KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Cerita Anak
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Profesi Paling Remeh: Salesman

    Profesi Paling Remeh: Salesman

    BY 25 Jul 2024 Dilihat: 195 kali
    Profesi Paling Remeh Salesman_alineaku

    Di tahun-tahun awal saya berkarir, saya memandang sebelah mata profesi tenaga penjual (salesperson atau salesman) dan beranggapan kalau dunia sales adalah dunia yang tidak dinamis, tidak menarik, isinya hanya sekedar bicara & menawarkan barang, dan lain sebagainya. Di era itu, lowongan pekerjaan masih diumumkan melalui iklan-iklan di surat kabar.

    Lowongan untuk salesman biasanya tidak pernah saya gubris, atau hanya saya lihat sekilas dan terakhir setelah melihat-lihat iklan lainnya. Itupun, tidak dengan antusias. Saya hanya sekedar iseng dan ingin tahu saja. Bagaimana tidak, biasanya yang diminta hanya berkisar pada 3 syarat: usia maksimal, tingkat pendidikan minimal, dan mempunyai SIM C atau di atasnya. Kadang-kadang ada juga yang mensyaratkan untuk memiliki kendaraan sendiri – setidaknya sepeda motor. Itu saja, tidak ada kualifikasi lainnya lagi.

    Hal-hal seperti inilah yang sempat membuat suatu kesimpulan kecil di benak saya bahwa salesman atau tenaga penjual adalah profesi yang dianggap tidak serius oleh si pencari karyawan atau pemasang iklan. Nah, kalau si pemasang iklan saja tidak menganggap serius, apalagi pihak-pihak lain, dan terlebih lagi saya, sebagai pencari kerja?

    Praktis, lowongan kerja sebagai tenaga penjual akan saya lewati dan hanya akan sebagai alternatif terakhir kalau sudah tidak ada panggilan dari lamaran-lamaran lain yang sudah dikirimkan sebelumnya. Sampai pada suatu waktu saya “terpaksa” harus menerima pekerjaan sebagai seorang sales engineer. Pikir saya pada saat itu, daripada tidak ada pekerjaan atau menganggur sama sekali, lebih baik masih mendapatkan gaji secara rutin walaupun hanya sedikit. Itupun masih ditambah rencana saya menjadikan pengalaman sebagai tenaga penjual sebagai batu lompatan untuk mencari kerja berikutnya di bidang lain yang lebih saya minati. Sedemikian negatifnya anggapan saya terhadap profesi salesman pada suatu waktu.

    Memasuki awal milenia kedua, pekerjaan pertama saya adalah sebagai seorang sales engineer yang ditugaskan menjual peralatan teknik ke sasaran pasar migas dan industri manufaktur umum, agak membuka mata saya terhadap profesi ini. Dengan gaji bulanan yang lumayan, meski tidak berlebihan, cukup untuk membiayai hidup sehari-hari termasuk biaya tempat tinggal (indekost) dan transport.

    Kalau dibandingkan dengan teman-teman yang bekerja di suatu perusahaan nasional ternama dan di bidang yang lebih bersifat “keahlian teknis”, seperti administrator TI, teknisi jaringan, dan sejenisnya; pendapatan saya boleh dikatakan tidak jelek. Saat itu saya bekerja di kantor distributor produk teknik dan merupakan perusahaan kecil-menengah milik perorangan saja. Itu juga masih ditambah kemungkinan akan bonus tahunan yang biasanya didapatkan di akhir tahun, meski nilainya tidak tetap dan bergantung kepada kinerja saya di tahun tersebut.

    Butuh waktu yang cukup lama untuk mengubah pandangan saya. Setelah sekitar 15 tahun menjalani profesi sebagai seorang tenaga penjual, anggapan saya atas profesi ini sudah sepenuhnya berubah. Ya, selama 15 tahun pertama karir saya, rasa minder, tidak punya kepercayaan diri, dan merasa tidak penting sering saya rasakan. Ternyata juga rencana saya untuk menjadikan profesi sales sebagai batu lompatan tidak berjalan sama sekali. Dan sepertinya saya juga memang bukan terlahir sebagai seorang penjual yang “alami”. Seandainya sebaliknya, mungkin tidak perlu selama itu untuk mengubah cara pikir.

    Selama itu pula ternyata banyak sekali hal yang saya dapatkan dan bisa saya pelajari dari profesi salesman. Sedikit banyak saya jadi mempelajari psikologi, ekonomi (keuangan & manajemen), kepemimpinan (leadership), teknik, dan lain-lain. Kesemua itu melengkapi diri saya dan memperkaya cara pandang atas suatu masalah. Namun ada satu yang akhirnya membuat saya tersadar, kenyataan bahwa sepanjang hidup saya sebenarnya adalah seorang penjual.

    Dalam suatu pertemuan sales dadakan, seorang direktur senior, atasan saya, membuka rapat dengan bertanya, “Siapa di ruangan ini yang bukan salesman, silakan keluar dan tidak perlu ikut rapat.” Tentu tidak ada yang berani angkat tangan. Lanjutnya, “Kita semua di sini orang sales. Kalian semua, sejak saat masih bayi saja sudah menjual belas kasihan melalui tangisan yang dibayar dengan air susu atau makanan!”

