KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Rahasia Butiran Karang Bab 5

    Rahasia Butiran Karang Bab 5

    BY 11 Feb 2025 Dilihat: 50 kali
    Rahasia Butiran Karang_alineaku

    5. Kenangan di Kediri

    Pukul 12.15 rombongan Bu Kus turun di stasiun Kediri dan  ketika berada di luar stasiun, Bu Kus mendatangi seorang lelaki berambut gondrong dan berkumis tebal. 

    Awalnya Naryama ragu mengikuti Bu Kus, karena lelaki itu terkesan seram, tetapi ketika si lelaki bicara dengan Bu Kus, ternyata kesan seram itu hilang sebab si lelaki bicara memakai bahasa Jawa halus dan dari gesturnya, Naryama menduga kalau si lelaki sangat menghormati Bu Kus

    “Rya, kenalkan ini anaknya tetangga saya. Syan, apakah kamu ingat siapa dia?” Tanya Bu Kus.

    Arsyanendra diam lalu memicingkan mata. Akan tetapi, dia tetap tidak tahu siapakah lelaki itu. Lalu dia memicingkan mata lagi sampai beberapa kali sampai Bu Kus berkata, “Ini Kusparmono. Kalian dulu suka main-main di sawah bersama teman lainnya waktu kalian masih SD.”

    “Ooooo… Ya ampun….. Ini si Parmo….. Hahaha….. Mo…. Kamu sekarang sudah berubah… Kamu kenapa jadi begini?” Tanya Arsyanendra lalu dia bersalaman serta memeluk Kusparmono.

    “Hahaha… Kenapa Nen…. Aku serem ya, karena rambutku gondrong dan berkumis.” Ujar Kusparmono yang tertawa lepas.

    Arsyanendra lalu memperkenalkan Naryama pada teman kecilnya sebelum Syanen pergi ke USA untuk sekolah disana. Setelah itu mereka jalan ke tempat parkir kendaraan lalu naik kendaraan minibus milik Kusparmono.

    Dalam perjalanan ke Wates, Kusparmono menceritakan selama kuliah di sekolah Keguruan dan Ilmu Pendidikan di Kediri, dia juga membuka usaha membuat tahu, beternak bekicot untuk ekspor dan usaha persewaan mobil jemputan. 

    Arsyanendra merasa kagum pada bekas tetangganya dan juga teman satu kelas ketika masih SD. Kekaguman dan kebanggan itu dia ungkapkan dengan mengangkat kedua ibu jarinya dan menghadapkan pada temannya. 

    Lalu, Arsyanendra cerita kalau tadi di kereta dia bertemu dengan beberapa sinden yang baru selesai mengadakan pertunjukan wayang kulit di Sidoarjo karena diundang pada acara pernikahan.

    Kusparmono menanggapi cerita itu dengan mengatakan kalau mobilnya juga sering disewa oleh rombongan wayang kulit untuk mengangkut para Sinden dan keluarga pengantarnya.

    Cerita Kusparmono mengenai mobilnya, telah membuat Arsyanendra tertarik untuk minta diajak nonton wayang kulit. Entah kenapa, tiba-tiba Arsyanendra merasa ingin tahu banyak tentang pertunjukan wayang kulit sehingga Bu Kus dan Naryama tersenyum. Setelah itu beliau berkata, “Mo.. Apakah kamu bisa ngajak Syanen nonton wayang kulit nanti malam?” 

    “Bisa, Bu. Yok, Nen. Nanti malam kita nonton wayang kulit.”

    “Kamu tahu tempatnya?” Tanya Arsyanendra.

    “Aku belum tahu, tapi aku akan cari tahu. Aku kenal hampir semua Dalang dan Sinden dari wilayah Kediri, Blitar, Tulungagung dan Trenggalek. Nen, mereka itu sering menyewa mobil atau truk dariku untuk mengangkut gamelan, dan band.”

    “Band?”

    “Iya…… Sekarang ini, sering kali kalau di tengah-tengah cerita, si Dalang suka memberi hiburan, yaitu para Sinden diminta nyanyi campursari atau langgam Jawa bahkan kadang keroncong. Kadang si Dalang sering juga mengundang pelawak.”

    “Wah, aku ketinggalan.”

    “Nanti malam, kita berangkat jam 8 malam, ya.”

