KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Cerita Anak
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Arsitektur » Terapkan mindful parenting. Mengasuh anak dengan penuh kesadaran

    Terapkan mindful parenting. Mengasuh anak dengan penuh kesadaran

    BY 29 Jun 2024 Dilihat: 58 kali
    Terapkan mindful parenting. Mengasuh anak dengan penuh kesadaran_alineaku

    Orang tua harus saling mengingatkan kalau salah satu terlalu royal. Anak pun dapat mengingatkan orang tuanya—karena keluarga adalah tim,” pungkas Vivi. Kamu setuju? Sangat setuju. Regulasi Diri: Kunci Orang Tua Akhiri Generasi Stroberi. Merasa kasihan atau tidak tega saat melihat anak kesulitan sering jadi alasan orang tua untuk bersikap overprotective. Apa dampaknya pada mental anak?  Siapa yang pernah mendengar—atau bahkan mengucapkan sendiri—kalimat seperti di atas? Ketika menemui kesulitan atau cobaan, apakah solusi yang terlintas dalam benakmu berkaitan dengan peranan langsung, atau campur tangan, orang tua?

    Prinsip “papi I” demikian biasanya melekat pada segelintir anak muda yang disebut strawberry generation—generasi stroberi. Yup, generasi stroberi. Mulai dibicarakan sejak dua dekade terakhir oleh masyarakat di kawasan Asia Timur, istilah ini dipakai untuk merujuk ke anak-anak muda yang tumbuh dengan karakteristik pandai, kreatif, adaptif terhadap teknologi. Di satu sisi, mereka dapat dianalogikan seperti buah stroberi: “rapuh” alias lekas putus asa dan cenderung mudah menyerah. Mereka yang lahir pada tahun 1990-an, persisnya Millennial dan Gen Z, menjadi sorotan dalam diskursus ini. 

    Hayo, apa kamu termasuk di dalam angkatan tersebut? Lingkungan “serba instan” yang ditopang oleh kemudahan mobilitas dan akses teknologi beserta lingkaran keluarga yang terlampau protektif disebut-sebut sebagai situasi yang melatari keseharian generasi stroberi. Artinya, tanpa perlu berusaha terlalu keras, generasi stroberi dianggap dapat menikmati hidup nyaman dan layak. Tentu, dapat dipahami ketika anak merasa bangga karena memiliki orang tua yang super perhatian dan rela memberikan yang terbaik. Begitu pula sang ayah atau ibu, dengan pekerjaan mapan dan banyak koneksi, juga bangga apabila dapat “mengatur” kehidupan anak-anaknya secara detail dan menyeluruh. 

    Pendek kata, sah-sah saja jika orang tua ingin membahagiakan anak-anaknya dengan mempermudah kehidupan mereka. Memangnya, orang tua seperti apa yang tidak mau anaknya bahagia? Eits, tunggu dulu! Luh Surini Yulia Savitri, M.Psi, dosen sekaligus psikolog anak dan remaja di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, memiliki pertanyaan balasan menarik, “Tapi, bahagia yang seperti apa?” 

    Kelahiran generasi stroberi mustahil dipisahkan dari peran orang tua yang membesarkannya selama ini. Orang tua dari generasi stroberi, menurut Savitri atau biasa disapa Vivi, setidaknya memiliki lima ciri-ciri. “Pertama, overprotective. Mereka tidak ingin anak susah seperti mereka dulu. Mereka tidak ingin anak mengalami kesulitan. Anak bahagia versi mereka adalah anak yang tidak mandiri. Pengen apa, langsung dikasih tanpa perjuangan.” 

