KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Cerita Anak
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Mendung di Benteng Otanaha Bab 2

    Mendung di Benteng Otanaha Bab 2

    BY 25 Agu 2024 Dilihat: 17 kali
    Mendung di Benteng Otanaha Bab 2_alineaku

    PANGGILAN UNTUK PULANG

    Wisma Izumo no Kami Shimoyashiki, Shiga…

    Saburo menghisap pipa kiseru dengan nikmat dan menghembus-kan asapnya yang berkepul-kepul ke udara. Sehari dia pulang dari Tadotsu, melalui Pelabuhan laut Higashiminatomachi, menelusuri inland sea dan tiba di Osaka. 

    Saburo tiba dikediamannya, Izumo no Kami Shimoyashiki tepat jam delapan malam menggunakan jalur kereta Keihan, masih sempat meluangkan waktu singgah di Kyoto. Pemuda itu berada di bekas ibukota kekaisaran jepang pada zaman Tokugawa, menyambangi sahabatnya, Arka Niskala Abas yang kini bekerja di kota itu.

    “Kesibukanmu sebagai petarung, membuatmu sulit mengatur waktu…” komentar Arka saat menyambut sahabatnya di flat kecil milik-nya. Saburo hanya tersenyum lalu mengangkat dua tas kresek besar berisi berbagai cemilan dan minuman kaleng serta beberapa bungkus acar daging halal.

    “Maaf…” itu saja jawabannya, kembali membuat Arka hanya bisa tersenyum dan mempersilahkan pemuda itu masuk. Setelah meletakkan dua tas kresek besar disisi ruangan, keduanya duduk berhadapan bersila seperti kebiasaan keduanya semasa sekolah dulu di SMAN 1 Kota Gorontalo.

    “Kebiasaan lama, sulit dihilangkan ya?” komentar Arka kembali membuat Saburo tertawa pelan dan mengangguk-angguk.

    “Bagi sesama petarung, kebiasaan itu adalah tradisi…” balas Saburo. Pemuda dihadapannya kembali menghela napas lalu berujar.

    “Dan kau tak perlu merepotkan dirimu seperti ini… kau sudah tahu diriku sejak dulu…” protes Arka kemudian bangkit menuju sisi ruangan dimana Saburo meletakkan dua tas kresek itu. Dia membuka tas itu dan memeriksa isinya.

    “Setidaknya, aku tak mau kau kesulitan disini…” kilah Saburo lagi, “Bagaimanapun, di negeri ini kau adalah tanggung jawabku. Meskipun kita berdua adalah perantau, namun negeri ini adalah tanah leluhurku dari pihak ibu. Aku tak akan kesulitan disini, tapi kau…”

    “Kau sudah cukup banyak membantuku Sandiaga…” ujar Arka, menyebut nama Indonesia si pemuda tersebut. “Sekarang, bisakah aku belajar membanggakan diriku dari hasil kerjaku sendiri?”

    “Jangan larang aku untuk berbuat baik, Arka.” Pinta Saburo.

    “Tapi…” protes Arka.

    “Sudahlah. Sekarang, bisakah kita mengenang kembali masa-masa sekolah kita. Aku sengaja mengunjungimu… hanya untuk ini…” ujar Saburo lagi. Arka kembali ke tengah ruangan, membawa dua kaleng minuman dan sebungkus cemilan kemudian meletakkannya diantara keduanya yang kembali duduk bersila berhadap-hadapan.

    “Bagaimana pekerjaanmu?” tanya Saburo.

    “Alhamdulillah, baik. Bos sangat memuji kinerjaku…” jawab Arka singkat sambil membuka klep penutup kaleng minuman.

    “Kamu nggak lupa sholat, kan?” tukas Saburo.

    Arka tertawa lalu meneguk sedikit minuman itu, diikuti oleh Saburo yang membuka klep penutup minuman dan meneguknya pula, kemudian merobek lebar kantong plastik cemilan dan mencomotnya beberapa keping.

    “Aku melakukannya disela-sela kesibukanku. Meski kadang aku harus menjamaknya…” ungkap Arka ikut mencomot cemilan dan menyicipinya. Pemuda itu mengangguk-angguk pelan.

