Pesawat terbang komersial yang ditumpangi Sandiaga dan Rosemary tiba dengan selamat di Bandar Udara Djalaludin Gorontalo. Kenzie memerintahkan supir perusahaan untuk menjemput pasangan suami-istri tersebut hingga tiba dengan selamat pula di Kediaman Lasantu. Kedua orang tua itu sudah menunggu mereka di beranda.
Assalam alaikum, Ma.” sapa Sandiaga sembari mencium tangan Azkiya lalu mengecup pipi ibunya. Setelah itu, lelaki tersebut mendapati ayahnya dan melakukan hal yang sama. Kedua orang tua itu lalu menatap perempuan yang masih berdiri canggung di depan tangga.
“Rosemary Hasegawa…” ujar Sandiaga memperkenalkan istri keduanya. Perempuan itu membungkuk begitu takzim.
“Kemarilah.” panggil Azkiya dengan nada datar.
Rosemary akhirnya menaiki tangga dan berdiri di depan wanita paruh baya berkhimar panjang tersebut.
“Kono kazoku e yōukoso…(Selamat datang di keluarga ini.)” sapa Azkiya dengan senyum datarnya. Wanita itu kemudian maju memeluk Rosemary dengan pelukan hangat.
Rosemary yang mulanya canggung kini terperangah kaget dan akhirnya terbawa perasaan. Tanpa sadar, wanita itu menumpahkan air matanya dalam tangisan lirih, tak menyangka mendapat penyambutan yang baik di keluarga suaminya.
“Gomennasai… gomennasai… (Maafkan saya… maafkan saya).” ujar Rosemary dengan lirih. wanita itu dilanda rasa bersalah yang besar karena menjadi biang keladi dari terbunuhnya anggota keluarga mertuanya. Azkiya melepaskan pelukannya dan menghapus air mata yang membanjiri pipi Rosemary.
“Jangan sedihkan hatimu…” pintanya dengan lembut.
Kenzie menyahut pula. “Bagi kami, kalian tiba dengan selamat di sini, merupakan hal yang paling kami syukuri.”
Rosemary menatap Ayah mertuanya dan kembali membungkuk dengan takzim. Kenzie tertawa lalu meminta Rosemary menegakkan tubuhnya.
“Mulai sekarang, kau tak boleh membungkukkan tubuh seperti itu di rumah ini. Kau adalah istri dari putraku, maka kau adalah putriku pula.” ujar Kenzie lalu menatap Sandiaga.
“Mari, kita masuk.” ajaknya.
Keempat orang itu memasuki rumah. Kini anggota keluarga Lasantu bertambah satu. Namun, status pernikahan Rosemary dan Sandiaga masih dirahasiakan sampai tiba pada waktunya Sandiaga mengungkapkannya pada keluarga Ali.
* * *
Inayah yang sementara sibuk mengamati sarang perjudian bersama kawanan Tim Buser Coyote Cobrone di kawasan Jalan Tengah, tiba-tiba saja mendapat panggilan kembali ke markas.
“Hanya Bos yang disuruh pulang. Kalau kitanya, nggak.” ujar Briptu Heri yang masih sibuk menyetel pistol G2 Combatnya sembari memeriksa majalah.
“Tapi, kalian nggak apa-apa nih, ditinggal sendiri?” tukas Inayah dengan perasaan tak enak.
“Sudah, Bos Iyun pulang dulu sana, gih… itu Bos Besar lagi nunggu!” sela Bripda Anton.
Inayah menyimpan kembali Raging Bull revolver-nya ke dalam holster. Sebelum pergi, polwan berpangkat Brigadir Kepala Kepolisian itu memesan timnya untuk tetap melaporkan perkembangan. Setelah kepergian Inayah yang menumpangi angkutan umum, Briptu Heri menatap Bripda Anton.
“Kira-kira apa yang akan disampaikan Bos Besar, ya?” pancing opsir itu kemudian menyimpan pistolnya di holster dan menarik kokang senapan SSV01 Sabhara miliknya.
Semua personil Coyote Cobrone hanya mengangkat bahu menjawab pertanyaan salah satu rekannya.
