Oleh : Yosep Boli
Sore itu cuaca kurang bersahabat. Matahari sudah condong jauh ke barat tampak samar-samar besembunyi dibalik awan. Awan hitam bergelantum hampir separuh langit pertanda butir-butir air hujan segera tumpah jikalau sedikit diterpa angin. Musim itu di awal Februari, musim beselimutkan hujan dan angin. Ia tidak pernah diajak kompromi, kapan saja ia mau menumpahkan badai dan hujan.
Seminggu sudah kami harus bergelut dengan waktu berada di sini, di tempat belahan jiwaku berbaring pasrah menanti pemulihan dari sakitnya di Rumah Sakit. Tidak ada pilihan lain di pulau itu, hanyalah jalan satu-satunya adalah harus rela beranjak keluar dari pulai kecil itu tempat aku mengabdi walaupun harus melewati derasnya gelombang hanya demi mendapatkan pemulihan raga dari tangan-tangan Tuhan yang saban hari berada di gedung putih, gambaran putih hati mereka yang selalu sedia dan setia melepaskan satu demi satu rasa sakit yang menggerogoti setiap yang datang. Istriku sayang, engkau telah bebas lepas dari jerihmu. Hari ini kita harus kembali ke negeri itu, tempat kita telah berkata sepakat atas panggilan hati untuk mengabdi. Engkau belum kuat tetapi biduk kayu bermesin itu sudah menunggu. Ia harus patuh pada tuannya tanpa takut kalau-kalau lambungnya harus diterpa hantaman ombak yang keras, atau tubuhnya rela diguyur tumpahan hujan dan terpaan taufan. Istriku, mari ku tuntun untuk berserah diri, pergi bersama biduk itu. Kita harus tetap berharap agar diperbolehkan oleh Sang Khalik untuk kembali bernafas legah di pulau itu lagi.
Tali jangkar sudah tergulung pertanda biduk ini harus segera lepas dari daratan mengarahkan haluan mengarungi samudera. Semua kami terdiam menumpahkan harapan kami pada juru mudi, kemana dia membawa kami pergi. Gumpalan awan hitam terlihat berat sekali. Kalaupun ia harus menumpahkan air derasnya, dimana kami harus berlindung. Biduk tak beratap, engkau pasti akan pasrah untuk tidak bisa mengayomi kami. Istriku belum kuat berdiri apalagi harus menahan dingin kalalau-kalau kami harus basah kuyup pasrah.
Sore itu ternyata tak bersahabat terlihat dari tanda-tanda alamnya. Angin mulai bertiup dari arah haluan bertanda arah biduk menuju ke arah barat mata angin. Baru kurang dari satu jam perjalanan kekhawatiran akan tidak bersahabatnya alam terjawab sudah. Titik-titik airpun mulai memercik pertanda sebentar lagi tumpahan derasnya akan mengguyur. Alam pun gelap, jarak pandang pun terbatas ketika tumpahan air menyapa semua kami di atas biduk berdaya muat tak seberapa itu. Kami berserah pasrah menahan derasnya air tanpa ada perlawanan. Ku coba menahan derasnya air dengan pelindung seadanya sekedar untuk sedikit mengusik rasa dingin istri ku. Ku tatap wajanya mulai pasih, bibir kecilnya gemetar menahan dingin.
Tak ada jalan lain kecuali harus berserah diri menahan nasib. Ku tatap wajahnya sedih, istriku belum kuat, bagaimana mungkin ia harus menahan derita baru, derita yang seharusnya dihindari. Dari kejauhan terlihat bayang-bayang daratan muncul di balik derasnya hujan. Tatapan mata tajam jauh tak berkedip kalau – kalau dari balik gelapnya alam masih sempat kutemui onggokan rumah bertengger dipinggiran pantai yang masih nampak suram sambil terus menatap wajah pucat pasih istriku. Dari gemetar mulutnya aku bisa membaca ucapannya, ia pasti memohon untuk kami harus menepi. Ia pasti sudah berserah tidak mampu melanjutkan perjalanan, mungkin belum waktunya kami kembali kesana, kami harus bertengger sementara untuk bertahan sehari dua di daratan yang barusan kami tinggalkan itu.
