Kesedihan mendera setelah mendengar diagnosis dari dokter. Tiba-tiba aku takut mati. Aku takut karena dosa yang telah kulakukan selama ini begitu banyak. Aku bertanya dalam hati “Apakah ini azab bagiku karena telah banyak berbuat kemaksiatan selama ini?”.
Pagi itu aku melamun di pinggir jendela kamar tempatku dirawat. Aku teringat kembali dosa dan kebohongan yang telah kulakukan. Perbuatan itu telah membuatku berpisah dengan suami dan kedua anakku. Aku tidak bisa menjadi istri yang setia dan ibu yang baik untuk buah hatiku. Hanya untuk mencari kepuasan diri dan kenikmatan dunia, aku pergi dan tega meninggalkan mereka.
Awal aku menikah dan hidup bersama Mas Galih begitu menyenangkan. Mas Galih adalah seorang manajer di sebuah perusahaan terkenal di Jakarta. Apalagi setelah kehadiran kedua buah hatiku. Terasa lengkap sudah kehidupan rumah tangga kami.
Namun tidak selamanya kehidupan seseorang selalu di atas. Hari itu Mas Galih menelpon dan memberi kabar kalau dia baru di-PHK oleh pimpinan perusahaannya. Aku kaget dan syok mendengar kabar itu. Tidak bisa kubayangkan jika suami tidak punya pekerjaan, sementara aku sendiri tidak bekerja dan kami mempunyai dua anak yang masih kecil. Namun semuanya harus dihadapi dengan lapang dada dan besar hati.
Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, akhirnya dengan uang tabungan yang ada, kami membuka konveksi kecil-kecilan di rumah. Karena modal belum mencukupi, kami mengajukan pinjaman ke salah satu Bank. Dengan bantuan tersebut, konveksi kami semakin maju. Awalnya kami mempekerjakan 10 orang. Karena banyaknya pesanan dari kantor-kantor, kami pun menambah pekerja 30 orang lagi. Namun tidak disangka terjadi krisis moneter yang membuat bahan baku menjadi mahal dan kami pun akhirnya menutup usaha itu, karena sudah tidak ada modal lagi untuk mengembangkan usaha.
Berbekal ijazah kuliah, aku dan suami mencoba melamar pekerjaan ke unit usaha dan perusahaan-perusahaan. Sudah berapa banyak lamaran dibuat tapi belum juga ada jawaban diterima. Untuk kebutuhan sehari-hari kami hanya mengandalkan sisa tabungan yang ada. Aku sendiri menjadi pemarah dan sering menyalahkan suami. Pertengkaran sering terjadi di rumah tangga kami. Selain kepada suami, kemarahanku juga kulampiaskan kepada kedua anakku. Sehingga anak-anak menjadi takut dan tidak dekat lagi kepadaku.
Siang itu sepulang dari pasar, saat menunggu bus kota, aku bertemu dengan seorang lelaki yang terlihat sangat rapi dandanannya. Dia pun menyapaku dengan sopan dan mengajakku berkenalan. Namanya Muhammad Rafi. Kemudian dia mengajakku makan di rumah makan, namun aku menolaknya. Sebelum kami berpisah, dia memberiku kartu nama. Ternyata dia bekerja di sebuah butik yang cukup besar di kota Bandung.
Sejak pertemuan dengan lelaki itu, aku menjadi gelisah. Aku hubungi no hp yang ada di kartu namanya. Mas Rafi mengangkat telponku dan mengajak janjian di tempat kami pertama bertemu. Aku pun setuju dan segera bersiap-siap.
Pada Sabtu pukul 14.00 aku pamit ke suami untuk menginap di rumah temanku di Bandung. Kuceritakan bahwa temanku mempunyai Butik dan menyuruhku untuk bekerja di sana. Karena suamiku belum juga bekerja yang mapan, dia pun setuju saja. Aku pun segera menuju tempat biasa menunggu Mas Rafi. Tidak sampai lima menit, Mas Rafi datang dan segera mengajakku ke Bandung. Di tengah perjalanan, di pinggiran kota, Mas Rafi berhenti. Dia mengajak istirahat dulu di mobil. Entah mengapa, aku selalu menurut apa yang diinginkan lelaki itu. Aku telah lupa siapa diriku sebenarnya. Aku telah mengkhianati suamiku sendiri.
