Di sebuah daerah di Kabupaten Banyumas, tinggallah sebuah keluarga sederhana yang hidup dengan penuh kasih sayang. Keluarga ini terdiri dari seorang ibu bernama Ibu Rina, suaminya Pak Ahmad, dan tiga anak mereka: Raka, Fajar, dan Bintang. Raka, anak laki-laki tertua, telah tumbuh menjadi remaja yang mandiri, bersekolah di luar kota menuntut ilmu agar dapat hidup mandiri suatu saat. Sedangkan Bintang, si bungsu, masih berusia delapan tahun dan selalu menjadi pusat perhatian keluarga.
Suatu hari, Pak Ahmad dan Ibu Rina merasa bahwa sudah saatnya Fajar dan Bintang menimba ilmu agama lebih dalam di sebuah pondok pesantren. Mereka ingin agar mereka kelak menjadi insan yang berakhlak mulia dan mampu menuntun keluarga serta masyarakat sekitar dengan ilmu agama yang kuat. Keputusan ini bukanlah keputusan yang mudah. Meskipun dengan hati yang berat, mereka tahu bahwa pesantren adalah tempat terbaik untuk pendidikan Fajar dan Bintang. Pak Achmad dan Bu Rina Beranggapan bahwa setelah Raka anak yang pertama menimba ilmu di sekolah umum dan berkuliah di luar kota bukan dalam bidang agama sehingga merasa dua anak yang lain lebih banyak memperdalam ilmu agama.
Hari itu, saat waktu keberangkatan Fajar dan Bintang, rumah yang biasanya dipenuhi canda tawa anak-anak mendadak terasa sunyi. Ibu Rina menatap koper-koper yang sudah siap dibawa. Pikirannya dipenuhi berbagai kenangan saat Fajar dan Bintang masih kecil, berlarian di pekarangan rumah, meminta pelukan setelah pulang sekolah, atau sekadar bercerita tentang hari-hari mereka.
Di sudut ruangan, Pak Ahmad duduk dengan diam, menatap ke luar jendela. Matanya berkaca-kaca, meskipun dia berusaha keras menyembunyikan kesedihannya. Sebagai seorang ayah, ia tahu bahwa ini adalah bagian dari tanggung jawabnya, tetapi tak bisa ia pungkiri, hatinya berat melepas anak-anaknya pergi.
Di pelataran rumah, Fajar dan Bintang berdiri dengan tas di punggung. Bintang yang lebih pendiam, sesekali melirik Fajar, sementara Fajar yang lebih tua berusaha tegar di depan adiknya. Namun, sorot mata mereka tak bisa menyembunyikan kegundahan. Mereka sama-sama tahu, pergi ke pondok pesantren bukan hanya berarti belajar, tapi juga berpisah dari keluarga tercinta.
Ibu Rina mendekati kedua anaknya, menatap mereka dengan penuh kasih. “Ingat ya, Nak,” suaranya bergetar, “Ibu dan Ayah selalu mendoakan kalian. Tetaplah rajin belajar, jaga sholat, dan jangan lupa untuk selalu bersyukur.”
Raka menunduk, tak kuasa menahan air mata yang mulai mengalir. Bintang, yang biasanya tegar, akhirnya juga tak sanggup menahan isak tangis. Mereka memeluk ibu mereka erat-erat, seakan tidak ingin melepaskan. Pak Ahmad kemudian mendekat, menyentuh bahu kedua anaknya dengan lembut. “Kalian kuat, kalian bisa. Ingatlah, ini bukan perpisahan. Ini hanyalah bagian dari perjalanan untuk menjadi lebih baik.”
Setelah melepas pelukan itu, Ibu Rina dan Pak Ahmad menatap anak-anak mereka yang perlahan berjalan menjauh menuju mobil yang akan membawa mereka ke pesantren. Suasana hening menyelimuti rumah. Malam itu, setelah semua selesai, Ibu Aisyah dan Pak Ahmad duduk berdua di ruang tamu. Kesunyian yang begitu nyata memenuhi ruangan. “Aku tidak pernah membayangkan rumah ini akan sepi seperti ini,” bisik Ibu Aisyah sambil menahan tangis.
Pak Ahmad meraih tangan istrinya, menenangkannya meski dirinya sendiri juga merasa hampa. “Ini demi masa depan mereka, Sayang. Kita hanya bisa berdoa agar mereka kuat dan selalu dilindungi Allah.”
Malam-malam berikutnya, Ibu Rina semakin sering berdoa panjang di atas sajadahnya. Di setiap sujud, ia memohon agar kedua anaknya diberi kemudahan dalam belajar, kesehatan, dan keselamatan. Ia merasakan betul kekosongan di hatinya, namun ia juga sadar bahwa sebagai seorang ibu, ia harus tegar dan percaya pada takdir Allah. Pak Ahmad pun tak henti-hentinya berdoa setiap selesai shalat, memohon kepada Allah agar anak-anaknya selalu dalam lindungan-Nya.
Waktu berlalu. Surat dan kabar dari Fajarcdan Bintang selalu menjadi penyemangat bagi Ibu Rina dan Pak Ahmad. Setiap kali membaca surat itu, hati mereka terasa lega. Meski berat, mereka tahu bahwa apa yang mereka lakukan adalah untuk kebaikan anak-anak mereka.
Di setiap doa yang dipanjatkan, selalu terselip harapan bahwa suatu hari nanti, Fajar dan Bintang akan kembali sebagai pemuda yang lebih baik, dengan ilmu agama yang dapat mereka terapkan dalam kehidupan. Dan meski jarak memisahkan, cinta dan doa seorang ibu dan ayah tak pernah jauh dari anak-anaknya.
Kreator : Safitri Pramei Hastuti
Comment Closed: Doa Ibu di Balik Langkah Anak Menuju Pesantren
Sorry, comment are closed for this post.