Di salah satu kamar mihrab di Masjid Camii, Tokyo, Sandiaga sehari itu menerapkan meditasi seishin teki kyoyo, diawasi oleh Ustadz Taki Takazawa yang kini sudah berusia renta. Matanya memejam tenang dan lantunan dzikir terus mengalir dari mulutnya.
Bangunan ibadah yang berdiri di kawasan Oyama, Shibuya itu kini dalam penjagaan 30 personel satuan elit Konoe Shidan yang didatang-kan langsung dari Kasumigaseki, kantor pusat Kokka Koan Inkai. Mereka berpakaian serba hitam dan bersenjata lengkap.
Sandiaga menyelesaikan prosesi meditasinya dan menghubungi kedua orang tuanya melalui fasilitas telekomunikasi dalam kamar tersebut. Tak lama kemudian, layar gawai itu memunculkan gambar kedua orang tuanya.
“Assalam alaikum…” sapa Sandiaga dengan senyum layu. Mereka menjawab salamnya.
“Bagaimana kabar kalian?” tanya Sandiaga.
“Kami baik-baik saja.” jawab Kenzie dengan haru. “Bagaimana denganmu, Nak? Kamu baru kali ini menghubungi kami…”
“Aku ada dalam masalah pelik. Tentunya, Papa sudah tahu dan mendengar semuanya dari pengurus klan Shigeno…” jawab Sandiaga dengan senyum terenyuh.
“Bagaimana hasil akhirnya?” tanya Kenzie.
Sandiaga mengangguk. “Alhamdulilah… Tuan Tatsuya dan saya berhasil menghadap kepada Yang Mulia Agung, Kaisar Heiwa, langsung di istana.” tuturnya membuat Azkiya dan suaminya terkejut.
“Kami memaksa Naikaku Shorin Daijin menghadap bersama-sama…” pungkasnya. Sandiaga lalu menceritakan segalanya secara singkat. Keheningan kembali menyeruak saat Sandiaga mengakhiri cerita tersebut.
“Kau menempuh perjudian yang berat, Nak. Apa jadinya kalau…” keluh Kenzie kemudian terhenyak kembali dan menandas sambil menggelengkan kepalanya berkali-kali.
“Nggak-nggak! Naudzubillahi min dzalik!!!” ujarnya dengan pias.
“Percayakan semua padaku, Pa… Ma…” ujar Sandiaga dengan mantap. Azkiya menghela napas sejenak.
“Ingat, Nak. Keluarga Hasegawa bukan keluarga sembarangan. Sejak awal, mereka merupakan salah satu keluarga yang berafiliasi ke keluarga kuno, Heike (Taira) yang merupakan seteru keluarga Genji (Minamoto) sejak jaman Heian. Apalagi salah satu leluhur keluarga tersebut adalah pendiri aliran pedang Eishin.” ungkit Azkiya.
“Meskipun dia didukung oleh malaikat Izrail alaihissalam pun, aku tak akan gentar, Ma!” tandas Sandiaga agak mengeraskan nadanya.
“Kontes ksatria sudah lama dilarang oleh pemerintahan modern. Kau kembali mengungkit masa lalu dengan memaksakan pertandingan itu.” ujar Azkiya.
“Klan Shigeno adalah pengikut setia Pangeran Sadayasu. Pendukung kuat Istana Yoshino dan Keshogunan Tokugawa! Aku akan tetap dengan bangga menyandang status itu.” tandas Sandiaga.
Keheningan terasa menjalari seluruh ruangan keluarga itu. Kenzie dan Azkiya hanya bisa mematung dan membisu. Setelah berhasil menguasai hatinya, Kenzie kemudian berbicara.
“Bagaimana seterusnya?” tanya Kenzie.
“Aku minta izin, Ma…” pinta Saburo.
“Untuk apa?” tanya Azkiya.
“Izinkan aku untuk membunuh Chikaraishi.” pinta Sandiaga.
Azkiya mengangguk. “Mama hanya berpesan, jangan pikirkan apapun saat kau melaksanakan niatmu. Bebaskan ekspresimu. Ingat, setiap helaan nafas adalah anugerah yang Allah berikan untukmu. Dalam peperangan, cara kita adalah kematian. Dalam masa damai, cara kita adalah keheningan, kesadaran dan kesiagaan…”
“Itulah… Bushido.” sahut Sandiaga.
