KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Misteri
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Sains
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Remaja (3)

    Remaja (3)

    BY 05 Jan 2025 Dilihat: 64 kali
    Remaja Naurah_alineaku

    TIGA

    Hari kemerdekaan tiba dengan semangat yang membara, dan suasana di sekolah dipenuhi warna-warni bendera serta tawa ceria para siswa. Sebagai bagian dari perayaan, aku merasa campur aduk—antara ketegangan menghadapi momen baru yang akan menguji keberanianku dan perasaan malu melihat pakaian yang kupakai sekarang.

    Aku memperhatikan kaos putih oversize dan celana training merah yang kupakai sekarang. Walaupun aku kurang suka memakai warna warna mencolok seperti ini, Lia berhasil memakai kemampuan membujuknya untuk menjadikanku bendera putih merah berjalan.

    “Hari ini adalah hari kemerdekaan! Kita harus memeriahkannya!” Begitulah kata Lia. 

    Sejujurnya, aku sama sekali tidak merasa percaya diri memakai celana merah cabai ini. Tapi demi Lia, aku menghabiskan 2 jam mengacak lemari untuk menemukan training merah ini. Ditambah setengah jam untuk merapikan bekas acakan. Mungkin ini yang dinamakan orang orang berkorban demi sahabat sendiri.

    Setelah turun dari motor Papa dan melangkah masuk ke halaman sekolah, aku bertemu dengan kelompokku, yang sudah berkumpul di sekitar lapangan. Lia langsung menarik tanganku dan menyeretku ke arah Kak Farel, ketua kelompok kami yang sedang memberikan pengarahan terakhir.

    “Asya! Apakah kamu siap untuk hari ini?” tanya Kak Farel sambil menyerahkan pita merah putih yang dipakai seluruh anggota kelompokku. Aku hanya membalas dengan senyuman sembari memasangnya pada rambutku. 

    “Siap, Kak.” Aku menjawab. Walau jika harus dengan kalimat penuhnya, maka akan menjadi; Aku siap untuk pulang ke rumah. 

    Namun, jika dilihat-lihat, sepertinya hari ini akan cukup menyenangkan. Setidaknya jika dibandingkan dengan hari hari dimana aku akan duduk dua jam berturut mendengarkan pelajaran, ini jauh lebih mudah dinikmati.

    Hari pertama ini dimulai dengan berbagai lomba. Ada lomba tarik tambang, balap karung, hingga lomba lari estafet. Suara sorak-sorai siswa terdengar di seluruh lapangan, membuat suasana semakin meriah. Aku dan Lia memilih untuk menonton dulu, meski dia tak henti-hentinya bersemangat ingin ikut lomba berikutnya. Lia sempat mendaftarkan dirinya untuk lomba lari estafet, sementara aku masih merasa lebih nyaman berada di sisi lapangan, menyaksikan teman-teman berjuang untuk memenangkan lomba. 

    Akhirnya tiba lomba yang Lia tunggu tunggu, lomba lari estafet. Aku berteriak kencang menyemangati kelompokku, dibantu beberapa teman sekelompok yang duduk di sebelahku. 

    “Hai! Kamu Asya, ya?” Kak Tika, seorang senior kelas 9 yang sekelompok denganku, menghampiriku dengan segelas es teh manis dari market day. 

    “Kamu nggak ikut?” 

    “Tidak, Kak,” Aku tersenyum sambil mempersilakan Kak Tika duduk.

    Kak Cantika, seperti namanya, adalah seorang gadis yang benar-benar cantik sekali. Bulu matanya lentik dan kulitnya putih bersih. Rambut sepundaknya yang sangat halus sering sekali dihias jedai warna merah muda. 

    Dia membantuku dalam memilih pakaian untuk fashion show jadi kita cukup mengenal satu sama lain. Kepribadian Kak Tika kebalikan denganku. Dia lebih mirip dengan Lia, ceria dan energetik, tapi mempunyai sisi dewasanya. 

    “Kamu tidak bosan emang?”

    “Kenapa bosan? Ini cukup seru, walaupun hanya menonton,”

    “Maksudku, kau hanya ikut fashion show. Apakah kamu tidak ingin ikut lomba lain?” 

    Aku berpikir sebentar, sambil mencoba mengingat lomba-lombanya.

    “Mungkin cerdas cermat? Terdengar cukup menarik.”

    “Ah ya, kamu cukup sering dipuji oleh Pak Surya karena nilai nilaimu yang tinggi,” Kak Tika menepuk pundakku.

    “Bagus bagus, nanti aku bilang Kak Farel ya?”

    “Nilai-nilaiku biasa saja, tapi terima kasih, Kak!” Aku berkata, sebelum merasakan cubitan gemes dari Kak Tika. 

    “Kamu benar benar lucu ya.” Dia tertawa melihat pipiku yang memerah akibat cubitannya.

    “Selain pintar, kamu cantik sekali! Apakah kamu populer di kelas?” 

    “Sama sekali tidak!” Aku kembali teringat dengan rencana bodoh untuk merubah sifatku yang pendiam itu. Kak Tika terlihat kecewa melihat jawabanku.

    “Tidak mungkin,  aku tidak percaya!” 

    Aku tersenyum mendengar kalimat Kak Tika.

    “Aku serius, lagipula di kelas sudah ada Callista,”

    Dia menatapku sambil mengangkat alisnya.