    “Eh, kamu tadi kenapa tiba-tiba menjemput ibuku?”

    “Wah kalau itu, tolong tanya langsung aja sama ibumu.”

    Arsyanendra lalu bertanya pada Bu Kus kenapa teman kecilnya menjemput di stasiun Kediri. Karena itu, Bu Kus lalu cerita tentang kedekatan mereka.

    Jadi, ketika SMP, Kusparmono sering diajak oleh Bu Kus belanja kebutuhan pokok ke Kediri dan kadang sering ikut belanja barang dan makanan ke Surabaya. Selama di Surabaya, mereka selalu tinggal di rumah kakeknya Arsyanendra.

    Setiap kali Kusparmono ikut, dia selalu menunjukkan kalau ia adalah anak yang bertanggung jawab serta rajin membantu Bu Kus. Selain itu, dia juga selalu ingat pada kedua orang tuanya serta kakak perempuannya, sebab Kusparmono selalu membawa oleh-oleh dari Surabaya bila Bu Kus memberinya uang jajan.

    Kurparmono menambahkan kalau kegiatan usahanya maju pesat berkat bantuan modal dari Ayah Arsyanendra dan bantuan teknik cara membuat Tahu, beternak Bekicot dan cara mengelola usaha persewaan mobil dari adiknya Bu Kus yang sekarang tinggal di Bogor. Jadi, bisa dikatakan kalau Kusparmono usahanya maju berkat bantuan dari keluarganya Arsyanendra.

    Cerita tentang Kusparmono telah membuat Arsyanendra dan Naryama merasa salut pada ibu, ayah dan pamannya karena mau membantu teman kecilnya yang pada saat itu hidupnya sangat menderita karena ayah dan ibunya sakit sakitan serta hidupnya selalu susah.

    “Ayo, kita makan siang di warung bu Endah.” Ajak Bu Kus.

    “Bu Endah nasi pecel?” Tanya Arsyanendra.

    “Iya, sekarang warungnya jadi restoran.” Jawab Bu Kus.

    Rombongan Bu Kus lalu berhenti di depan sebuah restoran pada jarak sekitar dua kilometer sebelum sampai rumah beliau. Mereka lalu masuk ke restoran tersebut untuk menikmati nasi pecel dengan pilihan lauk seperti empal atau ayam goreng serta srundeng dan peyek kacang atau teri.

    Ada kejadian tidak terduga saat rombongan Bu Kus duduk di meja untuk empat orang, yaitu bertemunya mereka dengan tiga orang berbadan tinggi besar, berkumis dan berjambang. 

    Salah satu dari mereka menghampiri meja Bu Kus, sambil terus memandang Kusparmono dan ketika sudah dekat, orang itu berkata, “Bulan lalu dan bulan ini kamu belum setor jatah kami.”

    “Maaf mas Lukman, bulan lalu saya sakit. Jadi, hasil uang sewa terpakai untuk berobat ke rumah sakit.” Ujar Kusparmono.

    Insting Bu Kus segera memberi tanda kalau ketiga orang itu berniat tidak baik. Karena itu, beliau bersiap menghadapi segala kemungkinan buruk. Bu Kus lalu memberi tanda pada Arsyanendra dan Naryama agar keduanya berhati-hati dengan suara pelan. 

    Ketika mendengar peringatan Bu Kus, Arsyanendra berdiri lalu dia berkata, “Mas, mau memeras teman saya ya.”

    “Saya bukan memeras, tapi ini uang perlindungan kalau si Mo mau pergi ke Surabaya. Kalau nggak memberi, ya kami tidak tanggung jawab kalau ada apa-apa di Surabaya.” Sahut Si Lukman.

    Nampaknya hati Arsyanendra tergerak untuk melindungi sahabat kecilnya. Karena itu, ia menghardik Lukman, lalu mengusir ketiga orang itu keluar warung. Namun, karena si Lukman bukanlah orang baik-baik, dengan cepat dia melayangkan pukulan ke Arsyanendra tepat di pipi kirinya.

    Pukulan itu kena telak di pipi sebelah kirinya Arsyanendra hingga Arsyanendra terjatuh ke lantai dan kepalanya membentur kaki meja. Setelah itu terdengar suara Naryama berteriak kencang kemudian keadaan jadi serba gelap bagi Arsyanendra. 

    “Mas Sayeennn!!” Teriak Naryama ketakutan.

