Kepadatan jalan menuju tempat Tyana menginap pada sore ini, membuat Arsyanendra gelisah dan tidak sabar karena ia rindu dan ingin segera bertemu Tyana.
Hatinya berdebar-debar, seolah hendak menghadapi ujian berat dan dia sangat mengharapkan pada pertemuan sore ini, Tyana mau menerimanya menjadi kekasih sebagai rasa tanggung jawab, karena mereka telah melakukan hal yang diluar batas.
Kemacetan yang parah membuat taksinya terpaksa sering berhenti hingga Arsyanendra semakin berdebar-debar dan ketika tahu sekarang pukul 16.30a semakin panik sebab mereka janjian akan bertemu di lobi pada pukul 17.00.
Kriing.. Kriing..
Telepon genggam Arsyanendra bunyi lalu dia menerimanya dan berkata, “Hai Tya, ini sudah dekat. Tadi jalan Basuki Rahmat macet sekali.”
Tyana lalu menutup telepon. Ia heran mengapa teleponnya ditutup, apakah Tyana tidak sengaja memijat tombol merah? Tetapi Arsyanendra tak terlalu pusing. Dalam benaknya, sebentar lagi ia akan bertemu Tyana.
Tiba di hotel, Arsyanendra berjalan dengan langkah pasti setelah dia membayar taksinya dan saat melihat jam di tangannya, ia tersenyum, karena sekarang masih jam 16.50. Itu berarti dia masih punya waktu sekitar 10 menit.
Arsyanendra segera masuk ke dalam hotel menuju tempat duduk dilobi untuk menunggu Tyana. Namun setelah pukul 17.30, Arsyanendra tidak juga menjumpai Tyana. Tiadanya Tyana di lobi membuat Arsyanendra kecewa.
Rasa gundah membuat ia terlihat seperti orang yang sedang sakit dan kegelisahan itu telah membuatnya mondar mandir dan berkali kali pindah tempat duduk di lobi.
Akhirnya, dia menghubungi Tyana. Namun, Tyana tidak mengangkat teleponnya dan setelah beberapa kali menelpon tidak diangkat, Arsyanendra akhirnya terus menunggu Tyana.
Dalam benaknya, dia berpikir mungkin Tyana masih ada keperluan yang berkaitan dengan seminar hari ini.
Hingga pukul 18.30 Arsyanendra tetap menunggu tanpa kabar sampai akhirnya menyerah lalu menulis pesan untuk Tyana kemudian pesan tersebut dititipkan pada bagian resepsionis hotel.
Akan tetapi, Arsyanendra terkejut saat bagian penerimaan tamu mengatakan bahwa tamu bernama Tyana sudah keluar dari hotel sejak pukul 15.00. Tamunya pergi bersama seorang laki-laki.
Pada bagian resepsionis hotel, Tyana mengatakan ia akan pergi untuk naik pesawat ke Jakarta pada pukul 17.00.
Kekecewaan itu membuat Arsyanendra berpikir kalau dia terlalu berharap, padahal Tyana belum tentu suka bila dia ingin mendekati lebih dari sekedar sahabat. Karena itulah Arsyanendra lalu pulang.
Sesampainya di rumah, ia duduk di ruang keluarga dengan sedih, sampai Naryama heran melihat dahi Arsyanendra berkerut.
Pada mulanya, Naryama enggan menyapa karena Naryama merasa sapaannya akan mengganggu. Namun, setelah berpikir lagi, akhirnya dia berkata, “Mas, kenalkan ini teman saya.”
“Halo, Rya. Halo, Mas. Saya Arsyanendra.”
“Saya Mardiono, panggilannya Dion.”
“Terima kasih, sudah mengantar.” Kata Naryama.
“Mas, saya pulang.” Kata Dion.
“Lho?” Ucap Arsyanendra dengan wajah terkejut.
“Iya, saya mau pulang dulu.”
Setelah itu, Dion balik badan lalu keluar dari rumah dengan diantar oleh Naryama sampai pintu depan. Kemudian, Naryama masuk lagi.
“Lho….. Dion kemana?”
“Pulang, Mas.” Sahut Naryama.
Arsyanendra heran saat melihat Mardiono langsung pulang, hingga dia bertanya lagi, “Dion kenapa cepat-cepat pulang?”
