KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Cerita Anak
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » KISAH DI NEGERI GULA DAN MADU

    KISAH DI NEGERI GULA DAN MADU

    BY 28 Des 2022 Dilihat: 46 kali

    Oleh : Yosep Boli

    Tahun 1992 menjelang akhir bulan September. Malam itu cerah, bintang bertebaran mengintari rembulan di langit biru. Cahaya rembulan masih utuh belum teriris waktu, memantulkan cahaya pada deburan ombak. Dari buritan terdengar riak ombak terus memecah oleh kencangnya putaran baling-baling mendorong biduk kayu bermesin melaju mengarungi lautan. Dari haluan terasa ada desiran pecahan ombak memercik, sesekali menyirami kami. Itu music perjalanan, kata sang pengemudi sambil bersiul lirih mengikuti ayunan gelombang. Ujung jemari ini terasa sejuk malam itu ketika sesekali menyentuh gelombang dari samping lambung biduk pertanda daratan kayu ini tidak seberaba besar daya muatannya. Nyanyian ombak memecah malam, pantulan rembulan menyoroti buih laut menampilkan ronah putih ikut memecahkan kesenyapan malam itu.

    Jarum jam pada arloji hampir mendekati angka sepuluh pertanda malam sudah hampir separuh jalan padahal tali biduk kami kerek menjelang bunyi azan magrib di darat tadi. Setelah membuang puntung rokok dari mulut sang pengemudi, ia mengarahkan telunjuk mengikuti haluan sambil meberitahukan bahwa pulau tujuan tempat tangan ini nanti menoreh karya pertama sudah ada di depan mata. Bersama keempat sahabat seperjuangan mulai membuka mulut sambil berucap ringan tentang perasan masing-masing mengiringi perjalanan petualangan perdana kami. Senyum terlihat masih suram tersembunyi dari balik bayang wajah oleh cahaya rembulan ketika lambumg biduk itu menyeret pasir di bibir pantai pertanda kaki ini hendak memijaki bumi kami yang baru. 

    Menarik napas panjang, legah dan sedih bercampur aduk. Yang pertama tentu ada rasa syukur karena Tuhan dengan tangan-Nya sendiri yang menuntun kami sehingga boleh tiba dengan selamat. Ada suka cita besar karena terdorong oleh dendam pengabdian sebagai guru muda agar secepatnya menemui anak bangsa yang pasti haus akan pengetahuan dan pengajaran. Ada rindu kampung halaman sesekali terbayang dalam ingatan yang bisa membawa kesedihan,namun segera hilang juga. Langkah gontai kaki ini tertanam di dalam bentangan pasir putih mebuat kaki ini terasa berat di tengah larutnya malam. Masing-masing kami menenteng sendiri barang bawaan yang tidak seberapa berat, sementara pundak kami, tertindih beban yang harus kami pikul sendiri. Akhirnya kami menyatu dengan malam di bawah rumah ianapan setelah badan ini rebah di pembaringan dengan iringan mimpi yang tak bermakna.

    Senyum simpul dari wajah yang datang tersungging di setiap bibir ranum dengan ucapan selamat pagi pak guru. Ada getaran di dada ketika sapaan ini sampai ke telinga. Dari mulut-mutut mungil inilah mereka memeteraiku dengan sebutan pak guru. Bangga itu pasti, haru itu bukan keterpaksaan namun bangga dan haru itu akan berpadu menjadi harapan dan impian bagi setiap mereka yang menyebutnya, dan di pundak inilah mereka titipkan harapan itu untuk kami wujutnyatakan melalui guratan tangan kami. Mereka terlihat tertib tanpa ada yang merasa tugas pembersihan pagi adalah keharusan. Menuju ke ruang kelas, menempatkan sarana belajar mereka, keluar dari ruang dengan seikat sapu lidi digenggaman masing-masing. Semua guguran dedaunan dari beberapa pohon tua di halaman sekolah dikumpulkan dengan tertib. Sesekali terlihat mereka mencuri mata kepada beberapa sosok asing disekitar mereka. Satu diantaranya adalah aku yang terus mengamati aktifitas mereka pagi itu. Tertawa lepas tergambar disetiap mulut mereka, entah apa yang mereka candakan tetapi yang pasti aku tidak paham karena semua candaan tertutur dari bahasa ibu mereka. 