* * *
TUK…TUK…TUK…
Trias diam dalam keheningannya. Sandiaga tanpa menutupi apapun, menceritakan segala latar belakang peristiwa yang menimpa kehidupannya, termasuk kematian Takagi sekeluarga dan tafsir mimpi yang dialami Inayah beberapa waktu lalu kepada sang Abah tanpa merubahnya sedikit pun. Lelaki paruh baya itu sejenak menghela nafas prihatin.
“Abah nggak nyangka, Takagi harus gugur untuk itu. Tidak ada lagi saudara kandung ibumu yang tersisa kini.” ujar Trias sembari mengetuk-ngetukkan ujung telunjuknya ke permukaan meja kerjanya.
“Abah…” sahut Sandiaga membuat Trias mengangkat wajah menatap menantu kesayangannya itu.
“Apakah Abah… marah dengan pernikahan politik yang terjadi antara aku dengan anak dari Naikaku Shorin Daijin?” pancing Sandiaga.
Sejenak Trias kembali menghela napas panjang, lalu akhirnya lelaki paruh baya itu tersenyum hambar.
“Abah tidak punya hak untuk menjawab pertanyaanmu itu, Nak…” ungkap Trias. “Tapi, Abah memahami alasan di balik pernikahan politik yang terjadi antara kau dengan pihak keluarga Hasegawa. Itu bisa Abah terima…”
“Terima kasih, Abah…” desis Sandiaga dengan lirih penuh rasa lega. Trias kembali menarik napas panjang dan menghembuskannya.
“Hanya saja, Abah khawatir kalian bertiga tidak akan mampu menjalani kehidupan dimana cinta harus dibagi sama rata satu sama lain…” ujar Trias kemudian.
“Saya akan mempersiapkan diri saya untuk itu, Abah.” jawab Sandiaga dengan mantap.
“Bukan kamu saja yang harus siap…” sahut Trias. “Namun, kedua istrimu juga harus mempersiapkan diri, terutama Iyun.” ujarnya dengan nada menekan. “Dan, kau bertanggung jawab penuh untuk itu, San…”
“Ya, Abah…” sahut Sandiaga.
Trias kembali mengangguk-angguk. Sejenak keheningan tercipta diantara mereka. Sandiaga kembali menatap ayah mertuanya.
“Abah…” pancing Sandiaga lagi.
Trias menatap lagi menantunya dan mengangkat alisnya. Sejenak Sandiaga menimbang-nimbang. Lelaki itu akhirnya bicara lagi.
“Abah… aku… masih anaknya Abah, kan?” pancing Sandiaga dengan gundah.
Mendengar kalimat yang terdengar trenyuh itu, Trias tertawa lalu bangkit meninggalkan meja kerjanya lalu melangkah dan duduk di sofa disisi lelaki tersebut. Tangan sang perwira itu terulur dan mengelus lembut bahu pemuda itu.
“Tak peduli apapun yang terjadi…” ujar Trias dengan tulus. “Kau tetaplah anak kesayanganku…” tandasnya dengan lembut penuh ciri khas seorang ayah yang ngemong.
“Terima kasih, Abah…” sahut Sandiaga lagi dengan haru.
TOK! TOK! TOK!
“Masuk!” seru Trias dengan lantang.
Pintu ruangan terbuka dan masuklah Inayah. Tatapannya sejenak terarah kepada Ayahnya. Namun, begitu tatapannya beralih menatap sosok di sisi Ayahnya, seketika membekulah tubuh polwan tersebut.
“Ayang…” desisnya dengan lirih.
“Kamu nggak merindukan suamimu ini?” pancing Trias dengan senyum penuh arti.
Perlahan air mata kerinduan itu merembes jatuh membasahi pipi polwan tersebut. Namun, Inayah masih tetap tegak di tempatnya karena masih terikat dengan tata krama seorang polisi yang menghadap kepada pimpinannya. Trias kemudian bangkit.
“Aku berikan kesempatan bagi kalian berdua untuk… ah, sudahlah…” Lelaki itu melangkah meninggalkan ruangan tersebut. Sepeninggal pejabat tersebut, Inayah seketika menghambur ke arah suaminya. Keduanya berpelukan begitu erat.
