besar. Mungkin cinta kita pada sesama manusia, pada alam, adalah cara kita untuk melihat dan merasakan kebesaran Allah yang tak terlihat. Cinta adalah alat untuk memahami dan mendekatkan diri kepada-Nya.”
Yosi tersenyum mendengar penuturan Yoga yang penuh makna. Ia merasakan kehangatan yang berbeda dalam hati, sebuah pengertian baru tentang bagaimana cinta bukan hanya sebuah emosi, tetapi juga jalan menuju kesadaran yang lebih tinggi.
Yosi: “Cinta itu adalah bentuk ibadah, Yoga. Ketika kita mencintai alam, kita sebenarnya sedang menghargai ciptaan-Nya. Dengan merawat alam, kita merawat amanah yang diberikan oleh Allah. Ciletuh ini, dengan keunikan geologisnya, mengajarkan kita tentang kebesaran-Nya yang tak terbatas. Dan cinta yang benar adalah yang membuat kita semakin sadar akan kebesaran-Nya, yang membawa kita lebih dekat pada-Nya.”
Mereka tiba di salah satu puncak yang menawarkan pemandangan spektakuler dari seluruh kawasan Ciletuh. Laut biru terbentang luas terlihat dari Puncak Darma, sementara bukit-bukit hijau bergelombang hingga ke cakrawala. Di sini, di atas segalanya, Yoga dan Yosi duduk bersama, merasakan angin lembut yang membawa harum hutan dan laut.
Yoga: “Aku merasa, Yosi, seperti kita diberkahi dengan kesempatan ini untuk memahami cinta dalam bentuknya yang paling murni. Bukan hanya cinta pada sesama manusia, tapi juga pada alam dan pada Sang Pencipta. Seperti Ciletuh yang terbentuk dari proses panjang, cinta kita pun akan teruji oleh waktu. Tapi jika kita membiarkannya mengalir dengan tenang, seperti air terjun yang jatuh, ia akan menjadi kekuatan yang tak terhentikan, menghidupi segala sesuatu di sekitarnya.”
Yosi: “Iya, Yoga. Cinta sejati adalah ketika kita bisa melihat Allah dalam setiap keindahan ini, ketika kita bisa merasakan kehadiran-Nya dalam setiap helai daun dan setiap tetes air. Cinta itu bukan hanya tentang memiliki, tapi tentang merawat dan menjaga, tentang bersyukur atas apa yang telah diberikan, dan memberikan yang terbaik dari diri kita.”
Mereka terdiam, membiarkan keheningan berbicara. Pemandangan di depan mereka adalah saksi bisu dari percakapan penuh makna yang telah mereka lakukan. Di sini, di tengah alam yang agung, cinta mereka menemukan maknanya sendiri—bukan dalam kata-kata, tapi dalam kesadaran bahwa mereka adalah bagian kecil dari rencana besar Allah, yang terjalin erat dengan cinta pada alam dan sesama manusia.
Yoga: “Yosi, mungkin di sinilah kita bisa benar-benar memahami bahwa cinta itu adalah cara kita untuk menyatu dengan alam dan dengan Sang Pencipta. Ciletuh ini adalah pengingat bahwa cinta yang sejati adalah yang membawa kita lebih dekat kepada-Nya, yang membuat kita lebih sadar akan keagungan-Nya, dan yang mengajarkan kita tentang makna kehidupan yang sebenarnya.”
Yosi: “Cinta yang sejati, Yoga, adalah cinta yang membawa kita menuju makrifat, menuju pemahaman yang lebih dalam tentang siapa kita, apa tujuan kita, dan bagaimana kita seharusnya hidup. Di sini, di pelukan alam, aku merasa kita telah menemukan bagian dari jawaban itu.”
Mereka berdua berdiri, menatap pemandangan yang luar biasa di depan mereka. Di tengah keindahan Ciletuh, mereka merasakan cinta yang lebih besar dari sekadar perasaan manusia—cinta yang menghubungkan mereka dengan alam, dengan sesama, dan dengan Sang Pencipta. Sebuah cinta yang akan terus mereka bawa dalam setiap langkah perjalanan mereka ke depan.
Mereka akan menguatkan kembali keterikatan mereka dengan semesta beberapa hari ke depan, sambil menikmati 9 air terjun indah yang terbentuk di alam dan baru ditemukan secara menakjubkan selain Curug Sodong. Yaitu: Curug Cikanteh di desa Ciwaru, Curug Cimarinjung, Curug Puncak Manik (tinggi 80 m), Curug Tengah (tinggi 30 m), Curug Larangan (tinggi 40 m), Curug Awang (Niagara kecil tinggi 20 m) semuanya di desa Ciemas. Ada lagi curug lain yaitu Curug Cigangsa (tinggi 35 m) di Surade, Curug Puncak Jeruk (tinggi 100 m) dan Curug Nangsi (tinggi 35-50 m) keduanya di desa Waluran.
Kreator : Mariza
Comment Closed: Cinta di Pelukan Ciletuh
Sorry, comment are closed for this post.