Aku coba berdiri, mendekati sang juru mudi sambil menujuk ke tempat itu. Kami harus menepi kesana, ke bibir pantai itu, disana pasti ada kehidupan. Istriku harus berdiang disana, di bawah atap rumah daun itu. Juru mudi pasti tidak tega terus membiarkan derita seorang perempuan yang tengah dirundung derita dingin karena guyuran derasnya air bening dari langit. Sang juru mudi pun ikut hanyut dalam rasa ibah. Dengan tanggap ia membelokan haluan menuju ke bibir pantai. Istriku harus kuat, sesekali aku menghiburnya. Dari tatapan dan kedipan matanya ia terlihat memberikan rona akan segera lepas dari pelukan derita. Ku usapi air bening yang mengalir dari rambutnya yang lusuh, ku hapus basah wajahnya dengan bulu rambut tanganku. Istriku, penolongmu ada disini. Aku akan tetap setia dalam untung dan malang, dalam suka maupun duka. Itu sudah menjadi janji kita kala ikrar setia terucap keluar dari bibir kedua belahan jiwa.
Istriku, berbaringlah di isi, di atas uluran lenganku. Aku akan memapahmu dari hati tuk kubawamu menepi di darat itu. Kita harus rehat sebentar menanti tubuhmu mengering di malam ini di bawah atap rumah berdaun itu. Kita harus berpamit dulu dengan biduk itu, ia harus dahulu pergi, memberi khabar tentang kita yang belum sampai tujuan karena kita masih di sini. Mereka yang mendengar tentang kita pasti akan saling bersahut mengiringi kita dalam daras doa mereka agar kita segera kembali bercengkeraman di pulau itu seperti sedia kala. Akhirnya ku papa istriku untuk menepi kedarat menuju ke gubuk itu.
Langkah gontai wajah asing pasti akan terlintas ketika penghuni rumah ini mendengar suara kami, membuka pintu dan mempersilahkan kami berteduh. Ada kecemasan telintas juga di benak ini kalau-kalau kehadiran kami mengusik ketenangan mereka. Aku harus berkata tidak untuk lintasan pikiran ini, paling tidak mereka akan memandang kami dengan hati sebagai orang asing yang butuh tumpangan. Mendengar ketukan pintu sekali saja, seorang ibu setengah baya membuka pintu untuk kami. Senyum campur haru terukir dari wajahnya. Tanpa mengulur waktu ia memastikan kisah cerita yang merundung kehadiran kami sore itu. Dari pada berlama-lama berbagi ceritra karena masih ada malam sementara dari rasa ibahnya ia harus segera memberikan kesempatan untuk menggantikan kain kuyup yang masih melekat di tubuuh kami. Disiapkan kami sebuah kamar tidak seberapa luasnya. Ku buka koper pakaian yang kami bawa serta. Masih tersimpan tanpa tersentu oleh air, membalut tubuh kembali dengan lembaran-lembaran kain kering. Rasa dingin pun mulai terusik dan kami kembali bersua wajah melepaskan kepenatan bersama ibu setengah baya pemilik gubuk itu.
Hati ibu setengah baya itu kembali menyapa kami. Ia pasti sangat memahami keletihan kami setelah beberapa saat kami bersenda gurau dengan seribu satu ceritra. Disediahkan makan malam untuk kami sekedar menepis rasa lapar malam itu. Dalam gurau kami harus berterus terang agar kesesokan harinya kami harus kembali berjalan pulang ke tempat biduk membawa kami pergi sore tadi. Dengan sabar ibu pemilik tumpangan itu menjelaskan arah dan jalur yang harus kami lintasi berdua tanpa ada pertolongan seorang pemandu. Tidurlah nak, besok kalian harus melintasi kelokan jalan setapak itu. Kalian harus pulihkan tenaga malam ini agar memiliki tenaga yang cukup. Berpamitan menuju ke peraduan masing-masing, lelap dalam kesunyian malam. Sayang, aku ada disini. Di atas daging lenganku kau letakan kepalamu agar engkau tetap memperoleh kehangatan. Samar kuliah wajahmu di balik cahaya lentera. Ku usap wajahmu dengan punggung tangan ku. Ada bercak bening terasa di letih wajahmu bertanda engkau berada dalam kehangatan, melupakan kedingan sore tadi. Entah mimpi apa yang harus kita peroleh, namun yang pasti kita halus lelap.
Jago bersahutan satu-satu menjemput subuh. Burung laut pun ikut berkicau riuh. Ku coba usap dua mata ini agar segera terbuka lebar setelah aku sudah terjaga betul dari tidur. Dari bayang lampu lentera di ruang tamu, dalam remang kucoba menghapiri istriku yang masih lelap beralaskan bantal lenganku. Desah napasnya masih terdengar dekat dengan telingaku pertanda ia masih tenggelam dalam lelapnya. Haruskah aku memotong lelapnya agar ia segera terjaga dan mendengar bisikan lembutku bahwa kita belum tiba dipulau itu dan harus berkemas untuk berjalan pulang. Aku bisikan kata lembut di telinganya, sekali dua dan ia pun terjaga. Sayang, kita tidak bisa melanjutkan lelap kita sampai fajar datang. Kita harus menekukan kaki untuk segera bangkit, jalan kita mungkin saja masih panjang, bisa bekelok melewati semak atau mungkin melewati jalan terjal bebatuan. Semua itu baru setumpuk kemungkinan. Yang pasti kita harus menumpukan tenaga pada kaki agar bisa tiba kembali di tempat di mana awal kita bertolak karena melalui titik itu kita akan dijemput untuk mengulangi kisah awal perjalanan kita menuju pulau pengabdian itu.