    “Aku akan menegurnya…” ujar Saburo.

    “Jangan. Biarkan saja…” tolak Arka.

    Keduanya sejenak menikmati cemilan dan minuman itu. Arka tersenyum kembali. 

    “Kesibukanku membuatku tak punya waktu luang untuk berlatih silat…” ungkapnya. Saburo kembali meneguk sedikit minumannya.

    “Kalau begitu, aku akan tetap menegurnya.” Ujar Saburo.

    “Jangan… biarkan saja.” Tolak Arka sambil tertawa. “Aku akan kesulitan nantinya. Akan banyak yang cemburu kepadaku… kamu nggak mau temanmu kesulitan, kan?”

    “Baiklah…” ujar Saburo mengiyakan.

    “Bagaimana perjalananmu ke Tadotsu? Lancar?” tanya Arka.

    “Lancar…” jawab Saburo dengan singkat.

    “Itu tidak mempengaruhi karirmu di MMA, kan?” tanya Arka.

    Saburo menggeleng. “Aku belum menerima panggilan dari Rina. Biasanya, jika ada tawaran main… dia akan menghubungiku.”

    “Setelah menaklukkan Park Shin Jun dari Jidokwan, bagaimana kau menilai gaya tarung kempo dari orang-orang Tadotsu itu?” tanya Arka mencondongkan tubuhnya ke depan.

    “Pada hakikatnya, taekwondo, karate, dan kempo berasal dari sumber yang sama, yaitu chuanfa. Hanya gayanya yang membuat hal itu terlihat berbeda…” komentar Saburo.

    “Berarti tidak sama dengan ninjutsu…” sambung Arka.

    “Sedikit… bagaimanapun, ketika chuanfa berpadu dengan yawara, itu melahirkan seni yang baru sebagaimana Buddhisme ber-padu dengan Shinto yang melahirkan ajaran Shugendo.” Sahut Saburo sembari meletakkan kaleng minumannya ke tatami.

    “Ninjutsu lahir dari seni nonuse yang dipraktikkan oleh para biksu yang dipadukan dengan gaya bertarung para yamabushi dan miko. Moyangku menciptakan suatu seni ketika beliau berdiam dipegunungan Suzuka di wilayah Koga. Sementara Ienaga Heinaizaemon menciptakan seni baru pula yang disebut aliran Iga.” Tutur Saburo.

    “Kamu tahu beberapa keluarga ninja moderen di negeri ini?” tanya Arka lagi dengan raut wajah penuh ketertarikan.

    “Kau mau uji tanding dengan mereka?” tukas Saburo mengolok sahabatnya. Arka tertawa dan menggeleng.

    “Sejak bekerja di Jepang, aku tak pernah lagi melatih silat Tapak Suci yang kupelajari di sekolah.” Ungkap Arka sambil terkekeh pelan. Saburo mengangguk-angguk.

    “Ada… aku kenal… keluarga Tawara adalah pewaris aliran Iga. Mereka adalah keturunan keluarga Hattori. Semenjak Jepang memasuki jaman moderen, keluarga kami telah menjalin persahabatan dengan mereka.” Tutur Saburo.

    “Dan perjodohan…” sambung Arka, memancing. Saburo tertawa dan menggeleng.

    “Perjodohan antar klan sudah tidak banyak dipraktikkan lagi.” Jawab pemuda itu.

    “Tapi masih ada, kan?” pancing Arka.

    “Ada… tapi sangat jarang…” ujar Saburo. “Jepang sekarang me-ngalami resesi generasi… kamu tahu, kan? Tujuh puluh delapan persen penduduk Jepang adalah manula? Negeri ini sekarang banyak dipenuhi imigran karena generasi mudanya terhinggap penyakit takut nikah.” Ungkap Saburo.

    “Untung saja ya?” ungkap Arka.

    “Untung apanya?” tanya Saburo.

    “Untung saja ibumu nikah dengan ayahmu. Kalau nggak, bisa jadi keturunan keluarga Mochizuki berkurang satu…” ujar Arka membuat Saburo tertawa lalu mengangkat kaleng minumannya. Keduanya ber-sulang lalu kembali menikmati minuman.

