Di atas puncak kekuasaan, terdapat seorang penguasa yang pernah berjanji setinggi langit. Janjinya dulu gemerlap seperti bintang di malam gelap, menjadi harapan bagi mereka yang terjebak dalam labirin kehidupan yang keras. Dia adalah seorang orator ulung, yang dengan kata-katanya mampu menenun mimpi-mimpi rakyat kecil menjadi kain keinginan yang tampak begitu indah. Namun, ketika janji itu berubah menjadi kenyataan kekuasaan, sang penguasa mulai kehilangan jejak langkah yang dulu penuh tekad.
Seperti layang-layang yang putus dari talinya, dia terbang jauh dari akar yang pernah membuatnya berdiri tegak. Fasilitas negara, yang awalnya hanya alat untuk melayani, berubah menjadi sarang kemewahan tempat dia berlindung dari kenyataan. Istana megah tempat dia berdiam kini lebih menyerupai benteng tak tertembus, memisahkannya dari suara-suara yang dulu mengangkatnya ke puncak. Dari dalam istana itu, dunia luar terlihat seperti bayangan samar, tak lebih dari sekadar lukisan yang tergantung di dinding.
Janji-janji yang dulu dilaungkan dengan semangat membara, kini hanya menjadi gema kosong yang tertinggal di angin. Suara rakyat yang dulu bergemuruh, kini berubah menjadi bisikan lemah, terserap oleh dinding-dinding kekuasaan yang tebal. Penguasa itu, yang pernah menjanjikan kesejahteraan untuk setiap jiwa yang lapar, kini duduk nyaman di singgasana yang dilapisi sutra dan emas, terlena dalam buaian kenikmatan yang disediakan oleh kekuasaan.
Dia menjadi seperti raja dalam dongeng lama, yang tertidur lelap di bawah pengaruh racun manis kekayaan dan kemegahan. Matanya yang dulu tajam, kini tertutup oleh kelopak keserakahan. Telinganya yang dulu peka terhadap keluhan rakyat, kini tersumbat oleh derai tawa dan musik pesta-pesta di dalam istana. Hatinya yang dulu dipenuhi oleh harapan dan niat baik, kini tertutup rapat oleh tirai kebodohan yang dipintal dari benang keangkuhan.
Rakyat kecil, yang dulu menaruh harapan pada setiap kata yang diucapkan oleh sang penguasa, kini merasakan pahitnya kenyataan. Mereka adalah akar pohon yang merentangkan dirinya ke tanah, mencari nutrisi dari janji-janji yang dijanjikan. Namun, pohon itu kini hanya memberikan bayangan gelap, sementara buah-buah kesejahteraan yang dijanjikan tak pernah tumbuh. Daun-daun keadilan yang dulu hijau, kini layu dan gugur, ditiup angin ketidakpedulian.
Penguasa itu, meski kini berada di puncak kekuasaan, sesungguhnya sedang terjebak dalam lingkaran ilusi yang ia ciptakan sendiri. Setiap hari yang berlalu hanya mempertebal tembok-tembok yang memisahkannya dari dunia nyata, sementara hatinya semakin jauh dari kehangatan yang dulu ia janjikan kepada rakyatnya. Seperti seorang pelukis yang terlupa akan warna aslinya, dia terus menggoreskan kuas di atas kanvas kekuasaan, tetapi lukisannya semakin pudar, kehilangan makna dan keindahannya.
Namun, tidak ada kekuasaan yang abadi, tidak ada janji yang bisa selamanya terbungkus dalam kain kebohongan. Ketika rakyat mulai sadar, ketika mereka melihat bahwa yang mereka gantungkan harapan ternyata hanyalah bayangan semu, maka suara mereka akan kembali menggaung, memecah kesunyian yang selama ini menyelimuti istana. Layaknya air yang mencari celah untuk mengalir, rakyat akan menemukan cara untuk meruntuhkan tembok-tembok keserakahan dan ketidakpedulian.
Pada saat itu, penguasa akan terbangun dari tidurnya, tetapi mungkin sudah terlambat. Singgasananya yang megah tak lagi nyaman, karena ia kini menyadari bahwa kekuasaan yang diperolehnya hanyalah ilusi, dan rakyat yang dulu mempercayainya kini telah meninggalkannya. Dan ketika dia memandang ke luar jendela istananya, dia hanya akan melihat reruntuhan janji-janji yang pernah ia buat, berserakan di atas tanah yang dulu subur oleh harapan.
Penguasa itu mungkin telah lupa, tetapi alam semesta tidak pernah tidur. Setiap janji yang diucapkan adalah benih yang ditanam di tanah takdir. Jika janji itu tidak ditunaikan, maka benih itu akan tumbuh menjadi pohon yang berakar dalam di tanah ketidakpercayaan. Dan ketika pohon itu tumbang, ia akan membawa serta semua yang berada di bawah naungannya, termasuk sang penguasa yang pernah merasa aman di puncaknya.
Pada akhirnya, kekuasaan adalah ujian. Ujian untuk tetap setia pada janji, untuk menjaga keseimbangan antara kenyamanan pribadi dan kesejahteraan rakyat. Penguasa sejati bukanlah dia yang terlena di singgasana, tetapi dia yang tetap berdiri tegak meski badai cobaan menghantam, yang tetap mendengarkan suara rakyat meski bisikan kesenangan memanggilnya dari segala penjuru. Hanya dengan begitu, dia bisa menjadi penguasa yang benar-benar besar, bukan hanya dalam kekuasaan, tetapi juga dalam hati rakyatnya.
Kreator : Wista
Comment Closed: Penguasa yang Tertidur di Singgasana Janji
Sorry, comment are closed for this post.