Airina bangun dengan tubuh segar meski semalam ia tidak makan malam. Makanan yang tak terjamah itu dikembalikannya ke dapur. Setelah sarapan pagi dengan roti bakar lapis mentega, gadis itu berangkat kerja. Kenzie tersenyum menatap jalanan.
“Putri salju kita sudah baikan lagi, ya?” komentarnya.
Azkiya tertawa pelan lalu mengangguk. Wanita itu lalu menarik lengan suaminya. “Hubby, ke Suwawa, yuk. Kita tengok Papa sama Mama. Boleh, kan?” pintanya dengan manja. Kenzie tertawa lagi mendengar rengekan manja istrinya.
“Ayo, kalau ada ongkosnya, sih.” Jawab Kenzie dengan enteng.
Azkiya mengerutkan alisnya. “Ongkos?”
“Iya…niiih!!” ujar Kenzie menunjuk bibirnya.
Azkiya tertawa lagi lalu segera menyumpal bibir suaminya dengan bibirnya. Keduanya saling mengulum dan memagut. Setelah sekian lama, Azkiya melepaskan ciumannya.
“Sudah ongkosnya…” ujar Azkiya dengan manja.
“Ayooo…” ajak Kenzie.
* * *
Sejak insiden penolakan dari keluarga Bulotio yang dituturkan rekannya, Monang Parlindungan, membuat Inayah menyesali i’tikadnya mencomblangi Faris dengan Airina.
“Yaaahhhh!!!” keluh jilbaber itu.
“Rugi benar ku rekomendasikan dia dengan Yuki.” Inayah menendang sebutir kerikil di lapangan berumput itu.
“Aku pula tak mengerti isi otak kepala Si Bengak itu.” sambut Monang. “Sudah tahu dijodohkan, masih pulak main-main perasaan perempuan…” umpatnya. “Alamak! Faris…betul-betul brengsek!”
Inayah kembali menghela napas. Monang menyentil lagi lengan jilbaber itu. “Eh, tapi Pak Kapolda respon hal macam ini tak?” tanya Monang memicingkan mata penuh selidik.
“Nggak tahu…” jawab Inayah sekenanya.
“Alamak! Hancur lah kau Faris…” desis Monang Parlindungan dengan raut wajah khawatir.
* * *
Airina menatap lanskap kota Gorontalo dari dinding kacanya. Gadis itu kembali tenggelam dalam lamunan terhadap Akram. Tanpa sadar, tangannya bergerak mengelus perutnya.
Akram…dia telah menitipkan benihnya disini… apa yang harus kulakukan? Bagaimana jika digugurkan saja sebelum menjadi setitik kehidupan?
Airina mendesah masygul. Jika Akram tak melakukan hal itu, tentu dirinya tak segelisah ini. Ingatan kepada lelaki cerdas dari Minangkabau itu mulai menggelayuti alam bawah sadarnya.
KRIIINGGG….KRIIINGGG…
Suara dering alarm, menarik paksa lamunannya menuju realita kehidupan. Gadis itu buru-buru menuju meja kerjanya dan menekan sebuah tombol termografi pada layar hologram di hamparan meja kerjanya.
“Ada apa?!” tanya Airina dengan datar.
Sebentuk wajah holografis muncul di tampilan meja thermoglass itu. seorang resepsionis.
“Ada tamu, menunggu di lobi. Dia mencari Ibu.” jawab resepsionis itu.
“Aku nggak punya janji dengan siapapun hari ini.” bantah Airina mengerutkan alisnya.
“Tapi Bu, perempuan ini ngeyel mau ketemu Ibu. Penting, katanya.” jawab resepsionis itu lagi. Airina sejenak menautkan alisnya lalu kembali mendatarkan raut wajahnya.
“Baiklah, aku kesana sekarang.” ujar Airina memutuskan pembicaraan. Gadis itu melangkah ringan meninggalkan ruangannya, memanfaatkan elevator khusus untuk tiba di lantai pertama. Sesampainya di sana, Airina mendekati bilik resepsionis.
Petugas resepsionis menunjuk tamu yang dimaksud. Seorang wanita berpenampilan anggun, menyeruput segelas kopi yang disuguhkan petugas layanan umum. Airina mengamati tamunya dengan cermat sembari mendekatinya.