“Kamu adalah putra ayahmu! Darah raja-raja Suwawa mengalir dalam nadimu. Begitu juga, kamu adalah keturunan Izumo no Kami Mochizuki, seorang ogashira terkenal dalam Perang Magari dijaman Sengoku.” tandas Azkiya dengan tegas. “Jangan permalukan leluhur-mu!!!”
“Semoga kamu memenangkan pertempuran.” sahut Kenzie dengan senyum haru mengakhiri percakapan itu dengan doa.
* * *
Kediaman Lasantu, Pukul 05.14 a.m WITA…
Airina hanya mengenakan piyama saat melemparkan pandangan ke halaman rumah lewat jendela kamarnya. Gadis itu kehilangan minat untuk ke kantor. Berkali-kali dia menghela nafas yang panjang, lalu menghembuskannya dengan perlahan.
TOK-TOK-TOK…
Ketukan di pintu terdengar. Airina tak memperdulikannya.
NGIIIIK…
Pintu terbuka dan Azkiya berdiri di sana, menatap putrinya yang asyik dalam lamunannya. Wanita berkhimar panjang itu masuk dan memutari ranjang, berdiri di belakang putrinya.
“Kamu kok nggak kerja?” tegur Azkiya. Airina kembali menghela nafas lalu membalik tubuh menghadap ke arah ibunya.
“Boleh nggak, sehari ini Yuki absen ke kantor, Ma?” pinta Airina memelas.
“Lho? Itu kan perusahaanmu.” tukas Azkiya dengan senyum. “Suka-suka kamu, mau masuk apa nggak.” Wanita itu lalu duduk di sisi ranjang.
“Asalkan jangan keseringan. Nantinya jadi contoh yang tidak baik bagi karyawan…. Ingat motto keluarga kita, kan?” pancingnya. Yuki hanya tersenyum hambar lalu mengangguk pelan. Azkiya menatap putrinya.
“Mama lihat, kamu punya masalah,” Azkiya lalu menghela napas lagi. “Tapi, Mama nggak maksa kamu harus cerita. Kamu sudah dewasa, Yuki.”
Wanita berkhimar itu bangkit dan menyentuh pundak putrinya dari belakang. “Dengan pengalamanmu sebagai pemimpin sebuah perusahaan, Mama pikir kamu bisa menyelesaikan masalahmu…” Azkiya berbalik dan melangkah.
Langkah wanita berkhimar itu sejenak berhenti lalu dia me-nengok lewat bahunya. “Jika kamu membutuhkan Mama, Mama selalu ada untukmu…”
Azkiya kembali mengayun langkah meninggalkan putrinya sendirian dikamar tersebut. Airina terpekur sendirian.
* * *
Shibuya, 5.50 a.m. JST…
Sandiaga duduk bersimpuh gaya seiza, mengenakan gakuran hitam berkancing emas. Di hadapannya tergeletak selimut pedang berwarna biru navy dan beberapa sulaman kamon keluarga berwujud delapan bulatan kecil yang mengurung sebuah bulatan besar nampak dibeberapa tempat dikain sutra itu. Perlahan kedua lengan lelaki itu terulur meraih benda tersebut lalu membuka ikatannya.
Dia menarik dari sana sebilah pedang gaya shinogi-zukuri dengan tsuba berbahan campuran metal alloy berbentuk heksagonal. Kain gagangnya putih melilit menuki berbentuk vajura. Sarung pedangnya berbahan kayu besi yang dicat hitam dan dihiasi pola sisik halus, hingga lukisan gelombang awan dan dihiasi kamon klan Shigeno. Tali sageo warna hitam melilit bagian tengah sarung pedang tersebut. Bagian ujung sarung dipasangi chukai.
Itu adalah replika dari pedang milik Yorishige Iwami no Kami, Penyapu Awan. Pedang aslinya sudah patah dan tersimpan dalam kotak kaca di bilik penyimpanan wisma milik keluarga Shigeno. Replika pedang itu adalah karya seorang empu terkenal, Karu Kimura dari Kumamoto.
SRIIIIIIIINGGGGGG…. NGUUUUUNGGGG…
Sandiaga menghunus pedang itu sejenak memperhatikan bilah-nya yang begitu mengkilap seakan enggan berkarat. Kemarin, Naganobu Tarozaemon membawa pedang itu dari kediaman Shigeno ke Masjid Camii Tokyo untuk diserahkan kepada ogashira klan Koga tersebut. Tak lama kemudian muncul Ustadz Taki Takazawa, menghampiri pemuda tersebut.
“Waktumu sudah tiba, Nak…” ujar ulama masjid tersebut dengan suara yang serak namun terasa tenang. Sandiaga tersenyum saja.