    “Callista? Yang sering menjadi pusat perhatian itu ya?” 

    Kemudian meneguk tehnya sebelum kembali berbicara. 

    “Kalau aku boleh jujur, menurutku kau jauh lebih baik dari dia, walaupun ku akui Callista dapat membuat orang orang tertarik dengan mudah,”

    “Callista selalu punya cara untuk membuat orang-orang tertarik padanya. Aku tidak ada apa apa dibandingkan dia.” Aku kembali tersenyum.

    “Hei.. jangan gitu!” Kak Tika membelai rambutku. “Kamu benar benar unik loh, kepintaranmu dan kecantikanmu bukan sesuatu yang mudah ditemukan di orang lain!” 

    Ironis sekali, bukan? Pujian yang dilontarkan Kak Tika lebih terdengar sebagai belas kasihan di telingaku. Aku merasa lebih menyedihkan karena itu. Aku bahkan belum bilang apa-apa, dan dia sudah merasa perlu untuk membangkitkan moralku. Bagus. Namun, saat aku mulai merenungkan ucapannya, sebuah suara menginterupsi percakapan kami.

    “Asya! Asya! Kami butuh kamu!” Lia memanggilku sambil lari mendekatiku. 

    “Kak Charlie cedera! Kita butuh pengganti! Ayolah! Kamu harus ikut!” 

    Tanpa menunggu persetujuan, Lia menarik tanganku menuju lapangan. Aku hendak protes tetapi Lia sudah memberikan arahan mengenai strategi untuk lomba ini. 

    “Tidak ada penolakan! Kamu tunggu di bagian terakhir!” Teriak Lia saat akhirnya berlari balik ke posisinya. 

    “Kau gila!!” Aku membalas teriakan Lia dengan kesal. Aku melihat ke rekan-rekan lainnya yang tampak percaya padaku. Kak Tika juga mengangguk, memberikan dukungan moral. Setelah mengeluarkan napas kesal, aku mengalah dan segera memasang tanda bahwa aku sudah siap. Toh, tidak ada gunanya untuk berbalik sekarang. 

    Suara peluit menandakan dimulainya estafet, diikuti suara teriakan dari berbagai arah. Kuakui, teriakan tersebut sangat mengganggu konsentrasiku, diwakili oleh wajahku yang menampilkan raut kesal dan tidak nyaman. Aku mengencangkan ikatan rambutku sebelum baton diberikan. Bersiap-siap.

    “Ayo Asya, kau bisa!!” Aku mendengar Kak Tika menyemangatiku dari jauh saat aku mulai berlari sambil memegang baton erat-erat. 

    Apakah aku pernah memberi tahu bahwa aku mencetak rekor untuk praktek atletik saat SD? Dengan 12 detik untuk 100m, aku mengalahkan teman sekelasku yang pemain basket. Mungkin mempunyai tubuh yang ringan sangat membantuku. Namun aku tidak terlalu peduli akan potensiku dulu, yang penting adalah mendapatkan nilai terbaik saat ujian praktek. Lagipula, bakat itu tidak akan berguna kecuali jika aku sedang dikejar oleh seorang penjahat yang terbukti telah membunuh 5 manusia lebih. 

    Namun sayangnya — atau syukurlah— aku membuktikan diriku sendiri salah, siapa sangka bakat terpendam itu ternyata berguna? Aku memimpin beberapa langkah di depan peserta yang lain. Setiap langkah yang kuambil seperti menambah kepercayaan diri bahwa aku dapat memenangkan lomba ini untuk kelompokku. Atau setidaknya menambah keberuntunganku untuk hari itu. 

    Angin sepoi terdengar jelas di telingaku, walaupun tidak mengalahkan suara para penonton yang bersemangat. Semua berjalan lancar—sampai tiba-tiba, aku merasa sepasang tangan mendorong punggungku, membuatku tidak stabil. Hingga akhirnya terhempas ke depan sebelum dapat menyadari apa yang terjadi. 

    Sepertinya aku tidak bisa berharap dengan keberuntungan ya?

    ~~~

    “Apakah dia sudah bangun?”

    “Siapa yang mendorongnya?” 

    “Dari kelompok 4,”  

    Suara samar terdengar dari sisi kananku. Aku membuka mata perlahan dan mengangkat tangan ke jidat. Kepalaku terasa sangat sakit. Namun bukannya jidat yang kupegang, sebuah benda kasar dingin ‘menusuk’ tanganku. Membuatku meringis dan mencoba duduk. 

    “Yang benar saja? Es?” Kalimat pertamaku itu mungkin benar benar menunjukan betapa muaknya aku dengan sekolah ini. Seorang siswi pingsan karena terdorong, dan solusi terpintar mereka adalah es? 

    “Kamu sudah bangun! Apakah kamu tidak apa?” Lia bertanya dengan wajah penuh kekhawatiran. 

    “Aku bangun, aku utuh, aku tidak apa,” Aku menyingkirkan es yang sejak tadi menempel di jidatku. “Dan sebelum kau bertanya yang lain, siapa yang mengusulkan ide brilian ini?” 

    “Jangan tanya kita, kau dibawa masuk oleh anak PMR.” Kak Farel tertawa dan membuang plastik air beku itu. 

