Hidup di masa sekarang, banyak orang berpikir apapun yang terlihat itulah yang jadi bahan pertimbangan utama. Baik itu saat memilih sekolah untuk anak, memilih rumah untuk tempat tinggal, memilih pasangan hidup, memilih tempat kerja dan berbagai urusan lainnya. Apa yang tampak di penglihatan mata kita, itu yang akan jadi bahan renungan yang mendominasi pikiran kita.
Saat orang tua memilih sekolah untuk anaknya, sebagian besar masih terpaku pada bagaimana bangunan fisik sekolah yang dituju, sudah kokoh dan megah belum, apa saja fasilitas yang ditawarkan, bagaimana lapangan basketnya, bagaimana ruang laboratoriumnya dan sebagainya. Terkadang kita lalai pada apa yang jarang terlihat seperti bagaimana kurikulumnya, bagaimana akhlak dan perilaku gurunya, sejauhmana ketawadhuan pimpinan sekolah dalam membina sekolahnya dan sebagainya. Padahal dalam buku Tarbiyatul Aulad, dianjurkan pada semua orangtua untuk menitipkan anaknya, pada guru yang bisa menjaga akhlak pribadinya dengan benar. Karena apa yang dilihat murid dalam keseharian seorang guru adalah bagaimana akhlak dan ketawadhuan guru dalam menjalani hari-hari yang ada. Anak melihat contoh teladan dari gurunya. Meski memang fasilitas juga dapat menjadi sarana pembelajaran untuk anak, namun itu bukan hal yang paling penting dalam membentuk karakter anak-anak kita.
Saat seseorang memilih tempat bekerja, seringkali yang jadi pertimbangan utama adalah bagaimana megahnya bangunan kantor, terletak di pusat kota atau tidak, bagaimana range salary nya, apakah ada di dekat mall dan sebagainya. Namun lupa mencari tahu, apakah musholla tersedia di dalamnya., apakah ada pengajian rutin untuk para pekerjanya. Sehingga keberkahan dari posisi pekerjaan yang akan kita masuki, dapat lebih terjaga insya Allah.
Atau saat memilih pasangan hidup, seringkali pemuda dan pemudi kita masih silau dengan tampilan luar yang tidak abadi. Mungkin karena terpengaruh budaya terkini, yang mengagung-agungkan para idol dari korea, baik dari girlband nya atau boy band nya. Pertimbangan utama, bagaimana penampilannya apakah enak dipandang, putih dan tinggi kah? Bagaimana pekerjaannya mentereng kah, bagaimana hartanya bisa membuat bahagia kah? Padahal Rasulullah saw bersabda, pilihlah 4 hal utama saat memilih jodoh, yang utama adalah imannya, yang kedua akhlaknya, yang ketiga dari keturunan baik-baikkah, yang keempat baru boleh lihat hartanya. Kenyataannya, kriteria utama yang dilihat justru dibalik ya, bagaimana hartanya, kemudian keturunan bangsawan atau konglomerat kah, perilakunya setelah itu terakhir baru melihat agama. Sehingga tak jarang kita lihat fenomena para artis yang menikah dengan yang tak seiman. Padahal, jika kita bisa berikan point dari 4 kriteria tadi, agama poinnya adalah 1, jika dia juga berakhlak mulia, maka bertambah poinnya tambah 0 di belakangnya jadi 10, jika dia juga keturunan orangtua yang baik-baik jadi 100 poinnya, jika dia kaya jadi 1000. Namun jika dibalik maka semua bernilai 0, tidak akan menambah apa-apa selain kesengsaraan.
Lalu apa hubungannya itu semua dengan ridho manusia dan ridho Allah? Dibalik semua pilihan pertimbangan utama saat kita memilih sesuatu, jangan-jangan karena kita tidak mau dipandang jelek oleh manusia lainnya ya? Memilih sekolah yang megah, berharap saat ditanya teman yang satu almamater dimana menyekolahkan anak, kita bisa dengan bangga menyebut nama sekolah, yang semua orang tahu gedung dan fasilitasnya termasuk hebat. Bisa jadi saat memilih kantor tempat bekerja, yang jadi hidden agenda terdalam kita adalah kita ingin dianggap hebat, karena bisa kerja di kantor mentereng dan terpandang menurut orang-orang di sekitar. Mungkin juga saat memilih pasangan hidup, kita berharap dia adalah sosok yang tidak mengecewakan jika difoto berdampingan dengan kita?
Hati-hati, lompatan halus hati tentang perlunya dapat ridho manusia itu terkesan mengada-ada, namun nyata adanya. Kita sering kali sibuk cari ridho manusia, namun tidak aware seputar keridhoaan allah terhadap pilihan hidup kita. Mengapa itu bisa terjadi?
Bisa jadi karena hati kita telah terlalu lekat kepada dunia. Sehingga orientasi hidup kita telah benar-benar bergeser dari apa pun yang bersifat cari ridho Allah kepada mencari ridho manusia. Atau saat seorang istri berniat bersih-bersih rumah agar suami senang, namun yang dia terima bukanlah pujian, namun cacian yang mengatakan bahwa masih kurang rapi dan bersih di mata suami. Meski benar adanya, seorang istri perlu dapat ridho suami, namun jika itu jadi satu-satunya tolak ukur kebahagiaan istri, itu menjadi kurang tepat. Karena tetap saja ridho manusia akan sulit kita dapat, namun ridho Allah akan lebih terukur dan mudah dicapai.
Ali bin abi thalib, keponakan Rasulullah yang juga mendapat sebutan babun ilmu/ pintu ilmu, karena saking luasnya wawasan pengetahuan beliau, pernah mengatakan: dari sekian kesulitan hidupku, yang paling menyakitkan ku adalah saat aku berharap pada makhluk. Siapakah makhluk itu? Semua ciptaan Allah. Makhluk itu suami, anak-anak, orangtua, sahabat-sahabat, bahkan diri kita sendiri pun adalah makhluk. Hanya Allah Sang Khalik. Mengapa Ali bisa menyampaikan hal itu? Karena makhluk itu adalah ciptaan Allah, yang juga tempat berkumpulnya berbagai kelemahan dan keterbatasan juga kekhilafan. Jika Allah tidak izinkan kita bangkit dari tidur kita pagi ini, maka tidak mungkin kita bisa bergerak sesenti pun. Apa yang akan kita dapatkan jika bertumpu pada makhluk yang banyak kelemahan ini? Pastinya kekecewaan yang akan hadir mengiringi tingginya harapan kita pada makhluk lainnya. Oleh karena itu hanya pada Allah saja,segenap harapan selayaknya kita sematkan tinggi-tinggi. Sedangkan pada makhluk, secukupnya saja. Sehingga kita akan terhindar dari kekecewaan yang mendalam.
Berdasarkan pembahasan di atas, masihkah kita akan memilih berharap cari ridhonya manusia?
Kreator : Emma Indirawati
Comment Closed: Ridho manusia atau ridho Allah?
Sorry, comment are closed for this post.