“Jahat! Jahat! Ayang jahat!” sergah Inayah dengan lirih dipenuhi emosi yang memuncak. Polwan itu memukuli lengan suaminya. “Ayang nggak memberitahuku kalau Ayang sudah tiba! Ayang biarkan aku dalam kesepian! Ayang jahat! Jahat!”
Sandiaga membiarkan sang istri melampiaskan emosi kerinduannya. Setelah puas menumpahkan rasa rindu, Sandiaga menjelaskan kepulangannya. Inayah menatap perban kasa yang menempel di mata kiri suaminya.
“Ayang? Kenapa mata kirinya?!” pekik Inayah dengan kaget.
“Resiko menjadi petarung…” kilah Sandiaga.
“Apakah itu permanen?” tukas Inayah.
Sandiaga hanya mengangguk lalu menukas, “Apakah setelah ini, kamu malu punya suami bermata satu?”
Inayah menggeleng dan kembali memeluk suaminya lalu memagut bibir Sandiaga dengan penuh birahi. Lelaki itu gelagapan.
“Yun, ini pagutan mesra, atau mau memangsa, sih?” tegur Sandiaga setelah berhasil melepaskan diri dari kecupan istrinya.
“Dua-duanya!” seru Inayah memelototkan matanya. “Aku segini rindunya sama Ayang!”
Tak lama pintu kembali terbuka dan masuklah Trias. “Kurasa untuk saat ini, adegan mesranya bisa ditunda dan dilanjutkan di rumah saja! Sekarang kalian berdua enyah dari sini! Cepat!” hardik Trias meskipun seulas senyum tetap terbit di bibirnya.
“Ayang, cabut yuk.” ajak Inayah langsung menarik tangan Sandiaga meninggalkan ruangan itu.
* * *
Airina Yuki sedang sibuk meneliti semua dokumen yang disodorkan Dewinta Basumbul kepadanya. Sekretaris itu sesekali memaparkan segala apa yang tercantum dalam dokumen ketika Airina menanyakannya.
KRIIIINGGGG…. KRRRIIIINGGG…
Bunyi deringan telepon menjeda kegiatan itu. Airina meraih gagang telepon dan mendekatkannya ke telinga.
“Ya?” sahutnya.
“Bu., seseorang bernama Akram al-Katiri datang hendak menemui anda. Katanya sudah ada janji…” ujar resepsionis tersebut.
“Suruh langsung ke ruanganku.” pinta Airina kemudian mengakhiri pembicaraan dan meletakkan gagang telepon ke tempatnya. Dewinta Basumbul tersenyum.
“Kalau begitu, saya permisi dulu, Bu…” ujarnya mohon pamit disertai senyum penuh arti.
Airina hanya tersenyum pula dan mengisyaratkan sekretaris itu agar segera menyingkir. Dewinta melangkah meninggalkan ruangan dan bertemu dengan Akram di koridor. Pemuda itu sejenak menyapanya lalu melangkah masuk ke ruangan Airina.
“Ini… ku kembalikan…” ujar Akram menyodorkan kunci mobil kepada Airina.
Gadis itu bangkit dari kursinya, memutari meja kerja dan melangkah mendekati Akram. Tiba-tiba, Airina langsung maju memeluk pemuda tersebut.
“Merindukanku, ya?” goda Akram dengan senyum terulas.
“Habis apa?” jawab Airina sembari memelototkan mata.
“Aku juga sama deh…” timpal Akram.
Keduanya masih berpelukan di ruangan itu. Akram mengamati keadaan di ruangan kerja Airina, lalu kembali menatap gadis itu.
“Apakah kita berdua harus tetap seperti ini?” pancing Akram dengan senyum nakalnya. Airina hanya mengangguk lalu menatap kekasihnya sambil mengulas senyum. Akram hanya mengangkat bahu.
“Baiklah, terserah kamu saja…” jawab Akram sambil tersenyum. Keduanya kini terlihat mulai berdansa meski tanpa alunan musik.
“Apakah kau akan lama di sini?” tanya Airina.
“Mungkin sampai Umi menegurku untuk pulang.” jawab Akram seenaknya lalu tertawa kecil.
“Anak nakal!” komentar Airina mendesah.
