KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Cerita Anak
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Senandung Cinta Melangit (Part 1)

    Senandung Cinta Melangit (Part 1)

    BY 21 Agu 2024 Dilihat: 44 kali
    Senandung Cinta Melangit_alineaku

    IKHLAS DAN HARAPAN (1)

    Memandang langit penuh dengan harap, cita dan asa, dalam hati ada doa yang tak henti berbisik. Melangkah dengan segala kepunyaan yang mungkin tak sama antara satu dengan yang lainnya, namun rasa syukur haruslah lebih dari apa yang diterima.

    “Assalamualaikum…”

    “Wa’alaikumussalam…sebentar”

    Pintu dibuka

    ” Na, afwan ganggu, “

    ” Ada apa Li? Ayo masuk dulu, afwan nih kamar ku berantakan hehehe “

    Aina mengambil air mineral gelas untuk Laili

    ” ya ampun jangan repot-repot Na, wong Cuma tetangga kamar kok”

    ” La ba’sa… ayo cerita ada apa?”

    ” Begini Na, aku mau minta tolong, tapiii…ee…gimana ya ngomongnya, aku malu Na “

    ” Loh kok malu si Li, ngomong aja, kalau aku sanggup bantu, insya allah aku bantu “

    Aina menggenggam tangan Laili untuk meyakinkan

    ” Begini Na, aku mau pinjam uang karena Abiku belum ngirimin uang untuk bulan ini “

    ” Ya ampun, Li kayak sama siapa aja, memang kamu mau pinjam berapa toh?”

    “Gak banyak kok Na, insya allah Abiku ngirimin lusa, jadi aku cuma butuh pinjaman uang untuk dua hari ongkos ke kampus, aku janji nanti begitu Abiku udah transfer langsung aku ganti Na “

    ” Iya Li, alhamdulillah aku masih ada uang simpanan kalau begitu aku ambil dulu, sebentar ya Li Aina mengambil uang dari laci lemarinya yang membelakangi Laili.

    “Li, segini cukup? Kalau kurang bilang aja Li gak papa

    “Alhamdulillah, syukron ya Na, ini lebih dari cukup aku ambil sebagian aja”

    Laili mengembalikan sebagian uang pinjaman yang Aina berikan, tapi Aina menggelengkan kepalanya dan menggenggamkan kembali pada Laili.

    Rizki tak melulu soal uang, rumah mewah, mobil atau perhiasan, disaat ada kesulitan lalu Allah mengirimkan teman yang bersedia membantu; itupun merupakan rizki.

    Delapan tahun lalu, Aina menginjakan kakinya di pesantren Al-‘Alim. Sempat sedikit ragu saat itu, namun keraguannya terbantahkan oleh semangat orang tuanya. Aina merupakan anak bungsu dari tiga bersaudara. Aziz merupakan kakak pertama yang terpaut delapan tahun dengan Aina, selain kakak laki-laki Aina juga memiliki Kakak perempuan bernama Nisa yang terpaut dua tahun dengannya. 

    Kini Aziz sudah berumah tangga dan memiliki satu anak berusia empat tahun, sedangkan Nisa sedang dalam masa khitbah dan akan menikah sekitar tiga bulan lagi. Aina sendiri saat ini menempuh pendidikan strata satunya di salah satu Universitas Islam dan memasuki semester enam. 

    Sebagai santri senior, tentunya Aina memiliki teman akrab yang sudah menemaninya sejak lama di pesantren. Fatimah, Hamidah, Marwah dan Shofiyah. Kini Aina dan keempat temannya menempati kamar yang sama setelah selama empat tahun berpisah kamar. 

    Laili kembali ke kamarnya dengan perasaan gembira karena mendapat pinjaman uang dari Aina. Aina kembali meneruskan setrikaannya yang menumpuk setelah dua hari lalu berjibaku dengan tugas persiapan PKL di kampusnya.

    ***

    Adzan Ashar berkumandang, memenuhi langit teduh yang menaungi jiwa-jiwa penuh harap kepada Rabb nya. Harapan agar Ia senantiasa meridhoi setiap gerak yang ter-laku dari jiwa dan raga yang terkadang lalai akan perintah dan suka dalam larang Nya.