    “Sangat pintar” Aku memutar bola mata dan duduk di pinggir ranjang. “Jadi, siapa yang bertanggung jawab membuatku malu di depan satu sekolah?” 

    “Anggota kelompok 4,” Kak Tika menghampiriku. “Tenang saja, mereka sudah di diskualifikasi.” 

    “Namun aku tidak akan memaafkan mereka! Asya hampir saja terluka!” Lia melipat tangannya di dada –pose yang jelas menunjukan bahwa dia kesal— “Aku akan pastikan mereka akan dapat balasannya!”

    “Ya, mungkin dimulai dengan menimpuk mereka dengan satu kotak es batu.” Aku berdiri dan merapikan bajuku. Sial, kaos putihku ternoda. “Sepertinya UKS bisa menjadi pemasok utama kita,”

    “Sikap sarkas dia benar benar menempel ya?” Kak Farel terlihat kaget melihat jawabanku. 

    “Selamat! Kau sudah mengenal Asya!” Lia menepuk pundak Kak Farel yang disambut ketawa Kak Tika. 

    “Kau tidak mengidap alexithymia, ‘kan?” Kak Tika tersenyum lebar. “Aku bisa menjadi psikolog untukmu!” 

    “Menurutku kita lebih butuh pengacara untuk menuntut kelompok 4,” Aku berusaha menahan tertawa. 

    “Aku akan menjadi saksi untukmu, Asya! Jangan khawatir.” Lia memeluk leherku dengan erat. 

    “Itu jika kau tidak terlanjur mencekikku sekarang, Lia!” 

    UKS kembali dipenuhi tawa. Sudah lama aku tidak tertawa dengan lepas seperti sekarang. Ternyata rasanya cukup melegakan ya? 

    “Kau bisa membalas mereka dengan memenangkan fashion show, Asya.” Kak Tika mengedipkan matanya. “Kau akan jadi bintang nanti!” 

    “Ya, doakan saja tidak ada yang mendorongku lagi nanti,” Senyumku yang sedari tadi tertahan, akhirnya mengembang. 

    “Aku akan menjagamu!” Kedua tangan Lia ditaruh di pinggangnya, seakan ada sebuah jubah merah yang melayang di belakangnya. 

    “Kita semua akan mendukungmu,” Kak Farel tersenyum. “Karena kita yakin kau pasti bisa menaklukkannya,”

    Aku menatap ketiganya dengan perasaan aneh, bukan dalam arti yang buruk. Ini sebuah perasaan yang sudah lama tidak muncul. Untuk pertama kalinya sejak lama, aku merasa bahwa aku tidak sendirian dalam berjuang melawan dunia yang seakan lama lama mengumpulkan konsolidasinya untuk berperang denganku.

    “Kita akan latihan nanti, tenang saja! Aku akan membantumu menjadi terkenal!” Kak Tika berlagak seperti sebuah model yang sedang berada di puncak ketenarannya. “Dengan syarat kau tidak melupakan kita saat terkenal nanti!” 

    Tertawaku lepas sekali lagi. 

    “Ya sudah, ayo kita lihat pertandingan futsal! Sedang seru nih!” Pintu UKS dibuka oleh Kak Farel, mempersilakan Lia dan Kak Tika keluar lebih dulu. 

    Aku menatap mereka sebelum akhirnya berjalan keluar. Entah kenapa percakapan tadi benar benar menghilangkan segala prasangka buruk tentang sekolah ini. Keraguan tentang apakah aku akan bertahan tiga tahun disini sebelum aku mati kebosanan, seakan terkubur dalam dalam. Mungkin karena ternyata ada yang dapat menerima sikap sarkas aku ini. Atau karena tidak ada yang memarahiku karena terjatuh dan tidak memenangkan lomba. Apapun itu, perasaan percaya diriku muncul lagi. Sepertinya ini adalah awal kebangkitan Asya yang ceria, dan akhir dari Asya yang murung. 

    Melihat Kak Farel, Kak Tika dan Lia yang berhasil membuatku nyaman di sekolah ini, aku bertekad akan memberikan yang terbaik saat fashion show nanti. Aku akan menunjukan bahwa aku, Nasya Putri, juga dapat bersinar! 

    ~~~

    “Asya! Kau dimana? Gaunmu sudah jadi, kami tunggu di kelas 12-5 untuk kau mencobanya!” Telepon dari Kak Farel itulah yang menjadi sebab aku sekarang sedang berdiri memakai rangka gaun dari kawat bekas yang menusuk pundakku. Berkali kali aku meringis tergores kawat tajam itu. 

    “Sabar ya?” Kak Julia, seorang murid dari kelas 11, membelai rambutku. “Percayalah, ini akan sepadan di akhir!” 

    Aku hanya memberi senyuman setengah hati. Sesarkas apapun aku, tentu aku tahu batas antara kakak kelas dan teman sebaya seperti Lia. Karena itu, aku bersusah payah menahan diri untuk mengeluarkan kalimat keluhan. 

    “Oke, kalian benar benar berhutang padaku. Aku mengantri lama untuk mendapat pesanan kalian ini,” Suara Kak Vino terdengar beriringan dengan suara pintu kelas terbuka kencang. Kak Vino terlihat repot dengan tangan yang penuh dengan plastik berisi pesanan minuman dari kita semua.