Ibu setengah baya pemilik gubuk itu pun terbangun, ia kut menyiapkan keberangkatan pulang kami. Dari cela dinding bambu kami bisa melihat samar-samar cahaya subuh pertanda malam telah mengakhiri peraduannya. Hanya ungkapan terima kasih sebagai tanda balas jasa kepada ibu setengah baya itu ketika kami mengakhiri kebersamaan sesaat itu untuk segera pamit pergi. Di depan pintu kami berjabat, melepas sua mengiringi langkah kaki ini untuk berjalan pulang.
Matahari pagi bersinar lugas dari arah belakang, sesekali tersembunyi di balik rimbunan pepohonan lontar. Kami tidak tahu apakah sudah separuh perjalanan dua pasang kaki ini melangkah padahal jarum jam di tangan istriku sudah berada di titik sembilan padahal dari rumah penginapan tadi ketika kami berpamitan matahari belum nampak. Keluar dari pemukiman warga, menyusuri kelok jalan setapak penuh lumpur menjadi teman perjalanan kami. Berjibaku dengan bekas tapak-tapak kaki hewan ternak menjadi pemandangan yang mencemaskan. Mereka bisa saja bersahabat, bisa juga tidak. Yang pasti kami hanya berdua, tak seorang pun yang bisa menuntun apalagi memberikan pertolongan.
Ku genggam erat tangan istriku, menuntun langkahnya yang sudah mulai lunglai akibat tak berujungnya perjalanan ini. Jalan setapak berlumpur semakin tak bersahabat lagi sebagai akibat pijakan tapak-tapak kaki kerbau. Lenguh hewan-hewan piaraan bersahutan menambah seramnya suasana ketika itu. Berharap datangnya sesosok insan penyela ketakutan sekaligus menjadi penolong agar kami bisa keluar dari kemelut hilangnya arah perjalanan. Dan sungguh-sungguh kami kehilangan arah jalan. Tidak tahu kami harus melewati jalan yang mana. Semuanya sudah bercampur aduk tanpa bekas. Jalan setapak ini betul-betul takberbekas.
Ku genggam erat lembut jemari tangan istriku mewakili suara hati ini. Ia menatapku pasrah tak tahu harus berkata apa. Ia terlihat menumpahkan harapan haya padaku seorang yang mampu membawanya selamat. Penat bahu ini tertindih jinjingan tas bahuku sementara sebelah tangan ini ikut lelah meneteng tas koper. Sesekali istriku mengeluh ikut merasa penat menenteng bekal perjalanan, satu termos air hangat. Dari guratan wajahnya ia terlihat menatapku penuh kasihan pertanda kami harus segera menepi menekuk kaki mengurangi sedikit kepenatan sembari meguk air hangat pemulih tenaga.
Kemana lagi kita harus melangkah walaupun semangat ini masih ada. Kita harus berbuat sesuatu diluar kemampuan dan tenaga kita karena yang ada pada kita hanyalah tinggal pasrah. Semangat masih bisa kita kumpulkan kembali namun arah sudah tidak kita temui lagi. Menemui jalan buntu seperti ini bukan butuh kekuatan raga namun butuh ketenangan jiwa dan kelembutan rasa. Nuansa itu tergambar dari tutur lembut yang keluar dari mulut istriku, doa seorang ibu. Sayang, kamu memang rapuh raga tetapi harus kuat hati. Hanya daras doa yang bisa membawa kita keluar dari pencobaan ini. Mari sayang, kita katupkan tangan menyatu dengan dada tanda harapan sembari mengangkat hati memohon pertolongan dari sang penolong dan juru mudi utama, Sang Khalik Yang Akbar. Keluar mengalir deras daras doa warisan leluhur Juru Selamat utama yang siap membantu dalam perjalan penuh cobaan agar cepat terbebaskan.
Bapa kami yang ada di surga. Dimuliakanlah nama-Mu. Datanglah kerajaa-Mu, jadilah kehendak-Mu, di atas bumi seperti di dalam surga. Berilah kami rezeki pada hari ini, dan ampunilah kesalahan kami seperti kamu pun mengampuni orang yang bersalah kepada kami. Dan janganlah masukan kami kedalam pencobaan tetapi bebaskanlah kami dari yang jahat. Kata Amin menutup daras doa ini pertanda masih ada harapan.