“Anda ingin ketemu saya?” tanya Airina saat berada didepan wanita itu. nadanya terdengar sopan namun menampakkan keanggunan seorang ratu. Wanita tersebut mendongak menatap wajah wakil presdir Buana Asparaga itu.
“Airina Lasantu?” tebaknya dengan datar dan dingin.
Airina mengangguk. “Ya. Itu saya…” jawabnya.
Sontak sang tamu berdiri dan mengulurkan tangan. Dengan tatapan tajam dan nada suara yang dibuat mengintimidasi, tamu itu berucap.
“Saya, Priscilla Bilondatu, S.Pd, M.Sc, Calon istri Iptu. Faris Bulotio, S. IP…” ujarnya tetap dengan nada sedingin es.
Airina mengamati tamunya, mencermatinya dari atas hingga ke-bawah, membuat Priscilla merasa ditelanjangi oleh Presdir Buana Asparaga itu. dia langsung menjentikkan jemarinya di wajah Airina.
“Hei! Kamu melamun, ya?!” sergah Priscilla kemudian bercakak pinggang sembari menatap dengan angkuhnya.
Airina hanya tersenyum lalu mempersilahkan Priscilla duduk kembali. Sang tamu kembali duduk dengan sikap anggun namun terlihat begitu arogan. Airina hanya menghela napas saja. Airina duduk dengan sikap santun namun tetap saja keanggunan sang gadis nampak, bahkan begitu kuat mengalahkan keanggunan tamunya sendiri.
“Ada apa Ibu mencari saya?” tanya Airina dengan lembut.
“Enak saja panggil saya Ibu! Matamu itu sudah katarak, ya?!” sergah Priscilla lagi dengan jengkel. “Orang secantik gini, dipanggil Ibu. Nih orang benar-benar ngeselin deh.” gerutunya dengan pelan.
Airina kembali menarik napas, menahan emosinya. Dia tersenyum lagi. “Maksud kedatangan anda?” tanya Airina kini dengan nada datar. Wanita itu mengerling sinis ke arah Airina.
“Aku mau kamu menjauhi Faris!” tekan Priscilla dengan kasar disertai pelototan mata.
“Kami berdua sudah tak ada hubungan apapun.” jawab Airina dengan lugas.
“Tapi dia selalu menyebut nama kamu di hadapanku.” tukas Priscilla. “Nadanya tuh, ngebandingin kita berdua banget. Aku nggak suka!”
“Berarti… Ibu yang kurang upayanya…” ujar Airina lagi.
“Manggil Ibu lagi!” omel Priscilla dengan ketus. “Memang aku punya tampang ibu-ibu, begitu?!” sergahnya.
Airina menatap Priscilla, memicingkan mata. Tatapan sang direktur justru membuat sang tamu terpancing emosinya.
“Kenapa? Kurang senang?!” tantang Priscilla menyergah.
“Katanya Faris, kamu itu masih anak sekolahan. Kok suka sama dia? Kamu itu memang gatal, ya?! Sudah! Kontolin saja tuh barang om-om senang!” seru Priscilla begitu semangat menista lawan bicaranya.
PRANGGGGG!!!!
Seisi ruangan terkejut mendengar suara kaca pecah. Para karyawan bergidik takut, sementara Priscilla menatap meja di hadapannya dengan wajah pucat pasi. Airina memandang tamunya dengan tatapan yang telah dialiri jurus Karasu Tengu.
Tangannya terkepal, baru saja memecahkan permukaan meja untuk menggertak mental lawan agar berhenti bersikap kurang ajar. Kaca berhamburan di lantai sementara jemari-jemari Airina mengucurkan darah yang juga mulai membasahi lantai.
“Berani sekali anda melontarkan hinaan…” gumam Airina, sementara Priscilla menelan ludah, menciut nyalinya.
Dengan tenang, Airina mengeluarkan sehelai lenso dari kantung jasnya dan menutupi tangannya yang berdarah. Sang Presdir lalu menatap tamunya.
“Sebelum saya bertindak lebih jauh, ada baiknya anda segera meninggalkan tempat ini.” pinta Airina setengah menggertak dan memaksa.
