KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Cerita Anak
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Mendung di Benteng Otanaha Bab 5

    Mendung di Benteng Otanaha Bab 5

    BY 05 Sep 2024 Dilihat: 15 kali
    RENDESVOUS DI TEMPAT REUNI_alineaku

    RENDESVOUS DI TEMPAT REUNI

    Tangga Dua Ribu, Tenilo…

    Sandiaga Hermawan Lasantu duduk santai disebuah hamparan beton mirip ampiteater. Tatapannya terarah ke bentangan perairan Teluk Tomini yang berombak pelan. Angin laut menghembus mengibar-kan rambut lurusnya mengikuti kemana saja arah angin itu bertiup. Pemuda itu membiarkan rambut panjangnya terurai dan melambai bagai panji perang yang dikibarkan angin pantai. 

    Lelaki itu lalu merogoh saku kemejanya mengeluarkan bungkus rokok. Dia mengeluarkan sebatang rokok lalu menjepitnya dengan bibirnya. Lelaki itu lalu menyulut rokok itu dan menyesap asap dari batangan tembakau itu dengan nikmat. Didepan lelaki itu tergeletak sebuah tas kresek besar berisi kaleng-kaleng minuman dan beberapa cemilan.

    Terdengar langkah sepatu mendekat, namun Sandiaga berlagak tak peduli. Dia tahu siapa yang datang. Sosok pemuda muncul lalu duduk di sisi Sandiaga.

    “Nah, ma ilotapu’u yi’o (ketemu juga kau)…” seru lelaki itu.

    Sandiaga hanya tersenyum tanpa menoleh. Lelaki itu memutar dan berdiri dihadapan Sandiaga. Penampilan lelaki itu tak pernah berubah sejak masa sekolah. Yang paling unik adalah celananya yang menggantung sampai ke atas perut dan dijepit oleh tali suspender. Kumis gaya kaiserbart juga masih setia menggantung di bawah hidung-nya. Lelaki itu adalah Ardiansyah Raga, biasa dipanggil Ardhie.

    “Lama nggak ketemuan, eh malah nyuruhnya kesini…” omel Ardhie. Sandiaga masih saja cuek. Lelaki tersebut lalu berujar lagi. 

    “Ayo, sekarang… kita teruskan lagi…” ajaknya, membuat  Sandiaga akhirnya mengangkat wajah, mengamati Ardhie. 

    “Kelihatannya, sampai sekarang kamu masih saja bego, ya?” komentar pemuda itu. Alis Ardhie langsung mencuat. 

    “Ah? Kenapa?” tanya Ardhie dengan wajah keruh.

    “Padahal memang goblok!” sambung Sandiaga sambil tersenyum. Ardhie langsung mendengus kesal.

    Te Huma’apa tiii, enak saja ngomong goblok-goblok… bego-bego…” omelnya, “Kan bisa kelihatan orang bego?!” 

    Sandiaga tersenyum lagi membuat Ardhie mengumpat. “Bego kau!” semburnya sambil bercakak pinggang.

    “Yang bego itu siapa?” tangkis Sandiaga mengerutkan alis dan menegakkan tubuhnya.

    “Lihat dulu dong, begoan siapa?” tukas Ardhie makin kesal sambil membungkuk mencondongkan tubuhnya ke depan Sandiaga dan menuding-nuding pemuda tersebut. “Kamu, atau saya?!”

    “Kan…” kilah Sandiaga hendak menjelaskan, namun keburu disela oleh Ardhie.

    “Blo’on kau!” semburnya sekali lagi. Sandiaga hanya tertawa lalu menyuruh Ardhie duduk. Namun lelaki itu menolak.

    “Sudah, nggak usah banyak bicara!” semburnya lagi. “Terusin! Ayo…” ajaknya kemudian duduk di sisi Sandiaga.

    “Lho? Terusin-terusin… terusin apa nih?” tukas Sandiaga.

    “Eh, pertandingan kita berdua belum selesai, pilotepa lo pombolu-mu?! Ayo, kita lanjutkan kembali pertandingan kita!” ajak Ardhie me-nantang teman masa sekolahnya itu. Sandiaga menghela napas dan menggelengkan kepala beberapa kali lalu berdecak.