“Dia besok ada ujian, Mas.” Jawab Naryama.
“Kalian bukan satu fakultas? Sudah lama pacarannya?”
“Dia kuliah di fakultas hukum dan bukan pacar saya. Saya belum punya pacar.”
“Ooooo…. Kukira Dion pacarmu.”
Naryama berjalan cepat, lalu duduk di ruang tamu bersama Arsyanendra. Saat bu Kus melihat, beliau menangkap bila Naryama makin tertarik pada Arsyanendra.
Bu Kus juga melihat Mardiono sedang mengejar Naryama, namun Naryama masih belum membuka hati untuk Mardiono.
“Lho…. Kamu sudah pulang?” Tanya Bu Kus yang seolah baru tahu kalau Arsyanendra sudah dirumah.
“Aku nggak ketemu Tyana. Dia sudah meninggalkan hotel sejak jam tiga sore.”
“Berarti kamu nggak jadi makan malam bersamanya.”
“Iya, Bu….. Nggak jadi.”
“Kalau gitu, Ibu masak dulu ya.” Ujar bu Kus.
“Saya ikut, Bu.” Pinta Naryama.
Tak lama setelah ibunya berada di dapur, beliau keluar lagi membawa masakan yang baunya membuat Arsyanendra menoleh ke meja makan. Setelah dia melihat ibunya menata meja ia berkata, “Aku jadi lapar mencium bau masakan Ibu.”
“Ini yang masak Rya, bukan Ibu.”
“Oiya? Wah, hebat. Masakanmu baunya enak.”
“Dicoba dulu, Mas.” Sahut Naryama sambil tersenyum.
Arsyanendra melahap masakan Naryama seperti sambal goreng ati dan ayam bumbu kecap yang rasanya berbeda dengan masakan yang biasa dia makan saat di Jakarta.
“Masakanmu enak.” Puji Arsyanendra lagi.
“Terima kasih, Mas.”
“Rya mau ya kalau saya minta pindah kuliah ke Jakarta sekalian masak untuk Syanen.” Ucap Bu Kus.
“Eeehh….. Enak aja. Eyang juga suka masakan Rya.” Sahut Eyang Putri Arsyanendra yang baru saja masuk.
“Eh, Eyang sudah datang.” Ujar Arsyanendra.
“Bu, Syanen suka masakannya Rya. Jadi, saya tawari Rya buat pindah Jakarta. Nanti saya akan mengurus pindah sekolahnya.” Ujar Bu Kus.
“Nggak bisa. Pokoknya Rya nggak boleh pindah dari rumah eyang sampai jadi dokter gigi.” Sahut eyang putri.
Malam ini, dengan gembira eyangnya Arsyanendra cerita perjalanan mereka sejak berangkat hingga kembali lagi ke Surabaya sambil makan malam. Bu Kus yang selama ini dekat dengan ibu mertuanya, segera memberikan pundi-pundi berisi butiran karang. Namun, ibu mertuanya memberikan pundi-pundi tersebut kepada Arsyanendra agar disimpan baik-baik, karena butiran karang itu adalah pemberian orang yang sangat yakin bahwa benda itu harus diserahkan pada keturunan Eyang putrinya.
Eyang putrinya Arsyanendra sama sekali tidak tertarik pada butiran karang, sebab itu beliau memberikannya pada si cucu yang kebetulan sedang berkunjung.
Selesai makan, Kakek dan Nenek, serta Bu Kus kembali ke kamar dengan meninggalkan Arsyanendra dan Naryama.
“Mas, tadi ibunya menanyakan apakah saya mau pindah ke Jakarta. Menurut mas Syanen saya harus gimana?”
“Kalau soal itu, sebaiknya kamu yang memutuskan.”
“Kalau saya ditanya, jawab bersedia pindah ke Jakarta.”
“Hah! Kata Ibu, kamu sudah semester akhir dan sebentar lagi jadi dokter gigi. Lagi pula, eyang sangat keberatan.”
“Maaf ya Mas, tadi sore waktu Mas Syanen pergi, ibunya Mas Syanen minta saya menemani Mas Syanen pindah ke Jakarta. Bu Kus kuatir Mas Syanen nggak bisa lepas dari memikirkan bekas pacarnya yang di Amerika. Dan, kalau soal Eyang……. Kami memang belum membahas.”