    “Nih, untuk Asya. Anggap saja bayaran kecil karena menjadi model kelompok kita,” Kak Farel memberikan sekaleng soft drink. Aku menatapnya dengan penuh makna. Yang benar saja? Para model yang berjalan di atas runway dibayar berjuta juta, dan aku hanya dibayar dengan sekaleng soft drink? 

    “Aku tahu pikiranmu, Asya. Jika kau menang, kita akan merayakannya dengan meriah, tenang saja,” Aku merasa sentilan kecil dari Kak Vino di dahiku. 

    “Hei, dengan kawat yang menyiksa dan pukulan di dahi, bukankah sudah cukup untuk menuntut kalian atas kekerasan dalam lingkungan sekolah!” Aku melotot padanya sambil memperbaiki bagian poni rambutku. 

    Dia hanya terkekeh kemudian duduk di salah satu kursi dan memasang headphone besar yang sedari tadi tergantung di lehernya. Sangat santai bukan? Well, itulah Kak Vino. 

    Ibaratnya begini. 

    Jika perayaan kemerdekaan ini adalah sebuah permainan dan anggota kelompokku adalah karakter game dengan berbagai superpower yang sangat berbeda namun saling melengkapi, maka karakter Kak Vino adalah opsi keempat atau kelima yang akan kupilih. Dikalahkan oleh Kak Tika, Kak Farel dan Lia. 

    Jika superpower Kak Farel adalah keseriusan, maka Kak Vino adalah antonimnya. Jika superpower Kak Tika adalah keahliannya dalam berkarya, maka Kak Vino adalah komplemennya– selalu mempunyai ide yang bisa dikatakan sangat di luar nalar.  Jika superpower Lia adalah keaktifannya, maka Kak Vino adalah pendampingnya. Cukup simpel bukan? 

    “Asya! Asya!” Pintu kelas kembali terbuka menampakan seorang Lia yang segera menghampiriku dengan plastik isi cemilan dari market day. “Kau tidak akan percaya apa yang kudengar!” 

    “Kenapa? Bahwa aku bisa memenangkan lomba ini? Ya, aku tidak akan percaya,” Aku berkata sambil mengunyah cemilan yang dibawa Lia.

    “Aku pun tidak akan percaya kau akan menang dengan raut mukamu yang cemberut itu,” Lia mencubit pipiku sebelum melanjutkan bicara. “Tolong bilang padaku kalau kau ingat nama nama teman sekelas kita, terutama yang lelaki.” 

    Aku menatapnya tak percaya. “Hei, aku tidak se-tertutup itu! Tentu aku ingat,” 

    “Baguslah, tahu Gio?” 

    “Yang suka tidur di kelas itu?”
    “Itu Bagas!”
    “Bukankah Bagas yang jago dalam voli ya?”
    “Bukan, itu Arjuna,” 

    “Ohh, yang menjadi sekretaris kelas kita bukan?”

    “Itu Rian!” 

    “Baiklah, aku menyerah” Aku menyilangkan tangan di atas dada menatap balik Lia yang terlihat takjub dengan daya ingatku akan nama nama teman sekelas. 

    “Ya ampun,” Lia memegang keningnya. “Kau tahu? Dia merendahkan-mu tadi, sangat disrespectful! Jangan khawatir, aku sudah menegurnya tadi. Tapi aku benar benar tidak percaya dia segitunya denganmu! Kau menjadi korban saat lari estafet dan dia menyalahkan kamu?! Tak mu-” 

    Aku memotongnya dengan menyuapkan sepotong kue sus yang kebetulan dijual – aku benar benar takjub saat mendengar OSIS menjual kue yang cukup mahal tersebut – Lia terdiam, terpaksa mengunyah dengan mulut penuh sambil menatapku yang sedang tersenyum puas dengan mata membelalak seolah aku baru saja melanggar hukum internasional. 

    “Asya! Kau benar benar menyebalkan!” Lia mengusap krim yang tersebar di sekitar bibir tipisnya dengan kesal. 

    “Hei, aku sudah memastikan kau tidak kehabisan napas saat mengomel, berterima kasihlah,” Aku mengambil kaleng soft drink dan meminumnya. Setidaknya jika aku mau berdebat dengannya, aku sudah tidak dehidrasi. 

     “Kau yang seharusnya berterima kasih padaku,” Dia memutar bola matanya. “Aku sudah membelamu tadi, dan ini balasannya?”

     Aku mengangkat bahu. “Bukankah superhero tidak dibalas apa apa?” 

     “Jadi aku ini adalah pelindungmu? Jangan harap aku bertahan lama dalam pekerjaan ini,” Lia terdengar kesal, namun dia tidak bisa menyembunyikan senyuman di sudut bibirnya. 

     “Ya, aku tidak akan berharap terlalu tinggi padamu,” aku menyahut sambil menyeringai.

     Lia hanya membalasnya dengan tertawa sambil membalikkan badan dan menjauh menuju para senior yang sedang merancang gaun daur ulang. 

     Mengangkat bahu, senyuman tipis terukir di bibirku saat Lia berjalan menjauh, menuju para senior yang tengah sibuk merancang gaun daur ulang. Setidaknya, senyumnya menunjukkan bahwa dia masih bisa tertawa karenaku, meskipun kadang aku mengganggunya.

     Aku berjalan menuju cermin yang tersedia di kelas ini, dan menatap gaun yang sedang kupakai.