    Bunyi lonceng dari bekas senjata penjajah berdentang keras memekik telinga pertanda apel pagi untuk mengawali kegitan pembelajaran pagi itu segera dimulai. Hari itu ternyata bukan hari pertama mengawali pekan. Tidak ada kegiatan seremonial upacara bendera. Dari depan pelataran di tengah halaman sekolah kami sudah dipersilahkan oleh pimpinan sekolah untuk mengambil tempat di depan teras kantor sekolah. Semua peserta didik gesit bergerak mengatur diri dengan tertib tanpa dikomandoi. Ada dua pasangan barisan berbanjar di depan kami. Terdengar satu, dua dan seterusnya hitungan peserta barisan dikomandoi oleh sang ketua kelas. Ia memang pantas memimpin mereka karena ia tampil lebih gagah dengan tubuh yang gempal. Hitungan akhirnya berhenti pada angka dua puluh empat untuk masing-masing barisan.  Itu sudah lebih dari cukup untuk dua rombongan belajar, padahal lembaga ini memiliki tiga  sekolah pendukung. 

    Masih tampak  kekar padahal tinggal beberapa tahun lagi ia purna tugas. Langkahnya masih gagah dengan ayunan lengan yang berotot dengan baju dinas fit dengan tubuhnya. Ada sedikit kekurangan pada penglihatannya pada sebelah matanya yang ia biarkan tidak tertutup menggambarkan ia sangat terbuka dan seadanya. Sang mahestro, seorang anak tanah, kepala sekolah perdana, sang juru mudi lembaga ini berada di depan kami untuk memimpin apel pagi itu. 

    Satu demi satu kami diperkenalkan disambut dengan tepuk tangan meriah dari setiap kami yang mendengarnya. Dari bibirnya keluarlah petuah-petuah ringan. “Pemerintah mengirim empat putra terbaiknya untuk mengabdi di tanah ini. Masing-masing dua guru dan dua pelaksana tata usaha. Dengan tugas yang sama dipundak yang berbeda, hanya satu, mencerdaskan anak bangsa.” Ada banyak kata bijak yang keluar dari mulut sang pemimpin. Arahan-arahan ringan keluar dari bibir tuanya. Mengucapkan selamat datang dan selamat mengabdi. Ada harapan-harapan segar beriringan dengan petuah-petuah bijak bagi setiap kami yang mendengarkannya. 

    Hari pertama itu terasa menyimpan seribu satu cerita. Sebahagian kecil saja yang bisa terungkapkan dalam tutur tulis ini tetapi selebihnya tertoreh di sanubari ini. Mereka akan terus mendaging bersama sosok guru muda untuk mengawali karya di ujung selatan Nusantara. Sebuah nusa yang tidak seberapa jengkal luasnya tetapi menyimpan sejuta kenangan, tempat tangan ini pertama kali terasah. Terima kasih kepala sekolah, terima kasih teman sejawat, terimakasih putra-putri terbaik anak bangsa di tanah ini. 