    “Ck,ck,ck Ardhie, kamu itu selalu saja kalah dariku… masih mau maksa juga?” tukas Sandiaga dengan takjub.

    “Nggak usah ngomong lah… yang penting… ayo, terusin…” desak Ardhie, memaksa lalu tersenyum jenaka. Kumis kaiserbart miliknya lebih membuat penampilannya mirip kombinasi Charlie Chaplin dengan salah satu mendiang pelahar tersohor Indonesia jaman dulu.

    “Eh, aku nggak bawa apa-apa ini…” tangkis Sandiaga. “Aku hanya bawa ini…” ujarnya memperlihatkan tas berisi beberapa kaleng minum-an dan beberapa bungkus cemilan.

    “Alaaahhh… banyak akal!” sembur Ardhie sekali lagi dengan wajah tak puas. “Pakai apa kek, yang penting, duit…” ujarnya memper-lihatkan jempol yang digesek-gesek oleh telunjuk. Sandiaga hanya melengos. Ardhie menyambung. 

    “Yang sudah terpendam, pasti keluar lagi…” tambahnya.

    “Kamu… mau nantang aku lagi?” tukas Sandiaga mengangkat alis kanannya.

    “Jelas! Bagaimana nguber-nguber kalau nggak mau nantangin kamu?!” tandas Ardhie dengan mantap. Sandiaga menghela nafas sejenak lalu menghembuskannya. 

    “Ya, baiklah… kalau itu keinginanmu…” lelaki itu kemudian membetulkan letak duduknya.

    Keduanya kini duduk berhadapan diatas bangku beton tersebut. Tas kresek berisi kaleng-kaleng minuman dan cemilan itu diletakkan Sandiaga dilantai.

    “Begini saja… kita pakai saja, asah otak…” usul Sandiaga.

    Ardhie mengerutkan alisnya sejenak lalu menegur. “Eh, kita ini mau judi… bukan asah-asah otak!” omelnya. “Jatuh saja benjol segala, pakai asah-asah otak… sudah meringis…”

    “Maksud saya itu… kita pakai Enigma playing game…” usul Sandiaga kemudian. 

    “Apa itu… Enigma… playing games?” tukas Ardhie.

    “Agakan, ancar-ancaran, penaksiran… tebak-tebakan.” tutur Sandiaga menyebutkan semua persamaan kata dari terminologi kata yang disebutkannya tadi. Sejenak Ardhie terdiam berpikir lama lalu menatap temannya. Sontak sedetik kemudian, Ardhie menguak.

    “Kamu kira, aku ini anak kecil?!” omelnya lagi. “Pakai tebak-tebakan judi! Apaan sih?”

    “Iya… kita memang berjudi, tapi pakai tebak-tebakan…” tandas Sandiaga dengan wajah serius. 

    “Kenapa pakai tebak-tebakan?” tanya Ardhie, bingung.

    “Kan aku nggak bawa kartu domino atau remi, ya… kita main tebak-tebakan saja… anggap saja lagi main judi… bagaimana?” pancing-nya lagi dengan senyum misteriusnya.

    “Oh… yang dimaksud judinya itu… tebak-tebakan?” ujar Ardhie pada akhirnya. Sandiaga mengangguk.

    “Kalau kau menjawab benar, maka kau menang… kalau jawab-anmu salah… maka kau kalah…” ujar Sandiaga lagi dengan serius.

    “Yeee… semua juga tahu!” timpal Ardhie tak sabar. “Kalau jawab benar, menang. Kalau jawab salah, yah kalah…”

    “Berani nggak?” tantang Sandiaga.

    “Jadi!” seru Ardhie mantap merogoh sakunya dan meletakkan selembar dua puluh ribu rupiah ke bangku beton. Sandiaga mengambil dompet dan mengeluarkan isinya, selembar uang dua puluh ribuan pula dan meletakkannya di bangku beton.