“Tuan Guru… aku meminta restumu…” pinta Sandiaga tanpa menoleh.
“Aku hanya berpesan kepadamu, dalam setiap gerak langkahmu, jangan lupakan, Allah selalu mengawasi setiap tindak-tandukmu…” ujar Ustadz Taki Takazawa.
Sandiaga menunduk, lalu menghela napas panjang. Pemuda itu memantapkan niatnya. Bertarung atas nama kehormatan, atau pulang meninggalkan nama yang akan dikenang sepanjang usia manusia berjalan.
SREEEETTTT…
Sandiaga menyarungkan kembali Si Penyapu Awan, lalu bangkit. Pemuda itu kemudian berbalik, menatap Ustadz Taki Takazawa yang menatapnya dengan tatapan yang teduh.
“Aku sudah siap!” gumamnya dengan tegas.
* * *
Lokasi Istana Edo, 06.20 a.m. JST….
Dipanggung yang sediakan, telah duduk sepasang penguasa negara beserta para pejabat tinggi baik dari pihak rumah tangga kekaisaran, pihak legislatif dan pihak penasihat pemerintahan.
Kaisar Heiwa, Kazuhito Yang Agung mengenakan pakaian tradisional sokutai coklat emas yang dihiasi gambar naga. Kepalanya dimahkotai kanmuri hitam dan kedua tangannya menggenggam papan shaku. Permaisuri Saeko mengenakan junihitoe yang rumit. Rambutnya disanggul dan diberi hiasan.
Hanya kedua orang itu yang mengenakan pakaian tradisional, selebihnya mengenakan pakaian resmi umum, yaitu setelan jas resmi serba hitam, termasuk Pangeran Fumihito sendiri. Ryoma Hasegawa sebagai Naikaku Shorin Daijin duduk dibagian kiri pasangan penguasa negara itu. Keluarganya, Kaede dan Rosemary duduk disampingnya.
Tatsuya Shigeno sebagai junjungan dari Sandiaga, beserta tiga kepala keluarga aras cabang klan Shigeno dari keluarga Unno, keluarga Nezu dan keluarga Mochizuki, duduk di bagian belakang deretan bangku para pejabat kenegaraan tersebut.
Di tengah lapangan, berdiri Laksamana Chikaraishi mengenakan pakaian resmi kemiliteran Angkatan laut, lengkap dengan pedangnya yang bergaya kyugunto dilindungi pelindung pedang dan rumbai-rumbai cantik yang menghiasi ujung gagang pedangnya. Tak lama kemudian seorang lelaki berpakaian formal muncul membawa Sandiaga yang mengenakan gakuran hitam dan menyandang Si Penyapu Awan. Keduanya berhadapan lalu saling membungkuk hormat.
“Masih ada waktu untuk berubah pikiran…” usul Pangeran Fumihito.
Kedua petarung itu berdiri berhadapan dengan sikap yang sempurna. Keduanya saling menatap tajam dan waspada. Chikaraishi menatap Sandiaga dan menghela napas.
“Haruskah kita bertemu dalam situasi seperti ini?” pancingnya.
“Jika anda tidak membunuh Takagi sekeluarga… kita tidak akan berjumpa di sini.” jawab Sandiaga dengan datar.
“Jika hal itu tak kulakukan, tentunya adikku tak akan mendapatkan apa yang dia mau.” kilah Chikaraishi membela alasannya.
“Atas nama kehormatan, aku harus menumpahkan darahmu.” ujar Sandiaga dengan datar. Chikaraishi tertawa.
“Sebenarnya, kau harus bangga, Saburo! Kau diterima di keluarga kami. Keluarga Hasegawa adalah salah satu singa diantara singa-singa pemerintahan Heiwa! Kau tak akan menyesal!” sindir Chikaraishi dengan nada mengejek.
“Aku bukan singa! Aku adalah serigala!” balas Sandiaga.
“Oh? Pantas kelakuanmu seperti anjing!” ejek Chikaraishi lagi. “Bukankah tiada beda antara anjing dan serigala? Keduanya nampak sama!”
“Orang-orang boleh saja memelihara anjing. Tapi, tidak akan ada yang bisa memelihara serigala.” ujar Sandiaga lalu balas mengejek lagi. “Lagi pula, serigala tidak pernah bermain sirkus…”
Ucapan Sandiaga barusan membuat Chikaraishi tersinggung. Begitu pula dengan Ryoma. Keduanya terdengar menggeram marah. Sang perwira mendengus keras.
SRIIIIINGGGG….