    ***

     

    Sekali lagi Saburo menghembuskan asap rokoknya setelah menyesap pipa tembakau itu dengan nikmat. Kenangan pertemuan itu terlintas sejenak dibenaknya. Pemuda itu lagi asyik duduk sembari bersila di genkan bagian samping rumah, menikmati pemandangan ikan-ikan koi yang berenang di kolam.

    Tak lama kemudian muncul seorang wanita mengenakan pakaian tradisional, kimono, menggenggam sebuah telpon nirkabel mendekati pemuda itu.

    “Tuan Muda… ada telepon dari Nyonya Besar…” ujar wanita parobaya itu sembari duduk bersimpuh dan menyerahkan gagang telpon nirkabel tersebut.

    “Terima kasih, bibi…” sahut Saburo sembari meraih gawai tersebut. “Eh, Paman Naganobu, kemana Bi?” tanya pemuda itu tiba-tiba. 

    “Oh, beliau sedang ke Hikone, menemui salah satu kerabatnya disana.” Jawab wanita parobaya itu, kemudian pamit mengundurkan dirinya.

    Saburo mengangguk. Kemana lagi Naganobu Tarozaemon jika bukan mengunjungi Shigetora Ban, sepupunya yang mendiami Kastil Hikone sebagai Gubernur Kota Shiga? 

    Saburo meletakkan gawai itu ditelinganya. “Moshi-moshii…” sapanya dengan santun, sambil meletakkan pipa kiseru di sisi asbak.

    “Jawab salamnya, Saburo…” tegur suara wanita diseberang sana. Pemuda itu terlonjak sejenak dan segera meralat sapaannya.

    “Wa alaikum salam, Kaa-Chan…” balas Saburo seraya tertawa canggung. Terdengar dengusan diseberang.

    “Kamu jangan mentang-mentang tinggal ditanah leluhurmu, lalu melupakan status keislamanmu!” tegur suara wanita itu lagi. Saburo hanya tertawa mendengar gerutuan itu.

    Kaa-Chan tenang saja… dalam waktu yang tak akan lama, negeri ini akan dibanjiri umat muslim. Sudah banyak masjid bertebaran. Kurasa para penganut agama asli akan ketar-ketir. Semoga saja perseteruan antar agama sebagaimana Insiden di Jaman Meiji tidak akan terjadi, apalagi Perang antara HAMAS dan Israel sedikit memicu sentiment anti Islam dibeberapa tempat…” ungkap Saburo. Terdengar helaan napas diseberang sana.

    “Bagaimana kabarmu disana, Nak?” tanya wanita diseberang tersebut dengan lembut.

    “Alhamdulillah, baik-baik saja Mama…” jawab Saburo dengan santun. “Aku juga mau kasih tahu, kalau gudang pangan kita sekarang bertambah, baru-baru ini, sawah keluarga kita menghasilkan 150 koku.”

    “Alhamdulillah. Mama senang mendengarnya. Tapi, Mama dengar dari Tarozaemon, kau ke Tadotsu menemui Tuan Kakuzenbo. Apakah benar?” selidik wanita itu, mengungkit nama kepala pengurus kediaman Izumo Shimoyashiki, Tarozaemon Naganobu dari keluarga Ban, salah satu dari 53 keluarga cabang Klan Koga.

    “Iya, Mama… seperti biasanya, musho-shugyo…” jawab Saburo sekenanya. “Kurasa, pengalaman bertarungku bertambah sedikit dengan menjajal biksu petarung dari kuil itu…”

    “Mama paham… tapi untuk sementara, tangguhkan dulu hal itu…” ujar wanita tersebut. Lama hening menggerataki suasana. Suara wanita itu terdengar lagi. 

    “Kapan kau balik ke Indonesia?” tanya wanita itu.

    “Mungkin dua hari lagi, Ma…” jawab Saburo dengan tenang.

    “Baiklah… kalau begitu, Mama akan memberitahu Papamu beserta Abahmu…” jawab wanita tersebut.

    “Memang, Abah sudah nggak sabar ketemu saya?” tukas Saburo dengan senyum. Sejenak terdengar suara tawa kecil, kemudian wanita diseberang itu menjawab. 

    “Abahmu sudah nggak sabar pingin ketemu… kamu sudah enam tahun nggak pernah kasih kabar apapun…” ungkapnya.

