Pengadilan berlangsung di ruang sidang. Poppy, tersangka korupsi kelas kakap, berdiri dengan penuh percaya diri di depan Hakim Adit. Ia terlihat tenang, seperti sudah tahu permainan ini. Hakim Adit duduk dengan wajah serius, bersiap untuk mendengar pembelaan Poppy.
Hakim Adit memberi kesempatan kepada sang koruptor Poppy untuk buka mulut,”Saudari Poppy, Anda di sini atas tuduhan korupsi. Total kerugian negara mencapai… Ah, terlalu besar untuk disebutkan. Apakah ada pembelaan yang ingin Anda sampaikan sebelum saya putuskan kasus ini?”
Sambil tersenyum tipis Poppy berkata, ”Yang Mulia, saya cuma seorang ‘korban kebijakan’. Semua ini salah sistem, bukan salah saya. Saya hanya ikut aturan yang… ya, mungkin fleksibel sedikit.”
Hakim Adit mengangkat alis seraya bertanya, ”Fleksibel? Ini bukan yoga, Poppy. Di sini aturan tidak bisa dibengkokkan hanya karena Anda merasa nyaman.”
“Tapi, Yang Mulia, saya sungguh tidak tahu menahu soal detailnya. Saya kan cuma tanda tangan!” Poppy membela diri.
Hakim Adit menghela napas panjang lalu berkata, ”Ah, tentu saja. ‘Saya tidak tahu,’ argumen favorit kelas berat. Anda kira ini seperti main monopoli? Ambil kartu bebas keluar penjara dan kabur? Sayangnya, di dunia nyata, tidak ada kartu seperti itu.”
Sambil mengangkat bahu dan masih terlihat tenang, Poppy membantah, ”Tapi, Yang Mulia, bukankah saya hanya menjalankan perintah? Saya kan bukan pembuat keputusan utama. Lagipula, siapa yang akan memperhatikan? Saya hanya mengikuti arus.”
Hakim Adit memandang tajam dan berkata, ”Berbicara soal arus, coba Anda lihat ke luar sana. Gen Z sedang mengubah arus. Mereka tak hanya bikin TikTok dance, Poppy, mereka juga bikin laporan anti-korupsi viral. Dan di dunia mereka, Anda tidak bisa lagi sembunyi di balik jargon, ‘saya tidak tahu’. Setiap gerak-gerik Anda, setiap alasan samar, bisa jadi meme.”
Poppy yang sedikit tersentak dan berusaha untuk tetap tenang kemudian membalas dengan argumen, ”Tapi, Yang Mulia, ini bukan sepenuhnya kesalahan saya. Sistemnya yang korup!”
“Ah, tentu saja. Sistem! Argumen klasik yang menempatkan diri Anda di kursi korban. Tapi izinkan saya memperjelas satu hal, Poppy. Sistem korup karena orang-orang seperti Anda. Dan hukum di sini tidak ‘fleksibel’ seperti klaim Anda tadi. Pejabat yang korupsi itu seperti atlet curang di kejuaraan dunia. Anda mungkin dapat medali emas di kompetisi itu, tapi di lapangan pengadilan, hukuman tegas adalah standar emas,” Hakim Adit bicara tegas dengan nada agak tinggi.
Poppy yang mulai kehilangan kepercayaan diri, mencoba menepis dengan berkata, ”Tapi, Yang Mulia, saya benar-benar tidak tahu…”
Hakim Adit tersenyum tipis, lalu menyela dengan nada penuh humor, ”Tentu, dan jika ‘tidak tahu’ itu bisa dijadikan mata kuliah, pasti sudah banyak yang lulus S1. Tapi sayangnya, di sini Anda bukan mahasiswa, Poppy. Dan kursus itu tidak ada di pengadilan ini.”
[Semua orang di ruangan itu tertawa pelan, sementara Poppy mulai terlihat gelisah.]
Hakim Adit melanjutkan dengan serius, ”Jika Anda berharap bisa lolos dari tanggung jawab dengan dalih ‘tidak tahu’, saya sarankan Anda mengevaluasi kembali strategi Anda. Gen Z dan publik sekarang lebih pintar dari itu. Mereka sudah punya kacamata anti-korupsi, yang jelas-jelas mampu melihat siapa yang bermain petak umpet di balik jargon ‘tidak tahu’. Dan di permainan ini, Poppy, tidak ada yang bisa bersembunyi selamanya.”
Poppy terdiam. Ia tersadar bahwa pembelaannya tidak akan menyelamatkannya kali ini.
