Penulis : Andan Prayoga (Member KMO Alineaku)
Seperti hari-hari sebelumnya, selepas adzan isya berkumandang, Samsudin segera mengambil wudhu di keran depan rumah. Dan seperti biasa, suara jangkrik dan belalang daun mengiringi setiap langkah yang dilakukan Samsudin, baik dari menaikan celana panjang, menyingsingkan lengan panjangnya, lalu menyalakan air keran hingga kegiatan wudhu itu selesai, suara itu tak henti-hentinya berdengung di telinga Samsudin.
Sudin akhir-akhir ini mulai berubah. Sikapnya yang dulu gemar mabuk-mabukan, begadang tak jelas sampai pagi, judi, dan hal-hal buruk lainnya perlahan mulai dijauhinya. Malam selepas magrib yang biasanya digunakan untuk judi, kini diubah dengan kegiatan salat. Yang biasanya begadang tanpa tujuan jelas atau judi bersama tetangga sebelah, kini berganti dengan kegiatan zikir malam. Singkatnya, Sudin yang dulu bukan Sudin yang sekarang.
Lasih, istrinya yang sudah hampir 10 tahun hidup bersama dengan Sudin, merasa jatuh cinta kembali. Tidak. Ini bukanlah jatuh cinta seperti awal ketemu Sudin. Perasaan kali ini beda. Ia merasakan kedamaian yang sungguh luar biasa ketika Sudin berubah sikap seperti sekarang. Jika dulu Lasih mencintai Sudin karena keperkasaannya, kini ia jatuh cinta dengan alasan yang berbeda. Untuk kali ini, Lasih jatuh cinta pada Sudin karena kealimannya.
Namun, terlepas dari jatuh cinta kembali itu, pikiran Lasih masih terngiang-ngiang, mengapa suaminya dapat berubah bak langit dan bumi. Bak hitam menjadi putih tanpa melewati abu-abu terlebih dahulu. Mengapa? Apa yang membuat hal itu terjadi? Maka ketika Sudin menunaikan salat isya, Lasih segera masuk dalam kamarnya. Ia intip suaminya yang sedang salat melalui celah-celah bilik bambu.
Ya. Melalui celah lubang bilik bambu, selain ia dapat melihat suaminya menjalankan salat, ia juga dapat mendengarkan dengan jelas doa-doa yang dipanjatkan Sudin. Penuh hikmat ia menantikan doa-doa yang akan dipanjatkan oleh suaminya. Lasih mulai menebak-nebak apa yang akan dipanjatkan Sudin.
Di tengah perasaan penasaran itu, tak bisa dihindari, ingatan Lasih terbawa pada suatu momen ketika ia bertengkar hebat dengan Sudin. Kurang lebih dua-tiga minggu lalu. Lasih pun heran mengapa ia berubah pada saat pertengkaran itu terjadi. Padahal sedari awal, Lasih sudah berjanji untuk menerima Sudin apa adanya. Apa pun keadaanya, ia akan mencintai calon suaminya itu. Kini dari balik bilik bambu, Lasih mengingat-ingat kembali janji sucinya dengan Sudin. Laki-laki yang sangat diidam-idamkan di kampung Duwet. Dan Lasih bersyukur bahwa dirinya lah yang dapat menjadi istri dari laki-laki tersebut.
Memang, dari segi kemapanan, sesungguhnya ia berasal dari keluarga berada. Keluarga Lasih memiliki tanah pekarangan dan sawah yang cukup luas. Tak hanya itu, bapaknya pun memiliki usaha ayam bangkok. Maka ketika ketika Sudin hendak meminang Lasih, pertanyaan yang diajukan Sudin hanya satu, “Kalau kamu mau jadi istriku, apakah kamu bersedia menerima kekuranganku? Aku tak punya apa-apa. Jangankan harta, keluarga pun aku tak ada. Tinggal bapaku yang masih ada. Itu pun sudah kawin lagi dengan janda baru di kampung sebelah”
Mendengar ultimatum seperti itu, Lasih justru merasa tertantang. Perasaan cintanya kepada Sudin seolah diragukan oleh orang yang dicintainya. Maka layaknya seorang yang telah dicuci otaknya untuk maju berperang, Lasih menjawab pertanyaan ultimatum itu dengan penuh semangat tanpa keragu-raguan sedikitpun, “Saya siap mendampingimu apapun keadaanmu kelak!” Seru Lasih.
