KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Cerita Anak
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Navigasi Hidup di Era Digital

    Navigasi Hidup di Era Digital

    BY 30 Agu 2024 Dilihat: 16 kali
    Navigasi Hidup di Era Digital_alineaku

    Di sebuah kafe kecil yang nyaman di sudut kota, empat individu yang berbeda latar belakang dan kepribadian berkumpul untuk berbincang. Ardo, seorang mahasiswa berusia 20 tahun yang aktif di media sosial dan sangat peduli dengan isu lingkungan, tampak antusias menyuarakan pandangannya. Di sebelahnya, Edison, seorang pekerja kantoran berusia 25 tahun, tampak sedikit lelah; tekanan dari tuntutan pekerjaan sering membayangi pikirannya. Tak jauh dari mereka, Nindy, seorang psikolog yang fokus pada kesehatan mental generasi muda, dengan tenang mendengarkan, siap memberikan wawasan yang mendalam. Sementara itu, Gery, seorang aktivis teknologi yang bersemangat mengenai etika AI, turut serta dalam percakapan, siap mempertahankan pandangannya tentang masa depan teknologi. Pertemuan mereka ini menjanjikan diskusi yang penuh warna, menggabungkan perspektif dari berbagai bidang yang saling bersinggungan.

    Mereka bertemu dalam sebuah acara seminar yang terkait dengan isu-isu teknologi dan kesehatan mental dalam mendukung kampanye lingkungan. Acara tersebut diselenggarakan oleh sebuah organisasi nirlaba dan universitas yang berfokus pada interseksi antara teknologi, kesehatan mental, dan keberlanjutan lingkungan.

    Ardo hadir di sana karena ketertarikannya pada kampanye lingkungan dan ingin mencari cara baru memaksimalkan dampak aktivismenya melalui teknologi. Edison menghadiri acara tersebut karena dia mencari solusi untuk mengatasi stres di tempat kerja, terutama dengan memanfaatkan teknologi secara lebih efektif. Sementara itu Nindy diundang sebagai pembicara atau panelis untuk membahas pentingnya menjaga kesehatan mental dalam era digital, terutama bagi generasi muda yang terpapar berbagai isu global, dan Gery berpartisipasi karena seminar ini membahas aspek etika AI dan teknologi, yang merupakan fokus utamanya. Dia tertarik untuk melihat bagaimana AI bisa dimanfaatkan secara bertanggung jawab dalam kampanye sosial.

    Dalam sesi diskusi setelah acara utama, mereka menemukan kesamaan dalam tujuan mereka dan memutuskan untuk berkumpul dan berdiskusi lebih lanjut di kafe kecil tersebut, melanjutkan pembicaraan yang dimulai di seminar itu. Keempatnya merasa bahwa dengan bekerja sama, mereka akan mampu mengatasi tantangan masing-masing dan menciptakan dampak yang lebih besar.

    Ardo yang aktif di media sosial dan peduli dengan isu lingkungan sedikit merasa stres dengan banyaknya informasi negatif yang dia temui di media sosial. Nindy, sebagai psikolog yang fokus pada kesehatan mental generasi muda, memberikan wawasan mengenai cara Ardo agar bisa menjaga kesehatan mentalnya sambil tetap berkontribusi pada isu-isu yang dia pedulikan. Sementara itu Edison yang merasa tertekan dengan tuntutan pekerjaan juga membutuhkan bimbingan dari Nindy untuk mengelola stresnya. Besar harapannya Nindy bisa memberikan strategi coping yang sehat untuk Edison agar dia bisa menyeimbangkan antara pekerjaan dan kesejahteraan mentalnya. 

    Sebagai aktivis teknologi, Gery tertarik berdiskusi dengan Ardo terkait cara teknologi dapat digunakan untuk mendukung kampanye lingkungan. Mereka melihat kemungkinan besar untuk mengeksplorasi penggunaan AI dan platform media sosial untuk meningkatkan kesadaran tentang isu-isu lingkungan dengan cara yang etis. Namun Gery memiliki sudut pandang yang berbeda dengan Edison mengenai peran teknologi di tempat kerja. Gery berargumen bahwa teknologi, termasuk AI, dapat membantu mengurangi beban kerja dan tekanan yang dirasakan oleh Edison, sementara Edison bersikap skeptis tentang dampak teknologi terhadap kehidupannya sehari-hari.

    Ardo tampak tengah menegaskan,”Kalian tahu kan, kita ini generasi Z. Generasi yang lahir di era digital, yang akrab banget sama gadget dan internet. Tapi, selain itu, kita juga punya banyak tantangan unik, ya? Salah satunya adalah FOMO atau fear of missing out. Kita selalu merasa harus mengikuti tren terbaru, takut ketinggalan informasi, dan sering membandingkan diri dengan orang lain di media sosial.”

    Edison menimpali,”Betul banget, Ardo! FOMO itu bikin stres. Terus, tuntutan kerja yang semakin tinggi juga bikin kita sering merasa kelelahan. Dulu, waktu masih kuliah, rasanya enggak seberat ini. Sekarang, rasanya harus selalu produktif dan online 24/7.”

    “FOMO dan tuntutan performa tinggi memang menjadi masalah besar bagi generasi Z. Selain itu, cyberbullying juga sering terjadi, dan ini bisa berdampak sangat buruk pada kesehatan mental. Di antara kalian, ada yang pernah mengalami cyberbullying?” tanya Nindy.

    Ada rekan lain, Kaila, merespon sigap,”Pernah banget! Dulu aku pernah di-bully habis-habisan di media sosial. Rasanya dunia serasa runtuh. Untungnya, aku punya teman-teman yang mendukung.”

    Ardo teringat,”Aku juga pernah ngalamin hal yang sama. Cyberbullying itu jahat banget. Tapi, kita bisa lawan kok. Salah satunya dengan mengobrol sama orang yang kita percaya, seperti teman atau keluarga. Atau, kita bisa mencari bantuan professional sekalian.”

    ”Selain cyberbullying, ada juga masalah misinformasi di media sosial. Kadang kita sulit membedakan mana berita yang benar dan mana yang hoaks,” Edison berkomentar.

    Nindy menjelaskan,”Itu benar sekali. Misinformasi bisa memicu kecemasan dan kepanikan. Jadi, penting banget untuk kita melek media dan selalu mencari informasi dari sumber yang kredibel.”

    Kaila bertanya,”Terus, gimana caranya biar kita bisa lebih menjaga keseimbangan antara kehidupan online dan offline?”

    Nindy kembali menjelaskan,”Salah satu caranya adalah dengan menetapkan batas waktu untuk menggunakan gadget. Kita juga bisa mencoba kegiatan lain yang lebih produktif, seperti membaca buku, berolahraga, atau berkumpul dengan teman-teman.”

    Ardo,”Aku setuju. Selain itu, kita juga harus mencintai diri sendiri. Jangan terlalu memikirkan pendapat orang lain. Yang penting kita bahagia dan merasa nyaman dengan diri kita sendiri.”

    Kaila,”Ngomong-ngomong soal media sosial, aku sering merasa kalau hubungan pertemanan aku jadi lebih dangkal. Kita lebih sering chat di media sosial daripada ketemuan langsung. Gimana ya cara supaya hubungan pertemanan kita bisa lebih berkualitas?”

    “Itu masalah yang sering dialami banyak orang, Kaila. Media sosial memang memudahkan kita terhubung dengan banyak orang, tapi interaksi kita jadi lebih terbatas. Untuk bisa menjaga hubungan pertemanan yang berkualitas, kita perlu meluangkan waktu untuk bertemu langsung dengan teman-teman kita. Selain itu, kita juga perlu belajar untuk lebih terbuka dan jujur dalam mengungkapkan perasaan kita,” jelas Nindy.

    Edison,”Aku setuju sama Nindy. Kadang, kita jadi terlalu fokus pada jumlah followers atau likes di media sosial, sampai lupa sama hubungan kita di dunia nyata. Padahal, hubungan yang tulus dan mendalam itu jauh lebih berharga.”

    “Terus, gimana caranya supaya kita bisa lebih bijak dalam menggunakan media sosial? Aku sering keasyikan scrolling timeline, sampai lupa waktu,” Ardo mengaku.

    “Salah satu caranya adalah dengan menetapkan batas waktu untuk menggunakan media sosial. Kita juga bisa menonaktifkan notifikasi yang tidak penting. Selain itu, kita bisa mencari kegiatan lain yang lebih produktif, seperti membaca buku, berolahraga, atau mengikuti komunitas yang sesuai dengan minat kita,” kembali Nindy menyarankan.