    Para santri terlihat menghentikan segala aktifitas dan bergegas menuju masjid untuk sejenak berlapor diri kepada Sang Pencipta. Aina mengenakan mukenanya seusai berwudhu dan segera meninggalkan kamar tak lupa mengunci pintu.

    “Assalamualaikum, Ka Aina….”

    Suara remaja putri memanggilnya dari kejauhan sambal tergopoh-gopoh  menghampiri Aina

    “Ada apa Nadya?”

    Sedikit bingung Aina menghentikan langkahnya sambil memperhatikan adik tingkatnya yang berusaha menjelaskan

    “De’ Sarah Ka, mimisan terus pingsan”

    “Astaghfirullah, gimana ceritanya kok bisa pingsan Nad?”

    Aina segera meminta Nadya mengantar nya ke tempat Sarah pingsan. Sesampainya di tempat, Sarah sudah di bawa ke klinik pondok oleh beberapa santri, Aina dan Nadya segera menuju klinik.

    Aina begitu cemas memandangi Sarah yang belum sadarkan diri, selain karena memang Ia sebagai senior yang mendapat tanggung jawab mengawasi kelompok adik tingkatnya, Sarah memang merupakan santri yang sering kali mimisan terutama beberapa bulan terakhir.

    “Sarah, sayang….bangun De,'”

    Aina begitu erat menggenggam tangan Sarah

    “Nad, tolong Ka Na ya, tolong ambilkan hape ana di kamar, ini kuncinya”

    “Toyyib Ka”

    “Assalamu’alaikum”

    “Wa’alaikum salam Ustadzah, Sarah pingsan setelah mimisan saat menuju masjid”

    “Ya Allah, baik biar ana periksa dulu sebentar”

    Ustadzah Arifah merupakan salah satu dokter yang disediakan di pesantren Al Alim, sejak Aina masuk pertama kalinya Ustadzah Arifah sudah ada. Suami beliau, Ustadz Azzam merupakan salah satu pendidik di Al ‘Alim. Beliau memiliki dua orang putra yang dibesarkan di pesantren Al ‘Alim, yang saat ini baru saja masuk universitas tempat Aina kuliah.

    “Assalamu’alaikum, bagaimana keadaan Sarah ?”

    “Wa’alaikum salam, belum sadar Ummi?”

    Ummi Halimah merupakan istri dari Kyai Abdullah pemilik sekaligus pengasuh pondok pesantren Al ‘Alim.

    “Na, tolong hubungi orang tua Sarah,  Ummi yang bicara dan Ustadzah Arifah tolong panggilkan ambulance segera dari rumah sakit terdekat”

    “Maaf Ummi, ini sudah tersambung dengan ibu nya Sarah”

    Aina memberikan HP nya, Ummi Halimah segera keluar untuk berbicara dengan orang tua Sarah mengenai kondisi anaknya. Aina menggelar sajadah untuk sholat di samping Sarah yang belum sadarkan diri.

    Setelah pihak pondok mengabarkan kondisi Sarah dan mendapat izin untuk segera membawa Sarah ke rumah sakit, Ummi Halimah, Aina, Ustadzah Arifah dan Nadiyah mendampingi Sarah di dalam Ambulance.

    Setiba di rumah sakit, beberapa perawat segera menghampiri dan membawa Sarah ke ruang UGD. Aina izin untuk membeli minuman di kantin di temani Nadya, sementara Umi dan Ustadzah Fiyah tetap menunggu di luar UGD.

    “Ka Na, afwan kitabnya biar Nad yang bawakan”

    “Ya Allah… ana gak sadar bawa bawa kitab ke sini Nad, Ndak papa Nad biar ana yang bawa sendiri saja, kamu mau minum apa?”

    Aina sambil melihat-lihat sekeliling kantin, pandangangannya tertuju pada salah satu ibu yang di etalase nya terdapat air mineral.

    “Coba kita ke ibu itu yuk, ana mau air mineral”

    Nadya mengikuti langkah Aina di sampingnya dan membeli beberapa botol air mineral untuk Umi dan Ustadzah Arifah. 

    “Dreet… dreet… dreet…”

    Ponsel Aina berdering dari dalam tasnya saat membayar air mineral, Aina memberi isyarat kepada Nadya untuk membantunya membawa air mineral.