    “Nen!” Seru Kusparmono.

    Bu Kus memandang Arsyanendra sambil menggeleng, lalu berdiri dan mengangkat dan mendudukkan Arsyanendra di kursi. 

    Setelah itu beliau memandang Lukman kemudian berkata, “Mas Lukman, tolong tinggalkan kami.”

    Lukman lalu menoleh dengan maksud hendak membentak, namun saat melihat Bu Kus, tiba-tiba nyalinya jadi ciut, kemudian dia menundukkan wajah lalu mengajak kedua temannya meninggalkan warung.

    Naryama terkejut sekali saat melihat Lukman yang semula garang, tiba-tiba jadi seperti anak kecil yang takut dimarahi.

    Naryama tidak mengerti kenapa Lukman pergi begitu saja. Naryama lalu menduga duga apakah mungkin Bu Kus sudah kenal dengan Lukman? Tapi apabila Bu Kus sudah kenal dengan Lukman, kenapa tadi Lukman memukul Arsyanendra? 

    Naryama tidak dapat berkata kata lagi, dia bungkam lalu berusaha menyadarkan Arsyanendra yang sedang pingsan.

    Hatinya diliputi perasaan heran bercampur kagum. Ia heran karena Bu Kus dengan mudah mengusir Lukman dan kagum ketika melihat Bu Kus dengan santai mengangkat Arsyanendra yang berbadan lebih tinggi dari Bu Kus dan beliau juga telah dengan mudah mendudukkannya di kursi.

    *

    Di jalan sepi, Kusparmono mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang bersama Arsyanendra yang duduk sebelah kirinya dan Naryama di kursi belakang.

    Malam ini, mereka hendak menuju ke sebuah desa di kaki Gunung Kelud untuk melihat pesta pernikahan yang menanggap wayang kulit. Jalan itu tergolong mulus dan karena jalan mulus itulah maka ketiganya sampai di tempat tujuan dengan cepat.

    Saat tiba di tempat pesta pernikahan tersebut, keadaannya sudah ramai dan pertunjukan wayang kulit semalam suntuk baru di mulai dalam suasana meriah.

    Semula Arsyanendra ragu ke acara itu karena dia tidak kenal pada pengantin ataupun keluarganya, akan tetapi Kusparmono mengatakan bila ia kenal dengan para sinden yang ada di panggung beserta dalangnya. Selain itu, secara kebetulan pengantin pria adalah kakak kelasnya di tempat kuliah sebelum Kusparmono tamat.

    “Pengantin pria itu namanya Mas Bambang Wiyogo, dia bekas ketua senat mahasiswa waktu kuliah. Aku kenal baik dengan dia, yang adiknya yaitu Si Agus Pambudi adalah teman dekatku satu kelas waktu kuliah.” Kata Kusparmono dengan menyakinkan, lalu dia memperkenalkan Arsyanendra pada keluarga pengantin pria setelah itu dia mengajak Arsyanendra dan Naryama duduk di kursi bagi tamu undangan untuk menikmati pertunjukan wayang kulit dengan judul cerita Wahyu Makuthoromo.

    Di saat Arsyanendra duduk bersama Naryama, Kusparmono mengatakan kalau dia akan jalan-jalan di sekitar tempat pesta untuk menyapa beberapa kenalan pemain band, dan pemain gamelan.

    Setelah Kusparmono pergi, Arsyanendra mendengarkan cerita dari pak Dalang, sedangkan Naryama hanya senyum-senyum memandang Arsyanendra. 

    Setelah sepuluh menit mereka duduk, Naryama bertanya “Mas Syanen ngerti ceritanya?”

    “Hehehe… Aku nggak ngerti sama sekali. Dalangnya bicara bahasa Jawa ya? Tapi kenapa aku sama sekali nggak ngerti ya?”

    “Hihihi…….. “

    “Ngetawain aku ya… ” Ujar Arsyanendra sambil cemberut.

    “Hihihi.. Itu bahasa Jawa halus. Saya ngerti karena sejak kecil di Jogja, Ibu dan para kerabat selalu memakai bahasa Jawa halus kalau bicara, jadi jangan marah ya.”

    “Untung ada kamu..” Sahut Arsyanendra sambil tersenyum.

    Mereka lalu duduk saling mendekat hingga Naryama selalu menjelaskan cerita Si Dalang saat Si Dalang bicara. 