    “Nah… sekarang peraturannya nih…” ujar Sandiaga sedikit men-condongkan tubuhnya ke depan. Ardhie menatapnya dengan serius. Sandiaga kemudian menyambung perkataannya. 

    “Kalau kamu menjawab, setan… berarti kamu menang…” ujarnya dengan tenang.

    “Lho? Kok sudah ada jawabannya?” protes Ardhie langsung curiga. Sandiaga menegakkan tubuhnya. 

    “Kamu masih berani, nggak?” tantangnya lagi.

    “Tentu saja!” tandas Ardhie, tersinggung.

    “Kalau kau menjawab selain kata ‘setan’…maka kau kalah!” pungkas Sandiaga mengakhiri kata-katanya.

    Seketika Ardhie tersenyum lebar. “Wah, kalau begitu, enak dong!” komentarnya. “Berarti, aku menang sekarang!”

    Sandiaga hanya terkekeh saja mendengar komentar kawannya. Ardhie menjelaskan analisanya.

    “Sekarang coba kau bayangkan…” ujar Ardhie. “Kalau aku men-jawab, ‘setan’ … berarti aku menang… kalau aku menjawab yang lain, berarti aku kalah…”

    “Nah… paham juga kau…” olok Sandiaga.

    “Kenapa harus jawab yang lain?” tukas Ardhie dengan senyum lebar. “Jawab ‘setan’ saja…”

    “Belum tentu…” tangkis Sandiaga.

    “Oke… ayo!” tandas Ardhie dengan gembira.

    “Baik… ini pertanyaan pertama…” ujar Sandiaga. Ardhie langsung memasang tampang siapnya.

    “Makanan kamu, apa Dhie?!” tanya Sandiaga dengan pelan dibarengi senyum jahilnya. Seketika Ardhie terdiam. Lelaki itu tertohok.

    “Kalah…” seru Sandiaga menudingkan telunjuknya ke wajah Ardhie sambil tertawa.

    “Kok sampai ke situ sih pertanyaannya?” protes Ardhie.

    “Sudah, jawab saja…” pinta Sandiaga sambil tertawa. 

    “Makananmu apa, Dhie?” ulangnya. Sejenak Ardhie tertawa hambar. 

    “Gampang-gampang susah ya?” komentarnya, membuat Sandiaga kembali tertawa cekikikan. Ardhie kemudian diam dalam pemikirannya.

    “Makananmu, apa Dhie?!” ujar Ardhie mengulang pertanyaan temannya. Kemudian lelaki itu menjawabnya sendiri. “Berhubung ini lagi main judi… aku takut kalah… mau nggak mau, ya… makan setan!”

    Ardhie lalu tertawa puas sambil meraup uang di bangku beton itu. Sandiaga menyergahnya.

    “Kamu mau belajar modayango?!” sergahnya.

    “Itu terserah pada yang maunya… yang penting, setan!” balas Ardhie sambil tertawa gembira karena berhasil mengalahkan lawannya.

    “Wahhh… kamu menang ya?” komentar Sandiaga berlagak pura-pura kesaL, padahal dalam hatinya, pemuda itu tertawa.

    “Ya, menang saya…” sahut Ardhie. “Salahmu sendiri ngasih tahu jawabannya… kan jadi blunder akhirnya.”

    “Lagi? Nih… empat puluh ribu!” seru Sandiaga mengeluarkan dua lembar uang dua puluh ribuan dan meletakkannya di bangku beton.

    “Jadi!” sahut Ardhie tak kalah gembira.

    “Ini uang sekarang jadi berapa Dhie?” tanya Sandiaga.

    “Jadi… delapan puluh ribu…” jawab Ardhie dengan jumawa.

    “Kalau kamu menang nanti, kamu mau buat apa Dhie?” pancing Sandiaga dengan senyum licik.

    “Kalau saya menang judi nanti… saya mau makan-makan.” jawab Ardhie dengan mantap.

    Seketika, Sandiaga meraup seluruh uang itu dan menyimpan semuanya disaku kemejanya. Ardhie terkejut ketika Sandiaga berujar.