    “Assalamualaikum,”

    “Wa’alaikumussalam, Na dimana? Gimana Sarah?”

    “Alhamdulillah Gus kami sudah sampai di rumah sakit, Na sama Nadya lagi beli minum di kantin rumah sakit, Sarah sudah ditangani dokter di ruang UGD”

    Gus Asyraf merupakan salah satu anak dari Kyai Abdullah dan Ummi Halimah. Ia juga merupakan idola beberapa santriwati di pondok Al-‘alim, selain anak dari pengasuh pesantren, di usianya yang menginjak dua puluh enam tahun Asyraf memiliki usaha di bidang otomotif dan belum memiliki pendamping. 

    Kyai Abdullah sering sekali kedatangan tamu dari sahabat-sahabat beliau yang juga memiliki pesantren di dalam maupun di luar pulau Jawa. Kedatangan tamu-tamu tersebut sering sekali dikaitkan dengan perjodohan Gus Asyraf maklum saja, karena Asyraf memang satu-satunya anak dari Kyai Abdullah yang belum menikah sedangkan dua orang kakak laki-lakinya serta tiga orang kakak perempuannya sudah berkeluarga.

    “Ya sudah, nanti kalau ada kabar apa-apa tolong kabari ya Na, ana dan Abah Insya Allah menyusul ba’da Isya”

    “Baik Gus, Insya Allah”

    “Assalamu’alaikum”

    “Wa’alaikumussalam warahmatullah”

    Aina kembali memasukkan ponselnya ke dalam tas dengan sedikit heran melihat Nadya tersenyum seolah menggodanya.

    “Gus Asyraf ya Ka? Ehm..ehm…”

    “Iya, Gus Asyraf tanya kita dimana dan kondisi Sarah”

    Jawab Aina datar

    “Masa???”

    Nadya kembali menggodanya

    “Ssttt… jangan gosip, dosa”

    Nadya mengangguk sambil tetap tersenyum

    “Nadya… Gus Asyraf telepon Ka Na, karena Umi gak bawa Hape, jadi teleponnya Ka Na, paham???”

    “Iya, iya Ka… paham hihihi”

    “Ya sudah jangan bercanda aja, ayo cepet takut Umi haus, dari tadi Umi belum minum”

    Aina dan Nadya mempercepat langkahnya.

    “Afwan Umi, ini minum untuk Umi dan ini untuk Ustadzah Arifah”

    “Syukron Aina, apa ada telepon dari orang tua Sarah?”

    Tanya Umi Halimah

    “Tidak ada Umi, hanya tadi Gus Asyraf telepon menanyakan tempat dan keadaan Sarah. Gus Asyraf juga bilang, Insya Allah ba’da Isya ikut menjenguk bersama Abah”

    ” Ya sudah, Na tolong kamu telepon orang tuanya Sarah ya… barusan dokter keluar dan memberikan informasi penting mengenai Sarah”

    “Baik Umi, biar Na telepon sebentar”

    Aina mengeluarkan ponsel dari dalam tas dan segera menghubungi kontak orang tua Sarah, begitu tersambung Aina segera memberikannya kepada Umi Halimah. Beliau ditemani Ustadzah Arifah terlihat begitu serius berbicara dengan orang tua Sarah di telepon, beberapa kali Umi terlihat menghapus air matanya. Aina dan Nadya hanya bisa berdoa, keduanya terlihat sesekali melihat pintu ruang UGD menunggu dokter dan perawat keluar untuk menjelaskan kondisi Sarah sebenarnya.

    Ada rasa cemas yang menyelimuti hati Aina, Sarah merupakan salah satu adik kelasnya yang cukup akrab dengan nya. Beberapa kali Aina pun pernah mendapati Sarah mengeluarkan darah dari hidungnya, tapi tidak pernah terpikirkan harus sampai masuk UGD hanya karena mimisan. 

    “Keluarga pasien Sarah”

    Dokter keluar dari ruang UGD. Umi Halimah dan Ustadzah Arifah menyadari dan segera menghampiri dokter.

    “Aina, Nadya tolong kalian tetap tunggu di sini, Umi dan Ustadzah ingin bicara dulu dengan dokter”

    “Baik Umi,”

    Aina dan Nadya tetap menunggu di depan kamar UGD, sedangkan Umi dan Ustadzah Arifah masuk ke ruang dokter.