     Rok plastik hitam-putih yang mengembang itu tidak hanya mencolok, tetapi juga memberi kesan dramatis. Atasannya dengan bunga-bunga putih di sekeliling leher memberikan sentuhan lembut, seolah kontras dengan kesan tegas dari rok tersebut. Ditambah dengan mahkota buatan yang mengikat rambutku, yang terasa begitu istimewa meskipun terbuat dari piring plastik yang digabungkan. Tak lupa sayap megah yang sedang ditempeli kapas di pojok kelas. Itu akan menjadi highlight karya ini. 

     Aku menatap Lia, Kak Farel, Kak Tika, Kak Vino dan anggota kelompokku yang sibuk membuat hiasan untuk gaun yang kupakai ini. Aku tidak mau bersikap dramatis, namun entah kenapa aku merasakan sesuatu yang berbeda saat melihat mereka bekerja keras untuk ini membuatku lebih termotivasi untuk melakukan yang terbaik saat fashion show nanti. Setidaknya akan kupastikan semua kerja keras mereka tidak akan sia sia. 

          ~~~~~~

     “Asya! Apakah kau siap untuk berjalan di atas karpet merah nanti?” 

     Itulah pertanyaan pertama yang dilontarkan padaku saat melangkah masuk kelas 12-5 – yang menjadi base camp kita selama acara berlangsung – dan aku hanya menjawab dengan senyum meragukan. Jangankan berjalan linggak lingguk di atas karpet merah, aku tidak bisa berlari cepat tanpa tersandung. Ya, aku menyinggung kejadian kemarin. Ya, mungkin aku terlalu memikirkan acara nanti. Dan ya, aku tahu aku mungkin terdengar seperti drama queen. Tapi jujur saja, bisakah kau salahkan aku? Kalau ada kompetisi “siapa yang paling tidak siap tampil,” aku pasti menang telak. Jadi, maafkan aku kalau aku merasa sedikit… korban di sini. Bukan berarti aku playing victim, tentu saja. Aku tidak se-menyedihkan itu. (Mungkin.)

     “Tentu, Asya sudah siap!” Lia menjawab sambil menepuk bahuku. “Aku bahkan bawa kotak make up milikku dan milik kakakku!”

     “Kerja bagus, Lia!” Kak Tika mengangkat sebuah kotak kulit hitam ke atas meja, dengan cekatan membukanya dan melihat-lihat isi kotak tersebut. “Kakakmu benar benar punya selera make up yang tinggi, lihatlah semua merek terkenal ini!” 

     Aku mengutuk penglihatanku yang kurang jelas hingga tidak bisa melihat semua kemasan yang dikeluarkan Kak Tika dan Lia satu per satu. Dengan mata minusku dan minimnya pengetahuan tentang make up dalam otak, aku memilih untuk memasang earphone dan menyalakan lagu valerie karya TV Girl. 

     Namun sebelum memasuki chorus, Lia menarik tanganku. “Asya! Kemarilah, kita akan membuatmu menjadi pusat perhatian nanti!” Kemudian dia menyuruhku duduk di atas kursi yang bersebalahan dengan meja penuh benda aneh seperti sebuah palet yang terdiri atas warna warna yang mirip dengan satu sama lain. 

     “Tenang saja, Asya. Aku sudah cukup lihai dalam bidang ini,” Kak Tika mengedipkan mata, mengisyaratkan bahwa mungkin aku berada dalam tangan yang tepat. Yah, mungkin

     “Kalian tidak akan membuatku seperti badut, ‘Kan?” Aku menatap mereka dengan ragu. 

     “Hei, jangan meremehkan kita,” Lia menyentil dahiku. “Lagipula, ini bukan hanya soal dirimu. Kita mewakili kelompok ini, ingat?” 

     Kak Tika mengangguk sambil mengambil eyeliner. “Benar. Kalau kamu terlihat menawan, itu juga mencerminkan kerja keras kami semua. Jadi, nikmati saja prosesnya, oke?”

     Walau agak ragu, aku mengangguk. Bukankah aku sudah bertekad pada diri sendiri bahwa aku tidak akan membuat kerja keras mereka sia-sia? Mungkin ini satu satunya cara yang bisa kulakukan untuk menghargai usaha mereka. Dengan duduk diam, sementara mukaku dijadikan kanvas percobaan. 

     Jujur saja, rasanya agak aneh saat berbagai kuas menyentuh kulitku. Terutama saat mereka menuangkan semacam krim dingin di seluruh mukaku, dilanjutkan dengan sapuan kasar dari kuas. Dan tolong jangan tanya berapa kali Lia harus menyuruhku diam saat mereka mau menghias mataku dengan berbagai pensil menyeramkan. 

      Setelah sekitar 15 menit yang terasa seperti berjam-jam—diiringi komentar antusias Lia yang terus memuji “hasil karya” Kak Tika—akhirnya sesi “transformasi ajaib” ini selesai. Kak Tika membuka aplikasi kamera di telepon genggamnya dan menyerahkannya padaku. “Nah, lihatlah dirimu sekarang, Asya. Bukankah kau seperti selebriti red carpet?” katanya dengan nada bangga.

