Sore itu, cahaya matahari menyelinap lembut lewat jendela, memantul di ubin ruang tamu rumah dinas Bapak yang hangat. Dari kejauhan, terdengar sayup-sayup suara radio yang memutar lagu lawas, menyatu dengan langkah kaki Ibu yang baru pulang kerja. Seperti biasa, di tangannya tergenggam majalah wanita kesayangannya Kartini yang selalu membuat matanya berbinar setiap kali edisi baru tiba. Majalah ini begitu populer di tahun 80-an dan di rumah kami, seolah menjadi jendela kecil untuk melihat dunia luar.
Aku, anak kelas empat SD yang suka membaca apa saja, dari bungkus permen sampai buku pelajaran kakak, langsung duduk di samping Ibu dan ikut membolak-balik halaman demi halaman. Setiap lembaran penuh warna dan cerita, seakan menyimpan dunia yang menunggu untuk dijelajahi. Tiba-tiba, pandanganku terpaku. Sebuah artikel dengan foto-foto yang tampak seperti diambil dari mimpi. Miniatur kota yang menyerupai negeri dongeng. Rumah-rumah kecil berdiri rapi, jembatan mungil melengkung manis, rel kereta berkelok dilewati kereta mini, dan kanal-kanal mengalir tenang seperti lukisan. Judulnya membuatku berbisik dalam hati, “Madurodam, Wisata Miniatur Belanda.” Saat itu juga, imajinasiku melayang jauh ke negeri asing yang mungil dan memukau.
Aku terpaku, tak bisa mengalihkan pandang dari gambar-gambar itu. Rasanya seperti melihat halaman dari cerita Gulliver’s Travels yang pernah kubaca di majalah Bobo. Rumah-rumah mungil, kereta mini, jembatan kecil, semuanya begitu rapi dan nyata. Pikiranku yang polos langsung mengembara. Apakah di Belanda benar-benar ada negeri liliput? Jangan-jangan, memang benar ada raksasa bernama Gulliver yang tinggal di sana Bersama orang- orang liliput. Apakah semua bangunan itu dibangun khusus oleh manusia biasa sepertiku untuk liliput?
Dengan penuh rasa penasaran, aku membuka atlas di rak buku dan mencoba mencari Belanda. Kutelusuri huruf demi huruf, berharap bisa menemukan kata Madurodam, tapi hasilnya nihil. Aku bertanya kepada Ibu, lalu kepada Bapak, namun mereka hanya menggeleng pelan.
“Ibu juga belum pernah ke luar negeri, Nak,” kata Ibu sambil tersenyum.
Ketika kutanya pada Kakak, ia malah tertawa terbahak-bahak.
“Hahaha, raksasa dan manusia liliput di Belanda? Kamu ini percaya banget sama dongeng!” katanya sambil mengacak-acak rambutku.
Aku hanya bisa meringis, malu tapi tetap penasaran. Di kepalaku, bayangan kota kecil itu tetap hidup, berdiri di antara mimpi dan rasa ingin tahu yang belum terjawab.
Aku kesal, tapi rasa penasaran dalam diriku justru makin menjadi-jadi. Sore itu aku mendekati Ibu yang sedang merapikan tas kerjanya.
“Bu, seberapa jauh sih Belanda dari Indonesia?” tanyaku pelan.
Ibu tersenyum kecil sambil menatapku. “Jauh sekali, Nak. Kalau mau kesana, harus naik pesawat berjam-jam. Bisa seharian.”
Aku terdiam. Begitu jauhkah? Apakah suatu hari nanti aku bisa sampai ke sana? Aku memandangi kembali gambar Madurodam yang menakjubkan itu. Semakin kupikirkan, semakin aku ingin melihatnya dengan mataku sendiri.
Tanpa pikir panjang, sembunyi – sembunyi aku mengambil gunting dan menggunting halaman majalah Kartini yang berisi gambar itu. Aku tempelkan rapi di buku tulisku, lalu menuliskan di bawahnya, “Suatu hari nanti, aku akan melihat Madurodam ini dengan mata kepalaku sendiri.”
Namun kebahagiaan kecil itu tak bertahan lama. Ketika Ibu menemukan majalahnya yang sudah tergunting, wajahnya langsung berubah.
“Siapa yang menggunting majalah Ibu?” tanyanya dengan suara tegas yang membuat jantungku berdebar.
Aku menelan ludah, lalu perlahan mengangkat tangan. “Aku, Bu…”
Ibu menghela napas panjang. “Kamu tidak boleh sembarangan menggunting barang orang lain. Kalau mau, bilang dulu.”