    Di ruang dokter, Umi Halimah tidak dapat membendung air matanya, saat dokter menyampaikan bahwa Sarah harus segera dioperasi karena kanker otak yang membuatnya koma. Hatinya bagai tersayat, walaupun Sarah bukan anak kandung nya namun Umi Halimah begitu ingat bagaimana Sarah sangat begitu bersemangat untuk belajar di pesantren Al-‘Alim. 

    Saat itu, Umi Halimah dan Kyai Syarif menerima laporan dari panitia penerimaan santri baru, bahwa ada calon santri yang sakit keras dan tetap ingin belajar di pesantren Al-‘Alim. Dengan penuh keheranan Kyai Syarif meminta kedua orang tua santri tersebut untuk menghadap.

    “Apa yang membuat antum menginginkan putri antum untuk tetap menjadi bagian dari pesantren kami?”

    “Mohon maaf sebelumnya Pak Kyai, saya dan Isteri sejujurnya sangat tidak ingin anak kami ini pisah dengan kami, apalagi mengingat anak kami memiliki sakit yang serius. Tapi apa daya kami saat putri kami satu satunya ini, selalu merengek dan berjanji untuk tegar melawan sakitnya jika ia diizinkan untuk mondok.”

    Seketika suasana menjadi haru, Umi Halimah tidak bisa berkata apa-apa. 

    “Mohon maaf Kyai, Umi, saya dan suami paham betul, mungkin ini bukan sesuatu yang mudah jika pesantren ini harus menerima anak kami. Kami hanya ingin anak kami sembuh, paling tidak bahagia saat dia berada bersama santri-santri di sini yang menjadi temannya nanti. Kami juga sedang mengusahakan diri untuk memiliki tempat tinggal yang dekat dari pesantren ini, agar pihak pesantren bisa mudah menghubungi kami jika terjadi sesuatu dengan anak kami”

    Ummi Halimah mengenang beberapa bulan lalu saat beliau menerima Sarah sebagai santrinya. Terkenang pula bagaimana saat itu keikhlasan kedua orang tuanya untuk menitipkan Sarah, tidak ada orang tua yang menginginkan kondisi jauh dari buah hatinya terlebih lagi saat kondisi buah hati ternyata memiliki sakit serius. Namun orang tua mana yang tak luluh dengan keinginan mulia seorang anak, yang saat anak itu sendiri pun tahu kondisinya.

    “Assalamualaikum,”

    “Wa’alaikumussalam … maafkan kami,”

    Ibu dan Ayah Sarah masuk ke ruang dokter. Ummi Halimah menghampiri dan memeluk erat Ibu Sarah.

    “Ummi, kami lah yang seharusnya minta maaf karena telah menitipkan anak kami, terimakasih Ummi dan Abah sudah bersedia menerima Sarah menjadi Santri…”

    “Dokter, lakukan apapun yang terbaik untuk anak kami”

    Ayah Sarah menandatangani surat persetujuan operasi dari dokter.

    Dokter dan beberapa perawat segera memindahkan Sarah menuju ruang operasi, Aina pun gemetar setelah mengetahui apa yang terjadi pada Sarah. Dirinya merasa tercambuk, bagaimana mungkin dia yang diberikan kesehatan terkadang masih sering mengeluh ketika harus menyelesaikan tugas kuliahnya dan tugas pesantren secara bersamaan. Sedangkan Sarah yang lebih jauh lebih muda darinya tetap memiliki semangat belajar yang tak sedikitpun membuatnya manja. Keceriaan Sarah dan kedisiplinan Sarah, siapa sangka Ia memiliki sakit yang cukup serius. 

    Matahari mulai terbenam kembali pada peraduannya, mega merah menyambut bintang diiringi lantunan merdu penanda untuk bersua dengan Sang Pencipta. Aina, Nadyah dan Umi Halimah serta orang tua Sarah menyegerakan shalat maghrib di musholla rumah sakit, sedangkan Ustadzah Arifah menunggu di ruang tunggu karena sedang berhalangan shalat.