“Sejak kenal dengan Tyana, aku nggak kepikiran dia lagi.”
“Kalau gitu, Mas Syanen nggak perlu diurus lagi ya.”
“Diurus? Kenapa aku harus diurus? Sudahlah Rya, aku sudah dewasa.”
“Benar, Mas Syanen sudah dewasa. Tapi…. Saya senang kalau bisa mengurus segala keperluan Mas Syanen sebagai wujud terima kasih saya pada keluarganya Eyang.”
“Hahaha. Kamu terlalu berlebihan, atau jangan-jangan…..”
“Jangan-jangan kenapa, Mas?”
“Enggak…… Nggak jadi……. “
“Saya rela pindah demi menjaga Mas Syanen.”
“Wah, wah, wah……. Sudahlah, jangan mikir aku.”
“Baik, Mas. Tapi bolehkah saya minta nomor telepon Mas? Siapa tahu saya perlu menghubungi Mas Syanen.”
Arsyanendra lalu mengajak bertukar nomor telepon dan Arsyanendra merasa ada sesuatu yang disimpan Naryama. Namun Arsyanendra tak ingin bertanya soal itu.
Ia khawatir Naryama menanggapinya terlalu berlebihan dan Arsyanendra merasa kalau Naryama sudah mulai tertarik padanya.
Bagi Arsyanendra, Tyana lah perempuan yang berhasil membuatnya bersemangat. Ia selalu terbayang pada penampilan dan gaya bicara Tyana, serta selalu terbayang kejadian saat merayakan ulang tahun yang ke-25 tahunnya Tyana.
Keduanya diam cukup lama sampai akhirnya Arsyanendra berkata, “Rya, aku merasa kalau kamu bisa jadi teman baik.”
“Saya senang Mas Syanen mengatakan itu.”
“Mungkin kita perlu sering ketemu supaya bisa saling mengenal dan bisa saling ada pengertian.”
“Setuju. Tapi walaupun baru saling mengenal, perasaan saya sudah menganggap Mas Syanen sebagai sahabat lama. Bahkan saya menganggap kalau Mas Syanen………”
“Aku kenapa?”
“Nggak Jadi, Mas….”
“Baiklah kalau nggak nggak mau memberitahu.”
Sejak itu, Naryama telah menganggap Arsyanendra adalah kenalan barunya yang telah mengusik kalbu.
Dengan adanya Arsyanendra tinggal di rumah yang sama, Naryama merasa nyaman. Terutama bila saling berdekatan dengan Arsyanendra. Lagi pula, Bu Kus memberi angin padanya untuk dekat pada Arsyanendra.
Angin segar itu membuat hati Naryama makin tertarik pada Arsyanendra.
Sejak malam itu, Naryama bicara terbuka dan cerita segala keluh kesahnya pada Arsyanendra, hingga Arsyanendra beberapa kali memberikan nasihat serta jalan keluar pada hampir semua persoalan Naryama.
*
Hujan rintik-rintik membasahi halaman kampus siang ini, dan itu membuat Naryama melangkah cepat menuju tempat parkir karena hendak bertemu seseorang.
Beberapa saat kemudian, langkah cepat itu menjadi lari-lari kecil seiring dengan derasnya hujan di area kampus.
Sesampainya di tempat parkir, Naryama menyapa, “Halo Mas Dino, apa kabar?”
“Halo Rya, kabarku baik. Sudah selesai kuliah?”
“Sudah. Mana titipannya Ibu?” Tanya Naryama, lalu dia menerima sebuah bungkusan, dan berkata, “Terima kasih.”
“Terima kasih kembali. Kamu pulang naik apa?”
“Naik motor.” Jawab Naryama.
“Sekarang masih hujan. Nah, sambil menunggu hujannya reda, gimana kalau kita pergi makan siang pakai mobil saya.”
“Gimana kalau kita makan di kantin?”
“Di kantin? Baiklah.” Jawab Dino. Namun, mereka kecewa setelah melihat kantin sudah penuh sampai akhirnya mereka memutuskan makan diluar kampus.
Di sebuah mal dekat kampus, akhirnya mereka makan dan disana, keduanya bicara santai sambil menikmati rujak cingur dan Dino mempergunakan kesempatan tersebut untuk mengatakan rasa dihatinya yang sudah lama terpendam.
