KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Cerita Anak
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » HARI INI HARUS LEBIH BAIK DARI HARI KEMARIN

    HARI INI HARUS LEBIH BAIK DARI HARI KEMARIN

    BY 20 Jul 2024 Dilihat: 51 kali
    HARI INI HARUS LEBIH BAIK DARI HARI KEMARIN_alineaku

    Bagian 1
    MELAYANG

    (Timika, Akhir  Desember 2030)

     

    Dengan langkah yakin dan penuh semangat Roland memasuki pesawat Batik Air. Dipandanginya lagi satu tiket pesawat Batik Air Timika-Padang yang tadi baru saja diperiksa kembali oleh petugas. Pesawat ini sebentar lagi akan membawanya terbang menuju Padang. Dalam waktu kurang lebih 8 jam  Roland akan mendarat di Bandara Minangkabau, Padang.  Sengaja dipilihnya penerbangan singkat karena hatinya yang tak sabar bertemu kembali sahabatnya, Rafka, setelah hampir dua tahun sejak lulus dari ITB mereka tak saling jumpa. Walau mereka tetap saling berhubungan melalui telepon genggam ataupun platform digital lainnya, perjumpaan langsung akan lebih terasa bermakna. Kabar di penghujung tahun ini membawanya sampai pada niatan ini. Rafka akan menikah dengan gadis pujaannya, Amanda, yang menjadi sahabatnya sejak ia pindah kembali ke kota asal keluarganya setelah peristiwa berdarah di Wamena saat mereka masih duduk di bangku SMP kelas 1 di tahun 2019. Mereka bertiga bersahabat selama mereka berkuliah bersama di ITB, Bandung. Amanda, yang biasa mereka panggil Manda, adalah gadis asli kelahiran kampung asal keluarga Rafka, Lengayang, sangat manis dan cerdas. Amanda telah memutuskan mengakhiri status sebagai sahabat Rafka menjadi istri Rafka. Amanda telah menautkan hatinya pada Rafka. Rafka memang pantas mendapatkannya karena Rafka baik, pintar, dan sangat penyayang. Roland hanya tidak menyangka mereka akan menikah karena selama mereka bertiga bersahabat tidak pernah terlihat adegan romantis di antara keduanya atau sikap keduanya seperti layaknya orang yang saling mencintai. Mereka pandai menutupinya dari Roland. Rafka memang pernah mengatakan pada Roland ,”Di agama kami, Islam, tidak ada aturan diperbolehkannya berpacaran. Langsung menikah”.  “Ah, banyak yang belum kupahami dari aturan agamamu, Rafka,” hatinya berujar sesaat, “yang jelas aku merasakan kedamaian dari sikapmu dan pandanganmu tentang hidup  dan kehidupan berkat apa yang kamu yakini dari agamamu, Islam”. 

     

    Dicarinya nomor kursinya sebagaimana nomor yang tertera di tiket. Setelah menemukannya, Roland bersyukur mendapatkan kursi dekat dengan jendela. Tas selempang kecil yang masih melingkar di pinggangnya coba dibetulkan posisinya agar ia nyaman untuk duduk. Tas ini tidak disimpannya dalam bagasi barang seperti tas besar berisi oleh-oleh dan kado untuk pernikahan Rafka dan Amanda saat boarding pass tadi karena berisi barang-barang berharganya seperti dompet dan kartu-kartu identitasnya. Didudukannya tubuhnya di kursinya. Aahh, nyaman. Dipandanginya pemandangan bandara Timika dari jendela pesawat. Kesibukan petugas bandara hilir mudik terlihat, juga beberapa pesawat yang masih banyak terparkir ingin bersiap terbang. Timika sebentar lagi ditinggalkan Roland untuk sesaat. 

     

    Timika, kota yang hampir dua tahun ini menjadi tempat tinggal Roland sejak ia memutuskan kerja di PT Freeport Indonesia setelah lulus dari ITB. Mace Roland hampir tidak menyetujui putusan Roland ini pada awalnya, mengingat Mace ingin sekali ditemani oleh Roland mengurus Pace yang stroke. Akan tetapi, mengingat biaya-biaya perawatan dan terapi Pace yang cukup besar tiap bulannya, akhirnya Mace menyetujui rencana Roland ini.  Adik Roland yang akhirnya bersedia dengan tulus membantu Mace. Mace  Roland tahu persis sebetulnya bahwa keberadaan Roland di Timika untuk bekerja di PT Freeport Indonesia merupakan cita-cita Roland sejak SD. 

     

    Tiba-tiba Roland teringat kembali  dengan sosok Ibu Ida. Ibu Ida adalah sosok guru yang tegas dalam bersikap dan simpel dalam berkata-kata. Perpaduan karakter dasar kedua orang tuanya, ayah asli Papua dan ibu asli Batak, telah membuat Bu Ida memiliki karakter khas tersebut. Wajahnya hitam manis. Pandangannya selalu teduh. Penyabar juga. Cerdas. Tampilannya sederhana, tapi menarik. Roland begitu merasakan getar-getar kasih sayang dan perhatian Bu Ida yang khusus padanya. “Ya, wajar bila aku mendapat perlakuan khusus dari Bu Ida, aku nakal,” batin Roland. Akan tetapi, gelora semangat Bu Ida yang tiada pernah padam menasihati, membimbing, bahkan menyemangati Roland untuk sabar dalam tekun belajarnya dan untuk sabar dalam perjuangannya, perlahan mengubah sikap iseng dan bandelnya menjadi sikap baik dan bisa diteladani teman-teman lainnya. Sikap Bu Ida yang sabar menyuruhnya untuk berubah menjadi semakin baik hari demi harinya telah membuat Roland tiada pernah gentar dalam setiap ujian sekolah juga dalam setiap ujian hidup yang dihadapinya. Terngiang selalu nasihat Bu Ida menyemangatinya dalam meraih cita-cita bahwa ia pasti akan mampu berkuliah dan bekerja di PT Freeport Indonesia. Bu Ida berulang-ulang menyampaikan nasihat tersebut dengan penuh keyakinan hingga nasihatnya melekat kuat dalam ingatan Roland. Pun dalam ingatan sahabatnya, Rafka. “Tanpa Rafka, aku waktu itu tidak bisa seperti yang diharapkan Bu Ida, menjadi lebih baik dan pintar,”batinnya lagi. “ Bu Ida, aku kini sudah berhasil meraih cita-citaku. Cita-cita yang selalu Ibu hujamkan dalam hati dan pikirku”.  

     

    Lamunan Roland dibuyarkan oleh suara pramugari cantik yang memberitahukan para penumpang bahwa pesawat akan segera lepas landas. Pramugari tersebut memberikan arahan SOP yang diperagakan oleh temannya kepada Roland dan para penumpang lainnya demi kenyamanan dan keselamatan perjalanan. Roland mengikuti instruksi tersebut satu per satu. Tidak berapa lama, beberapa pramugari berjalan untuk mengecek kembali kesiapan setiap penumpang. “Beres,” jawab Roland sambil mengacungkan jempolnya pada seorang pramugari cantik. Pramugari cantik itu tersenyum menggoda. “Terima kasih, Pak”, serunya. Roland tergelitik melihat senyum manisnya. Seandainya hatinya belum terpaut pada seseorang di Lengayang, mungkin sudah diajaknya berkenalan pramugari itu. Siapakah yang telah membuat hati Roland terpaut itu? Ah, semua belum pasti. Roland akan memastikan lagi nanti selama ia berada di Lengayang. “Semoga ia pun mau menerima cintaku,” batin Roland berharap.  Untung sepekan kemarin telah diselesaikannya tugas-tugasnya yang deadline di tanggal-tanggal ia harus berada di Lengayang sehingga atasannya dengan rela memberinya izin cuti sepekan. Roland mendapat 4 hari izin cuti resmi dan 3 hari bonus libur dari atasannya yang menjadi hadiah buatnya karena ia sudah menyelesaikan beberapa tugas lebih awal. “Kamu tetap harus standby ya. Kemungkinan kantor suatu saat menghubungimu untuk meminta penjelasan-penjelasanmu terkait tugas yang menjadi tanggung jawabmu, Roland !”, pesan atasannya saat ia berpamitan di hari terakhirnya kerja sebelum cuti. “Baik, bos,” Roland menjawab dengan lugas tapi tegas.  

     

    Pesawat mulai lepas landas. Perlahan dirasakannya pesawat bergerak perlahan kemudian semakin cepat dan mengangkasa. Awalnya Bandara Timika masih terlihat dengan jelas di bawah sana, kemudian semakin lama semakin tidak terlihat seiring dengan berbeloknya arah pesawat. Hanya pulau-pulau kecil dengan garis pantai yang indah memanjang milik Timika yang masih terlihat, yang lama kelamaan juga akhirnya menghilang saat pesawat mulai berada di balik awan.  Roland terkenang dengan Timika. Timika adalah kota dengan orientasi industri dan jasa sejak perusahaan berskala nasional dan internasional hadir menyemarakkan kehidupan masyarakatnya. Salah satunya adalah perusahaan tempatnya bekerja, PT Freeport Indonesia. Sebagai salah satu perusahaan tambang terkemuka di dunia yang melakukan eksplorasi, menambang, dan memproses bijih yang mengandung tembaga, emas, dan perak di Dataran Tinggi Timika, PT Freeport Indonesia telah berhasil meningkatkan perekonomian masyarakat Papua dengan memperkerjakan masyarakat asli Papua. Tercatat hampir 40% karyawannya berasal dari tujuh suku asli yang mendiami Timika (Amungme, Kamoro, Damal, Dani, Nduga, Mee, dan Moni) selain sisanya berasal dari berbagai kota di Indonesia dan beberapa negara. Keragaman ini membuat kehidupan masyarakat Timika semakin dinamis. Bahkan, PT Freeport Indonesia mampu memberikan setoran hingga  60 miliar USD kepada pemerintah Indonesia. Roland amat bangga  pada dirinya bisa menjadi bagian yang memberikan sumbangan bernilai itu kepada masyarakat Papua dan Indonesia. Alam Timika juga tidak kalah indah dengan daerah kelahirannya, Wamena. Pulau Keakwa, sebuah pulau yang langsung menghadap ke Laut Arafuru yang menjadi destinasi pariwisata yang terkenal di mancanegara menghadirkan pasir putih memanjang yang mengelilingi pulau dengan pohon mangrove tumbuh subur melindungi garis pantai dan area pemukiman. Roland pernah berkunjung ke pulau itu sewaktu acara family gathering kantor. Ia sangat mengagumi pulau itu juga dua pulau yang ada sebelum sampai ke pulau itu, yaitu Pulau Bidadari dan Pulau Puriri, sama indahnya.  Timika semakin dikenal dan banyak didatangi para turis lokal dan mancanegara sejak  pemerintah pada sekitar tahun 2008 meresmikan bandara ini menjadi bandara internasional. Pemerintah pusat telah berhasil merenovasi bandara ini menjadi jauh lebih nyaman. Traveler ataupun turis akan disambut dengan berbagai ornamen menarik khas Papua. Bandara ini dapat menggantikan rasa lelah pendatang dengan pemandangan yang sangat memanjakan mata dengan  adanya beberapa ukiran khas Papua yang dipajang di atas konveyor dan dinding-dinding bandara. Halaman luar bandara juga tidak kalah menarik dengan adanya ban raksasa yang berhiaskan bendera-bendera dari berbagai negara. 