    Kaila,”Aku sering iri melihat postingan teman-teman di media sosial. Mereka selalu terlihat bahagia dan sempurna. Padahal, kita enggak tahu apa yang sebenarnya mereka rasakan.”

    “Itu yang namanya social comparison. Kita sering membandingkan hidup kita dengan hidup orang lain, dan itu bisa membuat kita merasa tidak cukup baik. Padahal kalau mau tahu, setiap orang itu punya cerita dan perjuangannya masing-masing,” Nindy menjelaskan.

    Edison menimpali,”Iya, benar. Kita harus ingat bahwa apa yang kita lihat di media sosial itu belum tentu gambaran yang sebenarnya. Jangan sampai kita terjebak dalam persepsi yang salah, La.”

    Ardo menambahkan,”Jadi, intinya adalah kita harus lebih bijak dalam menggunakan media sosial. Jangan sampai media sosial merusak hubungan kita dengan orang lain. Kita harus bisa menyeimbangkan kehidupan online dan offline.”

    Nindy membenarkan,”Betul sekali, Ardo. Media sosial bisa menjadi alat yang bermanfaat, tapi kita harus bisa mengendalikan penggunaannya. Dengan begitu, kita bisa membangun hubungan yang lebih sehat dan bermakna. Kita setuju kalau media sosial bisa memberikan dampak positif maupun negatif. Salah satu dampak negatif yang paling sering kita dengar adalah pengaruhnya terhadap kesehatan mental remaja. Kalian ada yang pernah merasakan kecemasan atau depresi setelah terlalu lama surfing di medsos?”

    Edison sigap menjawab,”Sering banget! Kadang, setelah melihat postingan teman-teman yang terlihat sempurna, aku jadi merasa enggak percaya diri. Aku merasa hidupku enggak se-seru mereka gitu.”

    “Aku juga pernah ngalamin hal yang sama. Terus, kalau lagi ada masalah, membaca komentar negatif di medsos bisa bikin perasaan kita tambah ambruk,” Ardo curhat.

    “Bener banget tuh. Apalagi kalau kita jadi korban cyberbullying. Rasanya seperti seluruh dunia membenci kita dan kita jadi merasa jadi manusia paling merana di dunia,” Kaila menambahkan dengan ilustrasinya.

    “Itulah sebabnya, penting bagi kita untuk memahami bagaimana media sosial bisa memengaruhi kesehatan mental kita. Beberapa faktor yang perlu diperhatikan adalah perbandingan sosial yang sering membuat kita merasa tidak cukup baik, FOMO atau fear of missing out yang memicu kecemasan, cyberbullying yang bisa menyebabkan depresi, dan gangguan pola tidur akibat terlalu sering begadang untuk berselancar di medsos. Bagaimana menurut kalian? Apakah kalian pernah merasakan dampak-dampak seperti itu?” Nindy bertanya melempar pancing.

    Ardo menjawab,”Aku sering banget ngerasa FOMO, terutama kalau lagi ada acara seru yang di-post teman-teman. Padahal, aku juga punya banyak kegiatan yang menyenangkan, tapi kok ya rasanya kurang gitu kalau enggak ikutan bareng mereka.”

    “Kalau aku lebih sering merasa insecure karena perbandingan sosial. Lihat aja foto-foto teman-teman yang lagi liburan atau yang punya barang-barang bagus, rasanya minder banget,” Edison terus terang.

    “Waktu aku jadi korban cyberbullying. Rasanya tuh kayak dunia ini udah enggak ada lagi yang peduli sama aku. Sampai sekarang, aku masih agak trauma kalau mau posting sesuatu di media social. Aku mikir-mikir dulu,” Kaila menceritakan pengalamannya.

    Nindy menyampaikan tanggapannya,”Pengalaman kalian itu sangat umum terjadi. Untuk mengatasi masalah ini, kita perlu lebih bijak dalam menggunakan media sosial. Misalnya, kita bisa membatasi waktu penggunaan, memilih konten yang positif, mencari kegiatan lain yang lebih produktif, dan tidak ragu untuk mencari dukungan dari orang-orang terdekat ketika kita sedang merasa tertekan.”

    Ardo yang tampak sumringah menimpali,”Aku setuju. Selain itu, kita juga bisa saling mengingatkan satu sama lain untuk tidak terlalu larut di dunia maya. Kita bisa membuat semacam kelompok dukungan di antara teman-teman.”

    Edison menyukai idenya,”Ide bagus! Kita bisa saling berbagi tips dan trik untuk menjaga kesehatan mental di era digital.”

    Kaila yang tak merasa sendirian lagi turut berkomentar,”Aku juga mau ikut aktif. Kita bisa bikin konten-konten positif di media sosial untuk menginspirasi teman-teman kita yang lain.”

    “Bagus banget! Dengan bekerja sama, kita bisa menciptakan lingkungan online yang lebih sehat dan mendukung. Tapi jangan ketinggalan, untuk menciptakan perubahan yang lebih besar, kita juga perlu melibatkan pihak-pihak lain, salah satunya adalah sekolah,” Nindy memberi dukungan.

    Ardo menyampaikan pendapatnya,”Aku setuju banget! Sekolah punya peran yang sangat penting dalam membentuk karakter dan pengetahuan siswa. Mereka bisa mengajarkan literasi digital sejak dini, sehingga siswa bisa lebih bijak dalam menggunakan media sosial.”

    “Iya, memang, sekolah bisa mengadakan program-program edukasi tentang kesehatan mental. Misalnya, mengadakan workshop atau menghadirkan narasumber yang ahli di bidang ini gitu,” Edison berpikir smart.

    Kaila menambahkan,”Selain itu, sekolah juga bisa membuat aturan tentang penggunaan gadget di lingkungan sekolah. Misalnya, melarang penggunaan ponsel saat jam pelajaran atau menyediakan tempat khusus untuk menyimpan ponsel. Bagus ‘kan?”

    “Sekolah bisa melakukan banyak hal untuk mendukung kesehatan mental siswa, seperti memasukkan materi literasi digital ke dalam kurikulum, menyelenggarakan program konseling, membentuk komunitas dukungan, dan mengadakan kegiatan-kegiatan yang positif. Selain itu, sekolah juga bisa bekerja sama dengan para ahli kesehatan mental untuk memberikan pelatihan kepada guru dan staf sekolah dalam mengenali tanda-tanda gangguan mental pada siswa serta cara memberikan pertolongan pertama,” jelas Nindy menerangkan.

    “Betul banget, Mbak Nindy. Guru-guru juga perlu diberikan pelatihan supaya bisa lebih peka terhadap kondisi emosional siswa. Mereka bisa menjadi orang pertama yang menyadari jika ada siswa yang sedang bermasalah,” Edison menyamakan opininya.

    ”Aku setuju, dan soal narasumber itu, sekolah juga bisa mengundang narasumber dari berbagai latar belakang untuk berbicara tentang kesehatan mental. Misalnya, psikolog, psikiater, atau orang yang pernah mengalami gangguan mental dan berhasil mengatasi masalahnya,” Ardo memberi ide.

    Kaila menyempurnakan idenya,”Kita juga bisa membuat kampanye kesadaran tentang kesehatan mental di sekolah. Misalnya, membuat poster, video, atau mengadakan lomba esai, Ardo.”

    “Kreatif tuh! Dengan melibatkan seluruh komunitas sekolah, kita bisa menciptakan lingkungan yang lebih suportif bagi siswa yang sedang berjuang dengan masalah kesehatan mental,” Nindy mengakui ide mereka.

    Ardo menyampaikan opininya lagi,”Aku yakin, jika kita semua bekerja sama, kita bisa membuat perubahan yang signifikan.”

    “Ayo kita mulai dari sekarang! Kita bisa membuat proposal yang berisi ide-ide kita dan menyampaikannya kepada pihak-pihak sekolah,” Edison bersemangat.

    “Kita juga bisa menyebarkan informasi tentang pentingnya kesehatan mental melalui media sosial. Siapa tahu, banyak orang yang terinspirasi untuk ikut bergerak, jadi semua akan jadi lebih mudah, kan?” Kaila punya gagasan.

    Nindy memberikan komentar optimisnya,”Saya sangat bangga dengan semangat kalian semua. Dengan semangat yang sama, saya yakin kita bisa menciptakan generasi muda yang lebih sehat dan bahagia. Jangan lupakan peran penting lainnya, yaitu peran orang tua.”

    Ardo,”Eh iya, betul, orang tua adalah orang pertama yang berinteraksi dengan anak. Mereka memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan emosi dan mental anak.”