Semula ia ragu, akan tetapi karena dia sudah merasa butuh bicara, Dino pun akhirnya mengungkap perasaannya.
“Rya……. Saya ingin bicara mengenai keadaan saya yang rasanya terombang ambing oleh keadaan.”
“Kenapa lagi, Mas? Mengenai Mbak Tiana lagi?”
“Iya. Usaha saya untuk mendekatinya sia-sia.”
“Maaf Mas Dino, saya nggak bisa membantu.”
“Eeemmmm……. Maksud saya…… “
“Maksud Mas Dino?”
“Saya lelah mendekati Tiana, Mbakyu-mu itu yang sangat sulit menerima saya.”
“Lalu, rencana mas Dino apa?”
“Saya masih belum tahu mau apalagi….. Rya, gimana kalau nanti kita nonton film Indonesia yang sedang ramai dibicarakan oleh banyak orang itu.”
“Maaf, Mas….. Saya nggak bisa.”
Ada perasaan aneh timbul dalam hati Naryama. Dia merasa kalau Dino, yaitu tetangganya di Jogja yang sudah lama mengejar kakaknya, sedang mencoba dekat padanya. Bukan lagi sebagai adik dari perempuan yang dia sukai, tetapi sebagai orang yang akan dikejar sebagai kekasihnya.
Dino mengejar kakak Naryama sejak keduanya masih duduk di bangku SMA dan mereka satu sekolah. Namun, kakaknya Naryama tak menerima cinta Dino hingga secara perlahan, Dino mengalihkan rasa sukanya pada Naryama. Padahal, saat itu Naryama masih kecil.
“Mas, ayo kita kembali ke kampus.” Ajak Naryama yang tiba-tiba selera makannya hilang setelah mendengar pernyataan Dino mengajaknya nonton.
Rupanya Dino membaca gelagat kurang baik. Dia merasa Naryama tidak nyaman pada ajakannya. Karena itu, Dino terpaksa mengantarnya kembali ke kampus.
Sampai kampus, Naryama tetap ramah dan sebelum turun ia mengucap, “Terima kasih sudah diantar kembali, selamat siang.”
“Terima kasih kembali, selamat siang.” Sahut Dino.
Sebenarnya Naryama kasihan pada Dino yang sabar dan terus berusaha mendekati kakaknya Naryama walaupun Dino sudah beberapa kali ditolak.
Rasa kasihan itu tiba-tiba membuatnya bingung dan dalam hatinya muncul pemikiran apakah harus menerima Dino walaupun tidak ada getaran perasaan, sampai membuat Naryama serba salah antara menyukai Arsyanendra dan rasa kasihan pada Dino.
Hingga senja Naryama tetap di kampus walaupun hujannya sudah lama berhenti dan ia sadar ketika teleponnya berbunyi, sebab itu Naryama bergegas pulang.
*
“Sibuk? sampai pulang malam.” Tanya Arsyanendra.
“Enggak, tadi nunggu hujan berhenti sekalian diajak makan oleh tetangga kami di Jogja.” Jawab Naryama.
“Ooo……” Sahut Arsyanendra.
“Rya, saya dua hari lagi akan ke Wates, dan saya akan menitipkan pundi-pundi butiran karang ini disini atau kalau tidak keberatan, tolong simpan saja di lemarinya, Rya.” Kata bu Kus sambil memberikan pundi-pundi nya pada Naryama.
“Lho…. Menurut eyang putri, butiran karang ini untuk bu Kus.” Sahut Naryama sambil mengembalikan pundi-pundi tersebut.
Melihat keadaan itu, Arsyanendra merasa terpanggil untuk menengahinya lalu dia mengambil pundi-pundi itu dan ia merasa janggal melihat ibunya seolah tak ingin menyimpan butiran karang.
“Sini, Bu. Biar ku simpan.” Pinta Arsyanendra.
Bu Kus lalu memberikan pundi-pundi itu pada Arsyanendra setelah itu bu Kus berpaling meninggalkan ruang keluarga.
“Mas, apakah saya boleh ikut kerumah Mas Syanen? Besok sampai hari rabu minggu depan saya enggak ada jadwal kuliah.”
“Soal boleh atau enggaknya, tanya sama Eyang.”