Aku menunduk. “Maaf, Bu… aku cuma suka sekali gambar Madurodam itu…”
Melihat wajahku yang menyesal, nada suara Ibu pun melunak. Ia mengusap kepalaku lembut.
“Ya sudah, Ibu maafkan. Tapi lain kali minta izin dulu ya.”
Aku mengangguk cepat. Guntingan Madurodam itu menempel diam di halaman buku tulisku, menjadi pengingat impian kecil yang suatu hari ingin kujadikan nyata.
Beberapa bulan kemudian, hujan turun tanpa henti. Langit seperti menyimpan kesedihan yang tak habis-habis. Kota kami dilanda banjir besar. Air masuk ke rumah, menggenangi lantai, merendam perabotan, dan memaksa kami mengungsi ke tempat yang lebih tinggi. Rumah dinas kecil kami tak mampu melawan derasnya air.
Ketika banjir mulai surut dan kami kembali ke rumah, aku berjalan pelan menuju rak tempat menyimpan buku-buku. Buku tulisku sudah basah, halamannya menempel satu sama lain. Di dalamnya, guntingan gambar Madurodam yang dulu kutempel dengan penuh semangat ikut hancur. Warnanya luntur, kertasnya robek, impianku terasa ikut larut bersama lumpur dan air kotor. Aku duduk terdiam. Sedih. Tapi aku tahu, tak bisa berbuat apa-apa.
Waktu berjalan. Aku tumbuh dan perlahan melupakan impian masa kecil itu. Hidup membawa langkahku ke banyak tempat, ke sekolah yang lebih tinggi, ke pekerjaan yang sibuk, dan tanpa kusadari, juga ke negeri-negeri jauh. Aku dewasa, dan impian kecil tentang Madurodam terkubur pelan-pelan oleh kenyataan dan kesibukan. Tapi seperti kertas yang pernah aku tempel di buku itu, bekasnya diam-diam masih tertinggal di sudut hati.
Bertahun-tahun kemudian, hidup membawaku jauh dari rumah dinas kecil masa kanak-kanak. Aku mendapat penugasan bekerja di salah satu lembaga internasional milik Perserikatan Bangsa-Bangsa dan ditugaskan di Ethiopia. Pekerjaanku membuatku berpindah-pindah, dari satu negara ke negara lain, menghadiri pertemuan, memantau program, berbicara dalam bahasa asing. Dalam semua perjalanan itu, aku tak lagi mengingat impian masa kecilku. Gambar Madurodam sudah lama tenggelam dalam arsip ingatan yang nyaris terlupakan.
Hingga suatu hari, aku mendapat kabar bahwa anakku harus mengikuti ujian akhir Sekolah Menengah Pertama di Sekolah Indonesia kota Den Haag, Belanda. Aku pun harus menemaninya. Kami naik pesawat malam menuju Eropa. Saat roda pesawat menyentuh landasan Bandara Schiphol, tiba-tiba dadaku terasa hangat. Ada sesuatu yang menggeliat dalam diam, seolah ada bagian dari diriku yang terbangun setelah lama tertidur.
Aku tertegun. Lalu tersadar. Madurodam! Ini Belanda!
Namanya muncul begitu saja dalam pikiranku, jelas dan utuh seperti dulu. Ingatan tentang gambar di majalah, buku tulis yang basah karena banjir, dan impian yang pernah kutulis dengan tangan kecilku, kini kembali menyeruak. Hatiku bergetar. Ya Allah, aku benar-benar berada di Belanda. Negeri yang dulu hanya kupandangi lewat foto-foto di halaman majalah. Aku hampir tak percaya, tapi inilah kenyataannya. Impian masa kecilku sedang mengetuk pintu.
Den Haag, 27 April 2018
Aku begitu ingin segera berkunjung, namun aku bersabar menunggu urusan ujian anakku selesai. Hari ini akhirnya aku mengajak anakku pergi ke Madurodam. Ini adalah perjalanan hati. Dari sejak awal sampai di Belanda dan tersadar kenangan gambar Madurodam, aku berusaha mencari tahu cara menuju tempat itu dari penginapan kami. Sebuah langkah kecil menuju janji masa lalu yang pernah kutulis dengan tangan gemetar di buku tulis yang kini entah di mana. Janji yang nyaris kulupakan, namun diam-diam tetap tinggal di relung terdalam.
Begitu melangkah masuk ke kawasan Madurodam, dunia seolah berhenti sejenak. Kota mini itu terbentang seperti mimpi yang mewujud dalam bentuk yang nyaris persis seperti yang kulihat di majalah Kartini puluhan tahun lalu. Rumah-rumah mungil berjajar rapi, jembatan lengkung berdiri anggun di atas kanal-kanal jernih, dan kereta kecil melaju perlahan di antara taman dan bangunan miniatur.