    “Kalau aku ambil posisi sebagai orang tua, kita patut harus menjadi contoh yang baik bagi anak-anak kita. Kita harus menunjukkan bagaimana cara mengelola emosi dengan sehat dan bagaimana cara membangun hubungan yang baik dengan orang lain,” Edison seraya tersenyum, membayangkan.

    “Bukan itu saja, orang tua juga harus meluangkan waktu untuk berkomunikasi dengan anak-anaknya. Mendengarkan seluruh keluh kesah mereka, dan menunjukkan kepeduliannya dengan perasaan mereka,” Kaila menaruh harapan.

    Nindy turut melengkapi,”Betul sekali. Komunikasi yang terbuka dan jujur sangat penting untuk membangun kepercayaan antara orang tua dan anak. Dengan begitu, anak akan merasa aman untuk berbagi perasaan dan pikiran mereka.”

    “Orang tua juga harus mengajarkan anak-anak tentang pentingnya kesehatan mental sejak dini. Mereka bisa melakukannya dengan cara yang menyenangkan, seperti membaca buku cerita tentang emosi atau bermain permainan yang bisa membantu anak-orang mengenali perasaan mereka. Banyak cara lah pokoknya,” ujar Ardo.

    “Selain itu, orang tua juga harus membantu anak-anak untuk mengembangkan keterampilan sosial dan emosional. Misalnya, mengajarkan mereka cara menyelesaikan konflik, cara bekerja sama dengan orang lain, dan cara mengatasi stress, itu penting!” Edison menegaskan.

    ”Dan yang paling penting, orang tua harus memberikan dukungan tanpa syarat kepada anak-anaknya. Artinya orang tua menerima anak-anaknya apa adanya dan menunjukkan bahwa orang tua memang mencintai mereka, anak-anaknya,” Kaila menyampaikan harapannya.

    Nindy menyampaikan pendapatnya dengan sedikit nuansa pedas,”Saya setuju dengan kalian semua. Peran orang tua dalam mendukung kesehatan mental anak sangatlah krusial. Selain itu, orang tua juga perlu memperhatikan kesejahteraan mental mereka sendiri. Orang tua yang bahagia dan sehat secara mental akan lebih mampu memberikan dukungan kepada anak-anaknya. Intinya, kalau mau anak-anaknya sehat mental, ya orang tuanya harus waras dulu!”

    Ardo mengiyakan,”Bener banget. Kesehatan mental itu seperti bola salju. Kalau orang tua ingin anak-anaknya tumbuh menjadi individu yang sehat dan bahagia, ya orang tua harus sudah mulai dari diri mereka sendiri. Mereka harus sudah beres dulu dengan segala urusan pribadinya.”

    Edison mencoba menggiring pembicaraan menuju akhir,”Jadi, buat komitmen untuk meluangkan waktu berkualitas bersama keluarga, berkomunikasi secara terbuka, dan menciptakan lingkungan rumah yang positif dan mendukung. Dengan dukungan semua pihak, generasi muda pasti lebih sehat dan bahagia secara mental.”

    Tampaknya Mbak Nindy masih ingin membahas lebih jauh lagi,”Tapi kita tidak bisa menutup mata terhadap tantangan yang dihadapi para orang tua di era digital ini lho.”

    Edison membalas,”Iya, salah satu tantangan terbesar adalah lautan informasi yang tidak terfilter di dunia maya. Anak-anak seusia kita yang tidak siap, bisa dengan mudah terpapar konten yang tidak sesuai dengan usia mereka, seperti kekerasan, pornografi, atau berita bohong.”

    “Terlalu banyak waktu yang dihabiskan di depan layar juga menjadi masalah besar. Anak-anak jadi kurang melakukan aktivitas fisik dan sosial, padahal sangat penting untuk kesehatan mental mereka,” Ardo menyayangkan.

    “Tekanan untuk tampil sempurna di media sosial. Anak-anak sering merasa tidak cukup baik jika dibandingkan dengan teman-teman mereka di dunia maya. Itu bisa jadi salah orang tua lho. Masih banyak lho orangtua yang tidak sadar secara refleks, ucapannya itu membanding-bandingkan anaknya dengan anak orang lain. Itu menyakiti perasaan anak lho!” Kaila mengingatkan.

    Nindy membenarkan,”Kalian semua benar. Teknologi memang memberikan banyak manfaat, tetapi sekaligus membawa tantangan yang kompleks. Orang tua dituntut mampu membimbing anak-anaknya agar bisa memanfaatkan teknologi secara bijak dan sehat.”

    Edison menyela,”Tapi, bagaimana caranya melindungi anak-anak dari dampak negatif dunia maya, sementara pihak orangtua sendiri juga seringkali kesulitan melepaskan diri dari gadget? Bahkan ngak sedikit yang terjebak game, pinjol sampai judi online.”

    Ardo mencoba menawarkan pemecahan masalah,”Menurutku, yang paling penting adalah orang tua menjadi contoh yang baik bagi anak-anaknya. Kalau orangtua sering bermain gadget, anak-anaknya juga akan cenderung mengikuti.”

    Kaila mencoba menyempurnakan,”Komunikasi yang terbuka juga sangat penting. Orangtua harus menciptakan suasana yang nyaman bagi anak-anak untuk bertanya dan berbagi tentang apa saja yang mereka lihat atau mereka rasakan di dunia maya.”

    “Menetapkan batasan juga sangat penting. Orangtua perlu membuat aturan tentang penggunaan gadget di rumah dan memastikan anak-anak mematuhinya,” Nindy mengingatkan.

    “Selain itu, orangtua juga bisa mengajarkan anak-anaknya tentang literasi digital. Mereka harus bisa membedakan informasi yang benar dan salah, serta mengenali tanda-tanda berita yang bohong,” Ardo melengkapi.

    “Membatasi waktu layar juga sangat penting. Orangtua bisa mengajak anak-anak untuk melakukan aktivitas yang lebih produktif, seperti membaca buku, berolahraga, atau bermain di luar ruangan,” Edison tak kalah ide.

    Kaila juga,”Dan yang paling penting, orangtua harus menunjukkan kasih sayang dan perhatian kepada anak-anaknya. Dengan begitu, mereka akan merasa aman dan terlindungi.”

    Nindy menggiring opini,”Saya setuju dengan kalian semua. Menghadapi tantangan ini memang tidak mudah, tapi dengan kerja sama dan dukungan dari semua pihak, orangtua pasti bisa membantu anak-anaknya tumbuh menjadi individu yang sehat dan bahagia. Kita setuju itu tadi kan. Terlalu banyak waktu yang dihabiskan di depan layar bisa menjadi masalah besar. Nah, dampak kecanduan gadget pada kesehatan mental anak, bagaimana?”

    Edison menjawab,”Aku pernah baca, kecanduan gadget bisa bikin anak jadi mudah marah, kurang sabar, dan sulit berkonsentrasi. Terus, mereka juga cenderung jadi lebih sulit berinteraksi dengan orang lain di dunia nyata.”

    “Betul banget! Aku juga pernah ngalamin hal yang sama dengan adikku. Dia jadi lebih sering merasa kesepian meskipun banyak teman online. Padahal, real-nya dia punya banyak teman di sekolah,” Ardo mengisahkan.

    Kaila menambahkan,”Terus, ada juga dampaknya ke pola tidur. Banyak anak yang sulit tidur karena terlalu sering bermain gadget sebelum tidur. Padahal, tidur cukup itu penting banget untuk kesehatan mental, biar ngak stress-an.”

    Nindy menjelaskan,”Memang, kecanduan gadget bisa mengganggu perkembangan otak anak, terutama pada bagian yang bertanggung jawab atas emosi, pengambilan keputusan, dan kemampuan bersosialisasi.”

    “Terus, jangan lupakan risiko cyberbullying. Anak-anak yang sering menggunakan media sosial lebih rentan menjadi korban perundungan di dunia maya lho kalau ngak siap mental. Cyberbullying ini bisa berdampak sangat buruk pada kesehatan mental anak. Mereka bisa mudah merasa sedih, cemas, bahkan depresi,” Ardo menambahkan. 

    Kaila bertanya,”Terus, bagaimana cara orangtua mencegah anak-anak dari kecanduan gadget sekaligus melindungi mereka dari dampak negatifnya?”

    Nindy menjawab,”Menetapkan batasan waktu penggunaan gadget adalah langkah pertama yang penting. Ajarkan anak-anak tentang pentingnya keseimbangan antara dunia online dan dunia nyata. Ajak mereka untuk melakukan aktivitas fisik, membaca buku, atau bermain bersama teman-teman.”