“Memang kamu sudah gila!” umpat Priscilla sembari bangkit dan cepat-cepat meninggalkan ruangan lobi. Sepeninggal tamu itu, seorang karyawati mendekati pimpinannya.
“Ibu… Ibu nggak apa-apa, kan?” tanya Karyawati tersebut menatap Airina dan hamburan kaca yang bertebaran di lantai silih berganti.
“Aku nggak apa-apa…” jawab Airina. Gadis itu bangkit dan menatap dengan tatapan angkuh.
“Minta bagian pelayanan umum untuk membersihkan sisa-sisa kotoran ini…” pintanya lalu pergi pula meninggalkan ruangan tersebut. Hari itu, banyak karyawati bergunjing mengenai insiden di pagi hari tersebut.
* * *
Akram kembali menjalani kesehariannya sebagai Dirut MLT. Group dengan penampilan yang apik dan formal. Diruang kerjanya, Akram sibuk membaca dan menganalisa isi-isi dokumen yang sudah menggunung di mejanya.
Kevin sengaja membiarkan berkas-berkas itu di sana supaya putranya melaksanakan perannya dengan baik. Pemuda itu telah menyelesaikan setengah pekerjaannya ketika Kevin muncul di sana dan menyapa putranya.
“Assalam alaikum…” sapa lelaki paruh baya tersebut.
“Wa alaikum salam…” jawab Akram sejenak menjeda kegiatan-nya dan berpaling menatap si penyapa. Pemuda itu tersenyum.
“Bagaimana kabarnya, Abi? Maaf, saya nggak sempat menyambangi Kediaman Williams…” kilah Akram sembari bangkit dan menemui Ayahnya.
“Kamu memang selalu begitu… Abi nggak heran…” sahut Kevin dengan datar sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam kantong celana katunnya.
“Habisnya… saya sibuk sekali…” sambungnya kembali melirik setengah dari dokumen yang terbengkalai di meja kerja. Pemuda itu kembali menatap ayahnya.
“Bagaimana kabar Umi?” tanya Akram lagi.
“Kamu selalu tahu kalau Ibumu selalu menyambangimu…” jawab Kevin kemudian melangkah menuju sofa dan duduk di sana. Lelaki paruh baya itu menatap putranya.
“Buat apa kau menanyakannya?” sambungnya sambil duduk menyilangkan kaki. “Kamu masih dendam padaku karena pernah mengurungmu di kamar sewaktu kecil dulu?”
Akram tertawa pelan lalu ikut duduk disofa. “Aku nggak seperti sangkaanmu, Abi…” sanggahnya. “Aku hanya nggak suka Abi menyakiti hati Umi…”
Kevin tersenyum hambar, “Nggak ada manusia yang sempurna, Nak…”
“Benar yang Abi katakan itu…” sahut Akram menjentikkan jarinya. Keduanya tertawa bersamaan. Akram sejenak menghela napas lalu menatap ayahnya.
“Abi… aku mau jujur…” ujar Akram dengan wajah serius.
“Apa yang mau kau katakan?” tanya Kevin.
“Aku mau meletakkan jabatan direktur MLT. Group…” jawab Akram menyunggingkan senyumnya. Kevin seketika terkejut dan memprotes.
“Apa kamu bilang?! Oh, nggak bisa begitu, dong!” ujarnya dengan gusar. Akram hanya tersenyum, lalu menyahut.
“Aku mau mendirikan perusahaan sendiri…” ungkap Akram. “Abi bisa menyerahkan posisi ini pada orang yang tepat.” Pemuda itu menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa.
“Memang siapa yang berkompeten di perusahaan ini, jika bukan kamu?” tantang Kevin dengan emosi.
“Hayati, istrinya Ikram…” jawab Akram dengan lugas.
“Tapi…” protes Kevin.
“Abi…” tegur Akram, “Abi sering tidak menghargai kompetensi orang lain. Oom Rudi saja selalu tak dianggap, padahal jasanya pada perusahaan ini sedemikian besar.”
Kevin tertohok dan hanya bisa komat-kamit tanpa suara. Akram menyambung lagi, “Serahkan jabatan Direktur ini kepada Hayati…”
Kevin membuang napas dengan kasar lalu bangkit. “Terserah kamu saja lah!” sergahnya menggerutu.