    Ciri-ciri kedua adalah memiliki ekspektasi tidak realistis. Menurut orang tua dengan karakter ini, anak harus selalu menang. Kalau anaknya mengalami kegagalan, pihak lain yang disalahkan—misalnya guru yang dituding tidak pandai mengajar ketika si anak mendapatkan nilai ulangan jelek. “Intinya, anak tidak boleh merasa gagal karena ia akan sedih. Kalau anak sedih, berarti saya sebagai orang tua juga sedih. Kalau anak hebat, divalidasi,” papar Vivi. Terkait hal ini, orang tua sebaiknya bersikap realistis. Orang tua perlu belajar merelakan anak mengalami kegagalan meskipun hal itu sebaiknya tidak dibiarkan terlalu sering. “Dengan mengalami gagal, anak belajar meregulasi emosinya,” kata Vivi. 

    Ciri-ciri ketiga adalah suka mengambil alih konflik yang dihadapi anak. Orang tua tipe ini menganggap masalah yang dihadapi anaknya adalah masalahnya juga. “Betul bahwa anak harus melapor pada orang tua bila sedang menghadapi masalah, tapi orang tua tidak perlu langsung mengambil alih dan menyelesaikan masalah anak. Karena anak tidak akan belajar mengatasi konflik—merasa aman karena yang dia lakukan bukan salahnya dan orang tuanya akan mem-protect.”

    Keempat, adalah orang tua yang tidak punya nilai-nilai jelas yang harus dipegang oleh anak. Contoh simpelnya seperti memukul. “Memukul orang itu tidak boleh. Tapi ada orang tua yang membolehkan, ‘Kalau anak itu bikin kamu marah, pukul aja’. Ini membuat anak tidak berpikir bagaimana menyelesaikan konflik dengan benar,” jelas Vivi yang juga ibu dari seorang anak remaja. Penting diingat, anak-anak belum terbiasa mengkritisi mana yang benar dan salah, baik dan buruk. Informasi yang mereka peroleh secara cepat biasanya tidak akan disaring melalui proses berpikir. 

    Ciri-ciri kelima orang tua dari generasi stroberi adalah kurang berkomunikasi. Angkatan Milenial dan Gen Z beranjak dewasa dengan terpapar banyak pembanding dari televisi dan media sosial. Terdapat sederet figur yang menjadi padanan atau teladannya. Akibatnya, mereka kerap merasa tidak cukup baik dan puas, atau mudah galau, karena membandingkan dirinya dengan orang-orang yang dianggap sangat ideal, bahkan tidak sesuai realitas. 

    Di sinilah diperlukan inisiatif orang tua untuk membiasakan sesi ngobrol dan diskusi atau bertukar pikiran. Anak-anak perlu didampingi untuk tumbuh menjadi orang dewasa yang bahagia tangguh dan bermental kuat bukan yang sedikit-sedikit mengeluh dan selalu minta healing. Mental kuat bukan sekadar soal bersikap keras atau kemampuan menekan emosi. Anak yang kuat secara mental adalah anak yang tangguh, memiliki keberanian dan kepercayaan diri untuk mencapai potensi penuh mereka. 

    Nah, sebagian dari kamu, Milenial dan Gen Z yang sekarang sudah mulai menjalani dinamika rumah tangga sebagai orang tua, apa yang sebaiknya dilakukan agar anak-anakmu kelak tidak tumbuh menjadi generasi stroberi kedua? Sederhana saja, anak-anak kita sekarang memerlukan orang tua yang sama-sama bermental kuat. Pertanyaannya, kuat yang seperti apa? Berikut jawaban dari Vivi. 

    “Kuat menghadapi anak yang mengalami kegagalan, kuat memberi anak kesempatan menghadapi dan menyelesaikan konfliknya sendiri, dan mengajarkan anak untuk menerima feedback.” Menghentikan ‘produksi’ generasi stroberi jelas menantang. Menariknya, tantangan terbesarnya justru pada regulasi diri kita sebagai orang tua: selalu merasa kasihan pada anak. Menurut Vivi, merasa kasihan pada anak bukanlah tindakan yang salah, namun bukan berarti lalu kita mengambil alih semua konflik yang dihadapi anak. “Orang tua harus dapat meregulasi diri ketika tidak dapat membuat anak bahagia. Bagaimana meregulasi perasaan bersalah karena meninggalkan anak bekerja tanpa kompensasi barang atau uang dengan menggantinya dengan waktu yang berkualitas untuk ngobrol dan diskusi tentang nilai-nilai penting dalam kehidupan.”