    “Berikan contoh yang baik. Kalau orang tua sering bermain gadget, anak-anak akan cenderung meniru,” ujar Edison menambahkan. 

    Rupanya Ardo tak kalah ilmunya dengan menyampaikan,”Komunikasi yang terbuka juga sangat penting. Orangtua harus menciptakan suasana yang nyaman bagi anak-anak untuk berbagi perasaan dan pikiran mereka tentang penggunaan gadget.”

    “Mencari bantuan profesional juga bisa menjadi pilihan jika masalah kecanduan gadget pada anak sudah terlalu parah,” sambung Kaila.

    “Ingat, kita tidak bisa melarang anak-anak untuk menggunakan gadget sepenuhnya sebab teknologi adalah bagian dari kehidupan kita. Yang penting, anak-anak diajarkan cara menggunakan teknologi secara bijak dan sehat,” Nindy menyimpulkan. 

    Edison teringat akan sesuatu,”Menurutku, sekolah punya peran yang sangat penting. Mereka bisa mengadakan program edukasi tentang bahaya kecanduan gadget dan pentingnya keseimbangan antara dunia online dan dunia nyata.”

    Ardo,”Selain itu, sekolah juga bisa membuat aturan yang jelas tentang penggunaan gadget di lingkungan sekolah. Misalnya, melarang penggunaan ponsel saat jam pelajaran atau menyediakan tempat khusus untuk menyimpan ponsel.”

    “Sekolah juga bisa mengadakan kegiatan-kegiatan yang menarik di luar jam sekolah, seperti klub olahraga, klub membaca, atau kegiatan seni. Dengan begitu, siswa akan punya banyak pilihan aktivitas selain bermain gadget,” Kaila mengutarakan opininya.

    “Ide-idenya bagus-bagus! Sekolah juga bisa bekerja sama dengan orang tua untuk membuat kesepakatan mengenai penggunaan gadget di rumah. Misalnya, memprakarsai pertemuan orang tua atau membuat panduan mengenai penggunaan gadget yang sehat,” Nindy  menginspirasi.

    “Sekolah juga bisa mengajak para ahli untuk memberikan penyuluhan terkait kecanduan gadget dan cara mengatasinya,” tambah Edison.

    “Selain itu, sekolah bisa membentuk kelompok dukungan bagi siswa yang mengalami masalah dengan gadget. Jadi mereka bisa saling berbagi pengalaman dan mencari solusi bersama gitu,” Ardo menyempurnakan idenya.

    “Tapi yang paling penting, sekolah harus menciptakan lingkungan belajar yang positif di mana siswa merasa nyaman dan termotivasi untuk belajar. Dengan begitu, mereka akan lebih sedikit tertarik untuk bermain gadget,” Kaila menyatakan sudut pandangnya.

    “Saya setuju dengan kalian semua. Peran sekolah sangat krusial dalam mengatasi masalah kecanduan gadget. Dengan bekerja sama, sekolah, orang tua, dan komunitas bisa menciptakan generasi muda yang lebih sehat dan bahagia. Terkait langkah mengatasi masalah kecanduan gadget, yaitu dengan mengembangkan aplikasi dan game yang sifatnya edukatif bagi anak-anak. Bagaimana itu?” Nindy kembali membuat topik.

      “Itu ide bagus! Dengan begitu, anak-anak bisa tetap bermain gadget, sekaligus mempelajari hal-hal yang bermanfaat, iya kan?” ujar Edison meyakinkan.

    Ardo melontarkan gagasannya,”Betul, dan yang terpenting, game-game seperti itu harus dibuat semenarik mungkin agar anak-anak benar-benar sangat tertarik untuk memainkannya. Misalnya, kita bisa membuat game yang mengajarkan matematika sambil bermain puzzle atau game yang mengajarkan bahasa asing sambil berpetualang misalnya.”

    Kaila menyambut baik ide tersebut,”Selain itu, game-gamenya juga harus dirancang dengan mempertimbangkan perkembangan kognitif anak-anak. Misalnya, untuk anak usia dini, kita bisa membuat game yang sederhana dan interaktif, sedangkan untuk anak yang lebih besar, kita bisa membuat game yang lebih kompleks dan menantang, begitu. Pengembangan game edukatif seperti itu bisa melibatkan anak-anak sejak awal lho. Dengan begitu, anak-anak akan merasa lebih terlibat dan termotivasi untuk belajar, betul tidak?”

    ”Tapi, bagaimana caranya kita bisa membuat game edukatif yang berkualitas? Kita kan bukan programmer atau desainer game?” tanya Edison.

    Kaila membuka harapan,”Kita bisa menggunakan platform-platform yang sudah ada untuk membuat game sederhana. Banyak platform yang menyediakan tools yang mudah digunakan, bahkan untuk orang yang tidak memiliki latar belakang IT sekalipun.”

    Nindy mengingatkan lagi,”Pastikan bahwa game-game tersebut aman untuk anak-anak. Kita harus menghindari konten yang mengandung kekerasan, pornografi, atau bahasa yang tidak pantas. Kita harus tahu, bahasa yang tidak pantas itu seperti apa saja jenisnya.”

    “Ini yang penting, kita juga harus memperhatikan privasi data anak-anak. Jangan sampai ada celah yang memungkinkan data pribadi mereka disalahgunakan,” ujar Edison.

    “Ya, dengan membuat game edukatif yang berkualitas, kita bisa memberikan alternatif yang lebih sehat bagi anak-anak daripada hanya bermain game yang tidak bermutu, iya kan?” Mercy berkata seraya melanjutkan menikmati kopinya.

    “Percaya tidak? Dengan cara ini, kita sekalian juga bisa menginspirasi pengembang game lainnya untuk membuat lebih banyak game edukatif yang berkualitas, lho. Good for business juga kan? Aku yakin, dengan kreativitas dan kerja sama yang baik, kita bisa menciptakan generasi muda yang cerdas dan kreatif melalui game edukatif. Apalagi kalau dilengkapi dengan  menciptakan lingkungan online yang aman dan positif bagi anak-anak kita. Membangun komunitas online yang positif bisa menjadi solusi yang menarik. Betul?” Kaila tersengat ide.

    ”Setuju tuh! Komunitas online bisa menjadi wadah bagi anak-anak untuk berinteraksi, berbagi minat, dan belajar bersama teman-teman sebaya. Tapi, bagaimana caranya kita memastikan komunitas online itu positif dan aman? Gimana?” Edison mencoba berpikir lebih jauh.

    “Begini, pertama, kita perlu menetapkan aturan yang jelas di dalam komunitas. Aturan ini harus mudah dipahami oleh anak-anak dan mencakup hal-hal seperti larangan bullying, ujaran kebencian, dan penyebaran informasi yang tidak benar. Gimana temen-temen? Ada ide lain ngak?” Ardo memberi solusi.

    “Aku,” Kaila mengangkat tangan kanannya seraya melanjutkan menyampaikan masukannya,”Kita perlu menunjuk moderator yang akan mengawasi aktivitas yang berlangsung di dalam komunitas. Moderator ini bertugas untuk memastikan bahwa semua anggota mengikuti aturan yang telah ditetapkan. Kita bisa mengadakan acara-acara online yang positif seperti kuis, lomba menggambar, atau diskusi kelompok. Dengan begitu, anak-anak akan lebih tertarik untuk berpartisipasi dan merasa menjadi bagian dari komunitas.”

    Edison merespon,”Bagus tuh! Kita juga bisa mengajak orang tua untuk ikut terlibat dalam komunitas. Dengan begitu, orang tua bisa langsung memantau aktivitas anak-anak mereka di dunia maya. Kita bisa berkolaborasi dengan sekolah untuk mempromosikan komunitas online ini kepada siswa, artinya kita membantu sekolah dengan membuka akses agar sekolah bisa memberikan tugas atau proyek yang berkaitan dengan aktivitas yang dilakukan dalam komunitas online itu.”

    Kaila memberi saran,”Ciptakan suasana yang inklusif di dalam komunitas. Semua anak harus merasa diterima dan dihargai, terlepas dari apapun latar belakang mereka. Dengan membangun komunitas online yang positif, kita bisa memberikan fasilitas ruang bagi anak-anak untuk belajar, tumbuh, dan mengembangkan diri secara positif juga. Pasti akan makin sempurna lagi dengan adanya peran pemerintah.”