“Hayati bukan orang lain, Abi… dia menantu keluarga Williams juga!” tegur Akram dengan tegas. Kevin menatap putranya dengan alis berkerut.
“Atau kau sengaja melepaskan jabatan ini agar bisa melanglang buana kemana pun kau suka?” tukasnya.
Akram tertawa, “Jangan berpikiran seperti itu…”
“Terus apa kalau bukan alasan itu?” tohok Kevin dengan gusar.
“Seorang entrepreneur sejati memang harus banyak jalan-jalan Abi…” tangkis pemuda itu. “Dengan begitu, akan banyak ide yang muncul di kepalaku untuk mewujudkannya…”
Kevin mengangguk-angguk dengan bibir mencebik sinis. “Ya, seperti berduaan dengan perempuan dari Gorontalo itu? begitukah?!” tohoknya lagi. Akram hanya tertawa mendengar tuduhan Ayahnya.
“Kurasa, aku nggak perlu lagi menyembunyikan hal itu dari Abi, ya?” oloknya membuat Kevin sejenak mendengus pelan.
Kevin memalingkan wajah menatap dinding kaca yang memantulkan lanskap kota Padang lalu melangkah dan berdiri didepan dinding itu. Sambil menikmati pemandangan, lelaki paruh baya itu berkata lagi.
“Kalau urusan perempuan… ngapain jauh-jauh ke timur?” tukas Kevin lalu berbalik menatap Akram yang masih duduk santai di sofa mempermainkan batang pulpennya.
“Abi punya banyak kenalan yang punya anak gadis. Bahkan mungkin lebih cantik dari perempuan Gorontalo itu.” ejeknya dengan sinis.
“Yuki jauh lebih cantik dari mereka…” sahut Akram balas mengejek Ayahnya. Kevin kembali mendengus lalu menatap putranya dan melayangkan senyum.
“Bagaimana kalau kamu ku jodohkan saja dengan salah satu dari mereka?” pancing Kevin.
“Siapa?” tanya Akram.
“Anak-anak perempuan dari relasi Abi di MLT. Group! Abi yakin, anaknya Kenzie itu akan kalah jauh dari penampilan mereka.” Ujar Kevin setengah mengejek pilihan putranya.
“Silahkan saja Abi merekomendasikannya…” tantang Akram. “Tapi, aku juga punya hak untuk menerima maupun menolaknya.” tandasnya pula. Kevin hanya mendengus lalu tersenyum sinis. Lelaki paruh baya itu merubah topik bicara.
“Jadi, sudah bulat tekadmu keluar dari MLT. Group?” tukas Kevin.
“Iya…” jawab Akram dengan santai.
“Kapan kau meninggalkan perusahaan ini?” tanya Kevin dengan datar. Wajahnya sedikit tak sedap dipandang.
“Hari ini juga.” jawab Akram dengan lugas.
Kevin terkejut lagi mendengar jawab putranya yang terdengar tegas. Akram menyambung lagi.
“Aku mau Abi dudukkan Hayati di kursi ini!” ujarnya dengan penuh nada tekanan.
“Suka-suka kamu saja lah…” ujar Kevin yang pasrah lalu melangkah pergi meninggalkan ruangan itu. Akram mengikuti arah langkah Ayahnya lalu kemudian tersenyum kembali.
* * *
Airina menatapi pejalan-pejalan kaki dan pengunjung taman kota yang bermain-main di sana. Gadis itu duduk di salah satu leger beton, sementara di jalanan terlihat begitu ramai dengan kendaraan yang lalu lalang.
Airina menikmati kesendiriannya sembari menyesap sedikit demi sedikit milkshake, membiarkan semilir angin senja membelai permukaan kulitnya yang seputih salju dan memberikan sensasi rasa sejuk. Airina perlahan memejamkan matanya, meresapi setiap hembusan angin yang meniup lembut pori-pori wajahnya.
CESSSS….
Hmm???
Tak lama kemudian alis gadis itu mengerut sesaat merasakan benda dingin menempel di pipinya. Airina membuka mata dan terhenyak pelan. seraut wajah teduh nampak dihadapannya, berjongkok sambil menempelkan segelas soft drink ke pipinya. Seraut wajah yang mulai menghiasi mimpi-mimpinya.