    Betul, fitrah kita sebagai orang tua adalah memberikan kebahagiaan untuk anak. Pada waktu sama, agar porsi yang diberikan tidak terlalu berlebihan, kita perlu eling—ingat—untuk berintrospeksi. “Terapkan mindful parenting. Mengasuh anak dengan penuh kesadaran. Orang tua harus saling mengingatkan kalau salah satu terlalu royal. Anak pun dapat mengingatkan orang tuanya—karena keluarga adalah tim,” pungkas Vivi. Kamu setuju?

    • Apa Itu Generasi Strawberry, Ciri, dan Fakta-Faktanya

    Mengenal generasi strawberry, ciri-ciri, dan fakta generasi strawberry. Generasi stroberi atau strawberry generation merupakan istilah yang mengacu pada anak muda yang lahir pada tahun 1990-an dan seterusnya. Istilah ini awal muncul di Taiwan yang menggambarkan generasi strawberry sebagai individu dengan karakteristik membangkang, manja, egois, sombong, dan kurang produktif dalam dunia kerja. 

    Sementara itu, Rhenald Kasali dalam buku Strawberry Generation Anak-Anak Kita Berhak Keluar dari Perangkap yang Bisa Membuat Mereka Rapuh (2017) menjelaskan bahwa generasi strawberry merupakan kelompok khusus dari generasi muda saat ini yang memiliki karakteristik unik dan lebih terbuka. 

    Mereka sering dianggap sebagai generasi yang mudah terluka dan rapuh, tetapi juga memiliki kekreatifan dan ketangguhan tersendiri. Analogi dengan strawberry menggambarkan bahwa meskipun terlihat indah, mereka rentan terhadap tekanan dan kesulitan. Untuk memahami apa itu generasi strawberry, simak serba-serbi soal generasi strawberry berikut yang mengulas secara singkat tentang ciri-ciri generasi strawberry, fakta tentang generasi strawberry, dan penyebab generasi strawberry.

    Ciri-Ciri Generasi Strawberry

    Generasi Strawberry merujuk kepada anak muda yang lahir pada era 1990-an dan setelahnya. Istilah generasi strawberry artinya menggambarkan ciri-ciri khas pola pikir dan sikap mereka yang seperti stroberi. Dirangkum dari buku Strawberry Generation Anak-Anak Kita Berhak Keluar dari Perangkap yang Bisa Membuat Mereka Rapuh (2017), ciri-ciri generasi strawberry adalah sebagai berikut. 

    1. Tangguh dan mandiri

    Generasi strawberry mengalami pertumbuhan pribadi yang besar, terutama setelah menghadapi berbagai pengalaman dalam hidup. Proses ini membuat mereka lebih percaya diri, mandiri, dan mampu mengatasi tantangan dengan lebih baik.

    1. Rentan terhadap tekanan dan kecemasan

    Meskipun memiliki kekuatan internal yang kuat, generasi strawberry juga rentan terhadap tekanan dan kesulitan. Generasi ini sering merasa terluka, terutama dalam interaksi dengan orang yang lebih tua, dan cenderung mengekspresikan kegalauan mereka secara terbuka, terutama di media sosial.

    1. Kreatif dan inovatif

    Generasi strawberry terkenal akan kreativitas dan kemampuan berpikir kritis mereka. Generasi ini sering memiliki ide-ide inovatif dan kemampuan untuk menghubungkan berbagai gagasan dengan mudah.

    1. Tidak konvensional

    Generasi strawberry cenderung tidak mengikuti aturan atau norma yang ada secara kaku. Mereka sering memiliki pendekatan yang tidak konvensional dalam menyelesaikan masalah atau menghadapi tantangan. Artinya, mereka lebih terbuka terhadap ide-ide baru dan inovatif serta tidak terpaku pada cara pandang yang tradisional.

