KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Cerita Anak
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Ogashira Bab 1

    Ogashira Bab 1

    BY 22 Agu 2024 Dilihat: 43 kali
    Ogashira Bab 1_alineaku

    MUSHO-SHUGYO

    Hembusan angin musim gugur bertiup pelan menyemai udara kering yang nyaris dingin menusuk kulit. Hari-hari di minggu ke dua pertengahan Nopember dijalani sebagaimana biasanya oleh penduduk Kota Tadotsu.

    Kuil utama Shorinji Kempo terlihat angkuh dikelilingi pemukiman-pemukiman. Warna merah yang mendominasi dinding-dindingnya menjadi ciri khas yang nampak kontras dengan warna-warna dinding bangunan lainnya.

    Bagaimanapun, bangunan ibadah yang merangkap sebagai perkumpulan pusat seluruh organisasi kempo aliran shaolin itu menjadi salah satu ikon kota kecil yang berada di Distrik Kagawa yang berada dibagian barat Pulau Shikoku. 

    Patung penjaga berwajah seram, berdiri tegak penuh aura keangkeran menempati kedua sisi gerbang luar dari bangunan tersebut. Beberapa biksu yang mengenakan jinbei lusuh keabu-abuan hilir mudik. Sebagiannya membersihkan halaman menggunakan sapi lidi, sebagian lainnya merapikan taman-taman bunga yang menghiasi halaman utama yang luas itu.

    Nun jauh di dalam gedung, disebuah ruangan yang begitu luas dan selesa, lantainya dihampar matras hijau. Dua orang lelaki berdiri saling berhadapan. Bagian tepian matras diduduki oleh beberapa sohei berpakaian jinbei yang terlihat bersih berwarna putih. Kepala mereka yang plontos dibalut bandana putih pula.

    Di kamiza yang seluruh dinding dan lantainya dilapisi marmer coklat tua, nampak sebuah altar yang diduduki sesosok arca Doshin So, pendiri kuil Shorinji dalam ujud Amida Nyorai, dikawal oleh dua penjaga berwajah seram. Didepan kamiza, duduk tenang dengan gaya seiza diatas bantal jerami, seorang lelaki berusia lanjut mengenakan pakaian dharma warna coklat lusuh yang dibalut dengan kasaya coklat tua dihiasi beberapa sulaman unik, menjuntai menutupi sebagian lantai disisinya. 

    Kedua lelaki yang berdiri berhadapan itu, salah satunya me-ngenakan pakaian layaknya seorang sohei, sedangkan satunya lagi – yang pastinya bukan anggota kuil itu – berdiri tenang melipat tangannya dibelakang.

    “Kuberikan lagi engkau waktu untuk memikirkan kembali niatmu, menantang Shinbe…” ujar kepala biara Shorinji. “Setelah kau me-mantapkan hati, jalan keluar yang tersisa hanya bertempur sampai ada diantara kalian yang takluk…”

    Si penantang adalah seorang pemuda berusia 25 tahun, ber-wajah tampan perpaduan tektur wajah jomon dan yayoi menjadikannya sebagai lelaki paling tampan di tempat itu. Pemuda itu mengenakan kemeja tipis hitam berlengan panjang dihiasi pola mega merah gaya Akatsuki, dipadu dengan celana jogger hyperbeast hitam dan sepatu jikatabi yang membalut kedua kakinya. Rambutnya yang panjang diikat dengan gaya setengah chonmage, membiarkan bagian belakang rambut-nya terulur panjang ke tengkuk. Pemuda itu tersenyum. 

    “Aku tak mungkin menjejaki tempat ini, jika masih memikirkan rasa takut untuk mati…” ungkapnya menjawab tawaran yang diusulkan kepala kuil Shorinji tersebut.

    Kepala kuil itu tersenyum kembali. “Jika memang seperti itu, apa mau dikata?” 

    Kepala kuil itu mengisyaratkan kepada salah satu biksu untuk segera memimpin jalannya pertandingan. Masing-masing petarung sebelumnya memperkenalkan nama, mengikuti tata cara shiaijo.

    “Shinbe Nakamura, Shorinji Kempo Honbu…” ujar lelaki bertubuh kekar yang dibalut dengan jinbe putih bersih. Mantel hitamnya me-nutupi pakaian itu dan diikat dengan sebuah tali sabut besar yang ujung-nya menjuntai hingga lutut. Penantang itu mengangguk. 

