Dua anak kecil berusaha mengintip
dari balik sekat pembatas berukuran setinggi kurang lebih satu setengah meter
yang memisahkan ruang tamu dan ruang kepala sekolah. Mereka berdua asyik
bermain di ruang tamu, namun entah mengapa tiba-tiba mereka kemudian berusaha
melihat ke ruang kepala sekolah yang berada di sebelah tempatnya bermain. Dengan bersusah payah mereka menjejakkan
kakinya ke atas sandaran sofa di ruang tamu.
Setelah beberapa saat tampak oleh mereka ibu kepala sekolah yang sedang
fokus dengan tumpukan kertas di depannya. Salah satu dari anak tersebut adalah
putri dari kepala sekolah.
Mudah saja sebenarnya jika mereka ingin masuk ke ruangan
tersebut karena memang tidak berpintu sehingga cukup turun dari kursi dan masuk
ke ruangan. Namun itulah anak kecil
selalu berusaha untuk mencoba hal-hal baru yang bahkan tidak terpikirkan oleh
orang dewasa. Yah, anak kecil dengan segala keluguan dan kepolosannya namun
kadang kala mengeluarkan sebuah ujaran yang sarat makna. Seperti laku dari dua
anak kecil yang sejenak sempat mengintip lewat sekat ruang itu dan mengamati
sosok yang ada di baliknya.
Lamat-lamat terdengar salah seorang dari mereka berujar,
“Alya! coba ibu kita bukan guru ya.” Bu Anita, kepala sekolah yang
sedang sibuk dengan tumpukan pekerjaannya, tersentak. Dia sadar betul jika
suara yang baru didengarnya adalah suara dari buah hatinya sendiri. Ada rasa
bersalah menjalar menusuk-nusuk naluri keibuannya. Apakah dia sudah salah
langkah? Apakah dia sudah terlalu jauh? Apakah rutinitas pekerjaannya telah
membentangkan jurang antara dia dan putrinya?
Sedih, merasa bersalah, merasa gagal. Mungkin itu yang
berkecamuk dalam pikiran Bu Anita. Hal yang tidak pernah terbayangkan terucap
dari bibir mungil putrinya. Kalimat sederhana namun membuatnya sangat terpukul.
Kalimat yang seolah menghempaskan wibawanya sebagai seorang pemimpin yang
selama ini berusaha dia bangun dan jaga.
Berbagai prestasi yang diraih baik oleh sekolahnya maupun
siswa-siswanya seolah tidak ada artinya lagi ketika kini dia mendapati
kenyataan bahwa ada yang salah dalam langkahnya. Dia telah meninggalkan
anak-anaknya berjalan sendiri. Dia terlihat hebat di luar dengan segala
prestasi yang telah diraih. Namun satu sisi dalam dirinya kini terkoyak.
Keluarganya butuh hadirnya. Anak-anaknya merasa kehilangan perhatiannya.
Itulah fakta yang harus menjadi perhatian setiap ibu yang
bekerja. Apakah dia sebagai guru, pegawai kantoran, pekerja perusahaan,
pedagang, pengusaha dan pekerja publik lainnya. Kesibukan pekerjaan seringkali
menyita waktu sedemikian banyaknya sehingga porsi untuk keluarga terabaikan.
Begitu banyak anak yang salah jalan karena kurang mendapatkan
perhatian dari kedua orang tuanya. Ayah ibunya sibuk dengan pekerjaan
masing-masing. Sibuk dengan urusan
masing-masing sehingga hampir tidak ada waktu bersama dengan anak-anak mereka.
Bersama dalam arti benar-benar melakukan aktivitas
yang melibatkan orang tua dan anak. Diskusi bersama, mendengarkan cerita
mereka, makan bersama bahkan untuk anak-anak yang masih kecil bisa bermain
bersama.
Jadi kebersamaan yang dimaksud benar-benar kebersamaan yang
berkualitas. Karena di era sekarang ini banyak ibu yang tidak bekerja, tinggal
di rumah tapi kualitas kebersamaan dengan anaknya kurang lebih sama dengan yang
sibuk bekerja. Kenapa bisa? Yah, karena mereka sudah punya aktivitas sendiri.
Mungkin saja mereka bersama, dalam sebuah rumah yang sama, di
waktu yg sama, tapi orang tua larut dengan dunianya sendiri, asyik dengan
dunianya sendiri. Dengan berbekal gadget di tangan, si ibu meskipun tidak
kemana-mana tapi pergaulannya melampaui bilik-bilik rumahnya.
Oleh karenanya berkaca pada obrolan ringan dua gadis mungil
tadi, kita bisa sedikit merenung bahwa anak-anak kita butuh hadirnya kita dalam
menemani hari-hari mereka. Menemani mereka dalam masa-masa indah usia dininya.
Tidak sekedar fisik tapi kualitas kebersamaan bersama merekalah yang lebih
penting. Tidak butuh waktu lama tapi disaat mereka butuh
perhatian, kita ada untuknya. Ada bukan berarti hadir disisinya, tapi
ada dalam arti yang lebih jauh bahwa kita peduli dengannya.
Tidak sedikit ibu yang bekerja namun tetap mampu memberikan
yang terbaik buat putra-putrinya. Masih punya waktu untuk berinteraksi dengan
mereka baik langsung maupun melalui media handphone. Masih punya waktu untuk bersantai dengan
mereka. Karena sejatinya kualitas hubungan anak dan orang tua bukan dilihat
dari seringnya mereka bersama tapi kualitas dari kebersamaan itu. Bukan dilihat
dari lamanya waktu bersama tapi kualitas kebersamaan itu yang lebih utama.
Maka mari para ibu yang bekerja dan tidak punya waktu
sedikitpun yang tersisa untuk putra putrinya. Rehatlah sejenak dan tengoklah
kebelakang. Adakah anak-anak kita merasa tertinggal di belakang dan tertatih
menapaki jalan agar dapat menjajari langkah kita? Ataukah dia kini tetap hadir
disisi kita berjalan bersama.
Berbahagialah wahai ibu jika dari
sekian banyaknya urusan dan padatnya pekerjaan, tidak membentangkan jarak
antara kita dan putra-putri kita. Mereka tetap hadir berjalan bersama orang
tuanya, dan bukan sebaliknya tertinggal dan tersesat.
6 Komentar Pada Ibu, Kami di sini!
Next mrs. Tulisan yg indah.
Masya Alah, kerrenn sekali tulisan ini. Walo saya belum menikah, namun sangat cukup untuk pembelajaran kedepannya. Terima kasih untuk tulisan ini kak
Terharu 😭
MaasyaAllah Tabaarakallah, tulisan yang menginspirasi.
reminder for me as a new mom, thank you.
Ya Allah tulisannya begitu menginspirasi buat saya. Meski saya belum berumah tangga, cerita ini dapat dijadikan pelajaran yang berharga bahwa peran ibu sangat penting untuk masa depan buah hatinya terutama pendidikan keimanan dan akhlak serta ilmu tauhid.