“Baiklah setelah makan malam nanti, saya akan minta ijin Eyang dan minta pada Bu Kus agar diperbolehkan ikut Bu Kus pulang ke Wates.”
Keadaan sekitar mereka kembali hening. Keduanya sama-sama tenggelam pada pikiran masing-masing.
Arsyanendra merenungi kejanggalan sikapnya Tyana. Bagi Arsyanendra, tingkah Tyana aneh. Ia lalu mengingat lagi, kalau pada pukul 16.30 Tyana telepon menanyakan sampai mana, tetapi setelah sampai hotel, ternyata Tyana sudah tidak ada lagi di hotel.
Arsyanendra bingung pada sikap Tyana. Mengapa dia tidak mengatakan terus terang bila membatalkan acara makan malam di telepon. Dalam benaknya timbullah praduga kalau Tyana hanya ingin sekedar main-main dengannya.
Arsyanendra kembali kecewa dan seolah menelan pil pahit yang menyakitkan, karena itu ia merasa kalau dirinya selalu kurang beruntung bila menyangkut masalah kekasih.
*
“Mas, jadi ikut saya ke kampus?” Tanya Naryama.
“Iya, sekalian mau ke Gubeng.” Sahut Arsyanendra.
Pagi ini Arsyanendra akan pergi ke kampus Naryama untuk mengantarnya sekalian membeli karcis kereta di stasiun Gubeng.
Wajah segar dan cerah serta banyak tersenyum membuat Naryama semakin manis, karena itu Bu Kus senang melihatnya. Beliau berharap Arsyanendra berjodoh dengannya, sebab Bu Kus lebih menyukai Naryama, walaupun beliau tahu kalau Arsyanendra sudah jatuh hati pada Tyana.
Kecerahan wajah Bu Kus saat mengamati Naryama, terlihat si nenek dan itu membuat nenek mendekati Bu Kus.
“Kamu senang ya melihat Syanen dan Rya? Dan berharap kalau mereka berjodoh.”
“Iya Bu, tapi sepertinya Syanen nggak mau.”
“Sudahlah, biarlah mereka mencari jalan sendiri.”
“Iya Bu… ” Sahut Bu Kus perlahan dengan tersenyum lalu beliau masuk kamarnya.
Setelah Bu Kus masuk ke kamar, Arsyanendra dan Naryama berangkat dan sang nenek melihat dengan tersenyum bahagia.
Beliau mengharap keduanya berjodoh, walaupun beliau mengatakan pada ibunya Arsyanendra agar memberi kebebasan pada anaknya untuk memilih pasangan hidupnya.
Selama perjalanan, Naryama senang karena berboncengan dengan Arsyanendra dengan memeluk perut Arsyanendra karena bentuk sadel motornya menurun ke depan.
Sedangkan Arsyanendra, yang semula terkejut tiba-tiba jadi maklum karena keadaan motornya yang memang menyebabkan keduanya harus saling menempel.
“Mas Syanen keberatan kalau saya peluk?”
“Enggak….. ” Sahut Arsyanendra.
Setelah Arsyanendra menurunkan Naryama di kampus, kemudian ia akan meneruskan perjalanan ke stasiun Gubeng untuk membeli tiket kereta menuju Kediri lalu ganti naik kendaraan umum menuju Wates. Akan tetapi, sebelum Arsyanendra jalan, Naryama memegang tangan Arsyanendra lalu berkata, “Mas, saya ikut ke Wates ya. Eyang sudah mengijinkan.”
“Iya, Ibu tadi juga sudah memberi tahu.”
“Terima kasih, saya sudah boleh ikut.”
Naryama merasa senang sekali bisa ikut pergi dengan Arsyanendra. Selama beberapa hari Naryama merasa menjadi orang yang beruntung dan berharap Arsyanendra adalah jodohnya.
Tetapi, Arsyanendra menganggap Naryama hanyalah adik tirinya sebagaimana dia punya banyak adik dan kakak tiri hingga pemikiran itulah penyebab Arsyanendra tak canggung. Keakraban mereka selama beberapa hari, membuat keduanya beberapa kali saling peduli serta saling memberi perhatian pada kegiatannya.
Contohnya Arsyanendra membantu mencarikan buku dan membimbing Naryama dalam belajar sedangkan Naryama peduli pada keperluan sehari hari seperti membersihkan kamar, menata tempat tidur dan memasak.