    Seusai shalat mereka berdoa bersama untuk kelancaran operasi Sarah. Sudah tak terbendung lagi butiran bening mereka memohon penuh syahdu kepada Sang Pemilik jiwa. Seketika Aina terbayang wajah orang-orang yang amat dicintainya, tak sanggup rasanya jika hal ini menimpa salah satu anggota keluarganya. . untaian doa dan kalimat Aamiin menghadirkan suasana haru penuh harap akan kesembuhan Sarah.

    Malam itu Aina dan yang lainnya memutuskan pamit kepada kedua orang tua Sarah untuk kembali ke pondok. Ke dua orang tua Aina pun juga sepakat akan mendampingi Sarah selama di rumah sakit dan berniat membawa Sarah kembali pulang setelah Sarah membaik. 

     

    SAPA YANG ASING (2)

    Siang yang terik, seusai shalat Zuhur dan makan siang, Aina menuju ruang kelas bersama beberapa temannya. Dreeett…dreeett ponsel Aina bergetar. Aina mengerenyitkan dahi menatap nomor ponsel yang tidak dikenal, lalu izin untuk menerima telepon di luar kelas.

    “Wa’alaikum salam warahmatullah”

    Aina mengangkat ponselnya,

    “Maaf apa ini dengan Aina Ummahatul Mu’minin?”

    Suara laki-laki terdengar dengan tenang. Aina masih menerka-nerka dengan siapa Ia berbicara.

    “E… iya betul, maaf ini dengan siapa?”

    “Saya Arif, e.. begini saya menemukan buku dengan tulisan Arab tanpa harakat di kantin Rumah Sakit dua hari yang lalu”

    “Oh, baik bisa saya ambil di mana ya Pak?” 

    “Begini saja, biar saya yang antar tolong Mba Aina kirim alamatnya, bagaimana?”

    “Mohon maaf Pak, apa tidak merepotkan?”

    “Tidak apa-apa, saya tunggu alamatnya ya”

    “Terimakasih banyak Pak, jazakallah khairan segera saya kirim alamatnya”

    PROV Arif

    Hari ini, Ia memang tidak ada jadwal praktek di rumah sakit. Jadi Ia pikir tidak ada salahnya untuk mengantar buku milik wanita yang baru saja dihubunginya. 

    Biip…biip…biip….

    Ponselnya bergetar, segera Ia membuka pesan dari aplikasi berwarna hijau. Ternyata pesan dari wanita pemilik “buku Arab” yang ditemuinya. Alisnya sedikit naik, dahinya berkerut dengan sedikit sungging senyum saat membaca isi alamat yang dikirim Aina “Pondok Pesantren Al-‘Alim”.

    Rupanya wanita yang baru saja dihubunginya seorang santri, penasaran akhirnya Arif mengklik gambar profil milik wanita santri itu. Sedikit kecewa, karena hanya gambar karikatur muslimah dengan jilbab merah jambu.

    “Wa’alaikum salam, baik kira-kira kapan saya bisa antarkan ke pondok?”

    Arif mengirim balasan 

    “Insya Allah saya kembali ke pondok jam 5 sore Pak”

    Arif mengingat-ingat kegiatannya hari ini selain jadwal praktek. Benar saja, sore ini Ia ada jadwal menemani dan mengantar Nenek berbelanja kebutuhan rumah.

    “Mohon maaf Pak, jika tidak bisa biar saya order jasa kurir untuk mengambil buku saya ke rumah bapak”

    Wanita santri itu kembali mengirim pesan.

    “Begini saja, posisi Mba Aina dimana sekarang? Biar saya antar”

    Arif merasa tidak enak, karena awalnya sudah berjanji ingin mengantarkan “buku Arab” kepada pemiliknya itu. Tak lama, Aina mengirimkan alamat kampusnya dan  memutuskan untuk bertemu di salah satu parkiran fakultas.

    Arif tergolong dokter muda, usianya baru saja genap tiga puluh dua tahun. Disamping karir yang bagus, sebenarnya Arif sedang disibukkan dengan permintaan sang Kakek yang akhir-akhir ini jauh lebih sering memintanya untuk segera menikah. 

    “Rif,”

    Suara paruh baya menyapa melalui udara

    “Ya Kek, ada apa?”

    “Kapan kamu mau bawa calon isteri mu ke rumah?”