    Rupanya dengan semakin dekatnya posisi duduk mereka, hati Naryama semakin berbunga dan itu membuat wajahnya berseri, karena itu, Naryama merasa malam ini mendapat kesempatan untuk merasakan kebahagiaan karena ia merasa semakin dekat dengan Arsyanendra secara fisik.

    Sejalan dengan itu, suasana pedesaan dengan penduduk yang berpakaian tidak mewah dan wajah-wajah polos, juga telah membuat Arsyanendra merasa beruntung kenal dengan Naryama. Arsyanendra menganggap Naryama orang Jawa yang mengerti adat Jawa serta mampu berinteraksi dengan penduduk memakai bahasa Jawa, walaupun kadang aksennya beda.

    Di pertengahan pertunjukan, Dalang menghentikan cerita utamanya kemudian mengganti dengan acara hiburan berupa tampilan para sinden untuk menyanyikan lagu-lagu campur sari serta ada dua pelawak yang menghibur para penonton.

    Selanjutnya, Arsyanendra merasa kagum ketika mendengar suara kenalannya nyanyi campursari, karena itu, Arsyanendra terus memperhatikan si Sinden dan ketika mengalihkan pandangannya ke Sinden lain, kekaguman Arsyanendra makin bertambah. Sekarang dia ingat pada Sinden yang tadi siang ada di kereta bersamanya.

    “Aku nggak nyangka ternyata kita tadi naik kereta bersama rombongan para sinden yang malam ini ada di panggung.”

    “Iya, saya ingat ada beberapa yang tadi bersama kita.”

    “Mereka cantik ya kalau tampil rapi dan berdandan.”

    “Hihihi…… Mas Syanen suka ya?”

    “Nggak kok, aku hanya menilai suaranya merdu.”

    “Saya setuju kalau suara mereka merdu.”

    “Aku berdoa mudah-mudahan kesenian tradisional seperti wayang kulit ini terus hidup di masyarakat.” Sahut Arsyanendra.

    “Amin…. Mas, sebenarnya saya suka menonton wayang kulit tapi sayangnya di Surabaya jarang ada….” Kata Naryama.

    Arsyanendra mengangguk lalu dia kembali mendengarkan nyanyian para sinden yang bersuara merdu, walaupun sebagian besar tidak dimengerti artinya oleh Arsyanendra.

    Naryama terus tersenyum melihat ulah Arsyanendra yang terus bergoyang, sampai pada akhirnya Naryama tidak tahan untuk berbisik, “Mas Syanen suka pada tembang-tembang itu? Kalau suka saya akan menyanyi untuk Mas Syanen…..”

    “Kamu bisa nyanyi seperti itu?”

    “Bisa, Mas. Waktu SMP dan SMA, saya sering ikut nyinden dan belajar karawitan di sekolah.”

    “Hah! Apa benar?”

    “Hihihihi….. Mas Syanen nggak percaya ya.” Ujar Naryama.

    “Kalau gitu……… Aku ingin dengar suaramu.”

    “Jangan disini ya, Mas.” Kata Naryama dengan berbisik.

    Mendengar suara yang mendesah dan dekat di telinganya, jantung Arsyanendra tiba-tiba berdetak kencang serta merinding. 

    Secara tak sadar, Arsyanendra memegang tangan Naryama dan genggaman itu membuat jantung Naryama berdetak kencang, wajahnya tersipu dan pasrah menerima sosok Arsyanendra.  

    Beberapa saat kemudian Arsyanendra sadar lalu berkata, “Maaf ya kalau kamu terkejut dan merasa nggak nyaman.”

    “Enggak kok.. ” Ucap Naryama yang dalam hatinya berkata kalau dia sangat senang tanpa peduli keadaan sekelilingnya.

    Setelah 70 menit dia mendengarkan nyanyian para Sinden dan lawakan, kemudian si Dalang kembali memainkan wayang kulit.

    Suara gamelan terdengar nyaring saat Si Dalang memainkan adegan perkelahian dan suara itu telah membuat Arsyanendra tiba-tiba melayang dan ia merasa aneh pada keadaan yang dialaminya karena itu, dia lalu memegang tangan Naryama lagi lalu berkata, “Aku rasanya kok ngawang, seperti terbang.”