“Akram…” desisnya dengan lirih.
Akram menarik tangannya lalu bangkit dan duduk disisi gadis itu yang masih bingung dan takjub dengan keberadaan pemuda tersebut.
“Kapan kamu tiba?” tanya Airina dengan lirih. Setitik senyum datar muncul menghiasi bibirnya, sedikit mengalahkan rasa ego dalam dirinya.
“Tadi siang…” jawab Akram dengan singkat dan acuh tak acuh, asyik pula meneguk softdrinknya sedikit-sedikit.
“Katanya masih sementara merampungkan proyek YUKI…” protes Airina. “Kok muncul di sini lagi?”
“Jauh darimu bikin aku nggak konsentrasi…” jawab Akram dengan jujur dan menatap gadis itu dengan mimik jenaka. “Yang ada, aku malah selalu konslet…”
“Huh…” dengus gadis itu sembari melengos dan menyembunyikan senyum senangnya karena kehadiran lelaki itu. Akram menatap gadis yang membelakangkan wajahnya itu.
“Aku merindukanmu…” ungkap Akram.
“Tukang gombal!!!” olok Airina tanpa menoleh. Akram ter-senyum.
“Uhm, minta dirayu nih…” godanya.
Airina langsung berbalik menatap pemuda itu. “Apa kau bilang? Coba ulangi?!”
“Minta dirayu, nih…” jawab Akram menanggapi.
“Memang aku cewek gampangan apa?!” sergah Airina dengan gusar kemudian melengos lagi.
“Eh, yang bilang kamu gampangan siapa?” tangkis Akram dengan santai. Airina dengan tatapan keruh, memandangi Akram.
“Aku nggak sudi dirindukan olehmu!!!” sergah Airina sembari menunjuk-nunjuk dada Akram dan mendorongnya dengan kesal.
“Aku nggak percaya…” tangkis Akram dengan senyum mengejek.
“Aku benci kamu!!!” seru Airina kemudian memukul-mukul lengan pemuda itu.
Tiba-tiba Akram maju memeluk dan membiarkan tubuhnya menjadi sasaran pelampiasan pukulan dan cubitan dari Airina yang menumpahkan emosinya. Makin lama serangan gadis itu akhirnya mengendur dan membiarkan Akram memeluknya dengan lembut. Airina tanpa sadar menyandarkan kepalanya di dada pemuda itu.
“Kamu kejam! Kejam!” sergah Airina dengan lirih. “Kau meninggalkanku!”
“Aku tidak meninggalkanmu.” tangkis Akram, “Aku janji…”
“Bohong!!” seru Airina yang kemudian menumpahkan tangisnya didada Akram.
Pemuda itu membiarkan Airina menumpahkan semua perasaan-nya. Setelah tangis gadis itu reda, Akram melepaskan pelukannya kemudian kembali berlutut didepan Airina. Gadis itu tercengang ketika Akram mengeluarkan sebuah kotak dari sakunya dan mengulurkan kotak itu kepadanya.
“Airina Yuki Lasantu…” sebut Akram dengan penuh rasa. “Maukah kau menerima cintaku?”
Airina benar-benar speechless dibuatnya. Lamaran ini terlalu mendadak baginya dan sukses membuatnya bingung.
“Aku tak bisa menjanjikan kisah kita akan selalu indah dan mulus. Tapi, aku janjikan padamu, aku akan selalu ada untukmu.” sambung Akram sembari membuka sebuah kotak. Tampak sebuah piranti berbentuk jam tangan.
Airina menutup bibirnya dengan tangan. Tubuhnya tegak kaku karena gugup dilamar di tengah-tengah khalayak ramai. Para pengunjung yang melihat adegan itu sontak langsung mengompori.
“Terima!”
“Terima!”
“Terima!”
Wajah gadis itu makin memerah bagai bara nyala api, sedangkan Akram hanya tersenyum sambil garuk-garuk kepala di tengah riuh suara pengunjung yang meminta Airina untuk menerima lamaran pemuda itu.
“Airina… kau… mau, kan?” tanya Akram dengan lirih.
Airina memejamkan matanya, meredakan debar degup jantungnya, membuat Akram juga dilanda kegugupan yang sama. Perlahan gadis itu membuka matanya dan menatap Akram yang memandang dengan gelisah.