     Dengan skeptis, aku menerima ponsel itu dan menatap wajahku yang selama ini terasa biasa saja. Mataku terlihat lebih tajam, pipiku merona dengan gradasi yang halus, dan bibirku dihiasi lipstik merah muda yang nyaris sempurna. Rambutku, yang biasanya hanya diikat seadanya, kini dihias dengan sentuhan gelombang lembut dan hiasan bunga kecil yang senada dengan gaun yang nanti akan kupakai. 

     “Bagaimana? Apakah kau puas, nyonya penggerutu yang tidak bisa diam jika sebuah eyeliner mendekati matamu?” Lia terdengar puas setelah melihat ekspresiku. “Kau benar benar terlihat seperti bintang!” 

     “Julukan yang sangat anggun,” Aku tertawa kecil kemudian menyerahkan telepon genggam balik pada Kak Tika. “Yah, doakan saja kali ini aku tidak akan di dorong oleh orang lain, ataupun tersandung” 

     “Kalaupun kau tersandung, kau akan melakukannya dengan sangat elegan sehingga menjadi pusat perhatian,” Kak Tika berkata sambil memasukkan alat alat make up kembali ke kotaknya. 

     Aku meringis mendengar kalimat motivasi dari Kak Tika. “Tersandung bukan alasan yang cukup elegan untuk menjadi pusat perhatian,” 

     Kak Tika hanya tertawa mendengar kalimatku sebelum menutup kotak make up dan membawanya ke tempat lain. Persis saat Kak Tika membawa kotak itu, pintu terbuka. Memperlihatkan Kak Farel dan Kak Vino membawa potongan gaun serta rangka kawat. 

     “Oke, setengah jam lagi kau akan naik panggung. Cukup untuk merangkai gaun ini,” Kak Farel berkata dengan nada serius sambil merapikan potongan-potongan kain di lantai. Di sebelahnya, Kak Vino tampak sibuk mengeluarkan lem, staples, dan alat-alat lainnya seperti seorang insinyur yang akan merancang proyek besar.

     “Maafkan aku jika aku terlalu lancang, namun ini benar benar sebuah gaun?” Kepalaku terasa sakit melihat potongan plastik di lantai yang lebih seperti puzzle rumit dibanding gaun indah. 

     “Hei, setidaknya kau mempunyai kami. Kedua desainer mendadak yang ternyata lumayan hebat dalam hal ini,” Kak Vino berkata sambil berpose sebagai pahlawan. “Lagipula, jika gaun ini tiba tiba runtuh saat kau berjalan, setidaknya kau masih bisa diselamatkan dengan make up yang fantastis itu,”

     Lia terkekeh mendengar Kak Vino memuji ‘hasil karya’ dia. “Dan jika kau tidak mau naik ke panggung, akan ku angkat dan menyeretmu agar kau tidak lari.”

     “Sangat suportif,” Aku memutar bola mataku dan segera memakai rangka kawat yang sudah di siapkan Kak Vino. 

     Dengan diriku yang sudah berdiri dengan rangka kawat, kegiatan memasang potongan plastik dimulai. Dibantu oleh anggota kelompok yang lain, aku merasa seperti boneka yang sedang dihias oleh berbagai macam pernak pernik. Lia berdiri di belakangku dan menata rambutku. Mengepangnya, menyisirnya, dan memakaikan mahkota buatan yang sudah disiapkan dari jauh hari. Dan sebagai sentuhan terakhir, sayap megah yang terbuat dari kardus ditempeli kapas.

     Dan dalam waktu kurang dari 20 menit, gaun tersebut sudah utuh. Kak Tika, yang kembali ke kelas sambil membawa kotak tambahan berisi aksesori, menyeringai puas melihat hasil kerja keras tim. 

      “Luar biasa! Lihatlah, Asya. Kau akan menjadi pusat perhatian malam ini,” serunya dengan semangat.

    Aku menatap gaun itu dengan perasaan yang sulit dijelaskan—campuran antara kekaguman dan kecemasan bahwa hidupku mungkin akan berakhir di atas karpet merah. Awalnya aku skeptis, tentu saja. Siapa yang tidak? Tapi sekarang, setelah melihat gaun ini, aku mulai berpikir bahwa mungkin, hanya mungkin, aku tidak akan sepenuhnya mempermalukan diri di depan seluruh sekolah.

     Tapi mari kita jujur: semua ini bukan soal aku. Oh, tidak. Ini tentang kerja keras seluruh kelompok yang mati-matian memastikan aku tidak berubah menjadi lelucon berjalan di panggung nanti. Dan ya, aku tidak akan pernah lupa betapa mereka sibuk berebut mengatur setiap detail kecil seolah-olah hidup mereka bergantung pada performaku. Karena tentu saja, kalau ada yang salah, itu pasti salahku.

             ~~~~~~~~~

     Aula sekolah—tempat yang biasanya membosankan dengan kursi-kursi plastik dan udara pengap—kini berubah total menjadi semacam pusat mode dadakan. Lampu sorot berwarna-warni menari-nari di sepanjang ruangan, membuat semua orang merasa seperti berada di acara fashion kelas dunia (atau setidaknya, versi hematnya). Musik latar yang keras berdentum mengikuti irama langkah para model amatir di atas karpet merah yang entah kenapa terasa lebih seperti jebakan daripada jalur kemenangan. 