    “Mas Syanen sakit?” Tanya Naryama.

    “Bukan sakit, tapi melayang dan hawanya jadi panas.”

    “Kalau gitu, kita menjauh aja dari area sini.” Ajak Naryama lalu ia menggandeng Arsyanendra menjauhi area panggung untuk mencari Kusparmono, namun mereka tidak menemukan sampai akhirnya Arsyanendra dan Naryama keluar dari tempat acara.

    Jalan di luar desa sangat sepi dengan sumber penerangan berupa sinar bulan yang hampir bulat. Tak ada lampu jalan dan tidak ada rumah di kiri dan kanan mereka hingga terkesan seram.

    Ketika itu juga Arsyanendra merasa kalau sekarang sudah terlalu jauh dari pusat keramaian, karena itu dia mengajak Naryama kembali dan entah mengapa, hati Arsyanendra merasa was-was.

    Tiga langkah setelah mereka balik badan, terdengar suara halus tapi sangat jelas yang mengatakan, “Jangan kembali kesana.”

    “Eh….. Anda siapa?” Tanya Arsyanendra, sambil menoleh kanan, kiri dan belakang. Namun disana tidak ada orang.

    “Percayalah, Kalian akan merasakan hawa panas di sana.”

    “Hawa panas? Kenapa?”

    “Barang bawaanmu lah penyebab hawanya jadi panas.”

    “Aku nggak ngerti, maksud anda dan anda siapa?”

    Arsyanendra heran ia lalu menoleh ke kanan dan ke kiri sambil terus mencari sumber suara tersebut. Namun sampai sekitar 10 menit mencari, Arsyanendra dan Naryama tetap tak menemukan sumbernya. Sebab itu, mereka segera menjauh dari pusat keramaian sampai keduanya melewati jembatan di atas sebuah sungai kecil.

    Keduanya duduk menghadap ke jalan sambil berbincang-bincang. Beberapa menit setelah keduanya membahas tentang suara yang melarang untuk kembali, terdengar lagi, suara “Butiran hitam akan cemerlang sejalan dengan keikhlasan hati mengarungi hidup.”

    Arsyanendra dan Naryama terkejut sampai menoleh kanan, kiri dan belakang. Namun, mereka tetap tidak melihat ada orang lain sampai akhirnya mereka memutuskan akan tetap di jembatan.

    Keduanya lalu mencari tempat untuk bersandar di jembatan sambil berbincang-bincang.

    “Mas Syanen membawa pundi-pundi butiran karang?”

    “Iya, aku bawa.”

    “Jangan-jangan suara itu bermaksud memberitahukan kalau butiran karangnya penyebab Mas Syanen merasa hawanya panas dan badanya seolah melayang.”

    “Ah…. Masa gara-gara barang ini?” Tanya Arsyanendra sambil mengeluarkan pundi-pundi berisi butiran karang.

    “Mungkin saja, Mas…….. ” 

    “Kamu seperti Ibu, sering bicara hal abstrak.”

    “Mas Syanen nggak percaya pada hal yang abstrak?”

    “Kadang aku nggak percaya….. ” Sahut Arsyanendra.

    “Tadi siang, saya mencoba menyadarkan Mas Syanen tapi saya tidak bisa, lalu saya melihat kalau Bu Kus menggendong Mas Syanen kemudian mengobati luka memar di wajah Mas Syanen dan menyadarkan Mas Syanen dari pingsan hanya dengan satu kali mengusapkan telapak tangan beliau pada bagian yang bengkak.”

    “Menyadarkan aku?”

    Naryama lalu cerita ketika Arsyanendra pingsan, Bu Kus menggendongnya sendiri lalu menidurkan di tempat tidur beliau di rumahnya yaitu di Wates. 

    Setelah itu, Bu Kus menyentuh seluruh bagian-bagian tubuh yang bengkak atau memar. Tak lama kemudian Arsyanendra sadar tanpa merasakan apa-apa. Dia seolah olah baru bangun dari tidur.

    Arsyanendra lalu mengingat kembali masa kecilnya ketika ibunya sering mengobati orang sakit parah dibeberapa tempat sekitar desa mereka termasuk orang tuanya Kusparmono.

    Ia diam cukup lama, dan kembali sadar setelah mendengar Naryama berkata, “Mas, saya nggak bohong lho…… “

    “Iya….. Sekarang aku percaya…… Tapi…… “

    “Tapi apa, Mas?”

