KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Cerita Anak
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Kita dan Literasi Digital

    Kita dan Literasi Digital

    BY 23 Des 2022 Dilihat: 56 kali

    Oleh : Herman Palemmai

    Untuk membahas judul yang sangat aktual ini, saya ingin mengajak kita semua untuk bertemu secara imajinatif dengan seseorang yang bernama Rina (bukan nama sebenarnya). Rina adalah seorang perempuan dengan status masih pelajar.

    Suatu ketika, Rina sudah hendak tidur tapi dia dikejutkan oleh bunyi notifikasi dari smartphnone miliknya. Bunyi notifikasi tak putus-putus sehingga Rina sangat terganggu. Dia membuka HPnya dan dia semakin terkejut. Sebuah akun asing yang beberapa kali mentag dirinya. Sebuah akun yang sengaja dibuat untuk mengolok-olok dirinya dan akun itu diikuti oleh teman-teman seangkatannya dan bahkan juga oleh kakak kelasnya.

    Akun tersebut berhasil mendapatkan foto-foto Rina lalu mengedit foto-foto tersebut sesukanya, memberinya caption “Miss Universe”. Foto-foto yang sudah diedit itu lalu disebar. Bermunculanlah komentar-komentar candaan bahkan kata-kata kasar dan ucapan-ucapan tidak pantas terhadap foto-foto Rina tersebut. Komentar-komentar tersebut membuat Rina membayangkan hal-hal buruk saat berangkat sekolah besoknya.  

    Dan betul. Setiba Rina di sekolah esok harinya, teriakan dan caci maki dari banyak siswa-siswi ditujukan kepadanya. Rina malu luar bisa. Dia hanya bisa lari bersembunyi di toilet. Di sana dia menagis sampai bel tanda pelajaran pertama dimulai. Rina tak habis pikir mengapa teman-teman seangkatan hingga kakak kelasnya tega melakukan itu. Padahal Rina tak pernah berbuat salah kepada mereka. Rina merasa kehadirannya di sekolah itu tak disukai oleh teman-temannya. 

    Perasaan tak diterima ini menghantui Rina dalam hidupnya bahkan hingga kini saat dia telah kuliah. Di kampus, dia menjadi gadis yang sangat minder dan takut bergaul. “Aku menjalani hidup tapi rasanya di dalam hati aku seperti sudah mati.” Begitu pengakuan Rina di detikX online. 

    Inilah yang dialami Rina dari arus digitalisasi yang mengalir deras. Tak seorang pun dari kita ingin bernasib seperti Rina. Tapi di sisi lain, tak seorang pun juga diantara kita yang sanggup menghindar dari aliran deras digitalisasi ini. Digitalisasi telah merambah seluruh aspek kehidupan kita hingga ke sudut-sudut terjauh dari kehidupan kita bagaikan gojek, grab, maxim yang sanggup merayapi setiap lorong-lorong dan gang-gang sempit depan rumah kita. Pandemi covid-19 telah memaksa kita mengarungi aliran deras digitalisasi ini, khususnya dunia pendidikan kita. Pembelajaran daring (online) memaksa kita memaksimalkan jaringan internet, menjelajah di aplikasi ruang guru, serta bertamu di aplikasi rumah belajar. Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) oleh pemerintah di hampir semua daerah memaksa kita dan para orang tua kita “belajar dari rumah, bekerja dari rumah, bahkan belanja dari rumah.” Digitalisasi seolah sudah bukan barang asing lagi bagi masyarakat apalagi pelajar seperti Rina. 

    Namun, kita harus tetap sadar bahwa arus digitalisasi selalu menyediakan sisi negatif seperti kasus Rina. Oleh karena itu, agar kita bisa selamat dan aman mengarungi aliran deras digitalisasi ini, maka kita membutuhkan sebuah kekuatan dahsyat. Dan kekuatan dahsyat itu adalah literasi digital. 

    Literasi digital adalah salah satu literasi dari 6 literasi dasar yang diisukan oleh Permendiknas No. 25 Tahun 2015. Apakah literasi digital itu? Menurut Devri Suherdi (2021) dalam bukunya “Peran Literasi Digital di Masa Pandemik”, literasi digital adalah pengetahuan serta kecakapan dalam memanfaatkan media digital, seperti alat komunikasi, jaringan internet, dan lain sebagainya. (m.liputan6.com)

    Namun, pengetahuan dan kecakapan dalam memanfaatkan media digital; whatsapp, facebook, twitter, instagram, dan jaringan internet harus berdiri kokoh di atas 4 pilar literasi digital, yaitu kecakapan, keamanan, budaya, dan etika.

    Pilar pertama yaitu kecakapan. Era teknologi informasi dan komunikasi saat ini menuntut kita semua untuk cakap atau mahir memanfaatkan internet. Kehadiran internet saat ini menjadikan dunia yang begitu luas menjadi hanya sebuah kampung sehingga dikenal dengan istilah global village. Mengapa disebut kampung atau village? Tentu karena dunia yang membentang dari benua Amerika hingga benua Australia kini hanya berada pada dua jempol jari kita. Musibah di Kanjuruhan Malang sana bisa langsung diketahui saat itu juga di seluruh kepingan bumi ini, termasuk di Eropa sana. Padahal jarak antara Malang dan Eropa membentang ribuan kilometer. Bahkan makanan khas Bugis “Apang Panas” dari Sulawesi Selatan bisa ditawarkan kepada Messi yang sedang istirahat latihan di PSG Perancis melalui internet. 