“Rupanya, pertarungan ini tak bisa dihindari, ya?” komentar Chikaraishi lalu menghunus pedangnya, mengarahkan ujung pedangnya kepada Sandiaga. Mulanya, perwira tersebut menggunakan seni pedang warisan keluarganya, aliran Eishin yang diciptakan oleh Hidenobu Chikaranosuke Hasegawa, berdasarkan gaya pedang Musō Jikiden dari Shigenobu Jinsuke Hayashizaki.
Sebaliknya, Sandiaga langsung menggunakan gaya batto aliran Perguruan Koga. Gaya umum untuk memainkan teknik jurus Arashi no Kiru (Menebas Badai), yang terkenal sejak zaman Heian.
EEEEIIIIYYAAAH!!!!
Diiringi pekikan keras, Chikaraishi maju mengayunkan pedangnya. Sandiaga dengan sigap menghunus dan mengibaskan Si Penyapu Awan.
TRANGGGG!!!!
Chikaraishi maju lagi mengayunkan pedangnya dengan posisi silang dari atas ke bawah dan sebaliknya. Sekali lagi, Chikaraishi maju menusukkan pedang.
TRANGGG!!!
Sandiaga kembali mengibas dan mengayunkan Si Penyapu Awan dari bawah ke atas.
TRANGGG!!!
Untung saja Chikaraishi berhasil menyilangkan pedang secara vertikal di sisi wajahnya lalu melompat mundur dan bergaya siaga lagi.
Sementara di deretan penonton, Rosemary terlihat cemas dan terjebak dalam posisi simalakama. Kaede menatap dengan tegang pertempuran itu. Kedua pedang petarung itu saling menempel dan menekan.
NGIIIIINGGG…
Denging suara logam terdengar saat Sandiaga menekankan bilah pedangnya ke bilah pedang lawannya. Perlahan Chikaraishi mulai ber-lutut sementara Sandiaga berdiri dan terus menekan. Bilah pedangnya nyaris menyentuh kepala Chikaraishi.
Tiba-tiba…
BLURRRR!!!
UGH…
CRASHHH!!!
AKH…
Chikaraishi meraup segenggam debu dan menyebarkannya ke arah Sandiaga. Lelaki itu kaget, tak sempat melindungi wajahnya. Chikaraishi langsung mendorong pedang lawan dan mengayunkan pedangnya ke atas. Tubuh Sandiaga berjejer ke belakang dan jatuh, sementara Chikaraishi maju mengayunkan pedangnya.
CUK!!!
Pedang perwira itu hanya mengenai tanah karena Sandiaga langsung berkelit dan bangkit berdiri beberapa meter dari sana. Rasa sakit menyengat wajahnya dan Sandiaga menyadari dia kehilangan penglihatan kirinya. Darah mengalir dari mata yang koyak itu. Rosemary nyaris memekik namun buru-buru membekap mulutnya.
“Menyerah sajalah, dan jadilah menantu yang baik.” pinta Chikaraishi. Sang laksamana kemudian mengganti gaya pedangnya menjadi gaya anggar Le Margant yang dipelajarinya saat menimba ilmu di Sekolah Staf dan Komando Bundeswehr di Jerman.
“Aku akan menjadi menantu yang baik,” ujar Sandiaga. “Setelah aku membunuhmu!”
Tiba-tiba Sandiaga melesat dengan cepat mengandalkan teknik hayagane jutsu-nya membuat Chikaraishi terkejut bukan main. Sehebat-hebatnya petarung militer, tak ada yang memiliki kecepatan seperti angin. Tiba-tiba Sandiaga telah tiba di hadapannya. Sandiaga menusukkan Si Penyapu Awan.
TRANG!!! TRANG!!! TRANG!!!
Sandiaga mengaktifkan energi murni Kyu In no Kai dan merubah pola Cakar Peremuk Tulang dan Tinju Maha Iblis ke gaya kenjutsu mem-buat Chikaraishi mulai terdesak oleh permainan pedang lawannya.
TRANG!!! TRANG!!! TRANG!!
Suara logam beradu terdengar beberapa kali lebih sering. Chika-raishi harus bisa menemukan cara mematahkan permainan pedang lawannya. Dengan cepat dan kuat, laksamana itu menampar Si Penyapu Awan dan meliukkannya, membuat genggaman Sandiaga pada pedangnya terlepas.
JLEB!!!
Si Penyapu Awan jatuh menancap beberapa meter dari keduanya. Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Chikaraishi yang langsung maju mengayunkan pedangnya.
TAP!!!