“Anda mungkin bisa menghindar dari hukum di masa lalu, tapi kali ini, dengan partisipasi masyarakat yang semakin vokal dan kritis, serta teknologi yang memudahkan pengawasan, era impunitas sudah berakhir. Hukuman yang setimpal sedang menanti Anda. Ngomong-ngomong, Anda kan S2, Anda paham impunitas itu apa?” Hakim Adit menatap Poppy dengan tajam, sementara ruang sidang terasa semakin sunyi, kemudian Hakim Adit melanjutkan, ”‘Impunitas’, bahasa Latin, ‘tanpa hukuman’, artinya seseorang, terutama pejabat atau tokoh yang berkuasa, tidak dihukum atau tidak dikenakan sanksi atas tindak kejahatan atau pelanggaran yang telah dilakukan sekalipun telah melakukan kesalahan atau tindakan ilegal, tetap lolos dari pertanggungjawaban hukum. Oh iya, Anda kan S2, ya? Pasti tidak perlu saya jelaskan lagi,” ujar Hakim Adit ketus, kemudian dengan suara tajam, Hakim Adit berkata lagi, “Jadi, Poppy, Anda pikir Anda beruntung berhasil membeli tanah, sawah dan kebun milik rakyat dengan harga murah kemudian Anda jual lagi ke pemerintah tepat di saat proyek pembangunan tol dimulai? Otak cerdas ya Anda? Mencuri masa depan rakyat dengan harga yang tidak seberapa, lalu menjualnya dengan keuntungan besar ke pemerintah. Dalih Anda apa sekarang?”
Poppy dengan wajah cemas, “Saya hanya ingin memastikan masa depan anak saya terjamin, Pak Hakim. Itu alasan saya…”
Hakim Adit memotong kalimat Poppy dengan tajam, “Demi anak, Anda bilang?! Bukankah seharusnya anak-anak kita diajarkan tentang kejujuran, tentang integritas? Apa yang Anda ajarkan? Bahwa merampas hak orang lain demi keuntungan pribadi bisa dibenarkan? Anda bukan sedang mengamankan masa depan mereka, Poppy. Anda sedang menghancurkannya dengan menanamkan warisan ketidakadilan.”
Poppy tampak tegang, tetapi Hakim Adit terus melanjutkan dengan nada lebih tegas.
“Sekalipun Anda berhasil menyekolahkan kedua anak Anda hingga jadi pejabat sekalipun dan jadi dokter spesialis, hingga mereka mendapatkan segala gelar dan jabatan, tetap saja keluarga yang Anda bangun itu berdiri di atas pondasi yang rapuh, saudari Poppy, — pondasi kebohongan dan ketidakadilan. Apa gunanya semua itu, jika harga yang dibayar adalah kehormatan dan martabat? Anda telah mencemari masa depan anak-anak Anda dengan jejak langkah Anda sendiri!” Hakim Adit seraya mengetukkan palunya sekali lagi, memperkuat pesan bahwa nilai moral tidak dapat ditebus dengan alasan sesederhana ‘demi anak.’
Dalam kegelisahannya, Poppy berkata lirih, “Saya tidak punya pilihan lain…”
Dan untuk kesekian kalinya pula Hakim Adit memotong ucapannya dengan berujar, “Selalu ada pilihan, Poppy! Pilihan untuk tidak menjadi bagian dari sistem yang busuk. Tapi justru Anda terbukti memilih untuk memanfaatkan sistem itu demi kepuasan pribadi. Anda bukan pahlawan bagi anak-anak Anda. Anda adalah contoh buruk yang mereka akan kenang seumur hidup. Anda sudah buruk sejak puluhan tahun lalu, Poppy!”
Selanjutnya Hakim Adit dengan suara tenang namun menusuk, berkata, “Poppy, ada satu hal yang harus Anda ingat baik-baik. Anda mungkin bisa membangun rumah besar dari hasil yang Anda kumpulkan, menyekolahkan anak-anak Anda ke universitas terbaik, dan memoles citra keluarga Anda seolah-olah mereka hidup dalam kemewahan dan keberhasilan. Tapi apa artinya semua itu ketika pondasinya adalah kebohongan, pencurian, dan ketidakadilan? Mereka tidak tinggal di rumah, Poppy. Mereka tinggal di reruntuhan nilai-nilai yang telah Anda hancurkan. Camkan itu.”
Poppy tampak menunduk, mulai merasakan beratnya beban hidup yang selama ini ia coba abaikan selama lebih dari dua puluh tahun sejak ia ditinggal pergi suami untuk selamanya kala anak kedua mereka baru saja terlahir.
Hakim Adit melanjutkan dengan tegas, “Sejarah tidak mengingat mereka yang kaya dari hasil korupsi sebagai pahlawan. Sejarah mengingat mereka sebagai contoh kegagalan moral yang berusaha menyelubungi kegelapan dengan alasan-alasan palsu. ‘Demi anak’, Anda bilang? Anda telah mewariskan mereka sesuatu yang lebih buruk dari kemiskinan: nama yang tercemar dan beban kesalahan yang akan menghantui mereka. Anak-anak Anda tidak butuh uang kotor Anda, Poppy. Mereka butuh teladan, dan teladan itu telah Anda musnahkan dengan tangan Anda sendiri.”
Seluruh ruangan terasa berat dalam keheningan yang mencekam. Poppy akhirnya menyadari bahwa dalam usahanya menyelamatkan masa depan keluarga, ia telah menghancurkan sesuatu yang jauh lebih berharga, yakni nilai-nilai moral, integritas, dan kehormatan.