Perlahan senyum di bibir gadis itu terbit dan Airina akhirnya mengangguk beberapa kali, pertanda dia menerima pinangan pemuda itu. Seketika pengunjung riuh bersorak mengiringi Akram yang melingkarkan arloji itu ke lengan kanan Airina.
“Alat ini adalah buatanku sendiri….” ungkap Akram. “Selain aplikasi telekonferensi, ada juga beberapa aplikasi lainnya…”
Pemuda itu menekan salah satu tombol di sisi arloji dan memunculkan layar holografis yang memproyeksikan konstelasi-konstelasi bintang. Tak lama kemudian terdengar suara yang sangat akrab di telinga Airina.
“Halo, Nona Airina…” sapa suara itu.
“Halo ARKHAM…” balas Airina dengan gembira.
“Selamat, ya. Saya senang anda menerima lamarannya.” ujar ARKHAM. “Semoga kalian benar-benar menyatu dalam ikatan yang sah.”
“Insya Allah, Arkham…” sahut Airina.
Keduanya saling berpandangan dan tak lama kemudian melepaskan senyum bersama. Senja kala itu benar-benar terasa indah bagi Airina.
* * *
Azkiya Zahra duduk menatap Akram sambari menahan tawanya. Pasalnya, baru sehari anak itu pulang bersama Ibunya, sekarang sudah muncul lagi di ruangan itu.
“Apa ibumu nggak bakal marah mengetahui kamu saban hari selalu di sini?” tukas Azkiya. “Saya benar-benar khawatir, lho…”
“Jangan khawatir, Mande. Umi sudah tahu kemana saya mendekam kalau sudah bosan dengan rutinitas hidup.” jawab Akram dengan lugas dan mengulas senyum lebar.
“Kalau Ayahmu?” pancing Azkiya.
“Kalau beliau tak perlu dipusingkan, Mande…” jawab Akram lagi dengan tenang. Azkiya hanya menggeleng-gelengkan kepala, takjub mendengar jawaban pemuda tersebut.
Tak lama kemudian, Kenzie muncul di ruangan itu dan tersenyum. Akram langsung bangkit.
“Om…” sapanya dengan santun.
Kenzie mempersilahkannya duduk. Lelaki paruh baya itu duduk di sisi istrinya. “Kok di sini lagi? Ada keperluan apa?” selidik Kenzie dengan senyum dikulum.
“Tadi anak ini datang bersama Yuki…” sahut Azkiya membuat Kenzie mengangkat alisnya.
“Oh, putri salju kita sudah pulang?” tukasnya dengan senyum dikulum, kemudian menatap Akram. “Ketemuan di mana?”
“Taman kota, Om… tadi sore…” jawab Akram.
Kenzie kemudian menatap arlojinya. “Wah, sudah waktu Maghrib nih…” ujarnya kemudian melirik istrinya.
“Sholat, yuk.” ajaknya.
“Kalau begitu, barengan saja, Om…” usul Akram.
Kenzie kemudian menyanggupi dan meminta Akram untuk menjadi imam sholat. Ketiganya kemudian sholat di ruang keluarga.
* * *
Akram mengajak Airina untuk mengisi malam dengan makan di sebuah restoran lokal. Sambil menunggu pramusaji datang, Akram menceritakan dengan jujur bahwa dia men-stalking akun media sosial gadis itu dan mengetahui perihal putusnya hubungan percintaan Airina dengan perwira polisi itu.
“Dia sudah dijodohkan dengan perempuan lain…” ungkap Airina dengan senyum hambar.
“Itu sebabnya, aku langsung diterima?” pancing Akram membuat Airina terdiam dan akhirnya menunduk. Akram sejenak tertawa, meski terdengar getir di telinga gadis itu. pemuda itu lalu menyambung.
“Biar deh, yang penting cintaku diterima. Itu sudah lebih dari cukup.” ujarnya berlagak merajuk. Airina mengangkat wajahnya menatap Akram.
“Kamu terlihat tidak begitu senang…” komentarnya dengan nada sendu. Akram menggeleng.