    1. Perlu dibangun mentalnya

    Di lingkungan kerja, generasi strawberry membutuhkan pembinaan mental yang kuat. Mereka lebih menghargai tantangan dan kepercayaan daripada sekadar imbalan finansial.

    1. Mudah menyesuaikan diri

    Generasi strawberry memiliki kemampuan yang baik dalam menyesuaikan diri dengan perubahan dan tantangan baru. Mereka cenderung fleksibel dalam menghadapi situasi yang berubah dan mampu menyesuaikan diri dengan cepat terhadap perubahan lingkungan atau tuntutan baru yang muncul.

     

    Fakta Tentang Generasi Strawberry

    Dikutip dari artikel “Experts: Strawberry Generation is Just a Myth, Statistics Say” (2005) di Taipei Times, berdasarkan data statistik, para ahli menyimpulkan bahwa generasi strawberry hanyalah mitos. Orang-orang yang lahir di Taiwan pada tahun 1970-an dan 1980-an seringkali diidentifikasi sebagai bagian dari generasi strawberry yang konon memiliki keterbatasan dalam menanggung tekanan dan kurang produktif dalam dunia kerja. 

    Namun, menurut juru bicara Aliansi Buruh Muda, Chen Po-chien, pandangan tersebut sebenarnya adalah sebuah kesalahpahaman. Chen menjelaskan bahwa tantangan yang dihadapi kaum muda Taiwan saat ini meliputi jam kerja yang panjang, gaji rendah, dan ketidakamanan kerja, di tengah tingginya tingkat inflasi. Perlakuan terhadap tenaga kerja sebagai komoditas, pengurangan pegawai tanpa mempertimbangkan masa pensiun, dan penggunaan tenaga kerja asing untuk menekan biaya menjadi penyebab utama masalah tersebut. 

    Menurut Cien Hsi-chieh, ketua aliansi pan-purple, tidaklah mengherankan jika para pekerja profesional menjadi mudah tergantikan dalam kondisi seperti ini. Lin Chia-Ho, seorang asisten profesor di Chinese Culture University dan anggota aliansi pan-purple, menambahkan bahwa sikap pemerintah terhadap masalah ini juga patut diperhatikan. 

    Gagasan untuk merampingkan staf dengan mempekerjakan karyawan paruh waktu dinilai sebagai konsep yang usang. Masalah yang dihadapi kaum muda di Taiwan sebagai generasi strawberry juga dianggap sebagai masalah global.

    Penyebab Generasi Strawberry

    Rhenald Kasali menyebutkan terdapat beberapa penyebab generasi strawberry mencakup self diagnosis, quarter life crisis, dan pola asuh. Berikut ini penjelasan mengenai penyebab generasi strawberry.

    1. Self diagnosis dini

    Kalangan anak muda cenderung melakukan diagnosis sendiri terhadap masalah psikologis tanpa berkonsultasi dengan ahli. Mereka terpengaruh oleh informasi yang beredar di media sosial dan mencoba membandingkan masalah pribadi mereka dengan informasi yang mereka temui. Akibatnya, mereka dapat merasa tertekan, stres, atau bahkan depresi, tanpa menyadari bahwa proses penyembuhan jauh lebih kompleks daripada yang mereka bayangkan.

    1. Quarter life crisis

    Fenomena quarter life crisis umumnya dialami oleh kaum muda yang berusia sekitar 25 tahun. Pada usia tersebut, mereka merasa cemas karena melihat prestasi dan pencapaian teman sebayanya di media sosial, seperti menikah, sukses dalam karir, dan lainnya. Hal ini dapat menyebabkan mereka merasa tertekan dan mengalami kecemasan yang berlebihan.

    1. Pola asuh orang tua

    Anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga yang sejahtera seringkali diberi apa yang mereka inginkan oleh orang tua mereka. Namun, dalam pola asuh ini orang tua juga cenderung kurang memberikan perhatian yang memadai terhadap anak-anak mereka, terutama dalam hal memberikan arahan dan mengenakan konsekuensi atas kesalahan.