     

    Pesawat sudah hampir setengah perjalanan. Waktu terus bergerak. Perpindahan wilayah waktu dari Indonesia bagian timur (WIT) ke wilayah waktu Indonesia bagian barat (WIB). Terdengar kembali suara pramugari cantik tadi. ”Makan siangnya, Pak”, ujarnya lembut sambil menyerahkan nampan kecil berisi menu makan siang dalam kotak yang dilapisi alumunium foil dan segelas air mineral serta jus buah. “Terima kasih,” ujar Roland dengan sedikit menggoda. “Aahh… kamu memang menarik dan sangat cantik,” pandangan Roland tertumbuk pada wajah pramugari sambil bergumam pelan. Pandangan itu membuat pramugari itu malah mengira Roland membutuhkan kembali bantuannya. “Ada yang bisa saya bantu lagi, Pak?”, katanya hangat menyambut pandangan Roland. “ Oooh.., tidak. Tidak ada. Terima kasih. Harum menu makanannya sangat menggoda selera,” gantian Roland menjawab dengan sapuan wajah yang sedikit malu. “Bapak bisa menebak menunya? Makanan khas kota yang akan Bapak tuju,” kembali pramugari cantik itu membalasnya dengan senyumannya sambil memberinya tebakan. 

     

    Haruuuumm….. Betul, kotak makan siang yang disuguhkan pramugari cantik itu memang mengeluarkan aroma harum yang sudah dihafalnya. Seketika ingatannya melayang ke ibunya Rafka, Bundo. Ya, ini makanan favorit Roland yang selalu Bundo sajikan saat Roland main dan menginap di rumah Rafka. Ini pasti ayam bakar khas Padang. Bumbu rempah khas Padang dengan rasa yang cukup pedas pasti membaluri sepotong ayam di dalam kotak itu. Aroma bakar yang keluar juga tercium. Nasi hangat dan lalapan serta sambalado ijo pasti juga ada.  Roland jadi rindu masa lalunya, masa kecilnya bersama Rafka dan keluarganya. Ia pandangi kotak makan siang itu sambil tanpa disadarinya ingatannya kembali melayang ke masa kecilnya.

     

    “Lekaslah tempo, Roland. Kitorang harus pigi skola, nan talambat, faiman indo, Ko!” suara Mace menggelegar membangunkan Roland dari tidurnya. Hari masih pagi. Baru jam 6 kurang. Hawa masih terasa dingin. Mace Roland memang mengingatkan Roland dari semalam kalau pagi ini harus bangun lebih awal karena hari pertamanya bersekolah. Cuma karena memang beberapa hari ini angin sejuk dingin Lembah Baliem sedang sering berhembus pasti membuat orang-orang lebih memilih untuk bangun siang. Begitu juga dengan Mace Roland, demikian dugaan Roland. Ternyata dugaannya salah. Mace-nya telah bangun subuh hari seperti tetangga-tetangganya yang muslim. Mace menyiapkan sarapan dan segala sesuatunya untuk perlengkapan Roland bersekolah.  Buat Roland yang kerjanya hanya main, makan, dan tidur saja seharian, bangun pagi adalah hal yang teramat susah. “Ayolah….pigi mandi. Mace lah bikin air hangat untuk Ko mandi. Bangun !”, suara Mace kembali menggelegar. Kali ini di telinga Roland. Roland bangun. Segera diambil handuknya dan pergi ke kamar mandi. Di sana sudah ada seember air hangat yang disediakan Mace untuknya. Begitu kembali ke kamar, Roland mendapati sepasang seragam merah putih lengkap dengan dasi dan topi. “Lekaslah berpakaian. Sepatu dan kaos kaki di teras. Ko makan dulu…sini.. Mace tunggu Ko di ruang makan. Nasi goreng telur lah Mace siapkan,” teriak Mace dari arah ruang makan. Bergegas Roland berpakaian seragam. Ini adalah hari pertamanya masuk sekolah SD. Ia belum pernah bersekolah sebelumnya. Mungkin karena Roland nakal, Mace Roland tidak mendaftarkan Roland di sekolah taman kanak-kanak. Mace khawatir Roland nanti hanya akan mengisengi dan membuat menangis teman-temannya. “Tampan juga aku dengan memakai seragam SD ku”, Roland memuji dirinya sendiri sambil senyam-senyum. Ia gunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar, yang ia dengar dari drama keluarga di TV.  “Pelajaran banyak bisa Sa pelajari langsung di TV, kenapa Sa harus sekolah? Skola rumah lebih menyenangkan,” Roland mengernyitkan dahinya. Ia merasa aneh dengan Mace yang memaksanya pergi sekolah. Setelah rapi, ia pergi ke ruang makan. Perutnya berbunyi kencang minta diisi. “Aneh Ko jadi lapar. Biasanya Ko masih tidur bersama Sa,” ujar Roland kepada perutnya. “Puji Tuhan, tampan kali Ko, Roland, anak Mace sayang,” puji Mace begitu Roland sampai di ruang makan. Pace dan adik Roland juga sudah ada di sana. Mereka kemudian berdoa dan makan pagi bersama. 

     

    Kitorang akan bangun pagi-pagi mulai saat ini. Demi Ko, Roland, menyemangati Ko skola. Skola nan buat Ko baek hidup, baek cita-cita. Skola bikin Ko punya banyak kawan. Ko nan jang bakalai, Roland. Jadilah anak baek. Pace dan Mace ingin Ko semangat bangun ini Papua, tanah lahir kita. Jadilah orang berguna, Roland,” pesan Pace pada Roland setelah menurunkan Roland, Mace, dan adik Roland dari motornya di depan gerbang sekolah SD. Roland asal mengangguk. Ia masih belum mengerti maksud perkataan Pace-nya. “ Ada apa dengan skola? Bangunan seperti ini bisa bikin hidup orang berubah? Aneh,” Roland masih berpikir sekenanya. “Pulang sandiri nan ya, Mace. Pace punya urusan dulu”, Pace ganti berkata pada Mace. “Baek, Pa,” jawab Mace. “Baek-baek Ko, Roland ya,” pesan Pace lagi pada Roland.  Setelah Pace menghilang dengan motornya, berbelok di jalan depan sekolah, mereka melangkahkan kaki memasuki sekolah. Dilihat dengan jelas oleh Roland gerbang sekolah dengan gapura megah. “SDN Wamena Kota. Begitu tulisannya yang tertulis, Roland,” kata Mace sambil menunjuk ke arah atas gerbang sekolah. Roland mengangguk sekenanya.

     

    Lengan kokoh Mace mencekal lengan Roland dengan cepat ketika Roland baru ingin melarikan diri menjauhi sekolah. Suara Mace yang cukup menggelegar kembali terdengar, menarik perhatian seluruh orang tua siswa baru yang mengantarkan anaknya sekolah. “Roland, Ko mau ke mana? Jang bikin malu. Skola sana!” teriak Mace. Roland setengah dilempar Mace ke arah depan kelas, menyenggol seorang anak hingga anak itu hampir terjatuh. Ibu anak yang tersenggol itu segera meraih lengan anaknya untuk mencegahnya terjatuh. Segera Mace mendatangi ibu anak itu. “Maaf ibu, saya tidak bermaksud seperti itu, membuat anak ibu hampir terjatuh,” suara Mace tulus memohon maaf. “Tidak apa-apa”, balas ibu anak itu juga dengan tulus. Anak yang tersenggol Roland dan hampir jatuh itu, berjalan mendekati Roland dan malah mengajak Roland untuk masuk kelas.  “Hai, kenalkan, saya bernama Rafka. Skola adalah tempat yang menyenangkan. Kitorang bisa punya banyak teman, banyak ilmu, baek cita-cita, baek hidup nanti. Percaya, deh. Ayo, kitorang masuk kelas,” ajaknya. Roland seperti terhipnotis oleh gaya bicara anak itu. Hatinya terasa nyaman dan klop dengan anak itu. Roland dengan mudah mengikuti ajakannya untuk masuk kelas, mencari meja yang sama. 

     

    Sejak itu Roland dan Rafka bersahabat. Mereka selalu bersama-sama. Rafka memberikan dampak positif pada perubahan perilaku dan cara pandang Roland tentang sekolah. Karenanya, bapak ataupun ibu guru tidak pernah memisahkan mereka. Mereka selalu satu kelas. Rafka seolah menjadi penyeimbang Roland. Rafka menjadi pengingat Roland jika Roland berulah nakal. Pernah suatu ketika Rafka sakit sepekan, Roland berulah iseng. Banyak temannya terutama teman perempuannya yang dibuat kesal dan berujung menangis diisengi Roland. Bahkan, hampir setiap Roland pulang tanpa Rafka karena suatu hal, misalnya mengerjakan tugas tambahan karena lupa menyelesaikan PR, Roland pulang dalam keadaan babak belur. Roland hampir bisa dipastikan selalu terpancing omongan ataupun ejekan teman-teman lain yang satu sekolah dengan mereka ataupun teman-teman dari sekolah lain. Roland juga sering membela Rafka yang suka diejek sebagai anak bukan asli Papua. Kalau sudah begitu, Roland takut pulang ke rumah. Mace-nya pasti bukan hanya akan memarahinya melainkan juga mencubitnya atau memukulnya. Menurut Mace, Roland memang harus juga merasakan sakitnya dipukul agar tidak lagi mau memukul orang lain. 

     

    “Sudah ga apa-apa. Bersih-bersih badan dulu ya. Ganti pakaianmu dengan pakaian Rafka. Setelah itu,  Bundo obati  lukamu, ya. Kamu di sini dulu, di rumah Bundo. Nanti Bundo akan jelaskan ke Mace. Mace pasti ga akan marah lagi. Tenang aja,ya,” jawaban bundo Rafka lembut menenangkan hati Roland. Roland kemudian masuk kamar mandi di dalam kamar Rafka, membersihkan badannya. Kemudian, Roland berganti pakaian. Tak lama Bundo datang bersama Rafka. Keduanya saling membantu mengobati luka Rafka. “Bakalai itu ibarat kata pepatah, Roland. Menang jadi arang, kalah jadi abu”, kata bijak Roland mulai keluar dari bibirnya.  Bundo tersenyum. “Boleh saja membela harga diri kita jika harga diri kita diinjak-injak orang lain. Akan tetapi, tetap saja, diam dan memaafkan adalah sikap paling mulia. Bakalai bukan caranya. Bakalai bukan sikap anak yang baik. Apalagi kalau bakalai-nya buat alasan yang sepele, bukan buat alasan yang prinsip” lanjut Bundo.  Roland mencari akal untuk membalas perkataan Rafka dan Bundo.  “Arang dan abu masih ada gunanya, lho,” Roland dengan nada nakal membalas. 

    “ Ah, Ko…cerdas. Panjang akal. Ada saja jawaban, Ko,” Bundo menggoda Roland. Roland tersenyum. Rafka geleng-geleng kepala.  Tidak lama setelah itu, Roland melihat Bundo berbicara dengan Mace menjelaskan yang terjadi pada Roland. Sementara dirinya sedang asyik menikmati makan siang dengan menu favoritnya yang juga menjadi menu favorit keluarga Rafka, ayam bakar sambalado ijo dengan talam sarikaya sebagai pencuci mulutnya, Bundo menelepon Mace memberitahukan kalau Roland ada bersamanya di rumahnya. Tampak air muka Bundo yang berusaha dengan tenang meredam emosi Mace yang marah begitu tahu keadaan Roland yang habis berkelahi lagi. Bundo selalu berhasil membuat Mace tenang kembali dan menerima dengan baik keadaan yang telah terjadi pada Roland. Kemahiran Bundo inilah yang membuat Roland sayang pada Bundo seperti ibunya sendiri. Bundo selalu tulus dan baik.