    Arif menghela nafas 

    “Kek, bukannya sudah pernah kita bahas ya tentang ini? Arif pasti akan bawa calon isteri ke rumah tapi…”

    “Tapi belum ada? Rif, Kakek ini semakin hari semakin tua, semakin merasa sepi, kamu bisa jamin akan menikah sebelum Kakek meninggal?

    “Astaghfirullah, Kek, Arif yakin banget Kakek Insya Allah kakek sehat, umur Panjang,”

    “Mau sepanjang apa lagi umur kakek? Seribu tahun maksud kamu?, begini saja, sepertinya memang tidak ada cara lain, kamu kembali ke perusahaan menggantikan Kakek dan lusa ikuti pertemuan dengan keluarga Ardhi Sanjaya”

    “Kek, kok jadi begini si Kek, gini kek kasih aku waktu sebulan untuk bawa calon isteri ke rumah”

    “dua minggu!, lewat batas waktu, kamu tidak punya pilihan!”

    Arif mengusap kasar wajahnya. Hatinya yang terdalam tidak pernah menolak pernikahan, hanya saja Ia belum menemukan Wanita yang membuatnya jatuh cinta. Apakah Arif terlalu naif? Apakah kriteria dan ekspektasinya terhadap wanita terlalu tinggi sehingga menyulitkannya untuk jatuh cinta?.

    Bagaimana mungkin Ia bisa menerima perjodohan yang direncanakan kakeknya dengan keluarga Ardhi. Putri bungsu dari keluarga Ardhi memang terkenal cantik, tapi sifatnya yang egois dan manja juga cukup terkenal di kalangan pebisnis muda lainnya. Arif tidak bisa membayangkan jika harus berkeluarga dengan Alya, terlebih profesinya sebagai dokter menuntutnya memiliki pasangan yang siap di segala kondisi.

    Arif kembali melajukan mobilnya menuju alamat kampus Aina dan tak lupa mengecek lalu lintas dengan aplikasi pada ponselnya. Sepertinya beberapa kali Arif pernah mengadakan kunjungan ke kampus tersebut untuk mengisi seminar di Fakultas Kedokteran sekaligus mengikuti acara PMI yang diadakan kampus tersebut.

    “Ah tidak asing”

    Batinnya sambil mengendarai kembali mobilnya, beruntung jalanan tidak terlalu macet. Arif memperkirakan waktu Ashar akan sampai di kampus tersebut.

     PORV Aina

    “Na, habis Ashar kerjain tugas yuk di kosan Rani”

    Jadwal kelas Aina berakhir tepat saat adzan Ashar berkumandang. Ramai para mahasiswa dan mahasiswi keluar dari beberapa ruang kelas.

    “Emm… boleh, tapi aku mau ada perlu ni, jadi aku nyusul aja nanti”

    Aina menata isi tasnya sebelum keluar kelas tak lupa sambil mengecek layer ponselnya khawatir laki-laki yang berniat mengembalikan buku menghubunginya. Sejujurnya Aina sangat sungkan saat laki=laki tersebut ingin mengantarkan buku milikinya.

    “Oke, jadi gue duluan aja gapapa?”

    Rahma memastikan.

    “Iya gapapa nanti aku nyusul setelah shalat Ashar di masjid kampus dan urusanku selesai”

    “Oke!”

    Rahma dan Rani meninggalkan Aina di koridor kelas. 

    Dreeet…dreeet…dreeet ponsel Aina bergetar, nomor tak dikenal>

    “Assalamu’alaikum…”

    Sapa Aina ramah.

    “Wa’alaikum salam, ee… maaf Aina, saya sudah sampai kampus kebetulan saya parkir di depan masjid supaya lebih mudah titik ketemunya”

    “Oh, maaf ini dengan Pak Arif ya?”

    “betul”

    “Baik pak tunggu di sana saja kebetulan saya juga mau shalat Ashar, bapak bisa kirimkan plat nomor mobilnya?”

    “baik saya kirim via chat ya”

    “baik Pak terima kasih banyak,”

    “baik saya tunggu, assalamu’alaikum”

    “wa’alaikumussalam warahmatullah”.

    Aina menyegerakan langkahnya menuju masjid kampus, Ia merasa bertambah sungkan jika laki-laki tersebut menunggunya terlalu lama.