“Nggak juga. Cinta itu akan datang seiring dengan intensitas kebersamaan kita berdua, Yuki.” ujar pemuda itu.
“Adalah hal yang biasa jika kamu belum mampu beradaptasi denganku. Tapi yang terpenting, kamu sudah membuka hati. Aku sangat bersyukur.” sambungnya lagi.
“Terima kasih, kau mau mengerti aku.” sahut Airina dengan senyum getir.
“Kamu itu adalah bintang panduanku. Aku ke sini, karena kamu…” sambung Akram.
“Gombal!” tukas Airina dengan senyum datar.
“Kamu tahu, mengapa Ibuku bilang dia akan menunggumu di Kediaman al-Katiri?” pancing Akram.
Airina tersenyum lagi dan menggeleng pelan. Akram mengulurkan jemarinya menyentuh jemari gadis itu. wajah pemuda itu sejenak mencondong ke depan.
“Karena… Umi mau, kamu jadi anak perempuannya…” ujar Akram dengan lirih, lalu menarik lagi wajahnya dan duduk bersandar pada kursi.
“Umi Fira bisa menganggapku anaknya, jika dia mau.” timpal Airina dengan polos, membuat Akram tertawa kecil lalu menyahut lagi, memperjelas maksud ibunya.
“Maksudnya, Umi mau… kamu jadi mantunya…” jawab Akram sekali lagi membuat rona wajah Airina langsung memerah.
“Umi Fira masih punya banyak kesempatan untuk mencari perempuan yang lebih baik dari aku…” pancing Airina sambil tersenyum datar lagi. Akram menggeleng.
“Nggak. Umi itu, nggak pernah salah dengan memilih sesuatu…” ujarnya dengan nada yakin.
Airina hendak menunduk ketika dagunya ditahan oleh jemari Akram. Gadis itu kembali mengangkat wajahnya menatap pemuda di hadapannya itu. sayup-sayup terdengar senandung lagu dari sebuah band lawas yang liriknya berkisah tentang ungkapan perasaan seorang lelaki kepada oujaannya.
Hidupku tanpa cintamu… bagai malam tanpa bintang…
Cintaku tanpa sambutmu… bagai panas tanpa hujan…
Jiwaku berbisik lirih… ‘ku harus ‘milikimu…
Aku bisa membuatmu jatuh cinta kepadaku, meski kau tak cinta kepadaku…
Beri sedikit waktu biar cinta datang karena telah terbiasa…
Simpan mawar yang ku beri, mungkin wanginya mengilhami…
Sudikah dirimu untuk kenali aku dulu…
Sebelum kau ludahi aku… sebelum kau robek hatiku…
Ternyata Akram juga mendengar lirik lagu tersebut lalu tersenyum penuh arti. Pemuda itu berkata lagi.
“Kamu tahu, nggak? Lirik itu agaknya mirip benar dengan kesan pertama perjumpaan kita… sewaktu di hotel Swiss Borneo itu…” ujar Akram mengingatkan Airina Yuki pada momen insiden di kolam renang tersebut. wajah Airina seketika kembali merona. Akram tersebut.
“Aku telah menetapkan hatimu untukmu… balaslah perasaanku…” pinta Akram dengan lembut.
Airina akhirnya tersenyum lagi dan mengangguk. Akram ikut tersenyum dan mengangguk pula. Dengan wajah jenaka, kembali pemuda itu mencondongkan wajahnya ke depan.
“Kita nikah, yuk?” ajak Akram.
Airina tertawa kecil lalu mengangguk, kali ini lebih mantap. Akram tersenyum lagi. Sekali lagi lirik lagu itu menyelinap dalam gendang telinga mereka berdua…
Aku bisa membuatmu jatuh cinta kepadaku,
meski kau tak cinta… kepadaku…
Beri sedikit waktu, biar cinta datang karena telah terbiasa…
Hidupku tanpa cintamu… bagai malam tanpa bintang…
Cintaku tanpa sambutmu… bagai panas tanpa hujan…[]
Kreator : Kartono
Part 15: Warung Kopi Klotok Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]
Part 16 : Alun – Alun Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]
Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]
Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]
Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]
Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]
Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]
Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,, begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]
Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]
Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]
Comment Closed: Mendung Di Benteng Otanaha Bab 35
Sorry, comment are closed for this post.