    Hari-hari karya ku di tanah ini terus berlalu. Menjalankan tugas pokok di sekolah, berbaur dengan masyarakat dalam berbagai kegiatan, aktifitas kepemudaan, menyalurkan hoby, semuanya berjalan begitu saja tanpa terasa seiring dengan perputaran waktu. Di benak ini selalu terbanyang tentang agungnya karya Tuhan di tempat ini. Pulau dengan ukuran tidak seberapa luas membentang di tengan samudera. Ia laksana pulau terapung namun tidak berayun oleh alunan gelombang. Ia tetap menjadi daratan berpasir dengan tetumbuhan dan hewan piaraan yang ramah melengkapi penghuni pulau ini. Untuk kali ini aku harus berterus terang tentang tempat di mana kala itu aku berada. Tempat ini pasti tidak tergambar dalam peta negeri ini karena tidak mendapatkan skala perbandingan untuk menyertakannya. Di ujung selatan negeri ini berbatasan langsung dengan lautan Hindia. Berada di wilayah administrasi perwakilan Rote Nadao. Berlayar normal dua jam menyusuri bibir pantai pulau Rote untuk sampai ke tanah ini. Pulau Ndao, negeri tuak, gula dan madu dengan bentangan pasir putih mengelilinginya dengan jarak tempuh tidak lebih dari separuh hari  berjalan kaki. 

    Memboyong istri ku, membesarkan anak sulung, menata hidup berumah tangga di tanah ini sebagai konsekuensi dari sebua pengabdian. Di sinilah aku juga mendapat kesempatan emas untuk ikut belajar. Mandiri mengatur hidup berumah tangga bercermin dari guru-guru yang tak berijazah guru. Mereka itu tetangga, mereka itu masyarakat, orang sederhana tapi polos tempat aku belajar untuk hidup bersosialisasi. Pagi bercengkraman dengan tugas bersama putera-puteri terbaik anak bangsa titipan dari orang tua . Mereka pun pasti ikut menatap masa depan anak-anak mereka, semua itu ada di sini, di relung hati ini dan terpajang dipundak ini, merekalah yang pertama menyapa kami guru. 

    Tiga tahun pun berlalu, ada yang harus kami melepaskan mereka pergi. Pergi mengejar mimpi mereka ke alam impian yang telah kami ajarkan dan kami tuntun. Mereka pergi membawa bekal mulia melalui apa yang telah kami beri tahu, apa yang kami ajarkan, apa yang kami latih serta apa yang telah kami contohkan. Rantai pendidikan tidak akan pernah putus, setelah mereka genap umur untuk ditetaskan sebagai lulusan satu masa, dari belakang terus menyusul, dan dari sinilah guratan-guratan tangan kami terus terukir. Kami tidak pernah lelah dan semua kepenatan akan dengan sendiri tertepiskan ketika langkah pasti tanpa cacat dari mereka yang pergi di akhir masa. Hadiah kami adalah mereka terus menyebut kami guru di setiap langkah hidup mereka, itu sudah lebih dari cukup. 

    Istriku, kemarilan mendekat. Banyak ceritra suka telah terlahir di sisni, di tanah ini. Tanah ini penuh madu, selaksa guratan telah tertoreh di sisni. Setelah tangan ini mengukir ceritra indah bersama anak-anak  bangsa titipan orang tua, ternyata kita menjadi besar dan memiliki banyak bekal demi menapaki kehidupan panjang kita. Ada banyak harapan yang tertimbun di pundak yang belum terlalu kekar menahan, tetapi itu sudah menjadi panggilan. Belajar untuk lebih awal menjadi dewasa, tidak boleh dianggap sebagai kematangan yang prematur tetapi semua itu harus terselami mejadi proses untuk menjadi pribadi pembawa pembaru. Belajar untuk menanggung perkara besar di tengah masyarakat menjadikan kita memiliki banyak langkah lebih di depan. Istriku, matamu yang dulu masih terlihat sipit menatap kini semakin terbuka lebar. Aku yang kemarin masih menunggu sentuhan tangan dan suara lembutmu mengajakku untuk segera melepaskan selimut, kini sudah bisa terjaga sendiri untuk segera bergegas menghampiri setiap tanggung jawab. Kita memang telah terpanggil ke sini, terpanggil ke sini untuk menjadi bisa

