Di sebuah desa kecil yang dikelilingi hamparan sawah hijau dan pohon-pohon kelapa yang bergoyang lembut ditiup angin, hiduplah seorang gadis kecil bernama Dara. Ia baru berusia empat tahun saat dunia kecilnya perlahan mulai berubah. Namun, di balik usianya yang masih belia, Dara menyimpan semangat hidup yang begitu besar, seperti mentari pagi yang tak pernah lelah menyinari bumi.
Dara adalah anak yang ceria dan penuh energi. Rambut hitamnya yang lebat selalu terikat rapi dengan pita merah menyala pita favoritnya, katanya, karena warnanya seperti bunga sepatu yang tumbuh di pekarangan rumah nenek. Mata bulatnya memancarkan sinar yang seolah menyimpan seribu kisah. Ada kilau kegembiraan yang tak pernah padam, seolah-olah segala sesuatu di dunia ini. dari daun yang gugur hingga awan yang melayang adalah bagian dari petualangan yang menyenangkan.
Setiap pagi, sebelum ayam jantan benar-benar berhenti berkokok, Dara sudah berlari ke halaman rumah. Langkah kecilnya menimbulkan bunyi gemerisik di rerumputan basah embun. Ia tertawa riang sambil mengejar kupu-kupu, menyapa ayam-ayam kampung yang berkeliaran bebas, dan sesekali berhenti untuk berbicara dengan bunga-bunga seakan mereka teman lama yang tak pernah kehabisan cerita.
Namun, kebahagiaan di rumah kecil mereka mulai memudar. Seperti cahaya senja yang perlahan ditelan malam, tawa di halaman itu mulai jarang terdengar. Dinda, ibu Dara, harus pergi ke luar negeri untuk bekerja. Negara tujuan itu adalah Singapura sebuah negeri yang gemerlap, penuh gedung-gedung tinggi dan jalanan sibuk yang tak pernah tidur. Di sanalah harapan terakhir keluarga itu digantungkan.
Dinda duduk di pinggir tempat tidur, menggenggam tangan kecil Dara yang tertidur pulas. Rambut anaknya terurai di atas bantal, pita merah yang biasa menghiasinya kini tergeletak di sisi ranjang. Mata Dinda sembap. Ia menatap wajah putrinya lama, seakan ingin menyimpan setiap garis lembut dan senyum polos itu dalam ingatannya.
Dari balik pintu kamar, Hendra berdiri memandangi istrinya. Ia melangkah masuk, lalu duduk di sisi ranjang, menyandarkan tubuhnya dengan napas berat.
“Apa kau yakin dengan keputusan ini?” tanya Hendra lirih, suaranya nyaris tenggelam oleh suara jangkrik di luar rumah.
Dinda mengangguk perlahan. “Kita tidak punya pilihan, Hen. Utang itu… bunganya makin membengkak. Kalau aku tidak pergi, apa yang bisa kita beri makan ke anak kita bulan depan?”
Hendra menunduk, mengusap wajah dengan kedua tangannya. “Aku tahu. Tapi ini berat, Din. Berat buat aku … apalagi buat Dara.”
Dinda menahan air mata yang kembali menggenang. “Kau pikir aku tidak berat? Aku bahkan belum pernah jauh dari dia, Hen. Tapi lihat keadaan kita sekarang… warung sudah tutup, stok barang habis, dan si Rentenir itu… dia datang dua kali minggu ini.”
Suasana hening beberapa saat. Kamar yang biasanya hangat oleh dongeng pengantar tidur kini dipenuhi kegelisahan yang menggantung di udara.
“Bagaimana kalau aku yang pergi? Aku cari kerja di Batam. Kau tetap di sini sama Dara.” usul Hendra, menatap mata istrinya.
Dinda menggeleng pelan. “Kau tahu aku yang ditawari kerja duluan oleh sepupuku. Di sana, semuanya sudah diurus. Kalau kita tunggu kesempatan lain, bisa-bisa rumah ini sudah disita.”
Tangis kecil Dara tiba-tiba terdengar. Ia menggeliat, matanya setengah terbuka. “Ibu… jangan pergi, ya…”
Dinda cepat memeluk putrinya, menciumi kening mungil itu. “Ibu nggak kemana-mana sekarang, sayang. Tidur lagi ya. Besok kita main di halaman.”