Keduanya saling mendekatkan wajah dan akhirnya mempertemukan bibir dalam irama memagut sambil terus bergerak dalam dansa tanpa musik. Airina memejamkan mata meresapi perlakuan Akram yang berhasil menenggelamkannya dalam lautan kemesraan yang membuncah, hingga akhirnya…
SWIIIINGGGG…
KRAP!!!!
Sekeping benda melesat dengan kecepatan penuh mengincar posisi sepasang kekasih yang masih larut dalam dansa tanpa irama itu. dengan kecepatan penuh pula, tangan Airina terulur dan menangkap benda tersebut tanpa memandang.
Ternyata hasil tangkapannya adalah sekeping shuriken delapan mata khas perguruan Koga. Akram yang baru saja menyadari, terlonjak kaget dan langsung syok.
“Yuki…” desis pemuda itu dengan gemetar dan pias. Kembali tatapan pemuda itu mengitari sekitaran ruangan. Tidak ada siapapun di sana, hanya mereka berdua. Lalu, dari mana gerangan senjata itu melesat?
“Aku tahu, Nii-Chan di sini!” sergah Airina dengan datar. “Tampakkan saja wujudmu!”
“Kalau tak ada kamu, pemuda itu pasti sudah mati!” komentar seseorang membuat Akram langsung berbalik menatap ke sofa.
Pemilik suara itu duduk tenang di sofa sambil menyilangkan kakinya dan melipat tangan ke dada. Matanya yang tinggal satu menatap tajam ke arah Akram. Airina mendesah dan melepaskan pelukan.
“Perkenalkan, ini kakakku, Sandiaga Hermawan Lasantu…” ujar Airina sembari menarik napas panjang. Sandiaga tersenyum sinis lalu menyambung.
“Atau kau boleh memanggilku, Saburo Koga… ogashira klan Ninja Koga, atase militer ketiga Klan Shigeno.” ujarnya.
Akram tersenyum canggung. Pemuda itu maju mengulurkan tangannya. “Kalau begitu, perkenalkan saya… Akram William al-Katiri… dari Padang.”
Sandiaga lalu bangkit dan balas menjabat tangan pemuda tersebut. Namun, tatapan tajamnya yang sudah dialiri jurus karasu tengu no shisen begitu kuat mengintimidasi lawan bicaranya.
“Sudah cukup kalian berdua saling tatapan seperti itu…” tegur Airina melepaskan jabatan tangan kedua lelaki tersebut. Dengan sinis, ditatapnya Sandiaga.
“Pemuda ini bukan petarung seperti Nii-Chan.” tegur Airina lagi. “Jangan memandangnya begitu rupa.”
“Aku hanya ngetes saja, kok…” kilah Sandiaga lalu menatap adiknya. “Kenapa kau segitunya membela lelaki ini? Kau menyukainya?! Hm?!”
“Kalau iya? Kenapa?!” tantang Airina.
“Wow… Wow… Wow…” lerai Akram. Pemuda itu menatap kakak beradik itu bergantian. “Bolehkah hal ini ditunda dulu? Saya nggak mau menjadi penyebab keretakan persaudaraan.”
Sandiaga balas kembali menatap Akram. Mata kanannya masih dipenuhi aura genjutsu karasu tengu no shisen. Akram yang ditatap segitu rupa kembali menjadi canggung.
“Kubilang jangan mengintimidasinya!” sergah Airina mendorong dada Sandiaga. Lelaki itu menatap nyalang adiknya.
“Kau siap bertempur demi dia?!” sergah Sandiaga.
“Aku akan mempertaruhkan apapun! Demi dia!” balas Airina tak mau kalah.
“Kalau begitu, aku akan menunggumu di Dojo!” tandas Sandiaga. “Jika kau menang, kau boleh mengambil pialamu!” sambungnya sembari menudingkan telunjuknya ke wajah Akram.
“Lho? Kok aku jadi pialanya?!” protes Akram.
Kedua kakak beradik itu sontak menatapi Akram dengan tajam. Kini Airina ikut-ikutan mengerahkan jurus karasu tengu no shisen. Pemuda itu akhirnya mendesah lemah.