Setelah dirasa cukup, Mas Rafi mengajakku melanjutkan perjalanan. Satu jam kemudian kami sampai di Butik tempatnya bekerja. Dia memperkenalkan aku dengan bosnya yang cantik. Mbak Mirna menerima aku bekerja di Butik itu. Kebetulan di sana sedang membutuhkan pekerja, maka aku pun diterima. Maka sejak saat itu aku bekerja di Butik tersebut.
Tidak terasa sudah dua bulan aku bekerja di butik itu. Sepekan sekali aku pulang. Kubelikan baju, makanan dan kuberikan uang kepada mereka. Mereka bisa kembali ceria seperti saat ayahnya dulu menjadi manajer. Hidup kami pun tidak lagi kekurangan.
Setelah lima bulan bekerja, tiba-tiba Mas Rafi mengajakku resign dari Butik itu. Dia mengajakku mendirikan usaha sendiri. Tidak hanya itu, dia pun mengajakku untuk hidup bersamanya. Lagi-lagi aku tidak berani menolaknya. Sejak saat itu, kami hidup bersama tanpa ikatan perkawinan, padahal stasusku masih sebagai istri sah Mas Galih. Sejak resign dan hidup bersama Mas Rafi, aku mulai melupakan keluargaku. Aku sudah jarang pulang ke rumah. Dengan alasan sibuk, aku hanya mengirimkan uang saja untuk keperluan kedua anakku. Sampai kemudian aku benar-benar melupakan keluarga.
Usahaku bersama Mas Rafi awalnya maju, tapi seperti saat dulu buka konveksi, aku pun memerlukan tambahan dana. Mas Rafi menyuruhku meminjam modal kepada teman-temanku. Sudah lebih dari sepuluh orang yang kupinjam uangnya dengan alasan akan dikembalikan dalam satu bulan bersama dengan keuntungannya. Tapi ternyata semua bohong, Mas Rafi mulai berubah sifatnya. Uang yang aku pinjam dari teman-temanku tidak digunakan untuk usaha, namun digunakan untuk berfoya-foya dan main perempuan. Mas Rafi pun sudah tidak peduli padaku lagi, bahkan dia mengusirku dari rumahnya.
Aku sangat sedih dan mulai menyadari kesalahanku selama ini. Aku mulai kebingungan karena teman-teman yang kupinjami mulai menagih uangnya. Aku blokir no mereka agar tidak bisa menghubungi aku lagi. Aku telah melakukan dosa besar. Aku telah berbuat maksiat, melakukan kebohongan dan mengkhianati suamiku. Aku malu untuk kembali ke suami dan kedua anakku. Akhirnya kuputuskan pulang kembali ke rumah ibuku di Semarang. Di sana aku sakit-sakitan. Pikiranku terbebani perasaan bersalah dan dosa besar yang kulakukan, tapi aku tidak berani bercerita kepada siapapun. Pernah aku merasa frustasi dan berpikiran ingin mengambil jalan pintas mengakhiri hidupku. Alhamdulillah Allah masih sayang padaku. Ibuku mengajakku mengikuti pengajian di masjid kampung. Ustadnya menyampaikan ceramah tentang kiat-kiat hijrah dari kemaksiatan dan istiqomah dalam ketaatan.
Aku menyadari dosa-dosa dan kesalahan yang kulakukan selama ini. Segera aku meminta ampun kepada Allah, memohon maaf kepada suami dan kedua anakku. Ku tengadahkan kedua tanganku:
“Ya Allah…Izinkan aku bertaubat. Maafkan aku ya Rabb. Aku telah melupakan perintah Mu, tidak mensyukuri nikmat Mu, selalu mengeluh atas ujian yang Kau berikan dan tidak merasa malu untuk berbuat kemaksiatan.”
“Ya Allah…berikan aku hidayah-Mu.”
“Ya Allah…saat ini telah kusadari semua kebodohanku…semua salah dan khilafku.”
“Maafkan aku ya Rabb…jauhkan dan lindungilah aku dari kemaksiatan dan hal-hal yang dilarang oleh ajaran Islam.”
“Ya Allah, Izinkan aku untuk bertaubat sebelum kematianku.”
Comment Closed: Izinkan Aku Bertaubat
Sorry, comment are closed for this post.