*
Kereta pagi dari Surabaya tujuan Blitar berangkat beberapa menit setelah pukul 8.00 dan Bu Kus, Arsyanendra serta Naryama menggunakan kereta tersebut menuju Kediri.
Kereta itu tiba di Kediri pada siang hari sekitar pukul 12.00 yang menurut bu Kus, itulah waktu paling nyaman saat tiba di Kediri hingga sampai di Wates tidak terlalu malam.
Selama perjalanan, Bu Kus sudah bicara mengenai banyak hal dengan Naryama sebab beliau duduk disebelah Naryama, sedangkan Arsyanendra duduk dengan orang lain.
Naryama ternyata lebih antusias mendengarkan cerita Bu Kus tentang Arsyanendra dibandingkan saat beliau cerita mengenai kakaknya Arsyanendra, karena itu Bu Kus tahu bila Naryama makin jatuh hati pada Arsyanendra.
Pembicaraan tentang Arsyanendra yang patah hati setelah putus dengan pacarnya, membuat Naryama bergembira dan itu tergambar dari senyuman dan lirikan pada Arsyanendra. Namun kegembiraan Naryama berubah menjadi sedih, ketika dia melihat Arsyanendra bercanda dengan seorang perempuan di sebelahnya.
Perempuan itu masih muda dan dari bicaranya tergambar bila si perempuan ramah, murah senyum dan bertampang kalem. Wajahnya terkesan biasa saja tetapi bila tersenyum, tampak manis, bila dipadukan dengan mata bulat dan wajah agak lonjong.
Rupanya Arsyanendra bicara seru dengan perempuan itu dan dari gerak geriknya, kedua orang itu bisa dikatakan seperti teman yang sudah lama tak berjumpa hingga Naryama sedih.
Ketika melihat perubahan wajah Naryama, insting bu Kus mengatakan bila Naryama sedang cemburu atau merasa terabaikan oleh Arsyanendra, hingga bu Kus menganggap itu adalah pertanda rasa suka Naryama pada Arsyanendra sudah semakin dalam.
Bu Kus berusaha menghibur Naryama, dengan mengatakan kalau Bu Kus minta tukar tempat duduk dengan Arsyanendra agar Arsyanendra duduk sebelah Naryama dan Bu Kus bersebelahan dengan si perempuan itu.
Pertukaran tempat duduk antara bu Kus dan Arsyanendra membuat Naryama punya banyak kesempatan untuk bicara dengan Arsyanendra berdua sehingga Naryama jadi bergairah lagi.
“Mas Syanen, apakah perempuan itu temannya?”
“Bukan. Aku kenalnya baru tadi.”
“Oooo…. Saya kira itu temannya Mas Syanen.”
“Orangnya lugu dan ramah.”
“Kalau dilihat tampangnya, apakah dia baru kuliah?”
“Dia masih SMP kelas 3, tapi badannya besar.”
“Hah! Masih SMP?”
“Iya…. Dia itu sinden asal Tulungagung.”
“Oooo……. ” Sahut Naryama.
“Kamu juga perlu tahu kalau dia baru selesai pertunjukan wayang kulit di Sidoarjo. Terus malam ini dia akan nyinden lagi di Kediri.”
“Waw…… Dia pasti berbakat.”
“Aku jadi pingin nonton wayang kulit.”
“Hihihi……. Kalau nggak biasa, nanti bosan lho.”
“Sesekali perlu nonton kesenian daerah.”
“Hihihihi….. Kalau gitu, saya temani.”
“Kamu mau nemani aku?”
“Iya, Mas.”
Setelah itu, tidak terdengar lagi pembicaraan Arsyanendra dan Naryama. Selanjutnya, mereka larut pada pikiran masing-masing, sambil melihat pemandangan.
Keadaan sama-sama diam itu membuat Bu Kus heran saat melihat ke samping, sebab menurut beliau, seharusnya Arsyanendra dan Naryama saling berbagi cerita.
**
Kreator : Hepto Santoso
Part 15: Warung Kopi Klotok Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]
Part 16 : Alun – Alun Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]
Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]
Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]
Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]
Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]
Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]
Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,, begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]
Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]
Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]
Comment Closed: Rahasia Butiran Karang Bab 4
Sorry, comment are closed for this post.