    “Sudahlah…… Kita bicara tentang lainnya aja.”

    Keduanya diam sambil duduk di rumput dan bersandar di jembatan dan setelah lebih kurang sepuluh menit diam, tiba-tiba mereka melihat ada orang laki-laki berdiri didepan mereka. 

    Orang itu tersenyum lalu dia berkata, “Berikan butiran karang dalam pundi-pundi itu pada saya.”

    “Bapak siapa?” Tanya Arsyanendra.

    “Saya Sukamto pemilik asli butiran karang.”

    “Maaf, ini titipan Ibu saya.” Tolak Arsyanendra.

    Kemudian lelaki itu menghampiri Arsyanendra dan setelah satu meter, tiba-tiba kaki dan tubuh Arsyanendra dan Naryama kaku hingga si lelaki mudah merogoh kantong jaket Arsyanendra lalu mengambil pundi-pundi berisi butiran karang. 

    Ketika butiran karang itu sudah berada di tangan si lelaki, Arsyanendra dan Naryama bisa menggerakkan tangan, kaki dan lehernya kembali dan si lelaki telah hilang dari pandangan mereka.

    “Aneh ya……. ” Kata Arsyanendra.

    “Baru kali ini saya mengalami hal aneh.” Sahut Naryama.

    “Sudahlah.. Aku juga nggak tahu butiran karang gunanya untuk apa.” Kata Arsyanendra. Lalu, mereka kembali duduk.

    Hembusan angin sekitar Arsyanendra dan Naryama, telah membuat keduanya merasa kedinginan dan rasa itu jadi alasan Naryama untuk bersandar di bahu Arsyanendra. 

    “Mas……. “

    “Kanapa Rya….. “

    “Saya….. ” Ucap Naryama sambil merubah posisi duduk. Sekarang, Naryama menduduki kedua kaki Arsyanendra dengan posisi menghadapkan badannya ke badan Arsyanendra. Kemudian, kedua tangannya memeluk leher Arsyanendra dengan erat.

    Arsyanendra lalu membelai rambut Naryama. Belaian itu membuat Naryama merasa terbang hingga tangannya makin erat memeluk Arsyanendra. Sikap nekat itu telah membuat Arsyanendra merasa semakin dekat dengan Naryama. 

    Pelukan Naryama itu membuat jantung Naryama berdetak sangat kencang. Naik turunnya dada Naryama karena detak jantung yang kencang dapat dirasakan oleh Arsyanendra. 

    Selama ini Naryama belum pernah membayangkan rasanya berada di pelukan lelaki. Setelah merasakan, ia sangat senang dan Naryama berharap Arsyanendra bisa menjadi kekasihnya.

    Di keremangan cahaya bulan, Arsyanendra dapat melihat wajah Naryama dan menilai bila wajah Naryama sangat lembut dan lesung pipinya semakin membuat Naryama tampak manis. 

    Dalam benaknya, Arsyanendra berpikir apa benar Naryama perempuan yang hadir untuknya. Pertanyaan dalam hati itu terus terngiang. Arsyanendra merasa beberapa hari belakangan, pikiran tentang Naryama timbul dan tenggelam. Timbul dan tenggelamnya karena dia masih mengharapkan kehadiran Tyana. 

    Detik demi detik terus berjalan, dan jarum jam juga terus berputar. Seiring dengan berjalannya waktu, terdengarlah suara ayam berkokok sebagai tanda kalau matahari sebentar lagi akan menampakkan sinarnya.

    “Rya……. Bangun….. Hari sudah pagi.”

    Naryama terbangun lalu meluruskan kaki dan tangannya. Dengan gerakan perlahan, dia tertengadah kemudian tersenyum pada Arsyanendra sambil berkata, “Maaf ya Mas, saya ketiduran dalam pelukan Mas Syanen.

    Arsyanendra lalu berkata, “Tidurmu pulas banget.” 

    Sambil memencet hidung Naryama.

    “Iiiihhh….. Kok hidung saya di pencet?”

    “Hahaha… Terus apanya yang mau dipencet?”

    “Iiiiiihh…… Eh, kenapa mas Syanen baunya harum?”

    “Ah, kamu…. Orang bangun tidur, kok baunya harum.”