    “Menurutku, pemerintah bisa bikin regulasi yang mengatur penggunaan internet dan melindungi anak-anak dari konten yang berbahaya deh. Bisa bikin undang-undang yang mengatur tentang perlindungan data pribadi anak-anak. Selain itu, pemerintah juga bisa memberikan sanksi yang tegas bagi pelaku cyberbullying atau penyebar konten negatif. Bisa dukung pengembangan infrastruktur internet yang memadai di seluruh wilayah Indonesia. Jadi, anak-anak di daerah terpencil juga bisa mengakses internet dengan aman dan nyaman. Pemerintah bisa mengeluarkan kebijakan yang mendorong pertumbuhan industri kreatif yang menghasilkan konten positif untuk anak-anak. Misalnya, memberikan insentif bagi pengembang game edukatif atau platform media sosial yang ramah anak. Pemerintah bisa mengajak perusahaan teknologi untuk ikut berpartisipasi dalam menciptakan lingkungan online yang aman bagi anak-anak,” Ardo menjelaskan sangat terperinci. Selain itu, pemerintah juga bisa bikin kampanye sosialisasi tentang pentingnya keamanan online dan cara melindungi anak-anak dari bahaya di dunia maya, bisa membentuk lembaga khusus yang bertugas mengawasi konten online dan melindungi anak-anak dari eksploitasi dan kekerasan seksual online. Dengan dukungan pemerintah, kita bisa menciptakan lingkungan online yang lebih aman dan positif bagi anak-anak,” Ardo menjelaskan sangat terperinci.

    “Soal cyberbullying, bagaimana cara kita mengenali tanda-tanda cyberbullying dan membantu anak-anak yang menjadi korban?” tanya Nindy memancing opini untuk yang kesekian kalinya. 

    Edison segera menjawab,“Tanda-tanda umum cyberbullying itu anak menjadi lebih pendiam, menarik diri dari pergaulan, atau menunjukkan perubahan mood yang drastis. Anak yang jadi korban cyberbullying sering kali menghindari penggunaan gadget atau menunjukkan kecemasan saat online. Terus, mereka juga mengalami gangguan tidur atau mengalami penurunan prestasi di sekolah. Patutnya orang tua peka terhadap perubahan perilaku anak dan curiga anaknya jadi korban cyberbullying.Tapi, bagaimana cara kita memastikan bahwa seorang anak telah menjadi korban cyberbullying? Bukti apa saja yang bisa dicari?”

    Ardo memberikan penjelasannya,”Pertama, kita bisa memeriksa perangkat elektronik anak, seperti ponsel atau komputer. Kita juga bisa menanyakan langsung kepada anak tentang apa yang mereka alami di dunia maya. Itupun kalau anaknya memang mau berterus terang.”

    Kaila menanggapi,”Begitu dapat bukti cyberbullying, ortu harus menyimpan bukti tersebut dan melaporkannya kepada pihak yang berwajib, seperti sekolah atau kepolisian. Di sisi lain, pihak ortu harus memberikan dukungan emosional kepada anak, membuat mereka merasa aman dan didengar, tidak dipersalahkan atas apa yang terjadi.”

    Edison menyela,”Tapi kita bisa mengajarkan anak-anak tentang cara mengatasi cyberbullying. Misalnya, mengajarkan mereka untuk tidak membalas pesan yang berisi ancaman atau hinaan, dan untuk berani memblokir nomor si pengganggu. Kita juga bisa membantu anak-anak untuk membangun kepercayaan diri agar mereka tidak akan menjadi korban cyberbullying.”

    Kaila menambahkan lagi,”Pencegahan juga penting. Anak-anak perlu bahkan harus diajarkan banyak hal mengenai pentingnya menjaga privasi di dunia maya, untuk tidak membagikan informasi pribadi kepada orang yang tidak dikenal.”

    “Dan dengan bekerja sama dengan sekolah dan komunitas, kita bisa menciptakan lingkungan yang aman bagi anak-anak di dunia maya. Sekolah punya peran yang sangat penting dalam mencegah cyberbullying. Sekolah bisa bikin program edukasi tentang bahaya cyberbullying termasuk cara menghadapinya. Sekolah juga bisa bikin aturan yang jelas tentang penggunaan gadget di lingkungan sekolah. Aturan ini harus mencakup larangan cyberbullying dan sanksi yang tegas bagi pelanggar, seperti yang kita obrolin tadi. Sekolah juga bisa mengadakan workshop atau seminar yang melibatkan siswa, guru, dan orang tua untuk membahas masalah cyberbullying secara lebih mendalam. Sekolah juga bisa membentuk kelompok peer support di mana siswa bisa saling mendukung dan berbagi pengalaman terkait cyberbullying, bahkan bisa kerja sama dengan psikolog untuk memberikan konseling kepada siswa yang mengalami masalah terkait cyberbullying,” Nindy menyampaikan responnya dengan sangat jelas.

    ”Kembali ke tadi, intinya seperti yang kita bahas barusan, sekolah bisa mengajak orang tua untuk terlibat dalam program pencegahan cyberbullying. Misalnya, mengadakan pertemuan orang tua untuk membahas masalah ini dan memberikan tips-tips untuk melindungi anak-anak di dunia maya. Yang jelas, sekolah harus menciptakan lingkungan sekolah yang positif di mana semua siswa merasa diterima dan dihargai. Pastinya, anak-anak akan kecil kemungkinan untuk jadi korban atau pelaku cyberbullying sekalipun,” ujar Kaila.

    Nindy menyimpulkan,”Jadi kita setuju ya, dengan mengembangkan program-program pencegahan cyberbullying di sekolah, kita bisa menciptakan generasi muda yang lebih sadar akan bahaya cyberbullying dan memiliki kemampuan untuk melindungi diri sendiri termasuk teman-temannya.”

    Edison terhenyak,”Pakai teknologi aja. Gimana? Kita bisa bikin proses deteksi cyberbullying jadi lebih efektif. Misalnya, kita bisa mengembangkan aplikasi yang bisa menganalisis bahasa dalam pesan dan mengidentifikasi kata-kata yang mengandung unsur bullying.”

    Ardo berkomentar sambil sedikit bercanda,”Berat banget imajinasi kamu.”

    Tapi Edison melanjutkan,”Aplikasi bisa memantau pola perilaku pengguna di media sosial. Jika ada pengguna yang sering mengirimkan pesan negatif atau menghina orang lain, aplikasi bisa memberikan peringatan lho. Eh kita bisa mengembangkan platform yang memungkinkan pengguna untuk melaporkan konten yang bersifat bullying secara anonim. Dengan begitu, korban akan merasa lebih aman untuk melapor.”

    “Ide bagus! Tapi, bagaimana kita bisa pastikan bahwa aplikasi dan platform itu tidak melanggar privasi pengguna?” tanya Nindy.

    Ardo membantu menjawab,”Kita harus sangat memperhatikan aspek privasi dalam pengembangan aplikasi ini. Data pengguna harus dijaga kerahasiaannya dan hanya digunakan untuk tujuan deteksi cyberbullying. Kita perlu melibatkan ahli AI dan pemrosesan bahasa alami untuk mengembangkan algoritma yang akurat dan efektif. Dengan begitu, kita bisa mendeteksi cyberbullying secara lebih cepat dan mengambil tindakan yang tepat untuk mencegahnya. Kita juga bisa memberikan dukungan kepada korban cyberbullying. Udah jelas lah itu.”

    “Tapi, Mer, pengembangan aplikasi dan platform kayak gitu butuh biaya besar kan? Gimana caranya kita bisa dapetin dana buat proyek kayak gitu?” Edison berpikir kritis.

    “Kita bisa cari pendanaan dari pemerintah, perusahaan swasta, atau lembaga filantropi lho. Tenang ajah. Kita juga bisa ngajak komunitas pengembang buat join sukarela. Percaya deh. Bisa,” Ardo menjanjikan.

    “Aku optimis berhasil. SDM kita ber-lima kan bagus-bagus? Aku optimis project kita bisa menghadirkan lingkungan online yang paling aman dan nyaman buat semua orang. Iya ngak, Ger? Dari tadi kamu diem aja,” ujar Kaila berusaha membuat kontak dengan Gery, sang raja IT yang pendiam kalau ngak ditanya. Itu pun dibalas senyum oleh Gery sambil menikmati kopinya.

    “Kita udah bahas soal pencegahan dari sisi bagian kita, teknologi. Tapi masyarakat sudah cukup terdidik belum soal ini? Soal bahaya cyberbullying dan tektek-bengek pencegahannya?” Nindy mengingatkan melalui pertanyaan.

