Fatamorgana
Sekolahku satu-satunya di desa ini. Sebuah sekolah negeri kecil yang berdiri di antara ladang singkong dan pohon-pohon kelapa yang menjulang. Cat temboknya mulai mengelupas, papan tulisnya abu-abu pudar, dan halaman tanahnya berubah menjadi kubangan ketika hujan turun. Tapi di balik segala keterbatasannya, tempat itu menyimpan hangatnya semangat—semangat anak-anak yang tumbuh di tengah kesunyian.
Desaku sunyi, sejuk, dan lambat. Angin datang tidak tergesa-gesa. Kabut tipis sering menyelimuti sawah saat pagi, sementara suara ayam jantan saling bersahutan menyambut fajar. Di sini, sinyal telepon masih sembunyi-sembunyi di balik bukit. Televisi hanya bisa menyala kalau parabola tak tertutup daun kelapa, dan malam baru terang jika genset sekolah dinyalakan. Itu pun hanya sampai jam sembilan malam. Selebihnya, kami hidup dalam cahaya lampu minyak, suara jangkrik, dan cerita yang diwariskan dari mulut ke mulut.
Namun, di tengah dunia yang serba sederhana itu, imajinasi kami tumbuh liar. Tanpa internet, tanpa ponsel pintar, kami membangun dunia sendiri dari potongan mimpi dan lagu-lagu yang terselip di radio butut satu-satunya hiburanku di rumah, yaitu mendengarkan lagu-lagu band terkenal nasional bahkan sampai stasiun radio lagu negara tetangga.
Suatu pagi, aku duduk sendiri di bangku kayu teras rumah yang menatap sungai Sambil menyesap teh hangat buatan Ibu di hari libur. Udara masih dingin, dan embun belum sepenuhnya lenyap dari kaca jendela. Dari radio tua itu, terdengar lagu yang belum pernah kudengar sebelumnya—lirih, tapi menggema di hati:
“Dan, bawa ku kesana… dunia fatamorgana…”
Kata itu—fatamorgana. Aneh, asing, tapi seperti mantra yang menggantung di langit-langit pikiranku. Kata itu tak berhenti berputar. Menggoda seperti bisikan yang datang dari tempat jauh. Membuatku penasaran, membuatku ingin tahu.
Saat Senin, ia kembali ke sekolah ketika teman-teman berlarian ke kantin membeli kerupuk, aku malah melipir ke perpustakaan kecil di ujung lorong sekolah. Tempatnya sunyi, berdebu, dengan rak kayu tua dan cahaya matahari yang menembus dari jendela kecil. Di sana, aku menemukan sebuah kamus tebal dan usang. Halaman-halamannya menguning, tapi kalimat di dalamnya hidup.
“Fatamorgana adalah bayangan semu. Ilusi. Sesuatu yang tampak nyata padahal sebenarnya tidak ada. Seperti genangan air di jalan yang panas.”
Aku baca pelan. Mataku terpaku. Pikiranku mengembara.
Kalau itu cuma bayangan, kenapa rasanya aku ingin sekali ke sana?
Waktu istirahat kedua, aku duduk di bawah pohon mangga di belakang sekolah. Pohonnya besar dan tua. Daunnya rimbun, dan dahan-dahannya menyebar seperti tangan yang ingin memeluk langit. Di bawahnya, tanah masih basah, harum daun jatuh dan semilir angin membelai rambutku. Kicau burung-burung kecil jadi iringan latar. Di sinilah dunia terasa seimbang.
Aku memanggil Dina—teman terbaikku sejak kelas satu. Ia datang dengan langkah ringan, wajahnya berseri, dan matanya selalu jujur. Seragamnya kebesaran, tapi senyumnya pas.
“Din, kamu tahu fatamorgana?” tanyaku sambil mencoret tanah dengan ranting.
Dina mengernyit. “Fatamorgana? Itu nama buah, ya?”
Aku tertawa. “Bukan. Itu dari lagu di radio tadi. Terus aku baca di buku, katanya fatamorgana itu kayak bayangan. Ilusi. Kelihatan sungguhan tapi nggak ada.”
“Oalah,” katanya sambil menatap langit di sela daun. “Berarti kayak… mimpi?”
Aku mengangguk. “Iya. Aku mau bikin dunia fatamorganaku sendiri, Din. Aku ingin ke negeri salju. Ke Makkah. Naik pesawat. Punya sepatu yang nggak becek-becekan. Dan bisa makan es krim semua rasa.”
Dina tersenyum kecil. “Kamu kok mimpinya tinggi banget.”
“Aku yakin bisa.” ujarku mantap.
Dina menunduk, memeluk lututnya. Suaranya lirih, tapi jujur. “Kalau aku… pengen punya rumah yang nggak bocor. Kamarku punya jendela. Kalau hujan, nggak harus pindah tidur ke dapur.”