    “Benar Mas….. Saya nggak bohong….. “

    “Sudahlah, ayo berdiri….. “

    Sebelun Naryama berdiri dan melepaskan pelukannya, dia berbuat nekat yaitu mendekatkan bibirnya pada bibir Arsyanendra, kemudian mengecup bibir Arsyanendra lalu dia mencium mesra bibir Arsyanendra.

    “EEhhh….. Kamu ini nekat…….” Suara Arsyanendra. 

    Naryama tidak peduli pada perkataan Arsyanendra tentang kelakuannya. Ia merasa yang dilakukan telah membuatnya sangat gembira dan ciumannya pada Arsyanendra membuat Naryama memandang dunia penuh pesona. Gelora jiwa Naryama pada pagi ini membuat dia lupa akan segalanya dan telah menganggap kalau Arsyanendra adalah kekasihnya dan peristiwa tentang kenekatan Naryama malam itu akan menjadi kenangan indah baginya.

    “Ya ampun…… Kalian dari mana?” Tanya Kusparmono.

    “Wah….. Kamu yang kemana aja? Dari tadi malam aku jalan kesana kemari buat mencarimu.” Sahut Arsyanendra.

    “Tadi malam kamu tiba-tiba lenyap setelah keluar dari area tenda. Padahal aku memanggilmu berkali kali waktu kamu jalan keluar dari tenda tempat pengantin.”

    “Aku nggak mendengar apa-apa.” 

    “Ayo kita pulang.” Ajak Kusparmono.

    Menjelang matahari terbit, ketiga orang itu kembali ke rumah Bu Kus dengan perasaan janggal. Mereka saling bertanya mengapa tidak saling bertemu pada pesta tadi malam.

    Bila dipikir lagi, jarak dari tenda pengantin hanya sekitar 30 meter dari batas desa. Bagi mereka, jarak itu bukanlah jarak yang jauh untuk tidak saling bertemu satu dengan lainnya. Namun karena mereka tidak menemukan jawabannya, akhirnya ketiganya diam.

    *

    “Ini pisang Tulungagung, rasanya enak sekali.” Kata Bu Kus pada Arsyanendra dan Naryama.

    “Enak kalau yang menggoreng Ibu.” Sahut Arsyanendra.

    “Mau menggombal kok sama ibunya…. Seharusnya sama Rya.” Kata Bu Kus sambil menyuguhkan pisang goreng.

    “Iiih…. Bu Kus….. ” Sahut Naryama dengan wajah tersipu.

    “Ibu ini memang suka bikin malu ……. ” Kata Arsyanendra.

    “Sudahlah….. Syan, tadi malam gimana? Kamu suka?”

    “Suka sih, tapi aku nggak ngerti Dalangnya ngomong apa.”

    “Nah, kalau nggak ngerti berarti percuma ya.”

    “Oh iya, Bu……. Kemarin malam, aku mengalami hal aneh. Aku merasa seperti melayang. Terus, waktu aku keluar dari area tempat pesta, tiba-tiba keadaannya jadi sepi sekali. Kusparmono mengatakan nggak bisa mencariku padahal dia sudah berkali kali lewat tempatku duduk berdua dengan Rya.” 

    Wajah Bu Kus tiba-tiba menegang. “Pundi-pundi butiran karang sekarang ada dimana?”

    Arsyanendra dan Naryama kemudian menceritakan semua kejadian selama mereka berada di tempat pertunjukan wayang kulit.

    Setelah Arsyanendra selesai bercerita, bagian hitam mata Bu Kus tiba-tiba bergerak ke atas kanan dan kiri, seolah beliau sedang melihat sesuatu. Kejadian itu terus berlanjut lebih dari lima menit sampai akhirnya beliau diam.

    “Syan, Rya, kalian harus tidur sebelum jam delapan malam dan besok pagi lebih baik kalian pergi ke Surabaya lalu tinggal di rumah Eyang. Malam ini, Ibu akan pergi ke suatu tempat tapi Ibu tidak akan mengajak kalian. Untuk Syanen, kamu harus tunggu Ibu sampai datang ke rumah Eyang menjemputmu, lalu kita pergi ke Bogor.”

    **

     

    Kreator : Hepto Santoso

    Bagikan ke

    Comment Closed: Rahasia Butiran Karang Bab 5

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]

      Sep 18, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024
    • Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]

      Sep 05, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021