“Kalau begini, aku pulang saja ke Padang, deh!” rajuknya setengah mengancam. Sandiaga hanya tersenyum sambil mendengus.
“Kau menang kali ini, boy…” wajah lelaki bermata satu itu condong ke depan, nyaris se-inchi di depan wajah Akram.
“Awas! Kalau kau berani melukai hati adikku…” ancam Sandiaga disertai geraman lirih. “Aku akan mengulitimu hidup-hidup!”
Setelah mengancam, Sandiaga pergi meninggalkan sepasang kekasih itu. Airina mendekati Akram yang menyeka peluh di wajahnya.
“Nggak usah dengarkan gertakannya…” ujar Airina.
“Apa dia benar-benar seorang ninja?” ujar Akram dengan lirih. Airina tersenyum saja mendengar ucapan pemuda itu.
“Semua anggota keluarga Lasantu, kecuali Papa, adalah praktisi ninjutsu, aliran Koga Koryu Bujutsu milik Keluarga Mochizuki…” jawab Airina membuat Akram langsung menoleh menatap kekasihnya dengan mata yang membulat besar, pemuda itu syok!
* * *
Kedatangan Inayah ke Kediaman Lasantu benar-benar tak disangka! Meski begitu, Azkiya tetap menyambutnya. Bagaimana pun Inayah adalah istri resmi dari putranya. Wanita paruh baya berkhimar itu hanya khawatir jika Inayah bertemu Rosemary, tentu akan menyulut kecurigaan.
“Bagaimana kabarmu? Apa pekerjaanmu lancar?” sambut Azkiya sambil mengajak menantunya duduk di sofa beranda itu.
“Lancar, Ma.” tandas Inayah penuh kegembiraan. “Apalagi Ayang sudah pulang. Tambah semangat aku kerja!”
Azkiya hanya tersenyum menanggapi kegembiraan polwan tersebut. Tak lama kemudian, Rosemary muncul di beranda membawa baki berisi minuman dan cemilan.
Senyum Inayah langsung sirna mengetahui ada anggota baru dalam keluarga suaminya, tanpa sepengetahuannya. Sebagai anggota kepolisian, naluri kecurigaannya langsung terbit.
Ini siapa, Ma?” tanya Inayah kembali menerbitkan senyum, meski terlihat agak datar. Rosemary telah meletakkan makanan dan minuman itu di meja.
“Anggota keluarga… kerabat keluarga Mochizuki…” jawab Azkiya dengan tenang. Inayah menatap Rosemary.
“Anatahadare? (Siapa namamu?)” tanya Inayah.
“Watashi no namae wa… Rosemary desu…(Nama saya, Rosemary).” jawab Rosemary dengan santun dan membungkuk sedikit. Kecantikan wajah Rosemary membuat Inayah tersulut cemburu. Ditatapnya ibu mertuanya.
“Kok Ayang nggak bilang kalau punya sepupu segini cantiknya di Jepang, ya?” tukasnya.
“Tabun sore wa hontōni mondaide wa arimasen… (Mungkin dia tidak merasa hal itu terlalu penting)” kilah Rosemary dengan senyum canggungnya.
Kini, Rosemary dapat dengan jelas melihat dan mengamati siapa istri lelakinya itu. Penampilan Inayah menerbitkan wibawa yang kuat, tak mampu diantisipasi oleh Rosemary. Wajahnya yang mirip raut wajah perempuan partia sedikitnya menandingi kecantikan khas yayoi dari Rosemary. Perempuan itu meneguk ludahnya dengan gugup.
“Perkenalkan aku, Inayah Amalia Ali… menantu keluarga Lasantu.” ujar Inayah dengan datar dan menatap tajam ke arah Rosemary.
Rosemary hanya membungkuk takzim lalu memohon pamit kembali ke dalam rumah. Kepergiannya dibuntuti terus oleh tatapan tajam polwan itu. Sedikit kecurigaan mulai menyusup hatinya.
“Schnucky? Kok kamu ada di sini?” tanya suara di halaman beranda. Inayah menatap kesana, menemukan Sandiaga yang menaiki tangga sembari menatapnya dengan heran.
“Aku merindukan Papa sama Mama.” kilah Inayah dengan senyum menggodanya.