    “Eh, eh… kok diambil semuanya?!” protes Ardhie.

    “Kamu kalah, Dhie… uang ini untuk saya semuanya…” ujar Sandiaga sambil tersenyum simpul.

    “Eh, kamu pakai urusan yang mana nih?!” sergah Ardhie mem-protes keputusan temannya.

    “Tadi kan aku bertanya… uang ini, untuk apa?” pancing Sandiaga sembari mengeluarkan kembali empat lembar dua puluh ribuan dari saku kemejanya dan melambai-lambaikannya ke wajah Ardhie.

    “Terus?!” cecar Ardhie.

    “Kamu menjawabnya, untuk makan-makan.” sambung Sandiaga. Ardhie berupaya menggapai lembaran uang dalam genggaman sahabat-nya. Sandiaga terus mengelakkannya.

    “Iya, maksudnya kalau aku menang, aku traktir kamu…” jawab Ardhie sambil terus menggapai-gapai uang dalam genggaman Sandiaga. Pemuda itu menjauhkan tangannya.

    “Tapi, kamu nggak menjawab, ‘setan’ kan?” tukas Sandiaga.

    Ardhie terhenyak. “Jadi? Itu tadi sudah masuk pertanyaan?”

    “Ya, iyalaaahhh…” jawab Sandiaga dengan senyum kemenang-annya. Ardhie langsung memelas.

    “Yaaah kaaauuu…” keluh Ardhie dengan lemas.

    “Kalah, kan? Kubilang juga apa?” olok Sandiaga.

    “Wah, harus jeli kalau begitu!” komentar Ardhie dengan gusar. Lelaki itu kembali merogoh kantung, mengeluarkan selembar dua puluh ribuan. 

    “Jadi!” sergahnya. “Pokoknya kamu kasih soal apa, aku juga pasti jawab!” tandas Ardhie dengan kesal. Kini diatas bangku beton itu tergeletak dua lembar uang dua puluh ribu.

    “Pertanyaan kedua…” ujar Sandiaga mengajukan soal dibarengi senyum jahilnya. “Kakekmu siapa, Dhie?”

    “La ilaha illallaaahhh…” keluh Ardhie ambil menggeram. Akhirnya dipenuhi rasa gusar, lelaki itu menjawab, “Setan, San!!!”

    “Lho? Kok kakekmu Setan?” protes Sandiaga.

    “Santai!” seru Ardhie kembali meraup semua uang di bangku beton. “Kakekku juga nggak tahu ini, sudah…”

    “Masa sih, kakekmu Setan? Memang kamu keturunan yang keberapa dari Setan?” protes Sandiaga sekali lagi sambil menahan senyumnya.

    “Diam ah, kakekku sudah tua ini… setan, ya setan deh…” gerutu Ardhi dengan pelan. Sandiaga hanya bisa menggeleng-geleng kepalanya.

    “Nih, dua puluh ribu…” ujar Sandiaga meletakkan lagi selembar uang di bangku beton. Ardhie pun melakukan hal yang sama.

    “Pertanyaan ketiga…” ujar Sandiaga yang mulai panas lalu me-ngemukakan soalnya. “Nenekmu siapa, Dhie?”

    Ardhie terdiam lagi ditanya seperti itu. Sandiaga terkekeh senang. Ardhie kemudian mengeluh.

    “Keterlaluan kau…” semburnya sambil memelas.

    “Kenapa?” tanya Sandiaga dengan heran.

    “Yang lain dong pertanyaannya…” pinta Ardhie memelas. “Masa pertanyaannya mengarah kesitu?”

    “Berarti kamu kalah, dong…” ujar Sandiaga membuat Ardhie terkesiap.

    “Eh, enak saja! Jawab juga belum!” protesnya.

    “Nenekmu siapa, Dhie?” ujar Sandiaga mengulangi lagi.

    “Nenek saya siapa?” sahut Ardhie. “Nenek saya, Setan!” serunya dengan mantap.

    “Kok nenekmu Setan?” protes Sandiaga saat melihat Ardhie meraup uang dibangku beton sambil tertawa penuh kemenangan, tak perduli dengan protes yang dilayangkan temannya.