    “Iya. Udah pada sadar belum sama dampak cyberbullying? Buat korban dan pelaku? Curiga kurang informasi. Masyarakat di sini kan ngak suka baca-baca gitu, jadi ngak informatif. Kurang pengetahuan,” jawab Edison.

    “Kita bisa bikin kampanye sosialisasi di medsos, televisi, dan radio. Bisa menarik perhatian. Bikin yang gampang dicerna,” Ardo menawarkan idenya.

    “Kalau gitu kita bisa bikin workshop atau seminar untuk masyarakat umum, terutama orang tua dan guru, menginformasikan tanda-tanda cyberbullying, cara mengatasinya, dan pentingnya menciptakan lingkungan online yang positif. Biar nyambung gitu pikiran mereka sama kita. Jadi terdidik kan artinya?” Kaila memberi inspirasi berujung secuil nada satir.

    “Ngomong-ngomong, sekolah sebetulnya bisa mengintegrasikan materi tentang cyberbullying ke dalam kurikulum lho. Jadi, anak-anak sejak dini sudah paham soal ini. Jadi kan bisa membentengi diri mereka sendiri kan? Di samping didampingi juga oleh pihak ortu dan sekolah,” Nindy menyampaikan pencerahannya.

    “Eh, libatkan tokoh-tokoh publik untuk ikut serta dalam kampanye sosialisasi. Jadi, pesan tentang bahaya cyberbullying bisa lebih efektif disampaikan karena akan lebih mudah diingat. Iya kan?” Edison tak kalah ide.

    “Ger, bikin konten-konten kreatif yang menarik, Ger seperti video animasi atau komik, biar jelas ditangkapnya oleh anak-anak,” Ardo tersenyum mencoba membuat kontak juga dengan Gery yang masih belum mau unjuk gigi.

    “Ya sudah, yang penting, ada komunitas online yang positif, tempat di mana orang-orang bisa saling dukung dan berbagi informasi apapun tentang cara mencegah cyberbullying. Soal teknik, kita bahas belakangan. Kita kan punya ahlinya,” ujar Kaila sambil berusaha menarik perhatian Gery.

    “Bener kata Edison tadi. Kalau semua orang punya kemampuan literasi digital yang baik, pasti lebih gampang bikin lingkungan online yang aman dan positif,” Nindy me-review.

    “Ya, itu maksudku tadi. Literasi digital itu penting, bukan hanya untuk anak-anak, tapi juga untuk orang dewasa. Justru orang dewasa wajib tahu biar ngak ketinggalan oleh anak-anaknya. Jadi otomatis bisa bantu anak. Bisa memilah informasi yang benar dan salah, bisa peka mengenali tanda-tanda cyberbullying, sekaligus bisa melindungi diri sendiri dan orang lain,” Edison menambahkan.

    “Bisa laporin konten yang melanggar aturan, sebar-sebarin pesan-pesan positif dan semacamnya,” Ardo melengkapi.

    Kaila menarik perhatian semuanya yang berdiskusi dengan mengangkat tangan kanannya,”Sebentar aku ada yang sedikit rada berat nih,”Untuk mencapai tujuan ini, kita perlu membangun kerjasama lintas sektoral. Pemerintah, sekolah, perusahaan teknologi, organisasi masyarakat sipil, dan media massa harus bekerja sama untuk meningkatkan literasi digital masyarakat. Kita ngak bisa sendirian kita ajah, tidak akan efektif. Ngak akan kena. Capek sendiri nanti kitanya.”

    “Memang sih kerjasama lintas sektor ini sangat penting. Pemerintah bisa membuat kebijakan yang lebih komprehensif untuk mendukung pengembangan literasi digital. Misalnya, dengan mengintegrasikan materi literasi digital ke dalam kurikulum pendidikan, memberikan insentif bagi perusahaan yang mengembangkan produk-produk yang mendukung literasi digital, dan meningkatkan akses masyarakat terhadap internet yang sehat,” Nindy membalas.

    “Sekolah juga punya peran yang sangat penting. Sekolah bisa mengadakan program-program literasi digital yang menarik dan interaktif bagi siswa. Selain itu, guru juga perlu meningkatkan kompetensi digital mereka agar bisa menjadi role model buat siswanya. Bayangkan sekolah itu sebuah film, guru adalah sutradara yang menentukan jalan cerita. Guru bisa bikin program literasi digital yang lebih seru dari serial favorit siswa. Artinya guru mesti upgrade dong, jangan sampai siswa-siswinya malah lebih jago teknologi daripada gurunya, nanti justru muridnya yang jadi mentor, dan gurunya jadi murid. Masa iya, guru ngajarin Zoom pakai papan tulis?” Edison berkelakar.

    Ardo yang tak kalah ide, ikut menimpali,”Perusahaan teknologi harusnya ikut tanggung jawab juga lah. Masa iya, bisa bikin teknologi super canggih, tapi gak bisa bikin produk yang aman dan ramah pengguna? Oh, dan satu lagi, kalau bisa tuh bikin fitur-fitur keren, sekalian tambahin tombol ‘lapor konten nakal’, biar pengguna bisa sekalian jadi superhero dunia maya, bukan cuma penonton pasif. Seru kan? Pasti banyak yang like and comment deh.”

    Kaila membalas,”Masyarakat sipil tuh bisa lho bikin kampanye sosialisasi, biar orang-orang melek digital dan sadar betapa ngerinya cyberbullying. Ya, biar nggak cuma melek gadget tapi juga melek risiko! Terus, media massa juga bisa ikut andil nih, bukan cuma buat gosip artis, tapi juga buat nyebarin info yang benar dan positif tentang penggunaan internet. Jadi, internetnya bukan cuma buat stalking mantan doang kali, ya! Mbak Nindy, coba bayangkan, kalau kita ber-lima bisa kerja sama dengan baik, kita nggak cuma sekedar bisa bikin ekosistem digital, tapi juga sehat dan aman dari netizen yang suka bikin drama tanpa plot twist. Kita bisa bangun masyarakat yang nggak cuma cerdas, tapi juga bijak—kayak superhero digital yang tahu kapan harus post dan kapan harus pause. Smart ngak tuh?”

    Nindy menanggapi Kaila”Setuju, Kay. Kita udah banyak ngomongin soal pentingnya literasi digital dan kerjasama lintas sektor buat mencegah cyberbullying. Tapi, coba kita nyelem lebih dalam lagi ke peran medsos dalam hidup kita. Medsos itu emang kayak pisau dapur, bisa bantu kita masak, tapi kalau nggak hati-hati, bisa bikin jari kita kepotong—dan bukan cuma jari, tapi juga opini publik bisa kena dampaknya. Sampai parah.”

    Guys, bayangkan medsos itu pisau Swiss Army—banyak gunanya, tapi kalau salah pakai, bisa melukai diri sendiri. Kita memang bisa menimba pengetahuan tanpa batas, tapi hati-hati, bisa juga tersandung berita palsu yang bikin gaduh,” ujar Edison yang anak keluarga army ini.

    “Setuju, Ed! Ditambah lagi, gadget bisa bikin otak jadi kayak popcorn—ngeletup-ngeletup terus, nggak bisa tenang. Kebanyakan scroll di medsos justru bikin orang malah jadi kesepian, gelisah, bahkan galau abis! Belum lagi kalau sampai jadi zombie, kurang tidur dan pikiran nyebar ke mana-mana,” Ardo mendeskripsikan dengan detil sekali.

    ”Ngomong-ngomong, masalah privasi juga kayak sereal pagi hari tau, gampang tumpah! Kita harus ekstra waspada pas posting info pribadi, jangan sampai ada yang nyedot datamu kayak sedotan bubble tea. Wkwkwkwkwk,” Kaila mempersonifikasi.

    Nindy menyaring ide untuk mengikat kesimpulan,”Nah, jadi masuk nurul kan ? Untuk menangkal hal-hal kayak gini, literasi digital itu memang wajib hukumnya! Biar bisa bedain mana yang fakta, mana yang cuma figuran. Pilah pilih info yang mau di-share, ngak asal tebar gitu aja.”

    Edison mengiyakan,”Betul banget, Mbak Nindy! Apalagi anak-anak, mereka perlu diajari bahwa dunia maya itu bukan taman bermain. Privasi harus dijaga, jangan sembarangan ngasih data ke orang yang baru kenal online.”

    “Sekolah dan keluarga juga harus kompak kayak tim sepak bola! Batasi waktu anak-anak dengan gadget biar mereka nggak lupa cara ngomong di dunia nyata,” Ardo bersemangat layaknya seorang pelatih yang sedang memberi instruksi.