“Kukira, kamu mencariku…” balas Sandiaga dengan senyum nakalnya. Lelaki itu kemudian duduk di sisi istrinya.
“Sedikit…” timpal Inayah, kemudian sejenak menatap ke dalam rumah lalu kembali memandang suaminya. “Habis dari rumah. Kamu kemana, sih?”
“Aku ke Buana Asparaga, menemui Yuki…” jawab Sandiaga. “Tak tahunya, aku ketemuan dengan seorang laki-laki di sana…”
“Seseorang berpakaian dinas?” tebak Inayah.
“Nggak…” jawab Sandiaga lalu menjelaskan penampilan orang tersebut. Azkiya tersenyum. Rupanya Akram datang menyambangi putrinya di tempat kerjanya.
“Kamu nggak bilang ke aku, kalau kau punya sepupu perempuan…” tukas Inayah tiba-tiba dengan tatapan selidiknya. “Apakah dia memang sepupumu?”
Sandiaga tersenyum datar, sejenak mengerling ke arah ibunya, lalu kembali menatap istrinya.
“Menurutmu?” pancing Sandiaga.
“Kok, lebih mirip selirku?” tukas Inayah membuat Azkiya sedikit terhenyak dan Sandiaga terdiam. Lelaki itu sejenak menarik napas lalu menunduk sesaat. Setelah itu, dia kembali menatap Inayah.
“Begitukah?” tukas Sandiaga.
Seketika Inayah tertawa, “Nggak! Bercanda! Serius amat?!” oloknya seraya menjawil ujung hidung suaminya. Sandiaga kembali tersenyum.
“Kalau misalnya, iya?” pancing lelaki itu seraya mengangkat sebelah alisnya dan mencondongkan wajahnya ke dekat Inayah, memamerkan senyum nakalnya.
“Boleh saja…” sahut Inayah. “Tapi, anak dari perempuan itu nggak boleh mewarisi marga Lasantu, atau Mochizuki!” tandas polwan tersebut. Sandiaga menarik wajahnya, sedang Inayah sejenak berpikir lagi lalu menatap suaminya.
“Tapi, dia bukan selirku, kan?” tukas Inayah.
Sandiaga hanya melemparkan senyum penuh arti. Inayah menghela nafas sejenak lalu bangkit.
“Yang, aku balik ngantor lagi, ya.” ujar Inayah kemudian mencium tangan suaminya dengan takzim. Setelah memeluk Azkiya dengan lembut, polwan itu kembali meninggalkan beranda tersebut dan mobil Roll-Royce itu bergerak meninggalkan Kediaman Lasantu. Sepeninggal Inayah, Azkiya menghela napas dan menatap putranya.
“Sekarang kamu tahu, kan? Bagaimana perasaanmu saat terjepit di antara dua perempuan?” tukasnya. Sandiaga kembali tersenyum meski terkesan hambar.
“Setidaknya, aku sudah menjelaskan semuanya sama Abah…” tangkisnya, membuat wanita paruh baya berkhimar panjang itu mengerutkan alisnya.
“Lalu, bagaimana tanggapan beliau?” tanya Azkiya.
“Abah meminta aku mempersiapkan mental dan diriku untuk menghadapi hal-hal yang tidak mengenakkan di kemudian hari…” jawab Sandiaga kemudian menghela napas lagi. “Aku masih mencari cara bagaimana menjelaskan status Rosemary kepada Inayah…”
* * *
Trias mengundang Kenzie di sebuah kafe. Sambil menikmati minumannya, lelaki itu menatap sahabatnya.
“Kamu tentunya sudah tahu permasalahan ini…” pancing Trias lalu kembali menyeruput kopi dari sisi cangkir.
“Tentang anak dari Perdana Menteri itu?” tebak Kenzie. Trias mengangguk. Kenzie sejenak menghela napas lalu menjelaskan.
“Aku nggak bisa berbuat apa-apa. Bagaimana pun, Kanai-Chan dan keluarganya memang merupakan salah satu dari tiga keluarga yang mendirikan Klan Shigeno… itu hanyalah sebuah pernikahan politik…” tangkisnya.