    Seketika, saya langsung bisa menangkap maksud beliau. Sebagai seorang anak saya “menjual” potensi di masa depan yang dibayar dengan pendidikan dan pengasuhan yang baik. Sebagai pencari kerja saya menjual kapasitas diri yang dibayar dengan gaji yang sesuai. Sebagai profesional saya menjual kemampuan menyelesaikan masalah yang dibayar dengan kenaikan jabatan. Sebagai anggota tim saya menjual ide peningkatan efisiensi yang dibayar dengan pengakuan akan kompetensi. Dan demikian seterusnya.

    Hampir setiap saat saya bertindak sebagai seorang penjual. Jadi mengapa saya harus tidak suka atau menganggap remeh profesi sebagai penjual? Salesman adalah profesi yang tidak lebih rendah dari dokter, misalnya. Dokter adalah juga seorang “tukang” atau handyman. Mereka adalah “tukang” memperbaiki kerusakan pada tubuh manusia, yang sering berhasil sekaligus sangat banyak juga yang gagal dalam mengerjakan kasus-kasusnya. Sedangkan salesman adalah “tukang” menjual yang sering berhasil sekaligus tidak. Sama saja derajatnya.

    Kalau saya sendiri sudah berlaku sebagai seorang salesman sepanjang hidup, orang lain pun demikian. Setiap orang bertindak sekaligus sebagai penjual dan pembeli pada suatu waktu. Hanya saja masih banyak yang tidak menyadarinya.

    Sepengetahuan saya, sampai sekarang masih banyak orang yang enggan melamar kerja di bidang sales. Sering saya mendengar alasan, seperti tidak punya bakat menjual, tidak pandai bicara, malas bertemu dengan orang lain, dan lain-lain. Alasan paling parah, antara lain tidak berbakat “mengecap”, tidak punya kemampuan “menipu”, tidak bisa “besar bicara”, dan sederet alasan merendahkan profesi sales lainnya.

    Seorang rekan penjual pernah berkata, “Saat kita terbujuk untuk membeli suatu produk atau jasa, saat itu pula seseorang berhasil menjual.” Yang ia maksud di sini tentunya bukan pembelanjaan atas kebutuhan pokok, seperti makan atau pakaian. Ia berkata lagi, “Saya sih bisa pastikan kalau saya sangat sering berbelanja sesuatu. Itu artinya saya sangat sering terbujuk untuk mengeluarkan uang. Entah itu secara online, melalui copywriting yang memikat. Atau secara offline, melalui narasi yang sangat meyakinkan.”

    Saya tahu bahwa memang ia banyak membeli sesuatu yang ia inginkan, yang seringkali bukan yang ia butuhkan. Bahkan ada kalanya beberapa transaksi sekaligus dalam satu waktu. Jadi, memang banyak orang berhasil menjual sesuatu dalam suatu waktu. Apa itu artinya si penjual adalah orang yang lebih remeh dari si pembeli?

    Si penjual sudah pasti orang yang menguasai teknik-teknik merayu pembeli untuk “mengalirkan” uangnya ke si penjual. Dan kalau hampir setiap saat saya “menjual” sesuatu dengan ilmu yang tepat, saya bisa membayangkan kesuksesan seperti apa yang membentang di depan.

    Jadi, apa masih berani meremehkan profesi salesman dan memandang sebelah mata seorang tenaga penjual?

     

     

    Kreator : David Kusumawijaya

    Bagikan ke

    Comment Closed: Profesi Paling Remeh: Salesman

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Menurut Stephen Covey Manusia Memiliki Kebutuhan Dasar, Kecuali? a. To Live b. To Love c. To Listen d. To Leave the Legacy Jawaban: c. To Listen Menurut Stephen Covey Manusia Memiliki Kebutuhan Dasar, Berikut Pembahasannya: Stephen Covey, seorang penulis dan konsultan manajemen terkenal, dalam karya-karyanya sering membahas tentang kebutuhan dasar manusia. Dalam bukunya yang terkenal, […]

      Jun 25, 2024
    • Hari sudah menunjukkan pukul 14.30. Suasana di sekolah tempat Ustadz Hamdi mengabdikan diri sudah mulai sepi. Anak-anak sudah banyak yang pulang. Ustadz Hamdi masih duduk di meja kerjanya sambil memeriksa satu persatu tugas murid-muridnya. Saat itu tiba-tiba HP Ustadz Hamdi berdering “Kriiing, kriiing, kriiing…”  “Halo…., Assalamu alaikum !”  “Wa alaikum salam. Ini Lisa, pak Ustadz.” […]

      Jun 06, 2024
    • Aku adalah teman sekelas Sky di SMP, kami berada dikelas yang sama selama 3 tahun. Sekarang setelah masuk SMA kami berada di sekolah dan kelas yang sama. Sky selalu menjadi orang terpopuler di sekolah, Sky tinggi,  tampan, dan sangat ramah. Namun sayangnya aku merasa dia selalu dingin hanya padaku, aku bahkan tidak tau alasan dibalik […]

      Jun 10, 2024
    • Mahaga Belom Bahadat adalah bahasa Dayak Ngaju yang mempunyai makna yaitu menjaga kehidupan yang saling menghargai, menghormati serta menjunjung tinggi kehidupan Adat Istiadat maupun tradisi kearifan lokal di wilayah yang kita tempati. Era zaman sekarang ini sudah banyak sekali para generasi yang melupakan prinsif-prinsif hidup yang telah dulu ditinggalkan para leluhur(nenek moyang) kita, padahal banyak […]

      Jun 02, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021