    “Kupikir, Abah kan sibuk kerja… aku nggak mau mengganggu kesibukannya… pekerjaan sebagai polisi itu sangat melelahkan…” kilah Saburo lalu menghela napas dan menghembuskannya.

    “Memang… tapi, kali ini… ada yang paling penting…” ujar wanita tersebut. Saburo mengerutkan alisnya lalu meraih lagi pipa kiseru dan menyesapkan asapnya, lalu menghembuskannya lagi.

    “Tentang apa, Ma?” tanya Saburo penasaran.

    “Nanti disini saja, kami jelaskan…” ujar wanita tersebut.

    “Baik, Ma…” jawab Saburo.

    Pembicaraan seluler itu berakhir. Saburo meletakkan gagang telepon nirkabel itu dilantai lalu kembali duduk sambil merokok dengan nikmat.

    * * *

     

    Seorang gadis berambut ikal pendek, sedang asyik membaca sebuah tabloid di beranda samping rumahnya. Tak lama kemudian, muncul sebuah mobil Roll-Royce yang kemudian berhenti tepat didepan beranda samping kediaman itu. Pintu membuka dan  keluarlah seorang pria berusia 50-an tahun, mengenakan stelan jas lengkap dengan dasinya, melangkah menaiki tangga beranda dan berhenti menatap gadis itu.

    “Yun…” panggil lelaki tersebut.

    Gadis itu hanya menggumam saja, menjawab panggilan ayahnya. Lelaki parobaya itu kembali mendesah lalu berdiri dengan sikap tegak. Setelah mengumpulkan napas sejenak, lelaki parobaya itu menegur dengan suara keras.

    “Inayah Amalia!” seru lelaki itu.

    Spontan gadis itu langsung bangkit, berdiri tegap, melemparkan tabloid itu ke lantai dan berseru dengan tegas.

    “Lapor! Bripka Inayah Amalia Ali! Melaporkan kepada Abah, bahwa Umma sudah menunggu kedatangan Abah diruang keluarga! Laporan selesai!” seru gadis itu dengan suara lantang.

    Lelaki parobaya itu tertawa dan maju memeluk putrinya. Inayah balas memeluk dan menggelayut dengan manja.

    “Kalau anaknya Abah ini? Bagaimana kabarnya?” tanya lelaki parobaya tersebut sambil melangkah ditemani putrinya menuju ke dalam rumah.

    “Iyun lagi cuti sehari, Bah…” jawab Inayah. “Kemarin kami kerja keras, nangkapi anak-anak tawuran di sekitaran kompleks Sepuluh Nopember sana…” sambungnya.

    Mereka tiba didalam. Diruangan itu nampak seorang wanita berpakaian pantas berdiri dengan anggun, menatap datar ke arah suaminya yang baru datang.

    “Pak Kapolda, lama juga tibanya ya?” ujar wanita itu sedikit menyindir. Tatapannya, lalu memicing tajam.

    “Lagi pertemuan apa nih?” selidiknya.

    Lelaki parobaya itu adalah Trias Eliasha Ali, seorang perwira polisi yang kini menduduki jabatan nomor satu di wilayah kepolisian daerah Propinsi Gorontalo. 

    Lelaki itu tersenyum saja, lalu membuka kancing jas dan me-longgarkan ikatan dasinya yang membelit kerah kemeja putihnya. Inayah sendiri langsung menyingkir kembali ke beranda samping, melanjutkan kegiatannya membaca tabloid Tribrata.

    “Umma nggak mau kasih minum Abah nih?’ celetuknya sembari duduk di sofa.

    Saripah hanya memutar bola matanya lalu bangkit menuju meja makan dan menuangkan air dari cerek ke gelas. Wanita itu membawa gelas itu ke ruang keluarga. 

    Didepan lelaki itu, Saripah menyodorkan gelas. Trias meng-ulurkan tangannya hendak meraih gelas itu. Namun tiba-tiba Saripah melepaskan gelas itu dengan sengaja hingga melayang jatuh.

    TAP!!!!