     

    Keluarga Rafka adalah keluarga pendatang di Wamena, Papua. Kakek dan nenek Rafka baik dari Bundo maupun Ayah memulai hijrah hidup di Wamena. Kedua orang tua Bundo dan Ayah bersahabat.  Mereka hijrah dari Desa Lengayang, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat, memulai hidup di Wamena sebagai pedagang pakaian dan rumah makan Padang. Awal berjuang tertatih-tatih, menyesuaikan diri dengan budaya masyarakat sambil memperkenalkan apa yang mereka usahakan sekaligus berdakwah tentang Islam yang begitu ramah dan nyaman sebagai sebuah keyakinan. Dari usaha mereka berdua, mereka mengumpulkan uang sedikit demi sedikit untuk membangun sebuah masjid kecil yang bisa dijadikan tempat dakwah mereka. Selepas mereka kerja di toko dan rumah makan mereka, mereka bertemu di masjid kecil yang mereka bangun bersama untuk sekadar mengajar ngaji, baca tulis Alquran, ataupun mengkaji Alquran. Pada awalnya jumlah jamaahnya sedikit. Lama kelamaan semakin bertambah. Kadang mereka mengundang ustadz-ustadz kondang di acara hari raya besar Islam ataupun peringatan-peringatan agama Islam lainnya. Mereka sering membawa anak-anak mereka. Anak-anak mereka tumbuh besar bersama di masjid itu untuk belajar ilmu agama Islam, termasuk juga Bundo dan Ayah Rafka yang pada akhirnya dijodohkan oleh mereka sebagai sepasang suami istri guna lebih mengokohkan jalinan persahabatan mereka.

    Usaha toko pakaian dan rumah makan milik mereka berkembang pesat. Kedua orang tua Roland yang sengaja dikuliahkan di jurusan yang mendukung usaha ini, Ayah Roland jurusan ekonomi dan Bundo jurusan tata boga,  telah berhasil membuat pesatnya perkembangan usaha kedua keluarga ini. Toko pakaian dan rumah makan mereka yang tadinya hanya satu buah, kini memiliki beberapa cabang di jalan-jalan protokol dan pasar-pasar di Wamena. Toko pakaian mereka memiliki ciri khas pakaian yang bagus tapi tidak mahal. Begitu pun dengan rumah makan mereka yang memiliki bumbu racik khas keluarga yang sudah turun temurun diwariskan oleh kakek dan nenek Rafka. Bundo menguasai dengan baik warisan ini. Tak mengherankan bila Roland amat betah main dan menginap di rumah Rafka, Bundo amat pintar memasak dan membuat kudapan khas daerah Padang. Semua lezat dan menggugah selera makan.

     

    Keluarga besar Roland adalah keluarga asli Papua. Mace dan Pace berasal dari suku Dani, suku asli yang mendiami Lembah Baliem, Wamena. Kalau mendengar cerita tentang nenek moyangnya yang dikisahkan oleh Mace dan Pace-nya, Roland merasa seolah-olah benar-benar berada di tengah-tengah nenek moyangnya. Mace dan Pace pandai bercerita. Roland jadi mengetahui dengan detail bagaimana sesungguhnya nenek moyangnya. Roland juga jadi tahu masih ada kerabat keluarga besarnya yang mendiami suatu daerah di kaki Lembah Baliem yang masih mempertahankan budaya asli suku Dani. Jumlah mereka sudah tidak banyak, paling hanya sekitar sepuluh kepala keluarga.  Akan tetapi, berkat mereka yang sedikit ini mempertahankan budaya asli mereka, justru Wamena jadi lebih terkenal dan memiliki daya tarik khusus bagi turis lokal maupun mancanegara dari berbagai negara.
             
              Pemerintah daerah pun sangat memperhatikan kepentingan mereka karena kebutuhan pemerintah yang masih harus mempertahankan mereka demi destinasi wisata Papua. Mereka adalah aset pemerintah daerah. Memang ironis bila mengingat niat mereka. Akan tetapi, bila melihat kehidupan keluarga suku Dani yang masih bertahan itu dapat hidup dengan cukup sejahtera, masyarakat Wamena cukup merasa pantas untuk menerima niatan itu. Mereka memang harus diperhatikan pemenuhan kebutuhan hariannya untuk bertahan hidup karena budaya kaum laki-laki suku Dani yang berburu sejak pagi dan baru pulang petang membawa buruannya untuk dimakan oleh keluarga besar mereka, sudah tidak mungkin lagi dilakukan dengan kondisi Wamena saat ini, terutama dengan banyaknya pendatang yang membawa lebih beragam profesi usaha dan butuh tempat tinggal.

                Beberapa daerah hutan dipugar menjadi wilayah hunian dan usaha. Infrastruktur pemerintah daerah masuk dengan segala sarana dan prasarananya, membenahi semuanya. Hutan sebagai tempat berburu hampir tidak ada. Tinggal beberapa lembah terbuka dan padang ilalang-padang ilalang yang ditumbuhi ilalang. Padang ilalang ini menjadi daya tarik sendiri di Wamena yang mendatangkan banyak turis lokal dan mancanegara khususnya pada setiap bulan Mei. Hanya pada bulan Mei ilalang di padang ilalang-padang ilalang yang ada di lembah Baliem berwarna ungu. Pemandangan ilalang  berwarna ungu ini hanya dapat dijumpai di sini, tidak di tempat lain di Indonesia bagian mana pun. Karena pada bulan-bulan lain, ilalang ini berwarna sama dengan ilalang di tempat lain, kuning. Ini merupakan satu lagi keunikan di Lembah Baliem yang Tuhan anugerahkan. Suku Dani ini masih tinggal di dalam rumah mereka yang unik, yaitu rumah Honai dan rumah Ebe Ae. Rumah Honai adalah rumah untuk kaum laki-laki Suku Dani. Rumah Ebe Ae adalah rumah untuk kaum perempuan Suku Dani.
                Roland pernah diajak berkunjung ke sana oleh Mace dan Pace. Rumah itu terbuat dari batang kayu kasuari yang diikat dengan tali rotan. Dinding Honai berlapis papan kasuari. Atap Honai berbentuk seperti payung yang terbuat dari ikatan-ikatan rumput kering yang disusun belapis-lapis dengan ketebalan kurang lebih 15 cm. Pintu masuk Honai sangat kecil dan rendah. Untuk melaluinya, kita harus merangkak. Di dalam Honai, penghuni harus berdiri membungkuk karena   loteng-loteng yang terbuat dari papan-papan bersusun rapi di atas kerangka balok yang sangat rendah. Kini, Honai telah dilengkapi fasilitas listrik dengan daya yang bersumber dari papan solar panel yang diletakkan di atas Honai. Roland cukup mengagumi keluarga asalnya di sini.

     

    Persahabatan Roland dan Rafka otomatis membuat keluarga besar Roland dan keluarga besar Rafka juga bersahabat. Bahkan, ikatan persahabatan tersebut sudah seperti saudara. Mace pernah berkolaborasi dengan Bundo menciptakan makanan dan kudapan yang resep dasarnya berasal dari resep dasar daerah mereka masing-masing. Terciptalah makanan dan kudapan yang baru, khas mereka. Ada talam ubi jalar, bubur kampiun sagu, gulai daun talas, ikan bakar bumbu rica, udang selingkuh sambal ijo, dan beberapa menu lainnya. Makanan dan kudapan ini dijual di rumah makan-rumah makan milik keluarga Rafka. Pembeli meningkat terutama di kalangan masyarakat Wamena karena tertarik untuk mencoba. 

     

    “Pak, makanannya tidak dimakan? Dari tadi saya lihat Bapak hanya melamun. Bapak belum memakan makan siang Bapak. Itu pramugari-pramugari sudah datang lagi untuk mengambil nampan”, tegur seorang bapak yang duduk di sebelah Roland sambil menunjuk ujung deret gang di depannya yang mulai didatangi pramugari. Lamunannya tentang masa kecilnya menjadi buyar sesaat.  “ Oh iya. Ya, Pak. Saya makan dulu ya”, jawab Roland kaget. Roland bergegas membuka kotak makan siangnya. Dengan lahap dan cepat, ia habiskan makan siangnya. Rasa ayam bakar sambalado ijo ini mirip sekali dengan yang biasa Bundo masak”, pikir Roland menerawang. Persis ketika Roland selesai makan, pramugari cantik tadi menghampirinya untuk mengambil nampan “Bagaimana dengan makan siangnya, Pak?”, katanya menyapa sambil mengambil nampan dari tangan Roland. “Hhhmm, enak sekali. Saya lahap menyantapnya sampai ludes, licin tidak bersisa,” Roland menjawab sambil tertawa. 

     

    Perut Roland kini kenyang terisi. Ia kembali merebahkan punggungnya di sandaran kursi. Ia membuka tirai jendela pesawat. Hanya awan berarak yang dilihatnya dengan langit yang biru cerah. Cuaca terang padahal sudah menjelang sore. Semoga terus seperti ini hingga ia tiba di kota Padang nanti. Ia sudah tak sabar bertemu dengan Rafka dan keluarganya. Kembali ia memanjakan dirinya dengan mengingat kembali masa kecilnya. 

     

    “Bagaimana, Roland? Kau lulus tes masuk SMPN 2 Wamena?”, Roland bertanya pada Rafka. Mereka telah tiba di masa akhir sekolah SD. Enam tahun bersama dan berjuang belajar di SD. Banyak suka dan duka. Roland iseng mengerjai Rafka. Dipasangnya raut muka sedih sambil meremas amplop berisi surat pemberitahuan lulus tidak  lulus masuk SMPN 2 Wamena. “Ada apa, Roland? Kamu tidak diterima di SMPN 2 Wamena?,” tanya Rafka penuh khawatir. Roland semakin menundukkan kepalanya. Ia tak tahan  melihat raut wajah Rafka yang khawatir seperti menahan tangis. Tundukan kepala Roland justru membuat Rafka semakin khawatir. “Roland katakan, ada apa? Ko buat sa takut?”, Rafka betul-betul mau menangis. Roland menghampiri Rafka dan memberikan amplop berisi pengumuman itu. Rafka membukanya dan membacanya dengan teliti. “Kamu lulus. Kamu diterima di SMPN 2 Wamena, Roland!”, suara Rafka setengah berteriak membuat teman-teman yang lain yang berada di dekat mereka menoleh ke mereka. “Iyaaa…. Horeeee… kita bersama-sama lagi. Kita satu sekolah lagi,” gantian Roland yang berteriak sambil menari-nari, menggandeng tangan Rafka, dan membawanya berputar-putar. Teman-teman yang lain tertawa cekikikan melihatnya. “Roland, malu! Sudah! Ga perlu seperti ini !”, Rafka memohon pada Roland untuk menghentikan kelakuannya. Roland tersenyum dan memeluk Rafka, “Kita akan kembali berjuang bersama ya, Rafka. Kita akan selalu bersekolah bersama hingga kuliah nanti”, tegas Roland.  “Pasti. Iya, Roland,” balas Rafka dengan semangat dan penuh keyakinan. Tak lama mereka dikagetkan oleh sapaan Bu Ida, “ Selamat ya, Kam berhasil skola di itu SMP favorit, skola unggulan kitorang semua. Ibu bangga. Lanjutkan cita-cita kam, ya. Roland inga pesan ibu, Ko harus raih itu cita-cita Ko.”  “Baek, Bu”, jawab Rafka dan Roland kompak. Bu Ida kembali melanjutkan perkataannya,” Jangan lupa Ibu jika nanti Ko berhasil, ya. Kalian berdua selalu di hati Ibu. “Pasti, Bu,” jawab Roland. Rafka mengangguk tanda setuju dengan Roland. “Jaga diri kalian. Jadilah selalu anak baek. Ya, sudah, pulanglah. Hari sudah siang. Ibu kami lah nunggu kam. Sampaikan berita gembira ini. Salam dari Ibu buat ibu kam, ya”, Bu Ida berkata sambil matanya berkaca-kaca. 