    “Pokoknya hasil sekarang setan berduit!” tandasnya dengan gembira. Sandiaga mendengus.

    “Kok nenekmu setan, gimana sih?” protes Sandiaga.

    “Sudah… nenek-nenek ini…” tangkis Ardhie kembali lalu menatap Sandiaga dan tersenyum lebar. 

    “Nenek-nenek mana ada yang muda, sih?” komentarnya lagi sambil menggerutu pelan.

    “Lagi?!” pancing Sandiaga.

    “Jadi!” sahut Ardhie tak kalah semangat.

    Sandiaga kembali meletakkan selembar lima puluh ribuan dan ditanggapi oleh Ardhie yang meletakkan dua lembar dua puluh ribuan di bangku beton tersebut.

    “Duitmu jangan disitu…” tegur Ardhie sembari mengambil dan meletakkan lembar-lembar uang itu didepannya. “Dikesinikan semua…”

    “Wah, bisa kalah banyak aku kalau begini…” keluh Sandiaga berpura-pura.

    “Ya, duit setan juga mau di apakan?” sahut Ardhie mengolok dengan senang. “Nggak usah ngomong kau, duit aku semua nih…”

    Sandiaga tersenyum saja. Pemuda itu langsung melontarkan pertanyaan. “Kamu… pilih uang itu, atau pilih setan, Dhie?”

    “Setan!” seru Ardhie tanpa pikir panjang.

    Sandiaga langsung meraup uang didepan Ardhie, kemudian mengambil sekaleng minuman dingin dari dalam tas kresek dan me-nyodorkannya kepada Ardhie.

    “Nih, makan setanmu…” ujar Sandiaga sembari menyimpan uang itu kembali disaku kemejanya.

    Ardhie terdiam menyadari kesalahannya. Lelaki itu bungkam saja saat Sandiaga kembali mengungkit pertanyaan.

    “Tadi kan kutanya… kamu pilih uang ini, atau setan…” ungkit Sandiaga. “Jawabanmu tadi apa, Dhie?”

    Sambil menghela napas masygul, Ardhie menjawab. “Setan.”

    “Nah itu…” ujar Sandiaga menganggukkan wajahnya ke arah kaleng minuman didepan Ardhie. “Nikmati kekalahanmu…”

    “Jadi… bukan duit, ya?” tukas Ardhie dengan senyum masam. Sandiaga mengangguk sambil menjebikan bibirnya.

    “Memang judi tebak-tebakan… dapatnya juga tebak-tebakan…” komentar Ardhie dengan senyum kecewa lalu memprotes. 

    “Kamu curang! Peraturanmu sendiri kau pakai!” tukasnya.

    “Makanya, pakai otakmu!” ujar Sandiaga menunjuk pelipisnya sambil memelototkan matanya kepada Ardhie. Ardhie mendengus kecewa. 

    “Aku mau main judi betulan, sudah mau nenekku, kakekku jadi setan…” omelnya. “Duit kau ambil semua…”

    Lelaki itu melengos. “Kamu yang benar dong… aaahhh…”

    Sandiaga tertawa. “Nggak usah nangis… nih, aku kembalikan semuanya…” bujuk pemuda itu agar Ardhie senang hatinya.

    Ardhie tentu saja akhirnya tertawa canggung, menerima uang itu. lelaki itu mendongak sejenak lalu terhenyak dan langsung menunjuk ke suatu arah.

    “Eh, itu si Riman…” serunya lalu melambai-lambai meminta perhatian. Lelaki yang diberikan isyarat itu melihat dan datang men-dekat. Ketika melihat Sandiaga, seketika Riman melonjak gembira.

    “Eh, San… baru pulang kau ya?!” seru Riman dengan takjub.

    “Ya… baru sehari yang lalu…” jawab Sandiaga.

    “Ketemu Arka disana?” tanya Riman lagi.

