Oleh : Nur Jati,S.Ag.,M.Pd.I*
Sadranan merupakan perilaku tradisi dalam masyarakat khususnya di Jawa. Merupakan tradisi mengirim arwah leluhur atau arwah oarng-orang yang telah mendahuluinya menghadap sang Kholiq. Dilaksanakan secara bersama-sama oleh kelompok masyarakat dalam satu kampung atau satu desa. Dan sadranan dilaksanakan khusus pada bulan Sya`ban.
Bulan Syakban merupakan bulan yang dimulyakan oleh Alloh SWT. Bulan sebelum romadlan ini merupakan bulan dimana Alloh SWT. Mengangkat amal perbuatan manusia selama setahun, mengawasi hamba-hamba-Nya, mengampuni dosa-dosa hamba yang memohon ampunan dan mencurahkan kasih sayang bagi hamba yang mengharapkannya.
Sya’ban adalah bulan kedelapan dalam penanggalan Hijriyah. Keistimewaan bulan ini terletak pada pertengahannya yang biasanya disebut sebagai Nisfu Sya’ban. Secara harfiyah istilah Nisfu Sya’ban berarti hari atau malam pertengahan bulan Sya’ban atau tanggal 15 Sya’ban setiap tahunnya.
Para ulama menyatakan, Nisfu Sya’ban juga dinamakan sebagai malam pengampunan atau malam maghfirah, karena pada malam itu Allah SWT menurunkan pengampunan kepada seluruh penduduk bumi, terutama kepada hamba-Nya yang saleh. Imam Ghazali mengistilahkan malam Nisfu Sya’ban sebagai malam yang penuh dengan syafaat (pertolongan). Sya’ban penuh dengan ampunan.
Dalam bulan syakban masyarakat muslim Indonesia banyak melakukan ritual sebagai “pemanasan” atau “persiapan” menuju bulan Romadan. Salah satu tradisi yang dilakukan oleh masyarakat secara turun temurun adalah tradisi sadranan. Dilakukan untuk mengirim doa dan pahala bagi arwah leluhur yang sudah berada dialam baqa dalam bentuk tahlilan yang dilakukan secara masal atau masyarakat secara umum bersama-sama dalam satu tempat baik dimasjid,mushola atau ditempat lain bahkan ada masyarakat yang melakukan tahlil masal ini langsung dikuburan atau pemakaman.
KH Sahal Mahfud, berpendapat bahwa acara tahlilan dalam sadranan ini,yang sudah mentradisi hendaknya terus dilestarikan sebagai salah satu budaya yang bernilai Islami dalam rangka melaksanakan ibadah sosial sekaligus meningkatkan dzikir kepada Allah sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Alloh dan membebaskan dari segala dosa. Menjadi salah satu indikator dalam dimensi keimanan seseorang. Membaca tahlil dalam sadranan bisa memberikan “makanan” bagi jiwa yang lapar, menenangkan jiwa yang resah, dan melahirkan kebahagiaan dalam hati yang galau, sepereti dalam Al Quran : Ala Bidzikrillahi Tathmainul Qulub. Berdzikir menupakan penenang hati.
Sebenamya kalau ditelisik dari sisi kemanfaatan, acara tahlilan dalam sadranan tersebut sangat banyak manfaatnya baik untuk diri pribadi maupun untuk masyarakat luas, di antaranya, menurut Abdusshomad, adalah: a) Sebagai ikhtiyar (usaha) bertaubat kepada Allah SWT untuk diri sendiri dan saudara yang telah meninggal dunia b) Merekatkan tali persaudaraan antarsesama, baik yang masih hidup atau yang telah meninggal dunia dengan pemahaman bahwa ukhuwah Islamiah itu tidak terputus karena kematian, c) Untuk mengingat bahwa akhir dari kehidupan dunia ini adalah kematian, yang setiap jiwa pasti akan melewatinya. d) Dan dengan adanya ritual tahlilan seorang muslim akan sering mengingat kematian, e) Untuk kesejukan rohani di tengah hiruk pikuknya dunia dalam mencari materi dengan jalan berdzikir kepada Allah, f) Tahlil sebagai salah satu media yang efektif untuk dakwah Islamiah, g) Sebagai manifestasi dari rasa cinta sekaligus penenang hati bagi keluarga yang sedang berduka.
Dari sisi sosial keagamaan Tradisi sadranan merupakan simbol adanya hubungan dengan para leluhur, sesama, dan Yang Maha Kuasa atas segalanya. Sadranan merupakan sebuah pola ritual yang mencampurkan budaya lokal dan nilai-nilai Islam, sehingga sangat tampak adanya lokalitas yang masih kental Islami. Sadranan menjadi contoh akulturasi agama dan kearifan lokal.
Manfaat adalam bidang sosial dengan adanya sadranan antara lain :
- Mempererat Ukhuwah Islamiyah
Hubungan masyarakat Islamiyah yang sudah terbangun akan lebih erat karena dalam acara sadranan ini menyatukan masyarakat dari berbagai unsur dan kalangan menyatu dalam satu tempat untuk sama-sama mengadakan tahlil bersama tanpa adanya dikotomi status sosial,tujuannya sama yaitu sama-sama mendekatkan diri kepada Alloh dan sama-sama mendoakan arwah.
- Harmonisasi sosial kemasyarakatan
Menyatunya masyarakat dalam satu tempat merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan sebagai jati diri baha manusia adalah maskhluk sosial, yang satu membutuhkan yang lain, dorongan manusia dalam merasakan individualitasnya akan terkikis karena bergabung dalam satu tempat dan satu tujuan bersama.
- Kepedulian sosial ekonomi
Dalam kegaiatan ini masyarakat menyiapkan makanan dan segala sesuatu ubo rampe yang dapat diberikan kepada orang lain. Kepuasan tersendiri dalam hati orang yang melakukannya dalam membantu atau memberikan sebagian rezeki kepada manusia lain.
Dengan demikian marilah kita mempertahankan tradisi sadranan ini sebagai wujud untuk melestarikan budaya kearifan lokal yang bernilai keislaman serta berguna untuk perkembangan nilai sosial dalam masyarakat.
*Guru Pendidikan Agama Dan Budi Pekerti SMK Negeri Bansari, dan Ketua LAKPESDAM (Lembaga Pengkajian Sumber Daya Manusia ) PC NU Kab. Temanggung
Comment Closed: SADRANAN DALAM PERSPEKTIF SOSIAL KEAGAMAAN
Sorry, comment are closed for this post.