    “Dan pemerintah, please lah, buatlah regulasi yang lebih tajam dari pisau Swiss Army. Verifikasi akun dan bersihkan medsos dari hoaks dan ujaran kebencian kayak ngelap kaca jendela yang udah penuh debu gitu lho. Dengan bareng-bareng, kita pasti bisa bikin dunia online jadi tempat yang sejuk kayak AC di siang bolong. Media sosial bisa dipakai buat hal-hal baik, seperti menyebarkan info bermanfaat, membangun komunitas, dan memperjuangkan kemanusiaan,” Kaila jelas lugas.

    Nindy lagi-lagi memancing mereka dengan pertanyaan,”Gimana yang kecanduan medsos sampai poisoned hubungan sosialnya? Terlalu banyak waktu online bikin lupa kalau orang di sekitar itu lebih dari sekadar profile picture kan?”

    “Iya lho, terlalu asyik ngobrol online bikin orang jadi kikuk kalau harus ngobrol langsung. Nggak cuma itu, kita bisa jadi ahli nge-like tapi gagal paham gesture manusia normal, hehe,” Edison menyela sambil nyengir.

    “Sering bikin kita jadi kayak juri di acara kompetisi. Kita bandingin hidup sama highlight orang lain yang kelihatan sempurna. Akibatnya? Nggak puas sama diri sendiri. And that’s bad,” Ardo tegas.

    Rupanya Kaila mulai agak lelah,”Jadi, yuk dengan project kita,  kita bangun budaya digital yang lebih asyik dan sehat! Ajari anak-anak sejak kecil bahwa dunia nyata itu sama pentingnya, kalau nggak, justru lebih penting malah. Dan, dorong orang untuk ngobrol langsung lebih sering, daripada cuma nge-like postingan doang, jadi otak tuh mikir, bekerja, ngak jadi babunya robot, klik, klik, copy-paste doang.”

    “Capek, La?” tanya Edison.

    “Ngak koq, lanjut,” jawab Kaila mengelak dan disambut oleh Nindy yang tampaknya bersemangat lagi,”Pemerintah harus berperan besar menjaga lingkungan digital yang sehat, terutama soal privasi. Kita butuh regulasi yang ketat biar data pribadi kita nggak disalahgunakan.”

    “Tapi sebelum itu, mungkin pemerintah perlu kursus literasi digital dulu, ya? Biar kita semua bisa pakai media sosial tanpa berakhir di perang komentar,” Edison berkomentar nyinyir.

    “Yang penting, semua pihak musti kompak! Sekolah, keluarga, perusahaan, dan media harus kerja sama. Biar nggak cuma tahu kirim meme, tapi juga bikin lingkungan online seadem AC di siang bolong. No hoax,” Ardo menebar vibrasi ademnya.

    Ngomong-ngomong, hoaks itu kaya bakteri di makanan basi—sekali nyebar, semua orang langsung sakit perut. Bikin kepercayaan anjlok,” Edison teringat sesuatu.

    “Kamu curhat, Ed?” Ardo bercanda,”Untung ada Teteh A-I. Bisa bantu kita dapetin info akurat dan presisi. Kayak polisi aja, PRESISI. Eh, tapi AI juga bisa jadi penjahat super lho kalau dipakai buat bikin konten palsu. Serius. Pernah coba?”

    “Gampang, kalau kita mau. Tapi nggak lah, ngak penting banget buat kelas kayak kita. Emang mau kerja jadi hacker tracker abadi gitu? Resiko tinggi lah. Mendingan cari kerjaan laen,” Kaila menolak.

    Nindy mengalihkan perhatian,”Ya sudah, AI kan akan otomatisasi banyak pekerjaan nih, tapi akan ada juga pekerjaan baru yang butuh skill digital. No worry lah.”

    Edison segera merespon,”Tantangan sekaligus peluang ya? Persaingan dunia kerja makin ketat nih.”

    “Artinya kan kita butuh pendidikan yang siap menghadapi era digital. Artinya kurikulum harus relevan dengan perkembangan teknologi. Begitu kan?” Ardo meyakinkan.

    Kaila langsung menanggapi dengan bertanya,”Tapi pemerintah udah bikin kebijakan yang mendukung teknologi dan melindungi pekerja dari dampak negatif otomatisasi ini, belum?”

    Nindy ingin menyimpulkan,”Yang pasti, sekarang, generasi kita, hidup di era yang penuh perubahan. Untuk menghadapi tantangan, kita perlu terus belajar, beradaptasi, dan bekerja sama. Teknologi harus dimanfaatkan dengan bijak dan bertanggung jawab. Etika itu penting. Dalam pengembangan AI ini penting banget. Kita harus pastikan AI ini dikembangkan untuk kebaikan manusia, bukan sebaliknya.”

    “Itu dia! Etika tidak bisa digantikan oleh AI untuk mengambil pekerjaan manusia. Cuman manusia yang bisa manusiawi. Hidup manusia! Btw, banyak yang khawatir lho AI akan menggantikan peran manusia dalam bidang kreatif seperti seni, musik, dan penulisan. Jadi, bisa-bisa, manusia kalah manusiawi dibanding AI. AI lebih jago ng-edit video atau bikin animasi yang lebih cepat, efisien dan bagus lagi,” Edison seraya bercanda.

    “Ngak cuma itu, AI juga punya potensi besar untuk membantu mengatasi masalah sosial kompleks, seperti kemiskinan, penyakit, dan perubahan iklim, kayak sekarang ini, mengembangkan obat-obatan baru yang lebih efektif, memprediksi bencana alam dan masih banyak lagi,” tambah Mbak Nindy.

    Ardo melengkapi,”Bisa buat produksi pangan dan distribusi bantuan kemanusiaan juga tuh. Ya jadi intinya kita memang harus terus belajar dan mengembangkan diri. Kuasai keterampilan yang relevan dengan perkembangan teknologi, gitu lah intinya, misalnya, pemrograman, analisis data, dan kecerdasan buatan.”

    “Pemerintah harus siapkan masyarakat juga dong untuk hadapi perubahan dunia kerja. Perlu bikin program pelatihan, pendidikan yang relevan dengan kebutuhan pasar kerja masa depan dan masih banyak lagi,” Kaila menganalisa.

    “Merata tidak? Seluruh masyarakat bisa dapet ngak?” tanya Nindy dan lanjutnya,”Kesenjangan digital, Kakak. Ada kesenjangan digital. Ini bisa jadi jurang pemisah antara mereka yang memiliki akses dan kemampuan untuk memanfaatkan teknologi digital dengan mereka yang tidak punya.”

    “Eh iya ya,” sahut Edison. 

    Ardo membantu menanggapi,”Jelas banget, salah satu dampak paling nyata dari kesenjangan digital adalah terbatasnya akses informasi. Bagi mereka yang tidak memiliki akses internet, mereka akan kesulitan mendapatkan informasi terkini, termasuk informasi tentang pendidikan, kesehatan, dan peluang kerja. Parah lho.”

    “Selain itu, kesenjangan digital juga dapat menghambat partisipasi masyarakat dalam kehidupan demokrasi. Misalnya, mereka akan kesulitan untuk mendapatkan informasi tentang calon pemimpin dan isu-isu politik yang sedang terjadi, itu dari sisi politik. Dari ekonomi, mereka yang memiliki akses dan keterampilan digital cenderung memiliki peluang lebih besar untuk mendapatkan pekerjaan yang baik untuk meningkatkan taraf hidup mereka. Kesenjangan digital memperburuk kesenjangan ekonomi juga kan?” Kaila menyampaikan hasil pengamatannya. 

    ”Ini terlalu besar buat proyek kita ya tapi sekedar komentar muluk aku nih ya, untuk mengatasi masalah ini, kita perlu meningkatkan akses masyarakat terhadap teknologi digital. Bagaimana caranya? Pemerintah bangun infrastruktur digital yang memadai lalu menyediakan fasilitas publik yang dilengkapi dengan akses internet gratis. Begitu,” Edison mengomentari.

    “Literasi digital. Jangan lupa program pelatihan dan pendidikan tentang teknologi digital perlu dibikin gebyar supaya masyarakat berhasil memanfaatkan teknologi secara maksimal. Adil kan?” Ardo meyakinkan.