    “Iya… Arka sekarang jadi manajer sebuah restoran di Kyoto.” jawab Sandiaga lagi. “Visa Tokutei Ginounya tinggal lima tahun lagi masa berlakunya…”

    “Berarti, lima tahun lagi, dia balik ke Gorontalo?” tebak Ardhie dengan wajah sumringah. Sandiaga mengangguk.

    Riman menatap Ardhie. “Nah, kau sendiri? Ngapain disini?”

    “Lho? Kampungku kan disini?!” balas Ardhie dengan ketus.

    Riman tertawa lalu duduk di bangku beton. Sandiaga meletakkan tas kresek berisi botol-botol minuman dan kalengan, beberapa cemilan di meja beton. Riman dan Ardhie langsung menikmati sajian itu.

    “Hasan, mana?” tanya Sandiaga.

    “Wah, kalau dia lolos ujian negara…” tutur Riman. “Sekarang dia kerja di Kementerian Agama… jadi Kepala KUA di Bone Bolango sana…”

    “Hasan nggak gagap lagi, kan?” tukas Sandiaga.

    “Sedikit… kadang kelepasan kalau lagi stres.” Jawab Riman.

    Ardhie mengamati tampilan Sandiaga. Lelaki itu terkekeh. “Kamu makin kelihatan keren ya?” komentarnya.

    “Apanya yang keren?” tanya Sandiaga.

    “Tuh… kamu buat tato dibadan…” ujar Ardhie menunjuk sebagian lengan Sandiaga yang dihiasi rajahan irezumi.

    “Eh, aku juga baru sadar…” sahut Riman. “Kamu jadi preman disana ya?”

    Sandiaga hanya tertawa. “Nggak semua orang bertato itu preman, monyong!” semburnya. Akhirnya Sandiaga menjelaskan asal-usul rajahan itu. Pemuda itu mengikuti ujian hiden untuk mencapai tingkatan jonin dalam aliran beladiri yang digelutinya. Setelah lulus, dia menerima penganugerahan, salah satunya, tubuhnya di rajahi irezumi.

    “Berarti kamu sekarang calon Hokage, dong…” celetuk Ardhie tiba-tiba, membuat Sandiaga tertawa renyah dan menggeleng-geleng.

    “Bukan Hokage… itu cuma di film saja…” ujar Sandiaga. 

    “Kebanyakan nonton film Boruto: The Two Vortex nih… makanya begini…” sambung Riman. Ardhie mengangguk-angguk sambil cengeng-esan. Sandiaga menatap mantan teman-teman sekolahnya. 

    “Sekarang kalian lagi ngapain?” tanya pemuda tersebut.

    “Sekarang kami lagi nganggur…” ujar Ardhie. Riman ikut meng-angguk-angguk.

    “Jadi mau cari kerja?” tebak Sandiaga.

    “Ya, kalau itu nggak usah dibilang…” tukas Ardhie. “Semua orang juga tahu, kalau lagi nganggur… pasti nyari kerja! Gimana sih?”

    Sandiaga mengangguk-angguk sejenak. Pemuda itu lalu minta diri sejenak. Sandiaga lalu melangkah beberapa meter dan mengambil gawainya dari kantung kemudian menghubungi seseorang. Lama juga dia bercakap-cakap. Setelah mengangguk beberapa kali, pemuda itu mengakhiri pembicaraan seluler lalu kembali mendapati kedua teman-nya. Pemuda itu duduk lalu menatap Ardhie dan Riman silih berganti.

    “Ada sih pekerjaan…” ujar Sandiaga.

    “Benar, San?” tukas keduanya bersamaan. Sandiaga meng-angguk santai sambil kembali merokok. 

    “Gajinya… sebulan itu 3 juta…” ujarnya langsung disambut siulan panjang Ardhie. Riman hanya melongo.

    “Gaji sebulan 3 Juta?” tukas Ardhie tak percaya. Sandiaga meng-angguk lagi. Ardhie langsung menepuk pundak sahabatnya.

    “San, kapan baiknya kau?” ujarnya tak percaya lalu tertawa. Sandiaga hanya tersenyum lalu kembali menutur. 

    “Terus… uang makan, 1 juta… uang transport 1 juta…” bebernya.