    “Saburo Koga, Izumo No Shimoyashiki… Shiga…” ujarnya mem-perkenalkan diri dan menyebut asal tempat tinggalnya pula.

    Setelah perkenalan nama, masing-masing petarung mulai ber-sikap siaga. Sang biksu memperbaiki bandana di kepalanya lalu mulai memasang sikap ko manji waza, gaya bertarung khas para biksu kuil Shorinji. Sementara Saburo Koga menggunakan sikap hira to hoko. Kedua cakarnya terpentang ke depan. Itu adalah gaya umum untuk me-nerapkan jurus Cakar Peremuk Tulang, salah satu seni beladiri tangan kosong gaya Koga Ryu Bujutsu.

    “Mulai!!!” seru Kepala Kuil memerintahkan agar kontes itu segera dimulai.

    Diiringi teriakan kisei, Shinbe maju menyerang, bersamaan dengan Saburo yang juga berlari ke depan menyongsong serangan lawannya.

    TRAK!!!!

    Tinju yang dilayangkan Shinbe, ditangkis Saburo dengan me-nyilangkan pergelangan cakarnya, menjepit kepalan tangan lawannya. Shinbei sejenak terkejut lalu cepat menarik tangannya. Saburo tak membiarkannya. Cakar bagian kanan pemuda itu menangkap cepat pergelangan tangan Shinbe dan mengarahkannya keluar, sementara cakar kirinya mengayun dari sisi kiri, mengincar wajah sang biksu.

    Shinbe tak patah semangat. Tangan kirinya maju memperisai wajahnya, menangkap cakar kiri milik Saburo yang nyaris menorehkan luka di wajahnya.

    TAP!!!

    Saburo sempat terkejut, lalu mengayunkan tendangannya dengan pola mawashi mengincar rusuk kiri lawannya. Dengan sigap, Shinbe menendang kaki kanan Saburo dengan gaya harai, hingga pemuda itu terpelanting.

    Dengan sigap, Saburo yang tadinya bergelut tangan langsung mencengkeram mantel hitam Shinbe. Dengan memanfaatkan berat tubuhnya, Saburo meniru gaya yoko sutemi dari Judo, berhasil membuat Shinbe ikut jatuh menghantam lantai dan sekali lagi Saburo menerapkan teknik ma sutemi, pemuda itu membanting dan melemparkan lawanya ke belakang.

    BLUGH!!!

    Shinbe sempat bergulingan di matras itu sebelum akhirnya bangkit lagi memasang sikap tempurnya. Sementara Saburo telah bangkit dan kembali maju menerkam lawannya.

    “Lihatlah seranganku, kawan…” seru Saburo melompat ke depan dan berputaran, melayangkan tendangan ushiro yoko tobi mengincar wajah Shinbe.

    “Kakak!!!” seru salah satu biksu yang kuatir, menyeru me-ngingatkan kakak tingkatnya untuk mengaktifkan zanshin

    Shinbei terkejut namun cepat bergulingan ke samping dan bangkit lagi. Sementara Saburo terus mencecarnya dengan serangan yang lebih menitikberatkan pada kelincahan kaki, mirip praktisi Tae-kwon-do yang terus mengincar lawannya.

    Berbagai teknik tendangan mae geri dan mawashi serta yoko geri yang dikombinasikan hanya bisa ditangkis dan dielakkan oleh Shinbe yang tetap waspada sambil mencari celah dari serangan tersebut.

    Tiba-tiba Shinbe maju menghujamkan sikutnya ke tubuh Saburo, tepat dimana pemuda itu baru saja hendak melayangkan tendangan mawashi mengincar wajah lawannya.

    DUK!!!   UGH…

    Saburo terjejak selangkah ke belakang dan Shinbe maju lagi sambil memutar tubuhnya bagai gasing, melayangkan tinju tetsui dari samping. Saburo yang tak sempat mengantisipasi hanya bisa me-nyilangkan kedua lengannya didepan wajah saat tinju itu nyaris meng-hancurkan permukaan wajah itu.

    BAM!!!!

    Saburo kembali terjejer beberapa langkah ke belakang. Shinbe maju lagi menyerang dan melompat ke depan dan menghujamkan tendangan mae tobi.

    Saburo lekas melempar tubuhnya ke belakang lalu melenting lagi ke depan membuat serangan lawan hanya mengenai udara kosong. Shinbe mendarat dengan baik di matras lalu maju kembali mengejar Saburo.

