Pagi itu, Rina terbangun dengan perasaan campur aduk. Ia melihat kalender di dinding dan mengingat hari istimewa yang akan datang. Sebagai guru SD di desa kecil, Rina telah mengajar banyak anak-anak selama bertahun-tahun. Namun, kali ini ia merasa ada sesuatu yang berbeda.
“Ibu, hari ini ada rapat guru, kan?” tanya Naya sambil sarapan.
“Iya, sayang. Ada yang ingin disampaikan Kepala Sekolah,” jawab Rina sambil tersenyum, meski hatinya khawatir.
Setelah mengantar Naya ke sekolah, Rina menuju ruang guru dengan langkah ragu. Di sana, sudah berkumpul semua rekan kerjanya. Pak Budi, kepala sekolah, berdiri di depan ruangan. “Selamat pagi, semua. Ada kabar penting yang ingin saya sampaikan,” katanya serius.
Semua guru mendengarkan dengan cemas. “Mulai bulan depan, sekolah ini akan ditutup karena kekurangan dana. Murid-murid akan dipindahkan ke sekolah lain di kota,” lanjut Pak Budi.
Rina terkejut. “Bagaimana bisa? Sekolah ini adalah rumah bagi banyak anak. Mereka akan kesulitan jika harus pindah ke kota,” protesnya.
“Keputusan ini sudah final, Bu Rina. Kami tidak punya pilihan lain,” jawab Pak Budi dengan nada menyesal.
Sepanjang hari, pikiran Rina dipenuhi kekhawatiran. Ia tahu banyak anak yang bergantung pada sekolah ini, termasuk Naya. “Apa yang akan terjadi pada mereka?” pikirnya sambil menatap anak-anak yang bermain di halaman sekolah.
Malam itu, Rina duduk di meja makan bersama Naya. “Bu, kenapa Ibu sedih?” tanya Naya sambil memegang tangan ibunya.
“Ibu hanya memikirkan sekolah, sayang. Sekolah kita akan ditutup,” jawab Rina dengan suara pelan.
Naya terdiam sejenak, kemudian berkata, “Tapi Bu, kita tidak bisa membiarkan itu terjadi. Sekolah itu penting bagi kita semua.”
Rina tersenyum pahit. “Ibu tahu, Naya. Tapi ini keputusan yang sulit diubah.”
Keesokan harinya, Rina kembali mengajar dengan perasaan berat. Namun, ia berusaha menyembunyikan kesedihannya dari anak-anak. Saat jam istirahat, beberapa murid mendekatinya. “Bu Rina, kami dengar sekolah akan ditutup. Apa itu benar?” tanya Dedi, salah satu muridnya.
Rina terkejut mendengar pertanyaan itu. “Dari mana kalian tahu?”
“Kami mendengar Pak Budi bicara dengan guru lain,” jawab Dedi dengan wajah sedih.
Rina menarik napas dalam-dalam. “Iya, sayang. Sekolah kita akan ditutup. Tapi kita harus tetap semangat dan berusaha menikmati waktu yang tersisa di sini.”
Murid-murid terlihat kecewa. Mereka mencintai sekolah ini dan guru-guru mereka. Rina merasa ada yang harus dilakukan. “Anak-anak, bagaimana kalau kita menulis surat untuk pemerintah? Kita bisa menceritakan betapa pentingnya sekolah ini bagi kita semua,” usul Rina.
Mata anak-anak berbinar. “Iya, Bu! Ayo kita tulis surat!” seru mereka dengan semangat.
Rina dan anak-anak mulai menulis surat. Setiap anak menceritakan pengalaman mereka di sekolah, betapa mereka belajar dan bermain, serta bagaimana guru-guru membantu mereka. Surat-surat itu penuh dengan harapan dan impian.
“Bu, Naya juga mau menulis surat,” kata Naya di rumah malam itu.
“Tentu, sayang. Tulis apa yang ingin kamu sampaikan,” jawab Rina dengan lembut.
Naya menulis suratnya dengan penuh perhatian. “Bu, Naya sudah selesai,” katanya sambil menunjukkan suratnya. Rina membaca surat itu dan merasa terharu. Naya menulis tentang betapa ia mencintai sekolahnya dan bagaimana ia berharap sekolah itu tetap ada.
Keesokan harinya, Rina mengumpulkan semua surat dari murid-muridnya dan mengirimkannya ke kantor pemerintahan setempat. “Semoga ada keajaiban,” bisik Rina dalam hati.
Hari-hari berlalu, dan Rina terus mengajar dengan dedikasi meski hatinya penuh kekhawatiran. Suatu pagi, ia menerima telepon dari kantor pemerintahan. “Bu Rina, kami menerima surat dari anak-anak. Kami sangat terharu dan akan mempertimbangkan ulang keputusan penutupan sekolah,” kata suara di ujung telepon.
Rina merasa harapannya kembali. “Terima kasih banyak, Pak. Anak-anak akan sangat senang mendengarnya.”
Hari itu, Rina berkumpul dengan anak-anak di halaman sekolah. “Anak-anak, Ibu punya kabar baik. Pemerintah akan mempertimbangkan ulang penutupan sekolah kita berkat surat-surat kalian.”
Murid-murid bersorak gembira. “Terima kasih, Bu Rina! Kami tidak akan menyerah!” seru mereka.
Rina tersenyum bahagia. “Kalian adalah anak-anak yang luar biasa. Ibu bangga pada kalian.”
Malam itu, Rina duduk di kamar bersama Naya. “Bu, kita berhasil, ya?” tanya Naya dengan senyum lebar.
“Iya, sayang. Kita berhasil,” jawab Rina sambil memeluk putrinya erat. Surat dari anak-anak telah membawa harapan baru bagi mereka semua. Mereka belajar bahwa dengan tekad dan kebersamaan, tidak ada yang tidak mungkin.
Kreator : Masniya Ulfah
Comment Closed: Surat dari Anak-Anak
Sorry, comment are closed for this post.