“Kapok Koen Yo!! Biar tahu rasa kalau sudah kayak gitu. Siapa suruh kamu ngurusin kucing orang. Emang tugas dan tanggung jawabmu ngurusin kucing orang?! Kamu kan sudah tahu dan sudah merasakan gimana rasanya dicakar kucing Si Kunyil. Kamu kan tahu kalau Si Kunyil itu kucing jahat, kucing dikurung terus, gak pernah keluar, setiap keluar pasti nggigit dan nyakar orang. Ngapain kamu pegangin lagi? kamu kan sudah punya kucing sendiri yang baik, yang nurut dan gak nakal. Ngapain bukan kucingmu Si Kimpli, Si Ucil, dan Si Acil yang kamu pegangin. Malah kucing si Kunyil nakal yang jarang dikeluarkan yang kamu pegangin. Emang tugasmu momong Si Kunyil. Emang kewajibanmu ngurusin si Kunyil?!”
Teriak Emak marah-marah padaku ketika aku masuk rumah sambil bilang habis dicakar kucing. Melihat lenganku yang banyak goresan bekas kuku kucing emak semakin marah dan ngomelin aku.
“Mbok apakno kucinge kok nggrawut kowe?” menggunakan Bahasa Jawa Emak menanyaiku. Dengan sedikit takut, aku jawab bahwa Si Kunyil aku elus-elus. Mendengar jawabanku mengelus Kunyil, Emak tambah marah dan terus mengomel bagaikan burung berkicau di pagi hari. Dengan suaranya yang lantang bagaikan petir menyambar bersahutan di angkasa. Sambil matanya melotot bagaikan bola bekel di tengah hamparan tampah. Ekspresinya yang marah bagaikan orang kelaparan yang hendak menelan diriku.
Aku hanya diam seribu bahasa. Sambil menahan rasa sakit akibat luka di lenganku yang lumayan banyak. Goresan bekas cakaran kucing dan luka bekas empat gigi taring si kucing yang menancap di lengan kiriku yang gemoy. Namun, kutahan rasa perih walaupun air mata mengalir menganak sungai di pipiku. Ditambah peluh bercucuran di jidatku. Ingin rasanya ku menangis, ingin rasanya ku teriak melepaskan suaraku yang tertahan. Namun aku hanya bisa diam sambil menahan rasa perih seraya berjalan menuju dapur di tempat emakku sedang masak.
Ternyata, tak berhenti sampai di situ. Emakku melanjutkan ngomelnya.
“Orang gabut, gak punya kerjaan, apa kamu kurang bahagia kok ngurusin kucingnya orang? Kamu kan lagi bermain meronce sama teman-teman, semua asyik meronce kok kamu sendiri ngelus-ngelus kucing. Udah kapok sekarang? Cepetan dicuci di kran, cuci yang bersih. Terus ini dibersihkan pakai tisu, terus dibersihkan pakai rivanol ini. Habis itu dikasih betadin.”
Suara Emak dengan nadanya mulai menurun. Rasa takutku sedikit menghilang.
“Alhamdulillah ya Allah, marahnya Emak udah reda, kayaknya Emak udah gak marah.” Gumamku dalam hati.
Dengan segera aku melangkah menuju kran air, kucuci tanganku dan dibersihkan menggunakan tisu dan rivanol. Sambi membersihkan luka aku duduk menyendiri sembunyi dalam kamar dan menjauh dari dapur. Sambil menahan perih terus kubersihkan pelan-pelan dan kuusap lagi darah yang masih keluar.
Tak lama kemudian, Emak datang menghampiriku. Tanpa ngomel lagi tiba-tiba mendekat dan duduk di depanku. Lalu diraih lah tangan kiriku yang sedang aku usap-usap menggunakan tisu. Aku hanya diam. Emak pun diam. Diamatinya lenganku, diputar ke kanan dilihat, lalu putar ke kiri dan diamati. Dilihatnya setiap luka bekas cakaran dan bekas gigitan kucing itu.
“Ya Allah, kok sampai kayak gini toh, Nduk. Sakit gak?” tanyanya. Aku bilang sakit sedikit aja.
“Ini bekas gigi taring ini. satu, dua, tiga, empat. Ini harus dikeluarkan lagi darahnya, habis ini diusap pakai rivanol terus dikasih betadin.” ucapnya dengan nada datar dan rasa iba sambil menekan-nekan daerah dekat luka untuk mengeluarkan darahnya.