Namun jawaban itu rupanya tak bertahan lama. Memang tak ada yang abadi dalam dunia ini, pun sama dengan perasaan Lasih dengan Sudin saat itu. Lasih yang semula cinta mati pada Sudin, perlahan mulai jenuh dengan suaminya. Berbagai masalah yang datang rupanya turut andil mengikis rasa cintanya itu. selain itu, gunjingan para tetangga tentang kondisi keluarga mereka, juga turut andil mengikis rasa cintanya pada Sudin.
Memang usia pernikahan mereka belumlah lama. Mereka baru menikah kurang lebih satu setengah tahun. Dan itu waktu yang masih wajar apabila seorang pasangan baru belum memiliki momongan. Lasih dan Sudin menganggap waktu selama itu sebagai masa berkenalan dan saling mengerti satu sama lain. Namun, yang namanya mulut tetangga memang tidak bisa kita bendung. Berbagai pertanyaan curiga mulai memasuki rumah tangga mereka. Bahkan sesekali, Lasih mendengar langsung obrolan tetangga tentang keluarga mereka, yang intinya membahas hal yang sama, yaitu momongan.
“Kalau waktu segitu belum punya momongan, kemungkinan ada yang salah itu, Yu. Bisa jadi dari lakinya, bisa juga dari perempuannya,” Ujar Inah kala membahas Lasih.
“Sepertinya dari pihak laki-lakinya tidak mungkin. Kan kita tahu sendiri bagaimana gagahnya Sudin. Badannya kekar, ototnya besar, mana mungkin dirinya mandul!” Rasini menerka-nerka.
“Benar juga. Berarti kemungkinan masalahnya di perempuannya.” Salah satu ibu-ibu menjawab. Hendak meneruskan gosip, namun terhenti ketika dari jauh melihat Lasih mendatangi mereka. Hendak turut belanja sayuran juga di Kang Sobari. Melihat perubahan gelagat para pembelinya, Sobari terkekeh-kekeh.
*
Masih terbayang jelas ketika Sudin mengajak Lasih membicarakan tentang keluarganya. Waktu itu, kurang lebih pukul 12 malam. Waktu ketika para peronda mulai ngantuk dan mulai menarik sarung untuk menutupi tubuh mereka. Dalam suasana sesunyi itu, Sudin menanyakan kembali tentang kesanggupan Lasih menghadapi kerasnya hidup bersamanya.
“Apakah kamu masih seperti dulu, Bu? Mau menerimaku apa adanya?” Sudin bertanya.
“Aku tahu apa yang kamu maksud, Pak. Aku paham betul. Kamu pun mungkin sudah tahu bahwa aku sanggup hidup bersamamu walaupun serba kekurangan. Walaupun terkadang omongan tetangga turut mengikis keteguhanku, Pak” Lasih menjawab.
“Bu” Sudin berujar singkat. Lasih tak menjawab. Ia tahu, ucapaan sesingkat itu pasti akan disusul dengan ujaran panjang.
“Kemarin aku bertemu Nyai Situk. Aku menceritakan semua masalah yang kita hadapi. Beliau tak memberikan barang atau ajian apapun kepadaku, Bu. Beliau hanya memberikan beberapa mandat, agar kita, terutama saya untuk senantiasa “Mangan turu longan. Sing sabar, sing sareh. Nerima ing pandum. Gusti maha adil” Sudin menjelaskan.
Mendengar apa yang disampaikan itu, Lasih menjadi tak heran ketika suaminya mulai begadang melakukan zikir malam. Mulai sabar dan tabah ketika omongan tetangga mengejek keluarganya. Mulai mensyukuri apa yang keluarga mereka miliki. Sudin juga selalu mewanti-wanti Lasih bahwa Tuhan itu maha adil.
Satu pesan yang tak pernah dilupakan Lasih dari Sudin, yaitu bahwa tidak ada yang salah dengan apa yang dikehendakiNya. Termasuk kehendakNya tentang keluarga mereka.
“Naskah ini merupakan kiriman dari peserta KMO Alineaku, isi naskah sepenuhnya merupakan tanggungjawab penulis”
Comment Closed: Tak Ada Yang Abadi
Sorry, comment are closed for this post.