Ya Tuhan, Engkau tidak pernah menunda untuk memberi jawaban doa kami. Di depan kami sudah Engkau utus seorang juru selamat pengganti-Mu melalui langkah pasti seorang laki-laki berusia lanjut. Ia tanpa suara, bertelanjang dada dengan sarung kusam terlilit di pundaknya menatap setiap langkahnya terbenam pasrah dalam lumpur.
Begegaslah kami membuntuti langkah lunglai itu tetapi ia semakin menjauh menghilang dibalik rerimbunan hutan lontar. Kami tidak cemas atas menghilangnya raga tua itu karena masih ada sisa tapak kakinya yang sengaja ia tinggalkan sebagaI kompas penuntun. Ia pasti pergi ke suatu tempat dimana sanaknya berada. Disana pasti ada kehidupan bersama. Rasa penat berubah menjadi berkah padahal kami sudah melewati perjalanan jauh tanpa ada penghuni. Yang kami temui hanyalah padang ilalang berlumpur dan rerimbunan pepohonan lontar. Semuanya sudah pergi, hilang menjauh bersama lenyapnya hamparan ilalang. Suka cita pengobatan cemas nampak dari senyum sunggingnya dari dua rasa. Kami bercakap dalam nyanyian simbolis lewat siulan pujian hati sebagai obat lara. Langkah kembali tegap penopang raga diiringi ayunan lepas bebas kedua lengan dari bahu yang sudah kembali kuat menopang. Terdengar sayup nyanyian jago bersahutan bersama lolongan anjing seolah-olah memberi isyarat bahwa sesamaku ada di sana. Asap dari dapur api pun sudah terlihat mengepul membumbung pertanda ada sesama kami membangun kehidupan bersama. Ada deretan perkampungan seakan-akan menjemput kedatangan kami dan siap menghantar kami ke tujaun.
Doa titipan sang Khalik itu sungguh doa ajaib. Lewat doa itulah Tuhan menghantar seorang penolong. Kami tidak sempat meraih tangannya untuk bersalam syukur, tetapi itulah jalan Tuhan. Jalan Tuhan yang dititipkan kepada lelaki tua itu ketika ia melintas di depan kami. Kami hanya membuntutinya dari arah kemana ia pergi melalui tapak kakinya. Ia menghilang dengan titipan ucap salam lewat tapak kakinnya. Kami terselamatkan oleh janji Tuhan melalui doa AjabNya,’ Bapa Kami’.
Hanya ada nada syukur di dada ini bersama belahan jiwa. Istriku, kemarilah mendekat tuk kita daraskan doa lagi karena dengan cara ini kita mengungkapkan syukur kita. Melalui daras doa ini kita pun bisa mengiringi langkah lelaki tua itu agar ia diberi berkat duniawi yang tentu kelak menjadi bekal untuk menghadap sang Khalik. Utuk ibu setengah baya itu, engkau pasti mendapatkan ganjaran berlimpah dari Sang empunya Rahmat.
Hampir separuh hari dua pasang kaki ini menyusuri jalan setapak penuh onak kerikil bebatuan. Hanya air hangat menjadi alas lambung. Hanya melalui dan dengan perantaraan doa ajaib itu tetap menjadi wakil daras doa untuk tangan-tangan yang telah menuntun perjalanan kami. Istriku, marilah melepaskan penat kita di tempat ini. Tempat yang kemarin barusan kita berpamit tetapi Tuhan menghendaki kita harus menjumpainya lagi. Kita akan kembali merlayar lagi mengarungi lautan yang sama. Pastikan cobaan di hari kemarin tidak akan terulang lagi karena kekuatan doa ajaib itu tetap memberikan kita keajaiban untuk berada kembali di pulai itu.
Part 15: Warung Kopi Klotok Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]
Part 16 : Alun – Alun Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]
Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]
Dalam dunia pendidikan modern, pendekatan sosial emosional semakin banyak dibahas. Salah satu model yang mendapatkan perhatian khusus adalah **EMC2 sosial emosional**. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan Definisi EMC2 sosial emosional? Mengapa pendekatan ini penting dalam pembelajaran? Mari kita bahas lebih lanjut untuk memahami bagaimana EMC2 berperan dalam perkembangan siswa secara keseluruhan. Definisi EMC2 Sosial […]
Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]
Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]
Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]
Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,, begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]
Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]
Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]
Comment Closed: DOA AJAIB (Mujizat Doa BAPA KAMI)
Sorry, comment are closed for this post.