     

    Roland ingat, itu adalah hari terakhir Roland bertemu Bu Ida. Karena setelah itu, saat Roland kembali berkunjung ke SD-nya bersama beberapa teman dua bulan setelah peristiwa kelam Wamena berdarah yang penuh dengan api dan air mata untuk mengecek keadaan sekolah dan guru-gurunya , Bu Ida sudah tidak ada. Kabar yang didengar Roland dari guru lain, Bu Ida dibawa suaminya ke Jawa Tengah, ke daerah asal suaminya, entah untuk pindah domisili atau hanya untuk sementara. Sejak itu, Roland belum pernah berkunjung lagi. Peristiwa kelam itu sudah membuatnya betul-betul dijaga ketat oleh Mace dan Pace, tidak boleh ke mana-mana. Pergi sekolah dan pulang sekolah selama beberapa bulan diantar dan dijemput oleh Pace. Pernah saat Roland SMA, Roland kembali berkunjung ke SD-nya itu untuk bertemu dengan Bu Ida, Bu Ida tetap belum kembali. Ada apa sebenarnya? Semua masih tanda tanya hingga kini. Pun saat Roland mencari tahu alamat Bu Ida di Jawa Tengah ke guru-gurunya di sana jelang keberangkatannya ke Bandung untuk kuliah, tiada satu pun yang tahu karena Bu Ida sudah mengganti nomor teleponnya tidak lama setelah Bu Ida pergi.  Roland dan Rafka berniat mengunjungi Bu Ida ke rumahnya di Jawa Tengah saat liburan kuliah Roland dan Rafka di tahun awal mereka menjadi mahasiswa ITB, Bandung. Mereka akhirnya mengurungkan niat mereka dan belum lagi sempat untuk mencari keberadaan Bu Ida karena kesibukan kuliah mereka yang mulai padat. 

     

    Roland menarik nafas panjang sambil menutup mukanya dengan kedua telapak tangannya.  Uuuufffhhhh…. Dihembuskannya kembali nafasnya dengan berat dan dalam. Peristiwa kelam itu, sungguh menyisakan sesak di dada. Begitu banyak tangis, darah, dan air mata. Setiap kembali mengingat peristiwa itu, hati Roland sakit. Peristiwa itu telah melumpuhkan kota kelahirannya selama beberapa bulan. Peristiwa itu telah membuat dirinya dan keluarganya kehilangan Rafka dan keluarganya. Mereka terpaksa harus pindah ke kampung halaman keluarga mereka di Desa Lengayang, Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Usaha besar keluarga mereka yang sudah dirintis lebih dari  tiga puluh tahun hancur lebur, tidak menyisakan apa pun. Keluarga Rafka tidak lagi memiliki usaha. Untuk memulainya pun tidak ada modal lagi. Pilihan pemerintah daerah untuk mengembalikan mereka ke daerah asal dengan modal usaha dan biaya hidup di awal-awal kembalinya mereka, lebih mereka pilih. Saat itu, Roland dan Rafka baru dua bulan menjadi siswa SMPN 2 Wamena. Baru saja memulai hidup baru di SMP, terpaksa harus berpisah. Sungguh menyedihkan. Hari-hari Roland di sekolah terasa sepi. Hatinya terasa kosong. Hidupnya bagai sayur tanpa garam tiada Rafka. Kalau bukan karena Rafka yang terus menyemangatinya, ia mungkin tidak bisa melalui hari-harinya di sekolah, baik saat di SMP 2 Wamena maupun saat di SMA 2 Wamena. Rafka selalu ada saat Roland ada kesulitan dalam memahami pelajaran. Rafka akan dengan senang hati video call-an ke Roland dan membahas soal bersama. Tak perlu ikutan bimbel online. Cukup belajar bersama Rafka, semua ketidakpahaman dalam suatu pelajaran sudah bisa Roland pahami. Mereka kadang berdiskusi banyak hal, bahkan bercerita tentang kisah-kisah yang mereka alami masing-masing. Walau terpisah jarak yang sangat jauh, mereka merasa tidak pernah jauh. Mengingat itu semua, Roland sangat berterima kasih pada ahli-ahli IT. Dengan penemuan mereka, jarak menjadi bukanlah suatu masalah. HP, laptop, ataupun komputer bisa menjadi sarana komunikasi yang efektif.

     

    Roland ingat bagaimana cerita Rafka. Rafka pun sama dengannya. Rafka sejak awal pindah pun, pada awalnya sulit menyesuaikan diri. Logat bahasanya adalah logat bahasa Papua karena ia memang lahir dan menghabiskan dua belas tahun masa hidupnya di Wamena. Ia sudah terbiasa dengan suasana Wamena. Setibanya di Lengayang, daerah asal Ayah dan Bundanya, Rafka sempat kikuk. Mereka terpaksa harus terlebih dahulu tinggal di rumah peninggalan orang tua Bundo yang sudah lama ditinggali oleh kerabat Bundo. Mereka tidak membawa apa pun dari Wamena. Semua harta yang diusahakan sejak orang tua Ayah dan Bundo memulainya dan bertumbuh pesat saat Ayah dan Bundo kelola tiada yang tersisa. Rafka tidak mengenal seorang pun dari kerabat Bundo yang tinggal di rumah itu. Memang Rafka belum pernah pulang ke kampung halaman Ayah dan Bundanya sejak Rafka beranjak besar. Saat Rafka kecil memang pernah Ayah dan Bundo mengajaknya mudik ke Lengayang. Akan tetapi, ingatannya belum terlalu kuat saat itu untuk mengingat siapa saja yang ada di rumah itu. Saat beranjak besar, Ayah dan Bundo mulai disibukkan oleh usaha warisan orang tua mereka. Bila ada keperluan yang mendesak dan membuat mereka terpaksa harus pergi ke kampung halamannya, hanya ayah dan bundo yang pergi. Dulu, saat masih ada orang tua Ayah dan Bundo, Ayah dan Bundo pergi bersama mereka. Mereka tinggal di rumah itu hingga rumah pemberian pemerintah daerah selesai dibangun untuk mereka. Ayah Rafka juga kembali merintis usahanya dengan modal dari pemerintah daerah. Keluarga Rafka memulai kembali segalanya dari nol, dari awal lagi.

     

    Rafka pun demikian, memulai kembali sekolahnya di sekolah baru, di SMPN 1 Lengayang. Walau tidak memiliki persyaratan administrasi sekolah lengkap karena semua habis terbakar saat peristiwa kelam Wamena itu, atas fasilitas kemudahan pemerintah Rafka dengan mudah melanjutkan kembali sekolahnya. Biaya sekolahnya hingga SMA dibiayai oleh pemerintah daerah. Begitu pun dengan adiknya Rafka, Rifa. Ah, menyebut nama Rifa dirasakan Roland seperti ada gemuruh di hatinya. Rifa kini telah tumbuh menjadi gadis cantik. Kalau Roland sedang video call-an dengan Rafka, terkadang Rifa ikutan nimbrung ngobrol. Suaranya renyah dan manja. Ada saja yang diceritakannya. Rifa berkuliah di Universitas Andalas, mengambil jurusan Psikologi. 

     

    Awal memulai penyesuaian diri di daerah asal orang tuanya itu, Rafka dibantu oleh seorang kenalannya, anak tetangganya di rumah peninggalan kakeknya. Amanda, namanya. Panggilannya Manda. Gadis berperawakan mungil tetapi manis. Ia seusia dengan Rafka. Kebetulan juga Manda bersekolah di SMP yang dimasuki Rafka. Manda dengan tulus dan senang hati selalu berusaha mengenalkan Rafka pada lingkungan baru tempat tinggalnya kini. Manda pintar. Di sekolah ia adalah pengurus OSIS, jadi wajarlah jika Rafka dengan mudah dapat menyesuaikan diri dan banyak teman di sekolah. Manda mengajaknya aktif di kegiatan OSIS. Tidak perlu memakan waktu yang lama, siswa-siswa di sekolah itu sudah mengenal Rafka. Dengan penampilan setenang dan wajah setampan Rafka, hal itu tidaklah sulit. Manda pula yang membantu Rafka mengenal kembali budaya asli Minang dan belajar bahasa Minang. Sedikit demi sedikit dengan ketelatenan Manda, Rafka sudah dapat menjelma menjadi pemuda Minang. Terutama ketika sudah di bangku SMA, Rafka lebih percaya diri lagi tampil sebagai pemuda Minang. Penguasaan bahasa hariannya menggunakan bahasa Minang sudah cukup baik. Logat Papua pun perlahan mulai hilang. 

     

    Pada akhirnya, baik Roland maupun Rafka harus berjuang menyesuaikan diri untuk terus menjalani hidup masing-masing. Dengan saling mendoakan, menyemangati, dan tetap teguh pada persahabatan yang sudah mereka jalin lama, serta cita-cita bahwa mereka akan kembali berjuang meraih cita-cita bersama dengan kuliah di tempat yang sama, semua bisa dilalui dengan perlahan tapi pasti. Pun dengan orang tua mereka masing-masing yang juga harus berjuang memulai kembali usaha mereka yang hancur karena peristiwa kelam itu. 

     

    Ayah dan Bundo Rafka memulai usaha dengan membuka warung kecil di depan rumahnya. Rumah kecil tapi cukup untuk tempat tinggal mereka sekeluarga. Warung kecil itu menjual sembako dan makanan matang, sayur dan lauk pauk untuk makan harian, serta aneka minuman segar. Ada sedikit teras rumah yang dijadikan tempat makan untuk pembeli yang makan di warung. Warung kecil itu dimodali oleh modal usaha dari pemerintah daerah di awal mereka pindah ke Lengayang. Ayah sendiri yang pada awalnya membantu Bundo  di warung itu ketika mendapat bantuan KUR dari BRI yang berkantor di desa mereka mulai membuka usahanya sendiri,  yaitu toko pakaian seragam dan pakaian muslim di pasar utama desa mereka. Ada sahabat ayah yang tinggal di Jakarta yang memasok semua kebutuhan toko ayah. Sahabat ayah ini juga memiliki toko pakaian seperti ayah. Usahanya maju pesat. Ia membeli dari Pasar Tanah Abang, Jakarta, dan mengirimnya ke ayah di Lengayang. Keuntungan usaha yang ayah dan bundo terima sebagian ditabung untuk pembesaran usaha mereka dan bekal kuliah Rafka dan Rifa.

            Bundo tekun, ayah pun demikian. Keadaan Bundo dalam memasak telah berimbas pada warung makanannya yang ramai dibeli orang. Tanpa menunggu waktu yang lama di tahun ketiga mereka usaha, tanpa harus mengandalkan pinjaman usaha dari bank lagi,  Bundo Rafka sudah bisa kembali membuka rumah makannya dan memperluas usahanya dengan usaha katering rumahan. Pun dengan ayah yang sudah memiliki toko sendiri untuk usahanya. Rumah makan bundo dan ayah berada masih di lokasi yang sama di jalan utama pasar desa mereka. Ini strategi yang ayah buat agar mereka bisa saling membantu untuk memantau jalannya usaha mereka. Di akhir  Rafka bersekolah di SMA, ayah dan bundo sudah berhasil membuka satu cabang usaha mereka. Rafka terkadang juga membantu di toko ayahnya, begitu pun Rifa membantu bundo di rumah makannya. Ketekunan memang membuahkan hasil yang baik.