Aku tahu ternyata Emak marah padaku itu tanda sayang. Beliau tidak rela aku terluka sedikitpun, apalagi akibat digigit kucing. Karena Emak ingat Si Kunyil ini dulu ketika dikeluarkan dari kandang pernah mencakar dan menggigit si pemiliknya sendiri sampai dibawa ke rumah sakit. Aku tahu Emak gak mau kejadian seperti itu menimpa diriku.
Kini aku bisa berpikir. Peristiwa ini memberi pelajaran dan memberiku pengalaman. Agar aku belajar dari kejadian yang menimpaku. Supaya aku jera dan tidak lagi menggendong sembarang kucing. Memang si Kunyil ini secara tampilan lebih bagus bulunya daripada kucingku Si Kimpli. Badannya pun lebih besar dan bulunya lebih lebat daripada Si Kimpli punyaku. Ini pelajaran lagi bagiku. Aku harus bersyukur dan merasa puas dengan apa yang aku miliki sendiri. Bukankah Si Kimpli ini lebih jinak daripada Si Kunyil? Iya, betul. Walaupun warna bulunya tak seindah Si Kunyil tapi Si Kimpli ini lebih jinak dan lebih cerdas serta lebih peka daripada kucing yang lain.
Betapa tak dikatakan peka dan cerdas, Si Kimpli ini akan lari dengan cepat ketika Emak pulang dari mana-mana. Walaupun posisi si Kimpli berada jauh dari rumah, jika mendengar sepeda motor milik Emak pulang dia akan segera lari kencang pulang menuju Emak atau aku atau Bapakku. Jika anggota keluarga pulang dari mana-mana si Kimpli dan dua anaknya ini langsung mendekat dan manja-manja ikut masuk ke dalam rumah. Si Kimpli ini juga kucing hebat karena dia tidak pernah BAB di dalam rumah. Setiap BAB selalu di kebun di sebelah rumah. Termasuk BAK Si Kimpli ini selalu di luar rumah. Sehingga walaupun memelihara kucing, rumah tetap bersih. Tidak ada bau kucing, tidak ada bau kencing, dan tidak ada bau kotoran kucing juga.
Si Kimpli ini kucing babon yang sudah berusia tua dan pintar. Setiap melahirkan anak selalu dijaga dan dirawat dengan sempurna. Setelah anak-anaknya mulai besar selalu diajari BAB dan BAK di kebun samping rumah. seperti anak yang dulu yang aku kasih nama Cimoy dan Cihuy, yang sekarang sudah mati semua. Sekarang punya anak lagi dan oleh Bapakku diberi nama Ucil dan Acil. Ucil dan Acil sungguh unik, lucu, dan pintar juga. Jika tidak BAB dan BAK di kebun kedua kucing kecil ini buang airnya di kamar mandi. Yang Ucil biasa di kloset dan yang Acil bisanya di saluran pembuangan air di lantai kamar mandi.
Itulah pelajaran yang harus kuambil hari ini. Betapa baiknya ketiga kucingku. Kucing saja bisa menempatkan diri dan bisa menjaga kebersihan diri. Aku sudah diberi kucing yang baik, kenapa masih suka kucing yang lain. Ini dia hasilnya. Aku dicakar dan digigit. Dulu ketika Si Kunyil ini dikeluarkan dari kandang, aku pernah dicakar juga, kenapa hari ini ketika si Kunyil dikeluarkan lagi aku masih suka memegangnya. Ini pelajaran bagiku. Aku harus kapok kata Emak. Bukan Kapok Lombok, tapi harus Kapok Poeng.
Kalau Kapok Lombok hilang rasa pedas di mulut akan diulangi makan lombok lagi. kalau Kapok Poeng adalah Kapok/Jera yang tidak akan diulangi lagi. Ayo terus belajar dari setiap peristiwa yang kita alami. Karena setiap kejadian itu akan terjadi jika Allah menghendaki. Dan tak mungkin terjadi jika Allah tidak menghendaki. Jalani semuanya dengan senang hati dan ikuti bagaikan air mengalir. Ambil hikmah dari setiap peristiwa karena tidak ada yang sia-sia di hadapan Allah. Dan Allah maha Tahu serta maha berkehendak.
##################################
Kreator : Endah Suryani, S. Pd AUD
Comment Closed: Kapok Poeng
Sorry, comment are closed for this post.