    Arif membuka pintu belakang kemudi untuk mengambil buku milik Aina setelah beberapa saat Arif sempat terdiam memperhatikan Aina. Aina yang menjadi salah tingkah menundukkan kepalanya sambil melangkahkan kakinya kebelakang untuk sedikit menjaga jarak dengan Arif. 

    “Ainaaaaaa!”

    Aina menoleh begitupun Arif mencari sumber suara sambil memberikan buku milik Aina.

    “Aiiihhh ternyata kamu lagi di sini toh??? Pantesan tadi ga mau bareng ke kosan Rani” 

    Rahma mendekat sambil menggoda Aina. Aina meletakkan telunjuknya di bibir sambil melotot ke arah Rahma yang kini sudah berdiri di sampingnya.

    “Saya Rahma teman sekelas Aina”

    Rahma memperkenalkan diri

    “Salam kenal, saya Arif teman barunya Aina”

    Entah kenapa kata-kata itu yang terucap dari mulut Arif, Aina merasa bertambah canggung sekarang.

    “Oooh teman baru”

    Rahma kembali menggoda Aina, seketika Aina mencubit pinggang Rahma yang membuat Rahma sedikit meringis.

    “Maaf Pak kalau teman saya ini sedikit tidak sopan”

    “Pak?”

    Rahma melongo mendengar temannya memanggil pria dihadapan mereka dengan sebutan “Pak”. Menurut Rahma kurang cocok pria se-stylis Arif ini dipanggil Pak. Arif memiliki postur yang ideal dengan kulit bersih dan potongan rambut yang terlihat fresh. Sebenarnya disisi lain Arif memang sosok pria yang bisa dibilang “pria idaman” ditambah lagi penampilannya ditunjang dengan kendaraan roda empat buatan eropa dan jam tangan yang cukup branded. Simpel tapi berkelas.

    Arif sendiri awalnya tidak keberatan dengan sebutan Pak yang digunakan Aina saat komunikasi via chat. Tapi saat melihat Aina timbul rasa kecewa, kenapa Aina memanggilnya Pak? Apakah 

    sudah setua itu dirinya sehingga gadis yang ada di hadapan dirinya memanggilnya dengan sebutan Pak. 

    “Menurut kamu, harusnya Aina panggil saya apa?”

    Arif malah menanggapi celotehan Rahma yang membuat Aina semakin tidak enak. 

    “Emmm mungkin bisa dengan sebutan Mas Arif, atau Kak Arif”

    Astaga, Aina benar-benar ingin sekali menarik temannya pergi saat itu juga.

    “Pak, maafin teman saya kalau tidak sopan, terima kasih sudah mengantar bukunya. Maaf merepotkan. Kalau begitu saya mau shalat Ashar dulu, mari Pak”

    Aina segera menarik tangan temannya untuk mengikuti langkah cepatnya menuju masjid, meninggalkan Arif.

    Arif mengunci mobilnya dan menuju masjid untuk sholat Ashar. Ia benar-benar merasa tergelitik dengan kejadian barusan. Aina memiliki wajah yang manis, beralis tebal dan postur yang ideal. Walaupun Aina memakai setelan rok dan kerudung segitiga yang menutup dada tapi orang yang melihatnya bisa menilai kalau Aina memiliki postur yang pas, tidak terlalu berisi dan tidak juga kurus. Pertemuan sekilas dengan Aina memiliki kesan tersendiri untuk Arif karena memang bisa dilihat dari sikap dan cara Aina berucap mencerminkan bahwa gadis itu wanita yang sopan.

    Selesai shalat Ashar Aina diberondong pertanyaan mengenai Arif oleh Rahma. Sebenarnya Aina malas menjelaskan, karena memang tidak ada sesuatu yang spesial dan biasa saja. Namun mendengar temannya terus merengek akhirnya Aina menceritakan bagaimana bisa mengenal pria yang Ia panggil dengan sebutan “Pak”

    “Na, loe yakin gak kenal deket sama Pak Arif?”

    “Enggak, cuma memang wajahnya familiar sih, tapi mungkin emang pasaran aja kali ya”

    “Nah kan, jangan-jangan jodoh loe Na. Bisa jadi kan loe mimpiin dia tapi u gak engeh “

    “Haduh, apaan si kamu, aku ini belum kepikiran masalah jodoh, mikirin ini loh tugas kuliah semester ini banyak banget”

    Aina membuang nafas dengan sedikit memajukan bibirnya.