    Pilar kedua yaitu keamanan. Kecakapan kita menggunakan dua jari jempol memang penting tapi tidak cukup. Kita harus berhati-hati agar kecakapan kita menggunakan media sosial dan internet tidak justru menjadikan kita korban, baik korban dari para predator seks, dari para lintah darat pinjaman online, ataupun korban hasutan dari paham radikalisme dan terorisme. Maka, keamanan harus selalu menjadi pertimbangan utama kita dalam menggunakan hal-hal yang bersifat digital.

    Pilar ketiga yaitu budaya. Kecakapan memanfaatkan internet dan sekaligus kemampuan kita menggunakannya dengan aman akan memudahkan lahirnya suatu peradaban dengan budaya digital. Seluruh aspek kehidupan kita sudah dihemat dan dimudahkan dengan fasilitas yang serba digital. Di dunia persekolahan, kurikulum merdeka menghadirkan platform digital yang bernama Platform Merdeka Mengajar dimana guru bisa dengan mudah mendapatkan apa saja yang mereka perlukan untuk menfasilitasi mereka mengajar. Begitu pula akun belajar.id menyediakan aneka bahan dan sumber belajar bagi para pelajar yang mudah diakses. Bahkan, seorang pelajar memungkinkan berbahasa Inggris lebih fasih dari pada guru bahasa Inggrisnya di sekolah hanya dengan memanfaatkan platform digital bernama youtube. 

    Pilar terakhir adalah etika. Inilah pilar paling penting bagi kita untuk mengontrol dan mengendalikan kecakapan dan budaya digital kita sehingga budaya digital ini menjadi budaya yang pro kemajuan dan kesejahteraan. Bila pembaca bertanya kepada saya bagaimana mengukur etika ini dalam bermedia sosial dan berinternet. Saya hanya menjawab dengan merujuk pada salah satu kaidah ushul dalam hukum Islam yaitu laa dharara wa laa dhiraar. Artinya, tidak merugikan diri sendiri dan tidak merugikan orang lain. Bermedia sosiallah tanpa harus merendahkan martabatmu, tanpa harus menghinakan dirimu! Berinternetlah tanpa harus merugikan orang lain, tanpa harus menipu dan mencelakakan orang lain!   

    Arus digitalisasi adalah arus kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang harus diarungi oleh seluruh penduduk bumi. Dan karena pentingnya digitalisasi ini, maka ia menjadi salah satu dari tiga isu utama dalam Presidensi G20 di Bali tahun ini, yaitu transformasi digital. Maka, ke empat pilar literasi digital di atas adalah pelampung bagi siapapun yang berharap aman dalam mengarungi arus digitalisasi tersebut, khususnya pilar terakhir yaitu etika. Etikalah yang menciptakan ketenangan, kedamaian, dan kemajuan di tengah arus deras banjir digitalisasi ini. Semoga kita semua sadar dan terus belajar untuk memampukan diri dengan literasi digital. 

    Bagikan ke

    1 Komentar Pada Kita dan Literasi Digital

    • Anna Fawzie berkata:

      Benar sekali Pak Herman, di jaman sekarang ini yang terpenting menurut saya adalah adab, etika ataupun akhlak. Dengan menjadi manusia beradab kita bisa memanusiakan manusia dan lebih menghargai manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya. Dan pendidikan etika itu harus berawal dari keluarga. Semangat terus untuk menyebar kebaikan pak Kasek hebat

    Popular News

    • Menurut Stephen Covey Manusia Memiliki Kebutuhan Dasar, Kecuali? a. To Live b. To Love c. To Listen d. To Leave the Legacy Jawaban: c. To Listen Menurut Stephen Covey Manusia Memiliki Kebutuhan Dasar, Berikut Pembahasannya: Stephen Covey, seorang penulis dan konsultan manajemen terkenal, dalam karya-karyanya sering membahas tentang kebutuhan dasar manusia. Dalam bukunya yang terkenal, […]

      Jun 25, 2024
    • Hari sudah menunjukkan pukul 14.30. Suasana di sekolah tempat Ustadz Hamdi mengabdikan diri sudah mulai sepi. Anak-anak sudah banyak yang pulang. Ustadz Hamdi masih duduk di meja kerjanya sambil memeriksa satu persatu tugas murid-muridnya. Saat itu tiba-tiba HP Ustadz Hamdi berdering “Kriiing, kriiing, kriiing…”  “Halo…., Assalamu alaikum !”  “Wa alaikum salam. Ini Lisa, pak Ustadz.” […]

      Jun 06, 2024
    • Aku adalah teman sekelas Sky di SMP, kami berada dikelas yang sama selama 3 tahun. Sekarang setelah masuk SMA kami berada di sekolah dan kelas yang sama. Sky selalu menjadi orang terpopuler di sekolah, Sky tinggi,  tampan, dan sangat ramah. Namun sayangnya aku merasa dia selalu dingin hanya padaku, aku bahkan tidak tau alasan dibalik […]

      Jun 10, 2024
    • Mahaga Belom Bahadat adalah bahasa Dayak Ngaju yang mempunyai makna yaitu menjaga kehidupan yang saling menghargai, menghormati serta menjunjung tinggi kehidupan Adat Istiadat maupun tradisi kearifan lokal di wilayah yang kita tempati. Era zaman sekarang ini sudah banyak sekali para generasi yang melupakan prinsif-prinsif hidup yang telah dulu ditinggalkan para leluhur(nenek moyang) kita, padahal banyak […]

      Jun 02, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021