    Pemuda itu menggeram sejenak. Dengan kesal, Saburo me-neriakkan kiai yang dipadu dengan tenaga dalam ‘Bahana Penggetar Sukma’ yang diajarkan Trias kepadanya.

    HAAARRRRRGGHHHH…

    Gelombang suara berfrekuensi 8 Mhz menghasilkan tenaga sekuat 117 Desibel, menciptakan suatu tenaga yang membuat Shinbe mengalami disorientasi metabolisme tubuh. Biksu itu merasakan tubuh-nya mengalami kelumpuhan beberapa saat. Kepala kuil Shorinji kaget bukan main menyaksikan pemuda itu mengeluarkan tenaga dalam melalui teriakan yang berhasil membuat murid kesayangannya terpaku beberapa saat.

    “Auman Singa?!” serunya kaget, mengingat-ngingat sebuah teknik sejenis yang diciptakan biksu asal Tibet, Ah Datta.

    Saburo kembali mempersiapkan serangannya. Kali ini adalah serangan pamungkas. Kembali dengan meneriakkan kiai, tanpa tenaga dalam, pemuda itu maju menghujamkan ‘Tinju Pembuyar Energi’ yang dipelajarinya dengan baik dari kitab Kanrinseiyo, warisan keluarganya.

    Biksu kepala kembali terkejut. Tanpa sadar dia menyeru. “Seni Kuno Sembilan Rembulan!”

    Shinbe terkejut mendengar seruan kaget dari gurunya. Pikiran biksu itu bergerak cepat. Sembilan Rembulan adalah seni tenaga dalam khusus yang diciptakan seorang kasim Kerajaan Yuan bernama Huang Shan. 

    Untungnya, kuil Shorinji memiliki seni yang mirip, disebut dengan Tenaga Inti Sembilan Matahari. Shinbe langsung merapal sutra dan mengumpulkan inti prana dari sekujur tubuhnya, dipusatkan pada inti hara ditubuhnya. 

    Pengerahan tenaga inti Sembilan Matahari yang dilakukan Shinbe, membuat tubuhnya diselubungi sebuah tenaga gaib. Biksu itu merapal sutra dari ajian Lonceng Baja Arhat Emas.

    BAM!!!!

    Hawa dingin yang memancar kuat dari Tinju Pembuyar Energi yang dilayangkan Saburo menghantam tubuh Shinbe yang sudah dibalut tenaga dalam Lonceng Baja Arhat Emas dari tenaga inti Sembilan Matahari yang memancarkan hawa panas, menimbulkan bentrokan tenaga dalam.

    Tubuh keduanya terlempar ke belakang dan jatuh bergulingan. Dengan susah payah, Saburo bangkit lalu berlutut. Lengan kanannya menyangga matras dan berupaya menetralkan metabolisme tubuhnya yang sempat kacau akibat bentrokan tenaga dalam itu. 

    Sementara Shinbe pun bangkit lalu duduk bersila dan me-nerapkan meditasi untuk kembali menormalkan seluruh serat-serat otot dan tenaga spiritualnya yang juga mengalami gangguan sirkulasi. Wajah keduanya pucat. Saburo merasakan gerah hingga membuka seluruh kancing kemeja, hingga pakaian itu membuka, menampilkan tubuh cekingnya yang kekar dibalut kaos jaring menerawang.

    Shinbe kemudian bangkit dan kembali memasang sikap ber-tarung. Biksu itu menatapi lawannya yang juga akhirnya bangkit berdiri dengan susah payah karena tenaga dalamnya terkuras banyak dalam adu ajian tadi.

    “Belum ada diantara kita yang jatuh… kita masih bisa melanjut-kan pertarungan ini…” kata Shinbe dengan senyum hambar.

    “Kau benar…” ujar Saburo membenarkan.

    “Kau sudah siap?” tukas Shinbe.

    “Aku selalu siap!” sahut Saburo.

    Diiringi kembali oleh teriakan kisei, Shinbe merapal sutra dan maju kembali mengandalkan ajian Lonceng Baja Arhat Emas. Biksu itu ingin segera mempercepat kemenangannya. Saburo ikut maju dan melayangkan serangan. Keduanya kini kembali terlibat adu jotos, tendang dan tangkis. Namun sekali lagi, keduanya belum menampakkan tanda-tanda rontoknya stamina. Para biksu yang menonton menatap dengan kagum atas lawan dari kakak seperguruan mereka.

    Biarawan kepala membisikkan sesuatu kepada salah satu biksu. Lelaki botak berbandana hitam itu mengangguk lalu bangkit meninggal-kan ruangan tersebut.