     

    Pace dan Mace Roland sendiri setelah peristiwa itu lebih banyak membantu tetangga-tetangga mereka yang kehilangan rumah, trauma psikis, dan luka fisik. Butuh waktu dan tenaga untuk membenahinya. Sebagai orang yang bekerja di kantor pemerintahan desa, hal ini sudah merupakan tugasnya.  Rumah Roland sendiri tidak apa-apa. Mungkin karena mereka adalah orang asli Papua. Kakek dan nenek buyutnya telah dikenal sebagai perintis dan pengembang desa tempat tinggalnya. Orang segan dengan mereka. Kepergian keluarga besar Rafka dari Wamena merupakan kesedihan yang mendalam juga buat keluarga Roland, khususnya Mace yang begitu dekat dengan Bundo Rafka. Perpisahan mereka dengan keluarga Rafka saat di tempat pengungsian cukup membekas di hati Mace. Akan tetapi, Mace sangat pandai menyembunyikan hal itu karena ia harus membantu tugas Pace dan membersamai Roland melalui hari-harinya tanpa Rafka. Semua dapat dilalui secara perlahan tapi pasti. Terlebih setelah komunikasi melalui handphone mulai terjalin. Kedua keluarga itu dapat saling menyemangati untuk bangkit, berjuang kembali  meraih cita-cita. Masih teringat di ingatan Roland bagaimana luapan kebahagiaan Mace dan Bundo saat bertemu di Bandung, saat mereka mengantar Roland dan Rafka awal kuliah di Bandung. Mereka berpelukan erat dengan lama seolah melepaskan semua rasa kangen mereka yang bertahun-tahun mereka tahan. Haru biru melihatnya. Keduanya menangis. Mereka sangat bahagia, Roland dan Rafka bisa bertemu kembali untuk berjuang bersama meraih cita-cita mereka. “ Tuhan, terima kasih. Kau telah pertemukan kami kembali. Semoga Kau selalu memberkati kami semua,” doa Mace saat itu. 

     

    Roland menghela nafas panjang. Semua seolah baru kemarin terjadi. Semua masih rapi tersimpan dalam ingatannya. Waktu begitu cepat berlalu, tidak terasa. Masa SD, SMP, SMA, dan kuliah kemudian kerja. Babak baru hidup yang sesungguhnya akan sebentar lagi dialami oleh Rafka. Pun mungkin dirinya. Akan tiba juga masa ia harus menentukan siapa pasangan hidupnya dan memulai bahtera rumah tangga. Terlintas cepat wajah Rifa, adik Rafka. Roland memejamkan matanya seperti sedang berdoa. Perlahan keluar suara tipis di bibirnya,” Semoga. Aamiin”.

     























     

    Bagian 2
    API, DARAH, DAN AIR MATA

    (Peristiwa : Senin, 23 September 2019)


    Sekolah

    Pagi itu Roland berangkat ke sekolah dengan semangat. Baru dua bulan duduk di bangku SMP membuatnya selalu menggebu untuk menuntut ilmu. Terngiang selalu nasihat Bu Ida, guru SD favoritnya yang sering menyemangatinya untuk meraih cita-cita. “Roland, kamu itu anak pintar dan rajin. Nilai matematika kamu selalu seratus. Nanti kalau sudah besar, kamu jadi insinyur pertambangan saja ya, bekerjalah di PT Freeport. Nanti kamu coba dapat beasiswa dari PT Freeport, kuliah kamu di ITB di Bandung lalu bekerja di Freeport. Banyak kamu punya uang nanti, bisa bagi uang ke orang tua kamu, bisa pula membantu orang lain. Buat Papua ini maju. Buktikan ke orang-orang semua, anak asli Papua bisa jadi orang pintar, orang hebat” ujar Bu Ida dengan logat batak campur Papua. Bu Ida berulang-ulang menyampaikan nasihat tersebut dengan penuh keyakinan hingga nasihatnya melekat kuat dalam ingatan Roland. Pun dalam ingatan sahabatnya, Rafka.

     

    Upacara bendera baru saja usai. Para siswa SMP Negeri 02 Wamena baru beberapa menit memasuki ruang kelas. Demikian pula Roland dan teman-temannya. Salah satu hal yang membuat Roland bisa selalu semangat ke sekolah adalah bahwa ia bisa satu kelas lagi dengan sahabat tercintanya, Rafka. 

     

    Roland baru saja menikmati sejuknya ruang kelas, selepas bermandikan panas mentari pagi pada saat upacara bendera. Tiba-tiba dari depan sekolahnya terdengar suara keributan dan seperti suara petasan. Ruang kelas mulai gaduh. Sejurus kemudian seorang guru laki-laki berlari masuk ke dalam kelas. Sambil terengah-engah pak guru berkata “Anak-anak, ada keributan di luar. Kita harus segera pulang ke rumah masing-masing. Kalian tenang dulu saja di dalam ya, tunggu nanti bapak kasih perintah. Jangan ada yang keluar kelas, ya”. Lalu pak guru keluar kelas. Roland, Rafka, dan teman-teman saling berpandangan. Pak Guru tadi terlihat sangat cemas. Para siswa pun mulai terlihat ketakutan. 

     

    Suara keributan di luar terdengar semakin kencang. Suara orang berteriak-teriak. Sangat ramai. Penuh kemarahan. Suara ledakan yang di telinga para siswa terdengar seperti suara petasan pun semakin ramai bersahutan. Lalu seorang siswa berkata, “Suara tembakankah? Ada kerusuhan. Ada perusuh”. Para siswa saling berpandangan. Sebagian menutup telinganya. Tiba-tiba beberapa perusuh berlari ke arah kelas mereka. Dengan cepat kilat para siswa menutup pintu kelas dan menahan pintu kelas dengan sekuat tenaga dan mendorong meja-meja kelas sebagai penahannya. Segerombolan perusuh itu berusaha untuk masuk kelas. Mereka ada yang membawa panah, parang, juga batu. Situasi jadi mencekam. Roland dan Rafka berinisiatif memerintahkan teman-temannya untuk berlindung. Semua siswa serentak menghimpitkan badan ke dinding agar tidak terkena lemparan batu yang dilempar dari arah luar jendela kelas.

     

    Lima menit berlalu. Gerombolan perusuh itu pergi meninggalkan depan kelas. Sejenak sepi. Roland  dan Rafka serta teman-teman lainnya di kelas belum berani keluar. Mereka menunggu pak guru. Pesan pak guru tadi adalah mereka tidak boleh ke mana-mana dulu. Suara keramaian mulai terdengar menjauh. Tak lama, pak guru datang lagi ke dalam kelas. “Anak-anak, sudah kita semua pulang sekarang. Cepat…. Cepat pulang ke rumah. Berhati-hati di jalan, ya”, ujarnya gusar. 

     

    Murid-murid berebutan keluar kelas. Mereka terlihat seperti ratusan laron yang kocar-kacir berhamburan keluar dari sarangnya. Mereka semua berusaha saling berlomba mencapai rumah mereka. Tidak ada kendaraan satu pun. Mereka harus berlarian pulang. Berbagai macam perasaan berkecamuk dalam hati mereka. Berbagai macam bayangan kejadian buruk bertebaran di pikiran mereka. Mereka ingin sesegera mungkin sampai ke rumah, berkumpul bersama orang tua mereka untuk kemudian bertanya ada apakah sebenarnya. Semua terlihat sangat panik.  

     

    Pak guru sudah tidak terlihat. Roland bersama Rafka bersamaan lari ke luar sekolah. Seperti teman-temannya yang lain, mereka berdua pun berlari secepat mungkin. “Rafka…ayooo… cepat…,” teriak Roland dengan nafas tersengal-sengal sambal menarik tangan sahabatnya itu.  “Iyaaaa….aku sudah berlari paling cepat nih…Aku capek. Aku takut”, jelas Rafka dengan nafas yang tersengal-sengal pula. Bayangan kisah peristiwa kerusuhan yang pernah terjadi di Wamena pada tahun 2000 yang pernah diceritakan kakeknya membayang dengan jelas dalam pikirannya. Situasi dalam cerita kakeknya itu hampir sama dengan situasi yang tengah dialaminya saat ini.  “Ya Allah, semoga apa yang pernah kakek ceritakan tidak benar-benar terjadi. Semoga ini hanya kerusuhan biasa, demonstrasi biasa, yang pernah kulihat terjadi,”pintanya dalam hati pada Allah. “Sudah… Ayoo.. percepat larimu agar kita segera sampai di rumah. Jangan takut. Jangan berpikir macam-macam, ya..”, Roland  melepas tangan Rafka dan menyemangati Rafka, berlari beriringan di samping Rafkah. Sampai di simpang jalan mereka berpisah. Rumah mereka berlainan arah. Rafka ke kanan, Roland ke kiri. Walau mereka tinggal di distrik yang sama, Distrik Wamena, mereka tinggal di kawasan yang berbeda. Roland di Kampung Batumerah yang sebagian besar ditempati oleh masyarakat asli Papua, sedangkan Rafkah di  Kelurahan Wamena Kota. “ Jaga dirimu baik-baik ya Rafka. Jika situasi sudah membaik, kita bertemu lagi. Saling memberi kabar ya,” pesan Roland sebelum berbelok ke jalan arah rumahnya.  “Ya, Roland. Kamu juga ya,” Rafka menjawab dengan pesan yang mendalam juga. 

    Roland. Batumerah

     

    Roland  sampai di jalan rumahnya, di Kampung Batu Merah. Sebuah wilayah  perkampungan yang walaupun sederhana, rumah-rumah tertata rapi seperti kompleks perumahan dan bersih. Kampung ini sebagian besar ditempati oleh masyarakat asli Papua.  Roland tampak panik dan sangat kebingungan. Roland segera menyusuri jalan tersebut. Tataan rapi rumah-rumah tersebut sudah berantakan kini. Beberapa rumah di jalan yang disusurinya itu yang ditempati oleh orang-orang yang berasal dari Jawa Timur dan Sumatera Barat hancur, roboh, bahkan ada yang telah hangus terbakar. Terlihat olehnya masih ada beberapa titik-titik api yang tersisa di antara robohan rumah yang terbakar.  Beberapa jeritan minta tolong dan suara teriakan tangis keluar dari mulut anak-anak kecil dan perempuan-perempuan muda juga setengah baya. Ada korban. Ada yang tergeletak, entah tak sadarkan diri atau sudah meninggal. Roland sempat melihat ada anak-anak panah menancap di tubuh tetangganya itu. Roland juga melihat ada darah mengucur dari anggota tubuh tetangga-tetangganya  seperti terkena sabetan parang. Mereka menjadi korban. “Ya Tuhan, separah inikah?”, jerit batin Roland ketakutan.  

     

    “Apa yang sudah terjadi Tuhan?”, batinnya yang takut semakin bertanya-tanya kencang sekencang larinya menuju rumahnya. Bau hangus dari rumah yang terbakar semakin melarutkan rasa takutnya. Pemandangan berikutnya adalah kesibukan para tetangganya yang saling membantu korban dan saling menyelamatkan diri. Sesaat Roland tanpa sadar berdiam diri, terpaku melihat ke sekeliling dirinya. Bulu kuduknya merinding. Tubuhnya gemetar. Ketakutannya semakin bertambah. Bagaimana dengan keluarganya? Melintas sesaat dengan cepat wajah pace, mace, tete, nene, om dan tante, bapace dan mamace, bapatua dan mamatua, serta ade. Apakah mereka semua baik-baik  saja atau jadi korban juga? Roland ingin menangis sejadi-jadinya. Akan tetapi, tangisnya terasa tercekat di tenggorokannya.