    Kaila bersemangat,”Itu kan butuh kerjasama. Kerjasama antara pemerintah, swasta, dan masyarakat. Jadi tidak senjang digital. Akses adil dan merata terhadap teknologi digital itu wajib hukumnya bagi seluruh lapisan masyarakat. Dan lagi-lagi pendidikan adalah kunci untuk memberdayakan masyarakat supaya bisa memanfaatkan teknologi secara efektif, sebagaimana sepatutnya. Jadi ya pendidikan digital harus dimulai sejak dini. Anak-anak harus diajarkan dasar-dasar teknologi informasi dan komunikasi sejak mereka duduk di bangku sekolah. Aku yakin kalau kurikulum pendidikan perlu diperbarui lagi biar relevan dengan perkembangan teknologi. Kerjaan besar dan banyak lho ini. Bukan hanya buat anak-anak, program pelatihan digital bagi masyarakat dewasa juga perlu banget, sama-sama perlu, terutama bagi mereka yang kurang beruntung. Ya kayak tadi, program pelatihannya bisa berupa kursus online, workshop, atau pelatihan berbasis komunitas. Gratis lah harusnya.”

    Edison mengingatkan kembali,”Udah banyak lho perusahaan teknologi besar yang terlibat upaya mengatasi kesenjangan digital. Mereka memberikan donasi perangkat keras, software, dan pelatihan gratis kepada masyarakat yang kurang beruntung.”

    Nindy mencoba membuat kesimpulan, ”Kesimpulannya, mengatasi kesenjangan digital adalah tantangan yang kompleks, namun bukan tidak mungkin. Dengan kerjasama antara pemerintah, swasta, masyarakat, dan lembaga pendidikan, kita bisa bikin masyarakat digital yang inklusif dan sejahtera. Tapi bagi mereka yang baru terhubung dengan dunia digital, penting pastinya untuk memahami terlebih dahulu dampaknya terhadap kesehatan mental karena bisa jadi sumber stres. Bagaimana tuh?”

    “Kalau aku pribadi sih berusaha lebih mindful, luangkan waktu untuk diri sendiri. Misalnya, meditasi atau jalan-jalan di alam, ngopi santai yang tenang juga bisa, kalau aku lagi ‘en’ek sama obrolan dengan seseorang yang rada bebal gitu di salah satu grup,” Ardo menjawab.

    Edison rupanya serupa tapi tak sama dalam kalimatnya,”Aku juga pengen mindfulness, tapi serius susah benar-benar lepas dari gadget. Ada aja alas an logis yang aku blik lagi, balik lagi ke hp padahal udah muak, marah dan jenuh gitu misalnya.”

    “Wajar, semua orang juga pasti gitu, Ed. Tapi paksakan lah. Kondisinya kan udah darurat. Kamu udah kebawa emosi yang ngak sehat segala. Itu kan udah ngak beres lah. Atur waktu penggunaan gadget, paksain, terus cari kegiatan lain yang bisa nenangin pikiran,” Nindy menyampaikan masukannya.

    Akhirnya si raja IT, Gery buka mulut setelah berjam-jam hanya menyimak. Rupanya topik ini sangat disukainya,”Intinya di etika. Emosi naik karena ada yang tersinggung. Tersinggung bukan sekedar karena abeda pendapat tapi merasa tertekan karena kata-kata yang dirasakan sangat menggigit dan menyakiti. Etika. Itu yang jadi sumber masalah. AI memang bermanfaat, sekaligus bisa berbahaya kalau tidak terkendali.”

    “Aku kurang paham soal AI, tapi yang pasti kita harus bijak dalam menggunakan teknologi,” Edison memberi komentar.

    Ardo teringat,”Ini, ini nggak ada hubungannya dengan teknologi dan proyek kita nanti tapi ini tetap jadi urusan. Lingkungan pergaulan yang stress kayak begitu itu bikin kualitas pribadi jadi error. Kalau terpenjara sendiri di jaringan, sudah tahu dirinya lagi kejebak, bagaimanapun rasanya, mulai berantem lah atau apa lah gitu, tapi gak bisa keluar, malah tambah penasaran balik lagi, balik lagi cek posting n comment, wah, ngak bisa lepas, beres deh, cari selamat masing-masing aja. Ngak ada yang bisa bantu. Beda ceritanya kalau semua orang sadar bahwa setiap individu punya hak untuk menjadi diri sendiri. Berhak menciptakan perubahan positif buat dirinya sendiri, tanpa harus menunggu bantuan dari orang lain terlebih dahulu.”

    Kaila mencoba mengakhiri diskusi,”Kalau begitu, yuk, kita mulai dari diri sendiri. Kita jadi contoh yang baik bagi orang lain dengan melakukan proyek-proyek kita. Menyebarkan pesan positif melalui media sosial dan mengajak teman-teman yang memang ahli, yang bisa megang, untuk ikut terlibat.”

    Gery,“Let’s go. Gas pol keun! Kita bikin dunia yang lebih baik!”

    Akhirnya, mereka ber-lima menemukan cara untuk berkolaborasi. Mereka merencanakan proyek yang menggabungkan kepedulian Ardo terhadap lingkungan sosial, dukungan psikologis dari Nindy, teknologi etis dari Gery, dan pengalaman praktis Edison di dunia kerja. Proyek tersebut menjadi inisiatif yang bukan hanya mendukung lingkungan pergaulan positif generasi sejamannya saja, melainkan juga menjaga kesehatan mental generasi muda seiring upaya menciptakan inovasi teknologi yang bermanfaat.

     

    Pesan Moral:

    Di era digital yang semakin mendominasi kehidupan, teknologi telah menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, teknologi memudahkan kita dalam berbagai aspek kehidupan, namun di sisi lain, penggunaan yang berlebihan dapat mengancam kesehatan mental dan kesejahteraan kita. Oleh karena itu, kita perlu bijak dalam memanfaatkan teknologi. Dengan membatasi waktu di depan layar dan membangun relasi sosial yang lebih kuat, kita dapat menciptakan keseimbangan yang sehat. Namun, upaya ini tidak cukup jika hanya dilakukan oleh individu. Kolaborasi lintas sektor, mulai dari keluarga, sekolah, hingga pemerintah, sangat penting untuk menciptakan lingkungan digital yang aman dan positif. Dengan kesadaran bersama, kita dapat membentuk ekosistem digital yang memberdayakan, menginspirasi, dan mendukung pertumbuhan semua orang. Mari kita jadikan teknologi sebagai alat untuk meningkatkan kualitas hidup, bukan sebagai belenggu yang membatasi kita. Perubahan dimulai dari diri sendiri, namun dampaknya akan terasa jika kita bergerak bersama.

     

     

    Kreator : Adwanthi

    Bagikan ke

    Comment Closed: Navigasi Hidup di Era Digital

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Menurut Stephen Covey Manusia Memiliki Kebutuhan Dasar, Kecuali? a. To Live b. To Love c. To Listen d. To Leave the Legacy Jawaban: c. To Listen Menurut Stephen Covey Manusia Memiliki Kebutuhan Dasar, Berikut Pembahasannya: Stephen Covey, seorang penulis dan konsultan manajemen terkenal, dalam karya-karyanya sering membahas tentang kebutuhan dasar manusia. Dalam bukunya yang terkenal, […]

      Jun 25, 2024
    • Hari sudah menunjukkan pukul 14.30. Suasana di sekolah tempat Ustadz Hamdi mengabdikan diri sudah mulai sepi. Anak-anak sudah banyak yang pulang. Ustadz Hamdi masih duduk di meja kerjanya sambil memeriksa satu persatu tugas murid-muridnya. Saat itu tiba-tiba HP Ustadz Hamdi berdering “Kriiing, kriiing, kriiing…”  “Halo…., Assalamu alaikum !”  “Wa alaikum salam. Ini Lisa, pak Ustadz.” […]

      Jun 06, 2024
    • Aku adalah teman sekelas Sky di SMP, kami berada dikelas yang sama selama 3 tahun. Sekarang setelah masuk SMA kami berada di sekolah dan kelas yang sama. Sky selalu menjadi orang terpopuler di sekolah, Sky tinggi,  tampan, dan sangat ramah. Namun sayangnya aku merasa dia selalu dingin hanya padaku, aku bahkan tidak tau alasan dibalik […]

      Jun 10, 2024
    • Mahaga Belom Bahadat adalah bahasa Dayak Ngaju yang mempunyai makna yaitu menjaga kehidupan yang saling menghargai, menghormati serta menjunjung tinggi kehidupan Adat Istiadat maupun tradisi kearifan lokal di wilayah yang kita tempati. Era zaman sekarang ini sudah banyak sekali para generasi yang melupakan prinsif-prinsif hidup yang telah dulu ditinggalkan para leluhur(nenek moyang) kita, padahal banyak […]

      Jun 02, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021