    Satu-dua generasi telah tertorehkan di sini bersama perjalanan waktu tanpa terasa. Tangan-tangan mereka terasa semakin erat menahan langkah ini. Tetapi tidak seharusnya guratan tangan hanya tertoreh terus disini saja. Semakin mereka mengingini untuk menahan kita disini, semakin terbuka lebar harapan menjadikan kita diterima dalam suasan yang baru. Tujuh tahun menjadi waktu yang sangat panjang kalau terus dikejar untuk menyelesaikannya, namun terasa sangat singkat kalau sedetikpun tidak dibiarkan berlalu tanpa makna. Istriku, kemarilah menghela nafas sedalam-dalamnya dan lepaskan secukupnya disini. Peluklah erat putri kita yang masih semata wayang, kita pergi bersama. Sesungguhnya meninggalkan mereka semua di sini itu tidak mendatangkan dosa. Walaupun kita berada di tengah-tengah himpitan antara dua rindu, rindu untuk tetap berada dalam kemesraan ini dan rindu untuk kembali kepelukan tanah leluhur, kita harus menjaga supaya tak satupun tersakiti. 

    Segala sesuatu itu ada awal dan akhirnya. Ada waktu kita datang, ada waktu pula kita berangkat. Ada saatnya kita bertemu, ada saatnya kita juga harus berpisah. Karyaku memang harus berakhir sudah namun buah tanganku tidak berakir, semua itu terbawa oleh mereka-mereka yang telah aku jamah. Mungkin kalian semua yang ada di sini tidak tega untuk mengankat tangan dan enggan untuk melambaikannya, namun aku, istriku dan putriku tetap melakukan kewajiban kami, mengangkat tangan, melambaikan mu, mengucapkan selamat tinggal negeri yang penuh dengan  gula dan madu. Kami titipkan salam rindu penuh kemesraan pada setiap hembusan bayu yang menghatar kami pergi agar kelak ketika bayu itu mengalir pulang  boleh membawa titipan rindu kami lewat hembusannya.Selamat tinggal pulau kecil, pulau penuh gula dan madu, pulau Nadao tercinta di ujung Selatan Nusantara. 

    Bagikan ke

    Comment Closed: KISAH DI NEGERI GULA DAN MADU

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Menurut Stephen Covey Manusia Memiliki Kebutuhan Dasar, Kecuali? a. To Live b. To Love c. To Listen d. To Leave the Legacy Jawaban: c. To Listen Menurut Stephen Covey Manusia Memiliki Kebutuhan Dasar, Berikut Pembahasannya: Stephen Covey, seorang penulis dan konsultan manajemen terkenal, dalam karya-karyanya sering membahas tentang kebutuhan dasar manusia. Dalam bukunya yang terkenal, […]

      Jun 25, 2024
    • Hari sudah menunjukkan pukul 14.30. Suasana di sekolah tempat Ustadz Hamdi mengabdikan diri sudah mulai sepi. Anak-anak sudah banyak yang pulang. Ustadz Hamdi masih duduk di meja kerjanya sambil memeriksa satu persatu tugas murid-muridnya. Saat itu tiba-tiba HP Ustadz Hamdi berdering “Kriiing, kriiing, kriiing…”  “Halo…., Assalamu alaikum !”  “Wa alaikum salam. Ini Lisa, pak Ustadz.” […]

      Jun 06, 2024
    • Aku adalah teman sekelas Sky di SMP, kami berada dikelas yang sama selama 3 tahun. Sekarang setelah masuk SMA kami berada di sekolah dan kelas yang sama. Sky selalu menjadi orang terpopuler di sekolah, Sky tinggi,  tampan, dan sangat ramah. Namun sayangnya aku merasa dia selalu dingin hanya padaku, aku bahkan tidak tau alasan dibalik […]

      Jun 10, 2024
    • Mahaga Belom Bahadat adalah bahasa Dayak Ngaju yang mempunyai makna yaitu menjaga kehidupan yang saling menghargai, menghormati serta menjunjung tinggi kehidupan Adat Istiadat maupun tradisi kearifan lokal di wilayah yang kita tempati. Era zaman sekarang ini sudah banyak sekali para generasi yang melupakan prinsif-prinsif hidup yang telah dulu ditinggalkan para leluhur(nenek moyang) kita, padahal banyak […]

      Jun 02, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021