     

    “Roland jang tahan diri. Pulang cepat Ko…”, Roland tersadarkan diri begitu tubuh teman ayahnya menabrak dirinya sambil berteriak menyuruhnya segera pulang. Teman ayahnya itu tampak terhuyung-huyung membawa anaknya di pangkuannya yang tubuhnya terluka bakar. “Ya Tuhan, Om …”, jawab Roland tersentak. Roland kembali berlari kencang di antara kesibukan dan hiruk pikuk tetangga-tetangganya. 

     

    Begitu tiba di rumah orang tuanya, Roland melihat adiknya yang belum bersekolah tengah menangisi kakeknya yang berlumuran darah, terbujur tak bergerak. “Ya Tuhan, Ade….mana Pace, mana Mace…Sandiri Ko?”, Roland mengguncang tubuh adiknya. Yang ditanya malah semakin menangis. “Jang manangis, De…. Katakan mana Pace jo Mace?”, Roland memeluk adiknya dengan erat, berusaha menenangkan diri adiknya dan dirinya yang juga gemetaran takut melihat tubuh kakeknya yang sudah tidak bergerak, berlumuran darah.  “Pace bawa mace ke rumah sakit”, jawab adik Roland di sela-sela tangisnya. 

    “Puji Tuhan sampai sudah Ko di sini,”suara Om-nya mengagetkan Roland. “Mari pigi. Kitorang harus pigi mangungsi ke kantor bayau di Markas Kodim 1702…mari … .banyak bayau menunggu kita dengan mobil besarnya di ujung jalan. Biar Tete nanti ada bayau jo petugas yang mangurus. Daerah kitorang tak aman. Perusuh masih banyak bakaliaran. Kitorang harus segera selamatkan diri. Jang manangis …Kitorang harus kuat, tabah. Tuhan bersama kitorang”, Om-nya kembali bergegas memberi perintah. 

    Lemas seolah tidak memiliki tulang rangka tubuh, Roland didudukkan polisi di dalam mobil besar polisi (truk). Ruang dalam truk itu penuh, padat dengan tetangga-tetangganya di satu jalan rumahnya. Sebagian Roland kenal, sebagian lagi tidak kenal. Mereka sama terduduk lemas. Beberapa menahan sakit dari sedikit luka bakar dan luka terbuka pada tubuhnya. Roland segera mengucap syukur pada Tuhan karena tersadar bahwa dirinya jauh lebih baik keadaannya dari yang lainnya walau pikiran dan hatinya masih belum tenang. Kabar  Mace dan Pace-nya belum ia dengar. 

    Sepanjang jalan menuju tempat pengungsiannya di Markas Kodim 1702 Jayawijaya, Wamena di Jalan Yos Sudarso, pikirannya berusaha menarik benang-benang merah dari peristiwa yang tengah terjadi. Berusaha mencari jawaban atas pertanyaannya : apakah yang tengah terjadi ? bagaimana ini semua bisa terjadi?  Siapa penyebabnya?  Selintas didengarnya tentang penyebab semua kejadian ini adalah sebuah berita hoax yang terus diprovokasi dan ditunggangi oleh oknum yang berkepentingan pada suatu hal guna tujuannya memecah belah : rasisme dan unsur SARA. Ahhh…. Semua istilah itu malah membuatnya semakin pusing. Mengapa ada saja orang yang tidak suka dengan persaudaraan dan perdamaian? Mengapa sejahat itu? Bukankah Tuhan menyayangi hamba-Nya yang cinta persaudaraan dan perdamaian? Kepalanya tambah pusing, penglihatannya kabur menjadi tak jelas. Hampir ia pingsan jikalau tidak Om-nya memberi minuman air mineral dalam botol dan sebungkus roti pemberian para polisi di dalam truk. Sejak pulang dari sekolah tadi memang perutnya belum terisi apapun. Tadi  pagi pun sarapannya hanya sedikit karena ia takut terlambat upacara.

     

    Pemandangan sepanjang jalan menuju Markas Kodim 1702 Jayawijaya tidak jauh berbeda dengan pemandangan tadi di wilayahnya. Rumah-rumah, ruko, dan kantor-kantor kecil dan besar milik swasta dan pemerintah, juga lapak-lapak pedagang kaki lima yang berjualan di pinggir jalan habis, hancur, bahkan terbakar dengan kobaran api yang masih tersisa dan asap yang masih mengepul. 

     

    Beberapa orang ada yang masih berlarian kebingungan mencari pertolongan. Ada yang berusaha minta naik, ikut dengan truk kami. Sayang, truk kami sudah penuh. Salah seorang polisi di truk kami meneriakkan janjinya akan kembali mengangkut mereka. Angin membawa teriakan itu ke telinga-telinga orang-orang yang berusaha minta naik truk tadi. Mereka berhenti, tenang terduduk, dan memutuskan diri menunggu sambil berpasrah pada takdir Tuhan, hidup atau menyusul mati, karena masih adanya  beberapa perusuh yang berkeliaran dengan semangat yang masih menggelora untuk meluluhlantakkan yang ada. Langit menurunkan teduhnya seolah ikut pilu dan bersedih. Mata Roland dipenuhi air mata, kemudian terkatup. Ia tertidur lelah.




    Rafka. Wamena Kota

     

    Begitu berpisah dari Roland, Rafka bergegas lari. Ia memastikan dirinya akan sampai terlebih dahulu di rumahnya dibandingkan dengan Roland. Rumah Rafka masih di dekat pusat kota bila dibandingkan rumah Roland. Rumahnya lebih dekat dengan sekolahnya. Seharusnya ia sampai dengan cepat seperti biasanya. Sayang, ia dihadang oleh segerombolan perusuh. Mereka berteriak-teriak, memaksakan jawaban pertanyaan mereka pada Rafka dan beberapa orang yang juga ada di sana. “ Heeeiiiii ….kalian pendatang, kan? Kalian bukan asli  Papua, kan? Bisa-bisanya kalian hidup di bumi milik kami, milik nenek moyang kami !”, teriak mereka dengan sangat garang, marah, dan siap mengamuk. Sebagian dari mereka dilihat Rafka adalah kakak-kakak berseragam sekolah. Sebagian lagi masyarakat umum dengan senjata-senjata tajam dan botol-botol kaca bersumbu berisi cairan tertentu spt bensin yang jika disulut dengan korek api di tangan mereka kemudian botol-botol kaca itu mereka lemparkan ke benda di depan mereka, benda tersebut pasti akan terbakar bahkan meledak. 

     

    Rafka dan beberapa orang yang dihadang oleh gerombolan perusuh itu hanya bisa terdiam, tidak mampu menjawab. Percuma menjawab pertanyaan mereka, nyawa mereka tetap akan terancam. Mereka pasrah pada takdir Tuhan. Mati pilihan berikutnya. 

     

    Terbayang oleh Rafka wajah kakeknya dengan pesannya ketika usai bercerita tentang kerusuhan Wamena yang pernah dialami kakeknya dulu di tahun 2000. “Rafka, jika suatu saat kerusuhan yang kakek alami kembali terjadi dan menimpa dirimu, segeralah berpasrah pada Allah, berdoa dengan khusyu agar Allah menghalau semuanya dengan cepat. Jangan pernah berburuk sangka pada setiap skenario Allah. Kita hanya mampu menerima dan memohon dikuatkan”. 

     

    Rafka tersadarkan diri begitu seorang perusuh menarik leher bajunya,”Kamu bukan asli Papua, kan? Aku tahu kamu. Keluargamu berasal dari Sumatera Barat. Aku pernah mengunjungi toko ayahmu”, teriaknya dengan sangat keras di telinga Rafka, “Mengakulah !!!”, teriaknya dengan lebih keras lagi sambil menaruh pisau kecil di leher Rafka. Rafka gemetar ketakutan. Ia melihat dengan jelas sosok perusuh yang mengancamnya. Wajahnya yang masih muda terlihat begitu tua karena seringai-seringai dentuman amarahnya. Kerutan-kerutan di dahinya begitu menumpuk dengan urat-urat leher seolah-olah menggelembung ingin pecah karena tarikan suaranya. Gigi geligi terdengar bergeletakkan menahan amarah. Tatapannya penuh luka dan dendam.

     

    “Ya..Allah…aku harus jawab apa?”, Rafka membatin. Sejurus kemudian Rafka merasa seolah-olah Allah hadirkan wajah kakeknya di hadapannya dengan senyum yang mengembang. Rafka senyum. Rafka tenang. Rafka semakin berpasrah pada Allah. Rafka memejamkan matanya dan mulai berdoa dengan khusyu.  Ia melihat ke sekelilingnya lagi sebelum ia berdoa. Orang-orang pun bernasib sama dengannya, berpasrah dalam ancaman perusuh bersenjata. 

     

    Sesaat itu pula, pertolongan Allah datang. Betul kata kakek, Allah selalu pasti datang menolong hamba-Nya yang berpasrah penuh dan yakin  pada Allah. Tiba-tiba terdengar teriakan, “Bubaaaarrrr…..segera pigiiii…..cepaattt…tinggalkan tempat ini. Polisiiiiii…..”, teriakan keras salah seorang perusuh yang baru datang ke tempat itu membuyarkan semua niat buruk perusuh. Mereka berlarian, kocar kacir menyelamatkan diri. 

     

    Leher Rafka terasa perih. Rafka menyeringai menahan nyeri. Pisau perusuh sempat menggores lehernya sedikit. “Aku kuat, harus kuat. Ini tidak perih,” batinnya berkata, seolah-olah melaksanakan perintah otaknya untuk mensugesti dirinya segera bahwa goresan pisau itu bukanlah apa-apa. Tangannya menyentuh lehernya. Memang nyata pedihnya, sedikit darah di tangannya setelah mengusap lehernya pun dapat dijadikan bukti itu. 

     

    Rafka dan semua yang ada saat itu kemudian saling berkumpul, menyatukan hati. Tidak lama sepasukan polisi datang menolong mereka. Mereka dibimbing masuk ke dalam truk. Mereka akan dibawa ke Markas Kodim 1702 Jayawijaya di Jalan Yos Sudarso. 

     

    Rafka pasrah. Ia terpisah dari keluarganya. Ia tidak tahu kabar keluarganya. Ia hanya bisa lebih berusaha menenangkan hatinya dengan berbekal perkataan polisi, “Nanti kamu juga akan bertemu dengan keluargamu di tempat pengungsian jika mereka masih hidup, berdoalah”.

    Ya…hanya itu yang bisa aku lakukan. Berdoa. Semoga keluarganya tidak menjadi korban para perusuh. Semoga ia dapat bertemu lagi dengan keluarganya. Tergambar dengan jelas satu per satu wajah ayahnya, bundonya, dan adik perempuannya, Rifa.

     

    Sepanjang jalan menuju Markas Kodim 1702 Jayawijaya kembali Rafka melihat bekas-bekas kerusuhan. Kantor-kantor, rumah-rumah, toko-toko, dan lapak-lapak pedagang kecil hancur, roboh, dan terbakar. Semua dilakukan perusuh yang terprovokasi oleh situasi. Bau hangus masih tercium, menyengat hidung. Asap bahkan masih mengepul, menyekatkan tenggorokan dan menyesakkan dada. Bangkai-bangkai mobil yang terparkir di pinggir jalan dan di beberapa garasi rumah pun tampak hancur dan terbakar. 