Dara hanya mengangguk pelan sebelum kembali terlelap. Tapi kata-katanya menusuk hati Dinda seperti sembilu. Malam itu, mereka bertiga tidur dalam diam. Tak ada lagu nina bobo, tak ada cerita kelinci dan bintang. Hanya keheningan dan rasa rindu yang mulai tumbuh bahkan sebelum perpisahan benar-benar terjadi.
Keesokan harinya, Dinda berdiri di depan rumah dengan koper kecil. Dara menggenggam erat ujung bajunya.
“Ibu janji pulang, ya.” tanya Dara lirih.
Dinda berjongkok, menatap mata anaknya dalam-dalam. “Ibu janji, Nak. Tapi Dara harus kuat, harus nurut sama Ayah dan Nenek, ya.”
Dara mengangguk, meski air mata mulai menetes di pipinya.
Dan saat bus membawa Dinda pergi, Dara hanya berdiri terpaku, menggenggam pita merahnya erat-erat. Hendra memeluk putrinya dari belakang, berusaha menahan air matanya sendiri. Dalam hatinya, ia tahu hari itu, mereka kehilangan sesuatu. Bukan hanya kehadiran seorang ibu, tapi juga potongan kecil dari dunia hangat yang dulu mereka kenal. Tapi, meskipun hatinya berat, ia tahu ibunya melakukannya demi kebaikan mereka.
Seiring berjalannya waktu, hari-hari terasa lebih lambat bagi Dara. Bulan-bulan pun berlalu, namun rasa kehilangan masih melekat seperti bayangan yang tak pernah pergi. Surat dari Ibu kadang datang, disertai foto atau selembar uang Singapura yang belum dipahami nilainya oleh Dara. Telepon dari seberang negeri menjadi momen paling ditunggu, tapi suara Ibu di ujung sana tak pernah bisa menggantikan pelukan hangat yang dulu selalu menyambutnya saat pulang bermain.
Setiap malam, Dara akan duduk di teras rumah bersama Ayahnya, Hendra, memandangi bintang sambil memeluk boneka kelinci lusuh hadiah ulang tahunnya. Kadang, ia menunjuk langit dan bertanya, “Ayah, Ibu tinggal di bintang yang mana?” Hendra hanya tersenyum, meski matanya tak bisa menyembunyikan duka.
Namun, cobaan belum berhenti sampai di situ.
Satu malam, suara lembut namun berat keluar dari mulut Hendra, memecah keheningan.
“Dara… Ayah mau bicara sebentar.”
Dara menoleh, duduk bersila di lantai kayu yang dingin. “Apa, Yah?”
Hendra menarik napas dalam, lalu menggenggam tangan mungil Dara. “Besok Ayah harus pergi ke Batam. Ayah dapat pekerjaan di sana, bantu Ibu cari uang buat kebutuhan kita.”
Mata Dara langsung membesar. “Pergi? Terus… siapa yang sama Dara di rumah?”
“Nenek kan ada, sayang. Ayah nggak pergi lama. Nanti kalau sudah cukup, Ayah pulang.”
Dara menggeleng pelan. Suaranya mulai bergetar. “Tapi Dara mau Ayah di sini… Dara nggak suka rumah ini sepi.”
Hendra menunduk, menatap mata putrinya yang mulai berkaca-kaca. “Ayah juga nggak tega, Nak. Tapi sekarang Ayah harus bantu Ibu. Kita harus kuat, ya?”
“Dara nggak mau kuat,” bisik Dara pelan. “Dara cuma mau Ayah dan Ibu di sini… Dara takut kalau semuanya pergi…”
Air mata Hendra menetes untuk pertama kalinya di depan putrinya. Ia memeluk Dara erat-erat, mencoba menahan air mata yang semakin deras.
“Kamu anak pintar, Dara. Nanti kalau Ayah pergi, kamu bantu nenek, ya? Main yang baik, makan yang banyak. Tulis surat buat Ibu juga, supaya Ibu nggak sedih.”
Dara hanya diam. Pita merah di rambutnya sedikit miring, seperti hatinya yang mulai goyah. Pelukannya pada Ayah semakin erat, seolah ingin menghentikan waktu, menahan agar pagi tak pernah datang.
Keesokan harinya, Dara berdiri diam di depan gerbang rumah bersama nenek. Ia memeluk bonekanya, menatap mobil pick-up tua yang membawa Ayahnya pergi. Tak ada tangis keras, hanya air mata yang mengalir diam-diam di pipinya yang dingin. Dunia kecilnya semakin sepi tanpa Ibu, kini tanpa Ayah pula.