Kami diam. Angin melintasi sela-sela daun, dan burung prenjak masih bersenandung. Dalam keheningan itu, kami tahu—kami sedang membangun dunia kami masing-masing, dunia yang tak bisa disentuh, tapi bisa dibayangkan. Dunia yang hangat karena harapan.
Waktu terus melaju. Seperti air di sungai kecil yang membelah sawah, ia mengalir tanpa bisa ditahan. Aku akhirnya pergi dari desa, merantau ke kota untuk sekolah, lalu bekerja. Sedangkan Dina tetap tinggal, menjaga tanah yang sama, pohon mangga yang sama, dan mungkin… kenangan yang sama.
Kini, sebagian dari dunia fatamorgana-ku telah kudapat. Aku memang belum sampai ke negeri bersalju, belum pula ke Mekkah. Tapi aku pernah naik pesawat, bekerja di kantor yang ber-AC, punya sepatu yang bersih setiap hari, dan bisa membeli es krim tak terhitung rasa apa saja.
Tapi… mengapa rasanya ada yang kurang?
Kadang, di malam yang sepi, saat aku menatap dari jendela hotel berbintang tinggi di kota, aku merasa… hampa. Dunia yang dulu cuma bayangan, kini nyata. Tapi mengapa terasa kosong?
Aku rindu sesuatu yang tak bisa kubeli: tanah becek di halaman sekolah, suara jangkrik malam, denting sendok ketika makan di kantin sekolah, dan tawa Dina di bawah pohon mangga.
Dunia kecil kami dulu, kini terasa seperti… fatamorgana yang sesungguhnya. Ia pernah nyata, pernah jadi tempat berpijak, tapi kini hanya bisa dikenang.
Tahun itu aku pulang. Jalan desa sudah diaspal, rumah-rumah berdiri lebih rapi, tapi udara sejuknya masih sama. Angin masih menari pelan. Dan ketika aku melewati sebuah rumah mungil dengan halaman bersih, aku melihat seseorang berdiri di depan pintunya.
“Din…” suaraku tercekat.
Dina menoleh. Ia tersenyum, wajahnya dewasa, tapi matanya masih seperti dulu.
“Kamu sudah sampai di dunia fatamorgana-mu,” ucapku, hampir berbisik.
Dina tersenyum lebih lebar. “Kamu juga, kan?”
Aku mengangguk. Mungkin kami belum sampai ke semua mimpi. Tapi kami sudah berjalan jauh. Dunia kami memang semu, tapi harapan yang mengantarkannya nyata.
Kami duduk kembali di bawah pohon mangga. Buahnya kini matang, beberapa jatuh ke tanah. Angin sore menyapa lembut, dan burung prenjak masih bernyanyi.
Di benakku, lagu itu kembali terdengar:
Satu detik lalu
Dua hati terbang tinggi
Lihat indahnya dunia
Membuat hati terbawa
Dan bawaku ke sana
Dunia fatamorgana
Termanja-manja oleh rasa
Dan ku terbawa terbang tinggi oleh suasana
Dari sudut mata
Jantung hati mulai terjaga
Berbisik di telinga
“Coba ingat semua”
Dan bangunkanlah aku
Dari mimpi-mimpiku
Sesak aku di sudut maya
Dan tersingkir dari dunia nyata, iya
Dan bangunkanlah aku
Dari mimpi indahku
Terengah-engah ku berlari
Dari rasa yang harus kubatasi
Dan kau menawarkan
Rasa cinta dalam hati
Ku tak tahu harus bagaimana untuk raba mimpi atau nyata
Dan bedakan rasa dan suasana
Dalam rangka sayang atau cinta yang sebenarnya
Dan bangunkanlah aku
Dari buta mataku
Jangan pernah lepaskan aku
Untuk tenggelam di dalam mimpiku
Suara vokalis Band Letto kembali mengisi keheningan.
Aku terdiam. Dunia yang dulu kubangun perlahan memudar. Tapi ia tak pernah benar-benar hilang. Ia tumbuh bersamaku, berubah bentuknya menjadi kekuatan untuk bertahan. Aku menyadari—meskipun tak semuanya menjadi kenyataan, dunia Fatamorgana pernah menyelamatkanku. Ia adalah tempat di mana seorang anak kecil bisa berharap. Dan harapan, meski ilusi, seringkali adalah hal paling nyata yang kita punya.
Aku menatap langit malam tak berbintang. Mungkin, fatamorgana bukan sekadar ilusi—tapi harapan yang terus berjalan bersamamu, bahkan setelah kau lupa pernah memimpikannya. Dan dunia kecil kami dulu, yang sekarang terasa seperti… fatamorgana. Tempat di mana anak-anak kecil belajar percaya, sebelum dunia mengajarkan mereka cara meragukan. Atau…
Dunia… adalah Fatamorgana sesungguhnya.
Kreator : Endang Radiana
Comment Closed: Langit dan Ceritanya (Chapter 2)
Sorry, comment are closed for this post.