“Pernikahan, apapun motifnya, keduanya sudah sah sebagai suami-istri…” sahut Trias. “Sandiaga, kini adalah seorang lelaki beristri dua…”
“Kamu juga punya istri dua, kan?” tangkis Kenzie.
“Beda Ken… Aku menikahi Ipah kan karena Iyun sudah wafat.” Balas Trias mengerutkan alisnya. Kenzie terdiam dan hanya bisa menarik napas. Trias kembali melanjutkan ucapannya.
“Aku khawatir keadaan ini akan membuat harmoni yang terjalin antara Inayah dan Sandiaga akan terganggu dengan kehadiran Rosemary.” gumam Trias.
“Aku minta maaf atas kelalaianku sebagai orang tua…” ujar Kenzie menatap sahabatnya. Trias menggeleng.
“Kamu nggak salah, Ken…” bantah Trias. “Keluarga kita hanya terjebak dalam situasi simalakama… dan itu berimbas pada kehidupan rumah tangga mereka bertiga kelak…”
“Aku hanya kasihan terhadap putraku. Semuda itu, dia harus terseret dalam arus politik yang tidak dipahaminya sama sekali… menjadi tumbal atas kesepakatan kerjasama atas dasar kepentingan dari dua lelaki yang sama-sama haus akan kekuasaan.” ujar Kenzie membuat Trias kembali menghela napas dan menyeruput kembali sisa minuman-nya.
* * *
Sandiaga duduk di sisi ranjang, sementara Rosemary duduk di kursi. Lelaki itu melepaskan perban kasa. Luka itu menjadi permanen meninggalkan luka codet memanjang vertikal yang menyeberangi alis hingga ke pipi kiri Sandiaga.
“Sekarang kau sudah bertemu dengan Inayah…” ujar Sandiaga sembari mengamati wajahnya di cermin. “Bagaimana pendapatmu tentang dia?”
Rosemary sejenak melengos. “Kalau tahu pembawaannya kuat sekali, aku lebih baik memilih pulang dan tinggal saja di Shiga, di kediamanmu itu…” omel wanita itu dengan pelan. Rosemary kemudian menatap suaminya.
“Kamu juga nggak bilang kalau profesinya itu polisi!” tukas Rosemary sembari mendengus dan melengos lagi.
“Ngapain aku bilang?” sahut Sandiaga kemudian menegakkan dirinya. Lelaki itu menatap istri keduanya. “Mulai saat ini, berlakulah sebagaimana biasanya. Ingat, kau itu tetaplah istriku, meski pernikahan kita dilandasi perjanjian politik antara dua keluarga…”
“Aku tahu…” timpal Rosemary dengan lirih.
“Bagus…” respon Sandiaga lalu meletakkan cermin di sisi nakas dan menatap Rosemary.
“Sekarang… serahkan dirimu…” ujar lelaki itu. “Aku menuntut hakku sebagai seorang suami…”
Rosemary sejenak menatap Sandiaga lalu kembali melengos. Lelaki itu tak sekalipun mengalihkan tatapannya. Rosemary akhirnya mendesah lalu bangkit berdiri.
“Iya deh…” ujarnya pasrah dan membuka semua pakaiannya hingga tiada satupun yang tersisa. Sandiaga terpantik birahinya menatap pemandangan yang indah. Wajah Rosemary yang cantik, sepadan benar dengan lekuk tubuhnya yang begitu ideal.
“Dasar… debt collector…” sindirnya sembari memeluk payudara-nya yang berukuran B.
Sandiaga tersenyum mendengar kata ejekan itu. lelaki itu kini bangkit sembari menanggalkan pakaiannya hingga bugil seluruhnya. Seketika Rosemary terhenyak kaget menatap pemandangan yang tak biasa saat lelaki itu kini berada tepat di hadapannya.
Sandiaga hanya tertawa. Lelaki itu maju dan menggendong istrinya ke ranjang. Disusul dengan suara pekikan Rosemary yang memecah keheningan malam.[]
Kreator : Kartono
Part 15: Warung Kopi Klotok Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]
Part 16 : Alun – Alun Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]
Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]
Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]
Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]
Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]
Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]
Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,, begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]
Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]
Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]
Comment Closed: Mendung Di Benteng Otanaha Bab 36
Sorry, comment are closed for this post.