     

    “Kek, aku mengalaminya juga. Peristiwa yang pernah juga kakek alami. Wamena dipenuhi api, darah, dan air mata. Aku takut, Kek. Aku tak  tahu di mana ayah, bundo, dan Rifa. Aku sendirian, Kek,” batin Rafka menjerit. Rafka mulai menangis pelan. 

     

    Markas Kodim 1702 Jayawijaya, Wamena  : tempat pengungsian

     

    Rafka bersama yang lainnya tiba di Markas Kodim 1702 Jayawijaya. Keadaan di markas sudah ramai dengan para pengungsi. Markas Kodim 1702 memanglah tempat terbanyak menerima pengungsi. Ruang-ruang di dalam markas disulap jadi tempat istirahat pengungsi. Bahkan lapangan tennis di halaman markas didirikan tenda-tenda sebagai tempat tinggal sementara para pengungsi. Halaman belakang dan depan Markas Kodim 1702 juga tak luput disulap sebagai tempat tinggal sementara pengungsi. Tidak semua di sana yang ditampung adalah korban yang kehilangan tempat tinggal. Mereka lebih banyak memilih ikut mengungsi karena ingin aman. Rasa aman lebih mereka utamakan. Terlebih yang memiliki anak-anak kecil  tidak ingin jiwa anak-anak mereka memiliki trauma dan rasa takut yang tiada berkesudahan yang dapat terbawa hingga mereka dewasa.

     

    Rafka turun dari truk dan dibawa ke klinik yang ada di dalam markas guna mengobati luka di lehernya. Bersyukur goresan di lehernya itu tidak terlalu dalam dan panjang sehingga hanya dengan menggunakan plester obat sudah cukup. Ia bergegas mengelilingi markas, mencari tahu apakah keluarganya turut mengungsi di sini. 

     

    Sambil menyusuri ruang-ruang yang ada di dalam markas, Rafka kembali teringat penjelasan beberapa polisi di dalam truk tadi. Polisi menyebut peristiwa ini sebagai peristiwa anarkis. Peristiwa ini semua berawal dari kabar hoax tentang seorang guru yang mengeluarkan kata-kata rasis di sekolah. Sebagai bentuk solidaritas, sejumlah siswa SMA PGRI melakukan aksi. Jumlah mereka semakin bertambah setelah ada massa tertentu yang menunggangi niat mereka untuk kepentingan mengacaukan keadaan. Kabar ini akhirnya berhasil memecah belah masyarakat dan membuat kerusuhan dahsyat yang menyebabkan banyaknya  korban jiwa.

     

    Ruang-ruang di dalam markas diperiksa satu per satu oleh Rafka. Dengan seksama Rafka mencari keberadaan orang tuanya.  Di pojok sebuah ruangan Rafka menemukan keluarganya. Bergegas ia menghampiri. “Bundooo…..Ayah…. Rifa….Alhamdulillah. Kalian semua ada disini. Kita berkumpul semua di sini,” tangis Rafka tumpah di pelukan bundanya. “Rafka anakku…… Bundo lemas selama ini menunggumu, berdoa agar di mana pun kamu berada Allah selalu jaga”, pelukan Bundo semakin erat. Semua berpelukan. Semua mengucap syukur. Ayah bahkan bersujud syukur.

     

    “Ada apa ini semua, Bundo…Ayah? Apakah cerita kakek yang dulu pernah kakek ceritakan terulang kembali? Apa yang harus kita lakukan?”, selidik Rafkah pada ayahnya, masih dengan sisa isakan tangis. “Ya, Nak…..cerita kakek berulang nyata saat ini. Berdoalah agar situasi ini tidak semakin parah. Berdoalah agar tidak ada lagi korban bertambah. Berdoalah semoga yang meninggal Allah tempatkan di sisi terbaik Allah. Berdoalah agar keluarga yang ditinggalkan dapat tabah dan bersabar. Berdoalah agar Papua pulih. Berdoalah agar Allah selalu bersama kita. Berdoalah terus, Nak….jangan pernah putus harapan…”, Ayah berkata sambil matanya berkaca-kaca. 

     

    “Untuk sementara kita di sini dulu ya, tinggal di sini sampai situasi aman dan ada kebijakan yang arif dari yang berwenang. Rumah dan toko ayah hancur, Nak… ayah tidak mampu menyelamatkan semua itu. Perusuh itu gelap mata. Semua dijarahnya. Semua dihancurkannya. Semua dibakarnya. Ayah hanya mampu membawa Bundo dan Rifa. Kabar kerabat kita pun belum sempat ayah cari tahu. Badan ayah masih lemas. Perasaan ayah masih kalut dan takut. Ayah ingin memulihkan dulu kondisi badan ayah dan mengumpulkan kembali tenaga. Terlalu mengerikan untuk mengingat kembali semuanya yang terjadi tadi pagi. Banyak yang ayah tak mampu selamatkan. Suami dan anak tante Putri habis terbakar, Tante Putri selamat dan telah dibawa ke RS Sentani  dengan banyak bekas luka bakar dan tancapan anak-anak panah di sekujur badannya. Semua begitu cepat terjadi di depan mata ayah. Belum lagi tetangga-tetangga kita yang lain, kerabat kita sekampung halaman banyak yang terluka dan menjadi korban,” ayah menangkupkan kedua tangannya, suaranya semakin serak menahan tangis dan beban di hatinya. Bundo mengusap-usap punggung ayah,”Usah manangih, Ayah. Urang lah bakumpua lagi. Janganlah risau”. Ayah mengangguk lemah. “Semua takdir Illahi”, suara ayah menyahuti bundo. Bundo mengangguk. Kembali mereka  semua saling berpelukan, menumpahkan risau di hati, menghalau sedih.

     

    Suara adzan ashar seharusnya berkumandang, waktu ashar telah masuk. Matahari yang sempat garang siang tadi membersamai akhir peristiwa yang penuh api, darah, dan air mata walau sesekali terhalau oleh langit yang menurunkan mendungnya dengan mengirimkan awan menutup matahari, kini mulai beranjak menuju peraduannya. Sinarnya lebih terasa sejuk masuk di Markas Kodim 1702 ini. “Mesjid-mesjid mungkin masih takut mengumandangkan adzan atau mungkin muadzinnya yang memang tidak ada di tempat. Mungkin para muadzin itu sedang mengungsi juga seperti kami atau jangan-jangan bahkan sudah menjadi korban. Karena kudengar banyak masjid yang juga jadi tempat kemarahan para perusuh”, batin Rafka, “akan tetapi, justru dalam situasi seperti ini, kita butuh muadzin yang mengumandangkan adzan agar dapat mengumpulkan para hamba Allah bersujud memohon kebaikan atas semua yang sudah terjadi”.

     

    Rafka berjalan menuju keran air di sisi pojok halaman yang terletak di depan ruangan tempat keluarganya berkumpul. Ia berwudhu. Ayahnya menyusul kemudian. Ia berjalan menuju ruangan yang paling besar, Aula Markas Kodim 1702. Ruangan itu juga sudah dipenuhi pengungsi. Ia berjalan ke tengah-tengah ruangan untuk mengumandangkan adzan. Suara-suara yang sempat terdengar masih hiruk pikuk bercampur tangis perlahan-lahan hilang…sepi…. Hanya suara adzan yang keluar dari mulut Rafka yang terdengar. Ia mengumandangkan adzan dengan suara yang penuh hikmat dan haru. Ia betul-betul menghayati setiap baik-bait adzan. Berpasrah. Orang-orang di ruang itu yang mendengarnya pun merinding dan tergerak untuk  shalat. Ayah dengan perlahan membimbing satu per satu laki-laki yang ada di sana untuk berwudhu. “Mari, kita shalat berjamaah,” kata Ayah. 

     

    Ruangan aula penuh dengan barisan shaf shalat. Ada yang dengan kaki  terluka, pincang berjalan perlahan mengambil shaf depan. Ada yang dengan sebelah tangan mengatur barisan karena tangan sebelahnya lagi terluka bakar. Semua bersiap menghamba pada Allah, memohon ampunan, dan memohon petunjuk untuk terus berjalan di keadaan ini. Ayah menjadi imam. Tampak pula bundo dan beberapa perempuan muda dan paruh baya ikut dalam shaf shalat di bagian belakang. Semua khusyu. Semua melantunkan doa dengan berlinangan air mata seolah melepas semua penat dan sesak di dada karena rasa sedih dan takut. Suasana Markas Kodim 1702 sepi sesaat. Para polisi  juga mengambil bagian pada deret depan shaf shalat. Yang tersisa di belakang dan luar aula adalah saudara-saudara nonmuslim asli Papua yang memang sudah sejiwa dengan muslim bukan Papua seperti Rafka dan keluarga.  

     

    Tak lama usai semuanya shalat, satu truk penuh berisi pengungsi datang menurunkan pengungsi. Rafka dan para pemuda lainnya turut membantu menurunkan pengungsi dan membawa barang mereka ke ruangan-ruangan ataupun tenda-tenda yang masih tersisa tempat kosong. Cukup banyak juga pengungsi yang dibantunya. Ibu-ibu dan anak-anak juga para lansia lebih didahulukan. Baru terakhir para lelaki.

     

    Rafka kaget ketika gapaian tangannya menarik tangan yang dia kenal. Tangan Roland. Ia kemudian menengadahkan kepalanya ke atas. Ia sempat menurunkan anak laki-laki kecil sebelum menggapai tangan itu. “Roland…”, teriaknya hampir tak percaya. “Kamu ada di antara mereka juga. Syukurlah kamu baik-baik saja”. Roland juga hampir tak percaya kalau sahabatnya sudah terlebih dahulu ada di tempat pengungsian ini. Roland mendengar kabar bahwa korban kerusuhan ini lebih banyak dialami oleh penduduk pendatang yang bukan asli Papua seperti Rafka dan keluarga. Roland sempat sedih karena mengira Rafka sudah menjadi korban kerusuhan ini. “Rafka, syukurlah kamu juga baik-baik saja,” peluk Roland,”keluargamu bagaimana? Kudengar banyak orang-orang asal kampung halamanmu yang menjadi korban”. “Ya, Roland. Banyak dari kami yang bukan asli Papua sepertimu menjadi korban kerusuhan. Aku dan keluargaku masih Allah berikan perlindungan.Kami semua baik-baik saja. Hanya rumah dan toko kami habis terjatuh dan terbakar”, jelas Rafka pada Roland,”Lan, kamu dan keluarga pasti baik-baik saja kan?”. “Aku dan adikku juga om-ku baik-baik saja dan mengungsi ke sini saat ini. Mace dan Pace ku belum ada kabar. Mace terkena sabetan parang perusuh karena berusaha melindungi sahabatnya yang tinggal di sebelah rumah kami. Sahabatnya itu didatangi beberapa perusuh bersenjata. Sahabatnya itu berasal dari daerahmu juga, Sumatera Barat. Sayang, keluarga itu tidak ada yang selamat. Mati terbakar bersama bagian rumah mereka yang disulut api oleh para perusuh . Rumahku pun sebagian terkena percikan api. Dari cerita adikku mereka marah pada Mace ku karena membantu orang yang bukan asli Papua. Mace dilarikan ayah ke RS. Sampai kini belum ada kabar. Semoga mereka baik-baik saja”.

     

                Keduanya terdiam, berpelukan sambil terisak. Setelah itu, keduanya berjalan menuju ruangan dalam tempat keluarga Rafka berada. Mereka ingin bersama di satu ruangan. Markas Kodim 1702 kembali hening setelah semua pengungsi mendapat tempatnya. Semua kelelahan. Semua tertidur dalam harap cemas. Roland pun terlihat begitu lelah, memangku adiknya, dan terus membujuk adiknya dengan suara lembut untuk bersabar menunggu mace dan pace-nya.