     Penonton duduk berdesakan di kursi-kursi yang berjajar rapi, meskipun beberapa siswa di barisan belakang jelas lebih tertarik pada ponsel mereka daripada pertunjukan di depan mata. Sorakan dan tepuk tangan bergema setiap kali peserta tampil, meskipun aku yakin setengah dari mereka hanya ikut-ikutan agar tidak terlihat bosan. Tapi tentu saja, aku tidak punya pilihan selain bergabung dalam parade keanehan ini. Sebagai “bintang” kelompok kami, aku harus berjalan dengan sesuatu yang mungkin bisa disebut grace under pressure—atau dalam kasusku, awkwardness under bright lights.

     Ketika MC menyebut namaku, tirai terbuka, dan karpet merah terbentang di depan seperti jalan menuju eksekusi publik. Aku melangkah maju, mencoba mengabaikan fakta bahwa sepatu hak rendah yang kupakai tidak dirancang untuk berjalan di permukaan karpet yang licin. Lampu sorot langsung menyambar wajahku, membuat mataku berkedip-kedip seperti rusa yang tertangkap lampu mobil.

     Sorakan menggema dari penonton, meskipun aku tidak yakin apakah itu tanda dukungan atau karena mereka tidak sabar melihat apakah aku akan tersandung. Di barisan depan, Lia melambai penuh semangat, wajahnya berseri-seri seperti dia benar-benar percaya aku akan memukau semua orang. Aku memaksa diriku untuk tersenyum—senyuman yang pasti terlihat lebih seperti cengiran terpaksa di bawah semua make up ini.

     Ketika akhirnya sampai di ujung karpet, aku berhenti, berpose seperti yang diajarkan Kak Tika. Cahaya lampu, sorakan penonton, dan bahkan kilatan beberapa kamera dari ponsel menciptakan momen yang hampir… mengesankan? Tapi jujur saja, aku lebih sibuk memastikan gaunku tidak tersangkut di sepatu atau mahkotaku tidak jatuh. Ini adalah peragaan busana, bukan episode drama komedi, meskipun aku merasa sedang membintangi keduanya.

     Namun melihat wajah Kak Tika yang bangga, Lia yang sibuk menyemangatiku, Kak Farel yang merangkul Kak Vino sambil melambaikan tangan, dan anggota lain yang terlihat puas dengan penampilanku, aku merasa sedikit lebih percaya diri dari sebelumnya. Aku tersenyum lebih lebar dan membalas lambaian Kak Farel, mengedipkan mata pada Kak Tika serta menatap Lia dengan penuh keyakinan bahwa aku sudah membanggakan kelompokku. 

     Aku membalikkan badan untuk segera meninggalkan panggung dengan perasaan tidak percaya bahwa seorang Asya telah melakukan itu semua. Tepuk tangan terdengar dari seluruh sisi aula. Mungkin itu pertanda yang bagus? Mungkin mereka bertepuk tangan untuk menyembunyikan perasaan jijik mereka? Lebih baik pesimis daripada berharap tinggi kemudian kecewa bukan? 

     Saat aku turun panggung, Lia sudah bersiap siap di bawah dengan tangan terbuka dan segera memelukku erat. Seakan aku baru saja berjalan di atas api dan selamat. “O.M.G! Kamu telah melakukannya dengan sangat baik, Asya!” 

     Lia menyibak badannya, membiarkanku lewat untuk kembali ke belakang panggung. Di situ, Kak Farel, Kak Vino dan Kak Tika sudah menungguku. Mereka menunjukkan soft drink rasa mangga kesukaanku yang langsung membuatku menghampiri mereka. 

     “Selamat, Asya! Kau tidak tersandung di atas sana!” Kak Vino menyerahkan kaleng soft drink kepadaku yang hanya menatapnya dengan tatapan yang jika di terjemahkan; Ya, ucapan selamat yang sangat mengharukan

     “Kau benar-benar menjadi bintang di atas sana! Aku sangat bangga!” Kak Tika menambahkan, sambil memeluk pundakku dan membenarkan hiasan di rambutku yang sudah cukup berjuang untuk bertahan di tengah sorotan lampu panggung. Aku mengangguk, mencoba menerima semua pujian, meskipun otakku masih sibuk memproses bahwa aku baru saja berhasil berjalan tanpa insiden memalukan. 

     Setelah semua peserta selesai tampil, panitia memberi jeda 10 menit sebelum pengumuman pemenang. Waktu yang katanya “untuk beristirahat,” tapi entah bagaimana aku malah terseret oleh Lia, dan tahu-tahu sudah berdiri di taman sekolah. Di situ, kelompokku sudah berpose layaknya model katalog majalah—dengan tempat kosong di tengah yang jelas-jelas disediakan untukku. Betapa istimewanya aku.

     Kak Tika, yang sepertinya merasa jadi hairstylist pribadi, dengan sigap membetulkan rambut dan hiasan di kepalaku. “Supaya terlihat sempurna di kamera,” katanya. Ya, karena jelas-jelas aku ini pusat dunia. Setelah selesai, dia langsung berlari ke belakang tripod dan mengatur posisi kita sekali lagi.

     “Bersiaplah! Timer 10 detik!” Seru Kak Farel. Kelompokku bergaya bebas, ada yang memasang gaya peace dua jari klasik, ada yang memasang pose bapak-bapak –jempol, ayolah kalian tahu ‘kan?– dan ada juga yang memajukan bibir mereka seperti bebek yang kehabisan napas. Aku, di sisi lain, hanya berdiri di tengah, mencoba untuk tidak terlihat terlalu kaku.Tapi jujur saja, siapa peduli? Setidaknya aku sudah lolos dari neraka karpet merah… untuk sementara.