    Sementara pertarungan masih berlangsung. Dalam waktu yang sudah berjalan selama satu jam itu. tanda-tanda kerontokan stamina mulai terlihat. Kedua petarung itu sudah sempoyongan. Wajah mereka babak belur terkena hantaman tinju dan tendangan.

    Yamette!!!” seru kepala kuil, tiba-tiba menyerukan agar per-tandingan dihentikan.

    Saburo benar-benar bersyukur, biksu kepala menyerukan ber-akhirnya kontes tarung tersebut. Jujur saja, pemuda itu nyaris menyerah kalau saja rasa gengsi sebagai laki-laki tidak menekan sanubarinya sedemikian rupa.

    Shinbe mundur beberapa langkah ke belakang lalu berdiri me-ngumpulkan nafas ke paru-parunya dan menghembuskannya dengan pelan. Biksu itu juga merasakan tubuhnya terasa lelah dan sakit akibat kerontokan stamina.

    Para biksu yang duduk di sisi-sisi matras akhirnya berdiri, diikuti oleh biksu kepala kuil. Lelaki botak berpakaian pabbajja itu melangkah maju ke tengah matras, berdiri diantara dua petarung tersebut.

    “Kontes ini dicukupkan saja disini…” perintahnya kemudian menatap Saburo. “Anda sudah boleh meninggalkan tempat ini…” ujarnya. 

    Saburo menatapi sang kepala biara. “Yang Mulia, Kakuzenbo … apakah anda berpikir kami berdua tidak akan bisa menyelesaikan semuanya dengan baik dan terhormat?” sindirnya dengan kesal.

    “Bukan begitu, Tuan Muda Izumo no Kami Nidaime…” bantah Biksu Kepala, Kakuzenbo dengan senyum bijaknya.

    “Lalu, apa yang Tuanku inginkan?” tanya Saburo dengan datar dan tenang, sambil mengacingkan sebagian kemejanya.

    “Mari kita bicara di diruang minum teh.” ajak biksu kepala. Saburo menarik napas sejenak lalu menatap Shinbe. 

    “Kelihatannya, biksu kepala tak mau reputasi Shorinji Kempo yang terkenal itu, diserobot oleh golongan Ninja Koga…” sindirnya.

    Shinbe hanya tertawa lalu mengangkat bahu. “Terserah penilai-anmu, Tuan Muda Saburo…” ujarnya menangkis. “Kita masih bisa melanjutkan pertarungan ini, kapan saja kau mau…”

    Saburo tertawa pelan lalu berbalik melangkah meninggalkan dojo tersebut, diikuti oleh Biksu Kepala Kakuzenbo, pimpinan kuil Shorinji dan beberapa biksu utama lainnya. Sepeninggal mereka, Shinbe menatap para biksu yang lainnya. 

    “Silahkan meninggalkan tempat ini dan kembalilah ke asrama kalian…” ujarnya memerintah.

    Para biksu membungkuk hormat lalu bangkit berdiri dan melangkah bersama-sama meninggalkan ruangan yang lapang itu. Shinbe sendiri hanya terdiam disana, membiarkan dirinya tenang sembari menyaksikan arca Doshin So yang duduk tenang di altar kamiza, seakan menatap ke arahnya. 

    ***

    “Kelihatannya, musim dingin kali ini agak sedikit ekstrim.” Ungkap Kakuzenbo sambil tersenyum, menyesap sedikit air teh dalam cangkir kecilnya.

    Saburo tersenyum. “Rotasi bumi menyebabkan arah matahari bergeser sedikit ke arah selatan. Mungkin saja itu penyebabnya…” balas pemuda tersebut.

    “Reputasimu sebagai petarung, sudah kubuktikan. Tidak salah kelima puluh tiga keluarga Koga memilihmu sebagai ogashira.” Puji biksu itu lagi, menghasut rasa bangga dihati pemuda tersebut.

    “Tidak juga… aku mendapatkannya dengan perjuangan keras, Hoshi-dono… meskipun aku dari keluarga Mochizuki, tetap saja status avidavvitku membuat sebagian lainnya ragu. Untung saja, Paman Shigetora dari keluarga Ban, mendukungku. Jadi… anda sudah bisa me-nebaknya sendiri…” kilah Saburo merendahkan dirinya.

    Kakuzenbo tersenyum mengenang bangsawan Shiga yang tinggal di Kastil Hikone tersebut. lelaki berkepala plontos itu mengangguk-angguk.