Hakim Adit mengakhiri pembicaraan dengan nada dingin dan penuh sindiran, “Jadi, selamat, Poppy. Anda mungkin berhasil mengakali sistem untuk waktu yang cukup lama. Tapi satu hal yang tidak bisa Anda kalahkan, yaitu kejujuran sejarah. Dan sejarah, sayangnya, tidak pernah memaafkan orang-orang seperti Anda.”
Hakim Adit mengetukkan palu untuk terakhir kalinya, menutup sidang dengan satu pelajaran akhir yang jelas: keadilan mungkin bisa ditunda, tapi jelas tak bisa dihindari.
Pesan Moral:
Hakim Adit di sini menyajikan sebuah sindiran tajam yang menohok, membongkar tabir alasan-alasan klise yang kerap dipakai oleh para pelaku korupsi. Namun, pesan moral yang cerdas ini tidak hanya sekadar memojokkan Poppy, tetapi juga menyentil dengan humor dan satir yang menggigit.
Sejumlah pesan moral yang dapat ditarik dari adegan tersebut adalah:
1. Fleksibilitas Hukum Itu Ilusi, Keadilan Itu Tegas: Ketika Poppy berdalih bahwa sistemnya ‘fleksibel’, Hakim Adit dengan tajam menjawab bahwa aturan hukum bukanlah gerakan yoga yang bisa dibengkokkan sesuai kenyamanan. Pesan ini mengingatkan kita bahwa hukum memiliki kekuatan yang kaku dan tidak bisa ditawar. Menariknya, Hakim Adit menyisipkan humor ringan untuk mengurangi ketegangan, tapi tetap membuat poinnya jelas.
2. Korupsi Bukan Sekadar ‘Tanda Tangan’ Biasa:
Alasan Poppy yang menyatakan bahwa dia hanya menandatangani dokumen menunjukkan bagaimana pelaku korupsi seringkali berusaha menyepelekan tindakan mereka. Hakim Adit dengan satir mengingatkan bahwa korupsi bukan permainan Monopoli di mana kartu bebas penjara bisa dipakai sesuka hati. Ini adalah pengingat tajam bahwa setiap keputusan yang dibuat, sekecil apa pun, membawa dampak besar, terutama dalam konteks kejahatan korupsi.
3. Generasi Baru, Kacamata Baru:
Hakim Adit menggunakan generasi muda (Gen Z) sebagai cermin perubahan zaman, yang sudah tidak lagi bisa dibodohi oleh jargon atau alasan kosong. Bahkan, dalam komedinya, Hakim Adit menyebut Gen Z sebagai generasi yang bukan hanya mahir menari di TikTok, tapi juga cerdas mengawasi tindak korupsi dengan teknologi. Ini adalah sindiran satir tentang perubahan zaman di mana transparansi semakin tinggi dan pengawasan publik semakin tajam.
4. Argumen ‘Sistem yang Korup’ Itu Klise:
Poppy berusaha menempatkan dirinya sebagai korban sistem yang korup, tetapi Hakim Adit dengan cerdas membalikkan logika itu. Sistem hanya rusak karena orang-orang seperti Poppy yang memilih untuk memanfaatkannya. Ini adalah kritik tajam yang sering kali diabaikan oleh mereka yang terlibat dalam korupsi. Di sini, Hakim Adit menyoroti bahwa sistem bukan pelaku utama, melainkan mereka yang berada di dalamnya.
5. Pendidikan Moral Lebih Penting dari Gelar Doktor: Sindiran terbesar mungkin datang ketika Hakim Adit mengatakan bahwa, bahkan jika anak-anak Poppy berhasil menjadi dokter spesialis, kualitas keluarga mereka tetap buruk jika didasarkan pada kebohongan dan ketidakadilan. Ini adalah sindiran yang menggabungkan pesan moral cerdas dengan komedi pahit tentang betapa sia-sianya kekayaan dan gelar jika tidak disertai dengan integritas.
6. Pilihan Ada di Tangan Setiap Orang:
Alasan terakhir Poppy bahwa dia ‘tidak punya pilihan’ disangkal langsung oleh Hakim Adit, yang menekankan bahwa selalu ada pilihan untuk tidak terlibat dalam kebusukan. Ini adalah seruan moral yang kuat bahwa tanggung jawab individu tidak bisa dilimpahkan ke sistem atau keadaan. Pesan ini menampar keras, tapi diiringi dengan humor pedas yang menyindir betapa klisenya alasan itu.
Poppy menjadi simbol dari mereka yang berusaha mengelak dari tanggung jawab dengan dalih ‘tidak tahu’ atau ‘korban keadaan,’ tetapi Hakim Adit mewakili suara keadilan yang dengan tegas, namun tetap jenaka, membongkar topeng-topeng kemunafikan tersebut.
Kreator : Adwanthi
Part 15: Warung Kopi Klotok Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]
Part 16 : Alun – Alun Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]
Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]
Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]
Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]
Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]
Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]
Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,, begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]
Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]
Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]
Comment Closed: Demi Anak? Demi Harta!
Sorry, comment are closed for this post.