    “Udah ah, yuk ke kosan Rani ngerjain tugas, kamu nih bikin aku jadi ngeluh aja” 

    “Iya iya, tapi nanti jajan dulu ya hehehe”

    “Oke”

    Sesampainya di kosan Rani, Rahma tak bisa menahan untuk tidak menceritakan pertemuannya dengan Arif yang ditafsirkan sebagai jodoh Aina. Rani pun tak kalah heboh menanggapi cerita tersebut, sementara Aina hanya sesekali geleng-geleng di depan layar laptopnya.

    “Ma, jangan-jangan Arif itu jodoh kamu yang dikirim Allah melalui perantara pertemuan aku”

    “ya gak mungkinlah Na…! Mas Arif itu emang ganteng spek dewa sih menurut gue, tapi bukan tipe gue ah, terlalu rapi! Makanya cocoknya sama loe Na,”

    “aduh Raniii … temen kamu yang satu ini makin ngelantur, coba kita ruqyah dia yuk”

    Aina benar-benar tak habis pikir dengan kehaluan temannya itu. 

    “ahahaha di-Aminin aja Na, kan gak rugi juga kalau punya jodoh kaya Mas Arif itu hihihi”

    Rani ikut menambahkan

    “Haduh, udah udah ah… yuk kerja yuk kerja… ini loh tugas makalah lusa harus selesai”

    Aina mengalihkan pembahasan. Tak terasa adzan Maghrib berkumandang, Aina dan kedua temannya menghentikan aktivitas mereka untuk segera menunaikan shalat berjamaah dengan Aina sebagai imam. Setelah selesai melaksanakan shalat Magrib, Aina memutuskan untuk pulang dan Rahma kembali ke kosannya. Mereka memutuskan untuk melanjutkan tugasnya besok.

     

     

    Kreator : Ainuna Zulia

    Bagikan ke

    Comment Closed: Senandung Cinta Melangit (Part 1)

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Menurut Stephen Covey Manusia Memiliki Kebutuhan Dasar, Kecuali? a. To Live b. To Love c. To Listen d. To Leave the Legacy Jawaban: c. To Listen Menurut Stephen Covey Manusia Memiliki Kebutuhan Dasar, Berikut Pembahasannya: Stephen Covey, seorang penulis dan konsultan manajemen terkenal, dalam karya-karyanya sering membahas tentang kebutuhan dasar manusia. Dalam bukunya yang terkenal, […]

      Jun 25, 2024
    • Hari sudah menunjukkan pukul 14.30. Suasana di sekolah tempat Ustadz Hamdi mengabdikan diri sudah mulai sepi. Anak-anak sudah banyak yang pulang. Ustadz Hamdi masih duduk di meja kerjanya sambil memeriksa satu persatu tugas murid-muridnya. Saat itu tiba-tiba HP Ustadz Hamdi berdering “Kriiing, kriiing, kriiing…”  “Halo…., Assalamu alaikum !”  “Wa alaikum salam. Ini Lisa, pak Ustadz.” […]

      Jun 06, 2024
    • Aku adalah teman sekelas Sky di SMP, kami berada dikelas yang sama selama 3 tahun. Sekarang setelah masuk SMA kami berada di sekolah dan kelas yang sama. Sky selalu menjadi orang terpopuler di sekolah, Sky tinggi,  tampan, dan sangat ramah. Namun sayangnya aku merasa dia selalu dingin hanya padaku, aku bahkan tidak tau alasan dibalik […]

      Jun 10, 2024
    • Mahaga Belom Bahadat adalah bahasa Dayak Ngaju yang mempunyai makna yaitu menjaga kehidupan yang saling menghargai, menghormati serta menjunjung tinggi kehidupan Adat Istiadat maupun tradisi kearifan lokal di wilayah yang kita tempati. Era zaman sekarang ini sudah banyak sekali para generasi yang melupakan prinsif-prinsif hidup yang telah dulu ditinggalkan para leluhur(nenek moyang) kita, padahal banyak […]

      Jun 02, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021