    “Ada satu lagi pertanyaanku. Maaf jika ini membuatmu sedikit tidak berkenan…” pinta Kakuzenbo dengan hati-hati.

    “Katakan saja…” sahut Saburo.

    “Isu tentang seni kuno Sembilan Rembulan yang pernah terkenal di era kerajaan Yuan dan Ming, ternyata nampak dalam jurus-jurusmu. Apakah keluarga Mochizuki memang mempelajarinya?” selidik Kakuzen-bo dengan tatapan menyipit.

    Saburo tersenyum, “Moyangku, Kaneie Mochizuki yang mem-pelajarinya lalu menggabungkannya dengan pengajaran yang didapat dari guru-gurunya. Kitab Kanrinseinyo sudah menjelaskannya dalam pembukaannya…” tuturnya.

    “Lalu… auman singa…” selidik Kakuzenbo lagi.

    “Itu bukan jurus Auman Singa…” ralat Saburo. “Memang terlihat agak mirip. Tapi, jurus itu diajarkan oleh pamanku, seorang pimpinan polisi di Gorontalo… menurut pamanku, jurus itu dipelajarinya dari kakek buyutku, Ridhwan Mantulangi, salah seorang pendekar langga aliran linula Suwawa…” 

    Langga?” tukas Kakuzenbo.

    Saburo mengangguk. “Di Gorontalo, ada satu jenis beladiri yang dipelajari tidak secara umum… ujian tertingginya adalah tongkade, yaitu berkelahi didalam sarung, antara dua orang petarung yang dibekali sebilah pisau yang dinamai bito palepe.” Tuturnya.

    “Hm… menarik…” gumam Kakuzenbo berbinar-binar.

    “Kapan-kapan, jika Tuanku Hoshi-dono berminat, saya bisa me-ngajak anda pesiar ke Gorontalo… ke Suwawa… anda bisa berbagi pe-ngetahuan anda tentang seni beladiri dengan para jawara langga disana, insya Allah…” tambah Saburo lagi.

    “Mungkin lain waktu…” tolak lelaki tua itu dengan santun. Keduanya kembali menikmati secangkir teh diserambi kuil sambil me-mandangi butiran salju yang sudah mulai turun.[]

     

     

    Kreator : Kartono

    Bagikan ke

    Comment Closed: Ogashira Bab 1

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Menurut Stephen Covey Manusia Memiliki Kebutuhan Dasar, Kecuali? a. To Live b. To Love c. To Listen d. To Leave the Legacy Jawaban: c. To Listen Menurut Stephen Covey Manusia Memiliki Kebutuhan Dasar, Berikut Pembahasannya: Stephen Covey, seorang penulis dan konsultan manajemen terkenal, dalam karya-karyanya sering membahas tentang kebutuhan dasar manusia. Dalam bukunya yang terkenal, […]

      Jun 25, 2024
    • Hari sudah menunjukkan pukul 14.30. Suasana di sekolah tempat Ustadz Hamdi mengabdikan diri sudah mulai sepi. Anak-anak sudah banyak yang pulang. Ustadz Hamdi masih duduk di meja kerjanya sambil memeriksa satu persatu tugas murid-muridnya. Saat itu tiba-tiba HP Ustadz Hamdi berdering “Kriiing, kriiing, kriiing…”  “Halo…., Assalamu alaikum !”  “Wa alaikum salam. Ini Lisa, pak Ustadz.” […]

      Jun 06, 2024
    • Aku adalah teman sekelas Sky di SMP, kami berada dikelas yang sama selama 3 tahun. Sekarang setelah masuk SMA kami berada di sekolah dan kelas yang sama. Sky selalu menjadi orang terpopuler di sekolah, Sky tinggi,  tampan, dan sangat ramah. Namun sayangnya aku merasa dia selalu dingin hanya padaku, aku bahkan tidak tau alasan dibalik […]

      Jun 10, 2024
    • Mahaga Belom Bahadat adalah bahasa Dayak Ngaju yang mempunyai makna yaitu menjaga kehidupan yang saling menghargai, menghormati serta menjunjung tinggi kehidupan Adat Istiadat maupun tradisi kearifan lokal di wilayah yang kita tempati. Era zaman sekarang ini sudah banyak sekali para generasi yang melupakan prinsif-prinsif hidup yang telah dulu ditinggalkan para leluhur(nenek moyang) kita, padahal banyak […]

      Jun 02, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021