Ery meradang, darahnya mendidih mendengar ucapan liar tak bertanggung jawab yang beredar di lingkungan tempat tinggalnya. Kejengkelan dan kemarahannya itu diungkapkannya lewat rangkaian kata-kata protes yang dia unggah di status whatsappnya.
Ucapan yang mencap negative para kaum ibu single parent seperti dirinya yang telah berjuang keras untuk bisa bertahan hidup, membiayai anak-anaknya. Ibu yang punya beban berlipat karena dipaksa mengambil alih tanggung jawab keluarganya setelah kepergian sang suami. Diantara mereka ada yang karena ditinggal mati sang kekasih pendamping hidupnya dan ada juga karena ditinggal menikah dengan wanita lain.
Seperti apapun asbab status mereka menjadi single parent, apakah karena ditinggal mati oleh suami ataukah karena ditinggal menikah lagi, satu hal bahwa mereka kini memikul beban yang lebih berat. Beban yang sebelumnya menjadi tanggung jawab sang suami kini beralih ke pundaknya.
Maka ketika ditengah kelelahan berjuang tersebut muncul narasi-narasi memojokkan bahkan terkesan menuduh dengan hal-hal yang tidak pantas terkait dengan status mereka. Sangat wajar mereka bereaksi akan tetapi akan lebih bijak jika bentuk protes itu tidak perlu diupload dalam status karena akan tersiar ke publik dan orang yang awalnya tidak tahu menjadi penasaran dan bertanya-tanya bahkan mungkin berprasangka liar.
Apalagi ketika dalam postingan yang dipasang tersebut tidak sekedar protes tetapi sekaligus tuduhan yang memojokkan orang lain yang punya status sama dan dianggapnya menjadi penyebab muncul berita-berita miring terkait keberadaan single parent. Status protes pembelaan atau apapun namanya tidak akan banyak memberi pengaruh atas eksistensi mereka. Paling jauh orang akan turut bersimpati sesaat setelah itu mereka disibukkan dengan diri masing-masing.
Maka daripada waktu habis untuk memikirkan berita-berita yang memojokkan status seorang single parent yang justru hanya akan menurunkan semangat dan membuat sakit hati, akan lebih produktif jika mereka fokus pada tugas utamanya menjalankan peran sebagai ibu sekaligus ayah bagi anak-anaknya. Mendidik mereka agar tumbuh menjadi anak-anak yang baik.
Single parent pada dasarnya bukan hanya berlaku pada seorang ibu, seorang suami yang ditinggal istrinya pun maka secara otomatis menjadi seorang orang tua tunggal atau lebih popular dikenal dengan single parent. Yang membedakan adalah peran orang tua sebagai pencari nafkah keluarga tetap aman karena sang ayah sebagai kepala rumah tangga masih ada. Selain itu stigma negative yang kadangkala dilekatkan pada seorang wanita yang berperan sebagai orang tua tunggal.
Tidak sedikit orang tua tunggal yang berhasil mengantarkan anak-anak mereka menjadi orang-orang besar. Sebutlah salah satu yang tidak lekang oleh masa yaitu ibunda dari imam Syafi’i. Kita tahu siapa Imam Syafi’i, seorang ulama besar yang merupakan salah satu dari empat imam mazhab. Imam yang mazhabnya paling banyak dianut oleh masyarakat Indonesia.
Imam syafi’I lahir sudah dalam keadaan yatim, maka sudah sangat jelas bahwa ibunyalah yang punya peran penting mengantarkan beliau menjadi orang besar.
Memerankan peran sebagai ibu sekaligus ayah tentulah sangat berat. Apalagi ditambah dengan stigma masyarakat yang sering mengecap negative keberadaan seorang wanita, yang ditinggal suami baik karena meninggal dunia atau karena perceraian. Mereka harus sangat hati-hati dalam bersikap. Salah langkah mereka bisa dituduh macam-macam.
Memang sangat berat tentunya, ketika dia tinggal diam maka siapa yang akan membantu dapurnya tetap bisa berasap. Akan tetapi jika terlalu banyak mengambil peran publik pun biasanya akan muncul pula sorotan-sorotan yang lain. Apalagi jika mereka terlahir sebagai seorang wanita yang berparas cantik. Maka keberadaannya pun sering diangggap menjadi ancaman bagi wanita lain.
Tidak banyak dari mereka yang beruntung mendapatkan peninggalan warisan yang melimpah dari sang suami. Mungkin sebagian besar mereka hidup dalam kondisi yang kurang berkecukupan sehingga si ibu dituntut untuk bekerja sendiri memanfaatkan potensi dan keahlian yang dimilki agar kebutuhan hidupnya bisa tetap terpenuhi. Apalagi jika dia sudah dikarunia sejumlah anak yang tentu tanggung jawab pemenuhan kebutuhannya kini ada padanya.
Sebenarnya Islam punya solusi jika ia bisa dibantu oleh kerabatnya yang laki-laki. Apakah itu ayahnya, saudara laki-lakinya, pamannya atau kerabat lainnya yang laki-laki. Akan tetapi tampaknya hal semacam itu belum secara umum dilaksanakan di negeri ini.
Yang ada bagaimana si ibu berjuang sendiri denga segaa kemampuan yang dia miliki. Kalaupun ada bantuan dari kaum kerabatnya seringkali terbatas di masa-masa awal kesendiriannya. Setelahnya maka tanggung jawab itu lebih baanyak di perankan sendiri.
Comment Closed: Perjuangan Single Parent
Sorry, comment are closed for this post.