     

    Lembayung merah mulai menggantikan warna langit, mengantarkan matahari beristirahat juga. Matahari juga ikut lelah menjadi saksi peristiwa hari ini. Angin dingin sejuk Wamena perlahan mulai merambati tubuh mereka. Ya, Wamena memang sejuk. Letaknya yang berada di Lembah Baliem dan menjadi pusat penghubung perdagangan bagi kabupaten-kabupaten lain di jantung pegunungan tengah Papua memiliki keindahan kawasan dengan udara yang sejuk segar karena hembusan Angin Kurima yang lebih rapat. 


              Semua mencintai Wamena, baik orang asli Papua maupun pendatang. Rafka dan Roland juga mencintai Wamena, mencintai Papua.

     

    Perpisahan Yang Tidak Terelakkan

     

    Sejak Senin yang penuh api, darah, dan air mata itu, keluarga Rafka dan keluarga Roland tinggal di dalam Markas Kodim 1702. Pace dan Mace Roland pun telah bergabung sehari setelah Roland datang. Para petugas dengan sigap dan cekatan selalu membantu para pengungsi. Dapur umum selalu hiruk pikuk dengan petugas dan relawan yang memasak untuk para pengungsi.  Rafka dan Roland tidak menyangka, aksi kerusuhan ini hampir merata di Wamena. Gelombang perusuh seolah-olah menerima komando yang sama, bergerak ke semua daerah kampung  dan daerah kota di Wamena. 

     

    Mereka mengisi hari-hari di tempat pengungsian dengan  menyaksikan adegan-adegan peristiwa berdarah hari  Senin itu di televisi besar yang ada di salah satu ruangan di  Markas Kodim 1702. Dari televisi, mereka semua tahu, betapa perusuh marah dan mengamuk mengatasnamakan cinta Papua dan mengusir penduduk pendatang dengan cara apapun dari menyiksa, menyandera, bahkan sampai membunuh. Perusuh termakan hoaks rasisme dan unsur SARA. Ada juga yang mengisi harinya dengan menunggu kabar dari  kerabat melalui telepon yang masuk  di kantor  Markas Kodim 1702. Para ibu dan remaja putri ada yang bantu memasak di dapur umum. Ada yang menunggu lukanya sembuh. Anak-anak kecil bercengkrama dengan para kakak relawan yang menyiapkan permainan, kegiatan bercerita atau membuat kerajinan tangan,  dan sekolah terbuka untuk mereka. Rafka dan Roland memutuskan untuk membantu para kakak relawan di kegiatan ini.  

     

    Hari berganti tidak terasa di tempat pengungsian ini. Semua berusaha mengisi hari dengan hal-hal yang bermanfaat bagi dirinya dan orang lain. Walau suasana sudah lebih kondusif, sudah ada toko-toko dan pasar yang buka, para pengungsi yang rumahnya tidak rusak masih memutuskan untuk tetap di tempat pengungsian. Mereka masih diliputi trauma, rasa takut, dan khawatir perusuh datang kembali. Mereka ingin memastikan terlebih dahulu situasi lebih aman untuk mereka bisa kembali pulang ke rumah mereka.

     

    Siang itu, di hari Kamis, 26 September 2019, para pengungsi menerima kabar kebijakan pemerintah untuk masyarakat pendatang di Papua. Kebijakan datang dari para gubernur daerah asal mereka agar mereka yang menjadi korban kerusuhan yang kehilangan rumah, tempat usaha ataupun sanak keluarga dan kerabat untuk kembali pulang ke daerah asal mereka. Gubernur menjanjikan bantuan modal usaha, tempat tinggal yang baru di daerah asal mereka, bahkan anak-anak diberikan kesempatan bersekolah gratis hingga selesai jenjang lanjutan. Bukan itu saja, pengobatan lanjutan dan rawat jalan bagi korban terluka yang membutuhkan pengobatan dan perawatan lebih  intensif seperti operasi kecil hingga operasi besar dan hal-hal yang terkait kesembuhan dan pemulihan juga disiapkan para gubernur daerah. Beberapa korban kerusuhan yang sudah menjalani pengobatan di rumah sakit-rumah sakit besar di Papua seperti RS Sentani sudah ada yang diterbangkan pulang ke daerah asalnya untuk mendapat pengobatan dan perawatan yang lebih intensif lagi. Tante Putri, tetangga Rafka, yang menjalani operasi besar untuk luka bakar dan luka akibat anak panah yang dihujamkan ke tubuhnya juga sudah diterbangkan pulang ke daerah asalnya di Sumatera Barat.

     

    Ayah dan bundo Rafka menyimak dengan baik berita ini. Menurut ayah Rafka kebijakan ini adalah kebijakan yang sangat baik untuk kembali memulai kehidupan baru di daerah asal mereka, dekat dengan sanak saudara mereka. Bertahan di sini dan memulai semuanya kembali bukan dari nol, tetapi dari minus karena memang semua yang dimilikinya habis tanpa meninggalkan sisa apapun, adalah sebuah perjuangan berat. Ayah Rafka memutuskan untuk mengambil kesempatan baik ini. Ia akan membawa keluarganya kembali ke daerah asal mereka, Sumatera Barat. 

     

    Ayah mengumpulkan bundo, Rafka, dan Rifa dalam satu waktu. Ayah kemukakan maksudnya ini kepada mereka. “Kita kembali ke Lengayang. Kita mulai lagi segalanya dari awal di sana, dekat dengan Datuk, Mamak, dan kerabat kita di sana. Kita tinggalkan Wamena, kita tinggalkan sahabat dan kerabat di sini. Kita mulai hidup baru di Lengayang. Bagaimana? Kalian semua setuju?,” jelas ayah dengan penuh keyakinan. Bundo dan Rifa mengangguk. Rafka masih ragu. Ia terlihat sedih. Ia akan jauh dari Roland, sahabatnya. “Kenapa, Rafka?”, tanya ayah menyelidik, “kamu takut tidak memiliki sahabat baik seperti Roland? Kamu tidak perlu khawatir. Kalian masih bisa terus bersahabat. Kalian masih bisa terus saling memberi kabar. Iya,kan? Bahkan kalian bisa janjian kelak berkuliah bareng di satu perguruan tinggi di kota yang sama. Bukankah cita-cita kalian sama, berkuliah di ITB Bandung?”.

     

    Rafka memeluk ayahnya. Ayah benar. Persahabat tidak akan lekang oleh jarak dan waktu. Persahabatannya dengan Roland akan ia buktikan seperti itu, tetap abadi, tiada lekang oleh jarak dan waktu. Cita-cita mereka berkuliah di ITB Bandung akan mereka kejar bersama. Berjauhan tetapi saling menyemangati dan belajar keras menggapai cita-cita itu. Rafka bergegas mencari Roland. Ayah bergegas mendatangi petugas guna menyampaikan maksudnya untuk menerima tawaran gubernur kembali ke daerah asal mereka. 

     

    “Roland, aku ingin berpamitan denganmu. Ayah ingin kami sekeluarga kembali  ke daerah asal kami di Lengayang, Pesisir Selatan, Sumatera Barat, untuk memulai hidup baru di sana. Pemerintah daerah kami menjanjikan modal usaha, tempat tinggal, dan jaminan kesehatan serta jaminan pendidikan buatku dan adikku. Kita akan jauh, Roland. Semoga jarak yang jauh dan rentang waktu yang tiada pernah bisa kita perkirakan, persahabatan kita tetap bisa kita jaga,” suara Rafka terdengar sedih. “Ya, Rafka. Kembalilah ke daerah asalmu. Di sana kamu dan keluargamu akan lebih merasa aman. Dekat dengan saudara-saudara asli sekampung halaman. Aku berjanji akan menjaga persahabatan kita ini. Kita masih bisa terus berhubungan melalui handphone ataupun surat. Kita bersama-sama belajar keras agar cita-cita kita bersama untuk berkuliah di ITB dapat tercapai.Kita bisa bersekolah bersama lagi,” janji Roland meyakinkan Rafka. Keduanya berpelukan dengan erat. Rafka tidak lupa menulis alamat Roland dan menitipkannya nanti pada bundanya. Bundo adalah orang yang paling teliti menyimpan sesuatu yang penting. Akan tetapi, peristiwa kemarin membuat bundo belum sempat mengambil semua surat-surat berharga juga ijazah dan raport Rafka karena semuanya terjadi begitu cepat. 

     

    Pada hari yang ditentukan, keluarga Rafka dan keluarga-keluarga lainnya yang berasal dari luar Papua, berpamitan dengan petugas dan keluarga pengungsi lainnya. Mereka akan diterbangkan ke daerah asal mereka masing-masing guna memulai hidup baru. Mereka saling berpelukan dan saling memberi pesan. Beberapa hari bersama telah membuat ikatan batin mereka semakin erat. 

     

    Keluarga Rafka bertemu dengan keluarga Roland. “Kita tetap bersaudara walau kita berjauhan. Kita tetap bisa saling mengunjungi satu sama lain jika Tuhan memberikan kita kesempatan itu “, ayah Rafka menutup pamitannya dengan haru. Rafka bersalaman kemudian berpelukan dengan Roland. “Jaga dirimu baik-baik di sini ya, Roland. Jangan lupa untuk selalu berkabar padaku,”pesan Rafka. “Pasti, Rafka. Semua akan baik-baik saja,”janji Roland. Kedua keluarga itu saling berpelukan.

     

     

    Kreator : Ummu Safana

    Bagikan ke

    Comment Closed: HARI INI HARUS LEBIH BAIK DARI HARI KEMARIN

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Menurut Stephen Covey Manusia Memiliki Kebutuhan Dasar, Kecuali? a. To Live b. To Love c. To Listen d. To Leave the Legacy Jawaban: c. To Listen Menurut Stephen Covey Manusia Memiliki Kebutuhan Dasar, Berikut Pembahasannya: Stephen Covey, seorang penulis dan konsultan manajemen terkenal, dalam karya-karyanya sering membahas tentang kebutuhan dasar manusia. Dalam bukunya yang terkenal, […]

      Jun 25, 2024
    • Hari sudah menunjukkan pukul 14.30. Suasana di sekolah tempat Ustadz Hamdi mengabdikan diri sudah mulai sepi. Anak-anak sudah banyak yang pulang. Ustadz Hamdi masih duduk di meja kerjanya sambil memeriksa satu persatu tugas murid-muridnya. Saat itu tiba-tiba HP Ustadz Hamdi berdering “Kriiing, kriiing, kriiing…”  “Halo…., Assalamu alaikum !”  “Wa alaikum salam. Ini Lisa, pak Ustadz.” […]

      Jun 06, 2024
    • Aku adalah teman sekelas Sky di SMP, kami berada dikelas yang sama selama 3 tahun. Sekarang setelah masuk SMA kami berada di sekolah dan kelas yang sama. Sky selalu menjadi orang terpopuler di sekolah, Sky tinggi,  tampan, dan sangat ramah. Namun sayangnya aku merasa dia selalu dingin hanya padaku, aku bahkan tidak tau alasan dibalik […]

      Jun 10, 2024
    • Mahaga Belom Bahadat adalah bahasa Dayak Ngaju yang mempunyai makna yaitu menjaga kehidupan yang saling menghargai, menghormati serta menjunjung tinggi kehidupan Adat Istiadat maupun tradisi kearifan lokal di wilayah yang kita tempati. Era zaman sekarang ini sudah banyak sekali para generasi yang melupakan prinsif-prinsif hidup yang telah dulu ditinggalkan para leluhur(nenek moyang) kita, padahal banyak […]

      Jun 02, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021