EH???
Sandiaga mengorbankan telapak tangannya, menggenggam bilah pedang Chikaraishi yang nyaris membelah kepalanya. Lelaki itu menggeram dan kornea mata kanannya perlahan berubah warna dari coklat tua ke biru pucat keabu-abuan. Jurus Karasu Tengu no Shisen…
Kuda-kuda fudo milik Sandiaga sangat teguh menghujam dataran berumput. Chikaraishi berupaya menarik pedangnya, namun cengkram-an jemari Saburo sangat ketat mengepit bilahan pedangnya. Energi murni Kyu In no Shin Kai yang terpancar dari tubuhnya membuat arena tersebut diselubungi aura dingin.
EEEIIIYAAAAAH…
PRAK!!!
EH???
Sandiaga mengayunkan teisho ke permukaan pedang milik Chikaraishi. Pedang itu patah dua. Chikaraishi terkejut bukan main. Sandiaga melemparkan bilahan pedang itu dan maju mengayunkan tinjunya yang berlumur darah. Tinju Pembuyar Energi, jurus kedua dari Kyu In no Ki.
BUM!!!
Tonjokan tinju itu ditangkis Chikaraishi dengan lengan kirinya. Laksamana itu mengayunkan lagi pedang patahnya. Sandiaga mengayunkan Cakar Peremuk Tulang, menangkap lengan laksamana itu dan memutarnya.
KREK!!!
AAAAAARRRGHHH…
Pergelangan tangan Chikaraishi terkilir membuat laksamana itu menjerit kesakitan dan mundur ke belakang. Sandiaga bangkit dan mulai maju mengayunkan Tinju Pembuyar energi berkali-kali menghantam beberapa titik tubuh Chikaraishi.
BUK! BUK! BUK!
UHHH…
Chikaraishi sempoyongan akibat daya hantam tinju tersebut. Akhirnya, perwira angkatan laut itu jatuh tersimpuh dan memuntahkan darah segar dari mulutnya. Sebagian mengotori seragam putihnya. Ryoma menutup mata dan mengencangkan rahangnya. Sandiaga berdiri beberapa meter di hadapan lelaki itu. Ryoma langsung berdiri dan bersimpuh di hadapan Kaisar Reiwa.
“Yang Mulia! Mohon hentikan kegilaan pemuda itu!” seru Ryoma hendak bersujud.
Tiba-tiba, Sandiaga melompat ke udara dan maju mengayunkan Cakar Peremuk Tulang ke arah batok kepala Chikaraishi.
EEEIIIIYYYAAAAH…
CRAP!!!
UGH…
Kelima ruas jari Sandiaga menancap di batok kepala Chikaraishi. Laksamana itu tersentak membelalakkan matanya merasai kesakitan yang menyengat. Sandiaga mengayunkan hujaman nukite ke leher Chikaraishi.
CRASSSSHHHH!!!
HEK!!!
Leher laksamana itu tertembus sebagian besar jari Sandiaga. Chikaraishi tersentak dan tubuhnya kelojotan. Ryoma tak jadi bersujud, malah terkejut dan langsung memalingkan tatapan ke arah lapangan.
Sandiaga menghentak menarik jemarinya dan tubuh Chikaraishi jatuh dan terlentang di lapangan rumput tanpa nyawa. Ryoma mendelikkan mata dan tubuhnya gemetar. Kaede membekap mulutnya mencegah teriakan histeris sementara Rosemary hanya memalingkan wajahnya dengan netra yang telah berurai air mata. Sandiaga sejenak duduk bersimpuh lalu bersujud agak lama menghormati jasad laksamana itu.
Pangeran Fumihito menarik napas panjang lalu menyerukan pertandingan telah berakhir. Dendam telah dilunasi dan tak ada lagi yang diperkenankan untuk melakukan pembalasan dendam. Chikaraishi kemudian dianugerahi pangkat anumerta Laksamana Utama, sementara Klan Shigeno dibebaskan dari segala beban.
Lelaki berseragam gakuran hitam itu melangkah menuju Si Penyapu Awan dan mencabutnya lalu menyarungkan kembali pedang itu. Sebelum meninggalkan arena tanding, Sandiaga Hermawan Lasantu membungkuk dalam ke arah panggung. []
Kreator : Kartono
Part 15: Warung Kopi Klotok Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]
Part 16 : Alun – Alun Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]
Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]
Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]
Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]
Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]
Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]
Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,, begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]
Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]
Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]
Comment Closed: Mendung Di Benteng Otanaha Bab 30
Sorry, comment are closed for this post.