     Sayangnya, istilah “sementara” itu ternyata benar-benar sementara. Karena before I knew it, aku kembali diseret menuju karpet merah yang entah kenapa terasa lebih panjang dan lebih menyiksa kali ini. Sejujurnya, apa kesalahan yang pernah kulakukan hingga layak menerima ini dua kali dalam satu hari? 

     “Sebelum kita memulai pengumumannya, mari kita tepuk tangan yang meriah untuk para peserta yang sudah mengikuti lomba ini dengan semangat dan antusias!” MC berseru sambil memimpin penonton untuk tepuk tangan. 

     Yang benar saja, siapa yang semangat dan antusias? Yang jelas bukan aku. 

     “Kalian semua telah memberikan yang terbaik, namun para juri telah memilih tiga peserta yang menjadi tiga teratas..” 

     Aku mengenggam tanganku sendiri. Berharap tidak dipanggil. 

     “Juara ketiga diraih oleh..Revo Mahardika dari kelompok 3 dengan nilai 89! Selamat kepada Rio dan timnya!” 

     Mataku menatap Revo –ternyata dia teman sekelasku– yang berjalan mendekati MC dan menerima piala. Oke, posisi juara tiga sudah diambil. Memperkecil kemungkinan namaku dipanggil. 

     Namun ternyata kemungkinan itu tidak cukup kecil. Karena setelah Revo menerima piala, MC mengumumkan juara kedua.

     “Juara kedua diraih oleh… Nasya Putri Audia dari kelompok 5 dengan nilai 95! Selamat kepada Asya dan timnya!” 

     Aku? Juara kedua? Sungguh? Rasanya seperti mendengar pengumuman yang salah. Tapi saat Lia berteriak kencang, kenyataan itu mulai meresap. Kak Tika dan Kak Farel bertepuk tangan sambil melambaikan tangan ke arahku dari barisan penonton, wajah mereka memancarkan kebanggaan. Kak Vino? Dia hanya mengangkat jempol sambil menyeringai, seperti ingin berkata, “Tuh kan, aku bilang juga apa.”

     Aku berjalan menuju panggung lagi, kali ini untuk menerima piala dan sertifikat. Rasanya masih sedikit ironis, aku yang benar benar tidak niat untuk mengikuti lomba ini bahkan sempat ingin kabur, kini berdiri di depan penonton dengan piala di tangan. 

     Tepuk tangan kembali terdengar, dan aku berjalan turun dari panggung dengan hati campur aduk. Di satu sisi, aku merasa bangga. Di sisi lain, aku tahu ini semua berkat usaha kolektif timku. Aku? Hanya boneka yang dirias dan diarahkan. Tapi hei, boneka ini ternyata cukup layak untuk juara kedua, bukan? 

    • ───────•°••°•───────••───────•°••°•───────••───────•°••°•───────•

     Kalian tidak akan percaya apa yang baru saja aku lakukan. 

     Aku sendiri bahkan tidak percaya apa yang aku lakukan. Aku, seorang Asya yang dikenal pendiam, dan tidak terlalu suka make-up, menjadi boneka fashion show dan berjalan diatas karpet merah. DAN memenangkan lomba tersebut, walaupun juara dua. 

     Dan ironisnya, aku merasa lebih bangga dengan kemenangan juara dua dalam lomba ini dibanding mendapatkan juara kelas 4 tahun berturut turut. Meskipun kemenangan ini sangat sepele dan tidak akan berdampak banyak pada portofolio jika dibandingkan dengan semua prestasi lain. 

     Sudah lama aku tidak merasa sebangga ini akan sesuatu, terutama untuk hal sesepele seperti lomba fashion show antar klompok. Namun saat aku melihat kelompokku yang bahkan masih berlompat-lompat senang sejam setelah pengumuman, aku merasa… dihargai? Ya, dhargai. Tugasku hanya berjalan seperti boneka di atas panggung dan berpose, namun itu sudah cukup untuk membuat kelompokku bangga. 

     Berbeda sekali dengan keluargaku, yang sepertinya menganggap semua usahaku sebagai sesuatu yang memang sudah seharusnya aku kerjakan, seperti mendapatkan nilai bagus, memenangkan olimpiade atau mendapatkan juara kelas. Tidak pernah ada selebrasi, tidak pernah ada rasa bangga yang terlihat nyata. 

     Yah, mungkin ramalan awalku tentang sekolah salah. Mungkin aku menemukan tempat dimana aku bisa menjadi diri sendiri dan benar benar merasa nyaman. Tempat dimana semua usahaku dihargai, sekecil apapun itu. Tempat dimana aku bisa bercerita. Tempat dimana aku bisa melepas topeng ‘Asya mode pendiam’ yang selalu kupakai di rumah. 

     Mungkin aku dapat bertahan disini selama 3 tahun. Siapa tahu? Mungkin kelak saat kelulusan, akan susah bagiku untuk melepas masa masa remaja ini. Kita lihat nanti.  

     

     

    Kreator : Naurah Harimurti

    Bagikan ke

    Comment Closed: Remaja (3)

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]

      Sep 18, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024
    • Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]

      Sep 05, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021