Rumah yang dulu dipenuhi tawa, kini sunyi. Dapur yang dulu ramai oleh suara Ibu memasak, kini hanya menyisakan suara sendok beradu dengan piring. Sore yang dulu hangat dengan cerita Ayah, kini digantikan suara radio usang dan angin yang menyapu daun-daun kering.
Hari demi hari, Dara menghabiskan waktunya di rumah dengan neneknya yang sudah tua dan sering sakit-sakitan, namun Dara tetap merasa penuh kesendirian. Tidak ada lagi tawa riang seperti dulu. Ibunya tak bisa diajak bercanda di pagi hari, dan ayahnya tidak ada untuk mengajak bermain keliling kampung dengan bersepeda. Dara hanya bermain sendirian di sudut rumah, dengan boneka kesayangannya yang kini sudah usang, tak seperti dulu ketika ibunya sering membelikannya mainan baru.
Di sekolah, Dara yang dulunya ceria mulai terlihat berbeda. Ia jarang tertawa, matanya sering redup dan terlihat jauh. Teman-temannya yang dulu riang bermain bersamanya, kini hanya bisa saling bertanya-tanya.
“Kenapa Dara nggak senyum lagi ya?” tanya salah satu teman Dara.
Dara, meskipun tidak mengungkapkannya secara langsung, merasa kehilangan sesuatu yang penting. Setiap kali ia mendengar teman-temannya berbicara tentang orang tua mereka, ia merasa semakin kesepian. Di kelas, ia tak lagi aktif menjawab pertanyaan guru, dan setiap kali bel pulang berbunyi, ia selalu berjalan dengan langkah berat pulang ke rumah kosong.
Pada suatu sore yang mendung, Dara duduk di depan rumah, memandang ke langit yang perlahan menggelap. Ia menunggu sesuatu, menunggu seseorang yang belum juga pulang ibunya atau ayahnya. Tiba-tiba, terdengar deru mobil dari kejauhan, dan Dara berlari dengan semangat, berharap itu adalah ayahnya yang pulang dari Batam. Namun, yang datang hanya seorang tetangga yang baru saja selesai bekerja.
Hari demi hari, bulan demi bulan, Dara semakin dewasa dalam kesendirian. Senyum yang dulu selalu menghiasi wajahnya kini hampir tak pernah terlihat. Keputusasaan mulai merayapi hatinya. Ia merindukan pelukan ibu yang selalu menenangkan, dan tawa ayah yang selalu membuatnya merasa aman. Tanpa mereka, hidupnya terasa hampa.
Namun, di balik kesedihan itu, ada harapan yang selalu tumbuh meskipun kecil. Dara mulai menulis surat untuk ibunya setiap malam, menceritakan segala hal yang terjadi di rumah. Ia bercerita tentang teman-temannya, tentang pelajaran di sekolah, tentang perasaan sepi yang datang setiap kali ia pulang. Setiap kali surat itu dikirimkan, Dara merasa sedikit lebih lega, meskipun hanya lewat kata-kata di atas kertas.
Suatu hari, setelah hampir setahun sejak ibunya berangkat, Dara menerima paket dari Singapura. Di dalamnya ada surat panjang dari ibunya, serta sebuah boneka baru yang cantik. Dara membuka boneka itu dengan hati berdebar, dan di balik boneka itu, ada sebuah pesan singkat yang ditulis ibunya:
“Sayangku Dara, Ibu tahu kamu rindu. Ibu juga rindu sekali. Jangan lupa, senyummu adalah hal yang paling berharga di dunia ini. Ibu dan ayah bekerja keras untuk kamu. Semoga kita bisa bersama lagi segera. Ibu sayang kamu.”
Dara menatap surat itu dengan mata berkaca-kaca. Senyum kecil mulai mengembang di wajahnya yang sudah lama tidak tersenyum. Meskipun ibunya masih jauh, dan ayahnya belum pulang, ia tahu bahwa meskipun hidup terasa berat, ia tidak pernah benar-benar sendiri.
Dan, dengan senyum yang perlahan kembali menghiasi wajahnya, Dara berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia akan tetap kuat, untuk Ibu dan Ayah yang sangat dia cintai.
Kreator : Siti Murdiyati
Part 15: Warung Kopi Klotok Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]
Part 16 : Alun – Alun Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]
Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]
Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]
Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]
Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]
Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]
Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,, begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]
Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]
Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]
Comment Closed: Senyum yang Hilang
Sorry, comment are closed for this post.