    “Bicaramu itu kelewatan benar…” sela Ardhie masih tak percaya. Riman mendorong punggung Ardhie, memintanya untuk diam.

    Sekarang Riman kembali yang bertanya. “Gajinya berapa tadi?” ujarnya.

    “Sebulan, 3 juta…” jawab Sandiaga.

    “Terus, uang makan sama trasportasinya?” tanya Riman lagi.

    “Ditotalnya sih, jadi 2 juta…” jawab Sandiaga pula.

    Riman langsung menatap Ardhie. “Tuh dengar, Dhie…”

    “Coba, ditotal jadi berapa?” tanya Sandiaga.

    “Nah… ke rumah sakit lagi kau, San…” seru Ardhie lagi, langsung membuat Sandiaga memasang wajah keruh bersamaan dengan Riman.

    “Kok begitu?” tukas Riman menatap Ardhie dengan wajah keruh. “Orang mau nolong, kok kamu nggak percaya?”

    “Kamu kalau gila, nggak kepalang ya? Jadi orang?” jawab Ardhie menuding Sandiaga, lalu tertawa. Sandiaga langsung pasang tampang masam lagi.

    “Memangnya dimana sih?” tanya Riman. Sandiaga memberikan alamat tersebut.

    “Memang bisa diterima disana, San?” tukas Riman lagi.

    “Sudah! Ikut saja!” ajak Sandiaga sembari bangkit. Riman dan Ardhie ikut bangkit. Sandiaga memberikan uang lagi pada Riman.

    “Untuk uang angkot!” ujarnya sembari memberikan alamat kerja. “Aku tunggu kalian berdua disana…”

    Sandiaga kemudian melangkah meninggalkan keduanya yang masih merasa takjub dan tak percaya. Cepat sekali Tuhan memberikan pertolongannya bagi kaum yang membutuhkan. []

     

     

    Kreator : Kartono

    Bagikan ke

    Comment Closed: Mendung di Benteng Otanaha Bab 5

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Menurut Stephen Covey Manusia Memiliki Kebutuhan Dasar, Kecuali? a. To Live b. To Love c. To Listen d. To Leave the Legacy Jawaban: c. To Listen Menurut Stephen Covey Manusia Memiliki Kebutuhan Dasar, Berikut Pembahasannya: Stephen Covey, seorang penulis dan konsultan manajemen terkenal, dalam karya-karyanya sering membahas tentang kebutuhan dasar manusia. Dalam bukunya yang terkenal, […]

      Jun 25, 2024
    • Hari sudah menunjukkan pukul 14.30. Suasana di sekolah tempat Ustadz Hamdi mengabdikan diri sudah mulai sepi. Anak-anak sudah banyak yang pulang. Ustadz Hamdi masih duduk di meja kerjanya sambil memeriksa satu persatu tugas murid-muridnya. Saat itu tiba-tiba HP Ustadz Hamdi berdering “Kriiing, kriiing, kriiing…”  “Halo…., Assalamu alaikum !”  “Wa alaikum salam. Ini Lisa, pak Ustadz.” […]

      Jun 06, 2024
    • Aku adalah teman sekelas Sky di SMP, kami berada dikelas yang sama selama 3 tahun. Sekarang setelah masuk SMA kami berada di sekolah dan kelas yang sama. Sky selalu menjadi orang terpopuler di sekolah, Sky tinggi,  tampan, dan sangat ramah. Namun sayangnya aku merasa dia selalu dingin hanya padaku, aku bahkan tidak tau alasan dibalik […]

      Jun 10, 2024
    • Mahaga Belom Bahadat adalah bahasa Dayak Ngaju yang mempunyai makna yaitu menjaga kehidupan yang saling menghargai, menghormati serta menjunjung tinggi kehidupan Adat Istiadat maupun tradisi kearifan lokal di wilayah yang kita tempati. Era zaman sekarang ini sudah banyak sekali para generasi yang melupakan prinsif-prinsif hidup yang telah dulu ditinggalkan para leluhur(nenek moyang) kita, padahal banyak […]

      Jun 02, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021