    Dengan sigap Trias menangkap gelas itu dan mengarahkan benda itu ke mulutnya dan meneguk habis isinya. Setelah itu gelas disodorkan kembali kepada istrinya sambil menegur. 

    “Kalau merajuk, bukan begini caranya…” tegurnya. Saripah hanya mendesah lalu duduk disisi suaminya.

    “Lagi ada pertemuan gabungan dengan Pangkorem 133 Nani Wartabone di Bele Li Mbu’i, bersama-sama Pak Gubernur membahas tentang pengamanan penuh dalam rangka pemilihan umum serentak periode III…” jawab Trias kepada Saripah, istrinya.

    “Jangan terlalu serius sama pekerjaan… nanti kurusan.” tegur Saripah.

    “Apanya yang kurusan?” sanggah Trias. “Ini malah tambah gemuknya.” Pria itu tertawa membuat Saripah tersenyum.

    Trias menatap istrinya. “Tadi Ken hubungi aku. Dia bilang sebentar lagi calon mantu kita pulang. Kayaknya lusa deh…”

    “Lalu?” cecar Saripah.

    “Ken minta Iyun yang jemput. Permintaan calon besan…” jawab Trias lalu tertawa. Saripah mengangguk-angguk saja.

    “Sebentar lagi, tanggung jawab kita sebagai orang tua akan selesai.” ungkap Trias kembali tersenyum.

    “Lalu, Abah mau bilang sama Iyun?” tanya Saripah dengan lembut. Trias mengangguk.

    “Supaya dia bisa lihat dengan jelas, siapa lelaki yang akan menjadi suaminya ke depan.” ujar Trias. “Selama ini, kita selalu menekannya kepadanya untuk menjaga hatinya pada satu orang lelaki saja… anak itu menepatinya dan sudah sepantasnya, dia menerima hadiah dari upayanya tersebut….”

    “Apa dia nggak akan kaget nantinya jika tahu kalau ternyata calon suaminya adalah Sandiaga?” tukas Saripah dengan lirih.

    “Kita lihat saja nanti…” sahut Trias. []

     

     

    Kreator : Kartono

    Bagikan ke

    Comment Closed: Mendung di Benteng Otanaha Bab 2

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Menurut Stephen Covey Manusia Memiliki Kebutuhan Dasar, Kecuali? a. To Live b. To Love c. To Listen d. To Leave the Legacy Jawaban: c. To Listen Menurut Stephen Covey Manusia Memiliki Kebutuhan Dasar, Berikut Pembahasannya: Stephen Covey, seorang penulis dan konsultan manajemen terkenal, dalam karya-karyanya sering membahas tentang kebutuhan dasar manusia. Dalam bukunya yang terkenal, […]

      Jun 25, 2024
    • Hari sudah menunjukkan pukul 14.30. Suasana di sekolah tempat Ustadz Hamdi mengabdikan diri sudah mulai sepi. Anak-anak sudah banyak yang pulang. Ustadz Hamdi masih duduk di meja kerjanya sambil memeriksa satu persatu tugas murid-muridnya. Saat itu tiba-tiba HP Ustadz Hamdi berdering “Kriiing, kriiing, kriiing…”  “Halo…., Assalamu alaikum !”  “Wa alaikum salam. Ini Lisa, pak Ustadz.” […]

      Jun 06, 2024
    • Aku adalah teman sekelas Sky di SMP, kami berada dikelas yang sama selama 3 tahun. Sekarang setelah masuk SMA kami berada di sekolah dan kelas yang sama. Sky selalu menjadi orang terpopuler di sekolah, Sky tinggi,  tampan, dan sangat ramah. Namun sayangnya aku merasa dia selalu dingin hanya padaku, aku bahkan tidak tau alasan dibalik […]

      Jun 10, 2024
    • Mahaga Belom Bahadat adalah bahasa Dayak Ngaju yang mempunyai makna yaitu menjaga kehidupan yang saling menghargai, menghormati serta menjunjung tinggi kehidupan Adat Istiadat maupun tradisi kearifan lokal di wilayah yang kita tempati. Era zaman sekarang ini sudah banyak sekali para generasi yang melupakan prinsif-prinsif hidup yang telah dulu ditinggalkan para leluhur(nenek moyang) kita, padahal banyak […]

      Jun 02, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021