Aku terpaku.
Setiap detail di hadapanku seakan menarik benang kenangan yang telah lama kusimpan rapat. Bayangan masa kecil datang berkelebat satu per satu. Wajah Ibu yang berubah kesal saat menemukan majalahnya tergunting, suara tawa Kakak saat mengejek imajinasiku tentang raksasa dan manusia liliput di Belanda, usahaku mencari kata “Madurodam” di atlas tua, hingga malam ketika aku menatap buku tulis basah yang kehilangan warna dan harapan. Kini aku berdiri di tempat itu. Nyata. Tanpa perantara gambar.
Tanpa sadar, air mata hangat mulai mengalir di pipi. Bukan karena sedih, melainkan karena haru yang menyesak. Seperti ada sesuatu di dalam diriku yang selama ini diam, lalu kini bergerak perlahan dan berkata, “Kau sampai juga.”
Anakku yang berdiri di sampingku menatap heran.
“Ibu, kenapa menangis?” tanyanya pelan.
Aku menoleh padanya, lalu tersenyum sambil mengusap pipi yang basah.
“Ibu hanya sedang mengingat sesuatu. Dulu, waktu Ibu masih seumur kamu, Ibu pernah bermimpi bisa ke tempat ini. Sekarang Ibu benar-benar ada di sini.” Suaraku nyaris bergetar.
Ia tersenyum dan menggenggam tanganku lebih erat. “Akhirnya impian Ibu terwujud, ya. Ibu pasti bahagia.”
Aku mengangguk pelan. Tak banyak kata yang bisa kuucapkan saat itu. Hanya diam yang terasa paling jujur. Kami berjalan perlahan menyusuri jalan setapak di antara bangunan-bangunan miniatur yang tampak begitu hidup. Di hadapan kami, kereta mini melaju perlahan, melintasi jembatan kecil dan taman bunga yang rapi, seolah ikut mengantarkan langkah-langkah kami menuju masa lalu yang diam-diam terbangun kembali. Langit Belanda cerah sore itu, angin musim semi bertiup lembut, membawa aroma rumput basah dan bunga Tulip yang baru mekar.
Di belakang kami, jejak langkah kami menyatu dengan desir angin dan bisik pelan dari masa silam. Ada sesuatu yang nyaris tak bisa dijelaskan. Rasa syukur, haru, dan hangatnya perjumpaan dengan bagian diriku yang dulu pernah bermimpi dalam diam. Hari itu aku sungguh belajar bahwa tidak semua impian harus dikejar dengan napas yang terengah-engah atau dengan kegelisahan yang tak pernah tenang. Ada mimpi-mimpi kecil yang tumbuh perlahan dalam sunyi. Ia tidak memanggil-manggil, tidak memaksa untuk diingat. Ia hanya menunggu, dengan sabar dan setia, sampai waktu yang tepat tiba untuk menyapa kembali.
Dan, ketika akhirnya ia datang, ia tidak hadir dengan gemuruh atau sorak sorai. Tidak ada kembang api atau perayaan besar. Ia hadir begitu saja, seperti pagi yang membuka tirai malam, seperti embun yang turun tanpa suara, seperti cahaya yang menyentuh wajah tanpa terasa. Hari itu, di antara miniatur rumah-rumah Eropa dan rel kereta kecil, aku bertemu kembali dengan diriku yang dulu. Seorang anak kecil yang pernah duduk di ruang tamu rumah dinas sederhana, memandangi gambar Madurodam di majalah, dan menuliskan harapannya di buku tulis yang kini entah di mana. Dan, meskipun kertasnya telah hancur oleh banjir, impian itu tetap hidup. Ia datang kembali dalam wujud nyata, dalam langkah yang utuh, dalam pandangan yang penuh makna.
Kreator : Indriyati Rodjan
Part 15: Warung Kopi Klotok Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]
Part 16 : Alun – Alun Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]
Dalam dunia pendidikan modern, pendekatan sosial emosional semakin banyak dibahas. Salah satu model yang mendapatkan perhatian khusus adalah **EMC2 sosial emosional**. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan Definisi EMC2 sosial emosional? Mengapa pendekatan ini penting dalam pembelajaran? Mari kita bahas lebih lanjut untuk memahami bagaimana EMC2 berperan dalam perkembangan siswa secara keseluruhan. Definisi EMC2 Sosial […]
Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]
Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]
Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]
Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]
Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,, begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]
Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]
Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]
Comment Closed: Impian di Guntingan Madurodam
Sorry, comment are closed for this post.