    • Mayoritas Generasi Sandwich Rasakan Dampak ke Kesehatan Mental

    Lebih dari 51 persen responden menyebut rasa cemas terkait pemenuhan kebutuhan keluarga mempengaruhi kinerja mereka. Beban finansial yang lebih berat menjadi salah satu tantangan yang harus dihadapi generasi sandwich. Di sisi lain, mereka yang terhimpit untuk menanggung hidup generasi di atas (orangtua) serta generasi bawahnya (anak), juga masih harus menanggung beban psikologis. Masalah kesehatan mental yang dialami generasi sandwich ini ini tergambar dan menjadi temuan dari survei yang dilakukan Tirto bersama Jakpat. Diketahui sebelumnya, bahwa dari sekitar 1.500 orang responden berusia produktif (antara 15-64 tahun), sekitar setengahnya mengaku sebagai generasi sandwich. 

    Dari jumlah tersebut, mayoritas mengaku adanya pengaruh Dalam jurnalnya, “The ‘Sandwich’ Generation: Adult Children of the Aging”, Dorothy A, Miller Profesor dari Universitas Kentucky –yang juga pertama kali mencetuskan istilah ini– mengatakan generasi sandwich sangat rentan mengalami banyak tekanan karena merupakan sumber utama penyokong hidup orang tua dan juga anak-anak mereka. 

    Tekanan psikologis ini berakar dari besarnya tanggung jawab pemenuhan kebutuhan finansial serta jaminan kesehatan untuk anggota keluarga mereka, dibanding orang-orang yang tidak perlu bertanggung jawab atas kebutuhan orang tua mereka atau juga misalnya keluarga tanpa anak. 

    Organisasi nirlaba, Mental Health America, menyebut setidaknya ada empat pemicu stres yang rentan ditemui generasi sandwich. Mulai dari tidak punya waktu untuk diri sendiri, konflik dalam keluarga, rasa emosi yang kompleks, sampai dengan ekspektasi tinggi yang berujung perasaan gagal dalam menjalankan kewajiban. Kondisi ini perlu mendapat perhatian lebih di Indonesia, lantaran menurut proyeksi Badan Pusat Statistik (BPS), dependency ratio di Tanah Air pada tahun 2025 diperkirakan akan mencapai angka 47,2. 

    Dependency ratio sendiri menggambarkan perbandingan antara jumlah penduduk usia non-produktif dengan mereka yang berusia produktif. Ini berarti setiap 100 orang penduduk berusia produktif harus menanggung 47-48 orang lain yang berada di usia non-produktif. Angka ini bisa menjadi gambaran beban dan besaran generasi sandwich di Indonesia. 

    Lewat kerja sama dengan Jakpat, Tirto merancang sebuah survei untuk melihat berbagai persoalan yang dirasakan generasi sandwich di Indonesia, termasuk terkait kesehatan mental. Jakpat sendiri adalah penyedia layanan survei dengan lebih dari 1,3 juta pengguna di seluruh Indonesia.kondisi menjadi generasi sandwich terhadap kondisi mental mereka.

    Terapkan mindful parenting1_alineaku

    Metodologi

    Jumlah responden Waktu survei Wilayah riset Instrumen penelitian Jenis sampel Margin of Error Profil Responden
    1.500 orang 11 Oktober 2023 Indonesia, tersebar di 33 provinsi Kuesioner daring dengan Jakpat sebagai penyedia platform Non-probability sampling (semua responden adalah responden Jakpat dengan profil yang acak Di bawah 3 persen Dari keseluruhan responden, jumlah laki-laki dan perempuan seimbang jumlahnya. Sementara pembagian berdasar kelompok umur, paling banyak responden datang dari kelompok usia 20-25 tahun (31,67 persen), diikuti dengan 30-35 tahun (21,33 persen), dan 26-29 tahun (19,27 persen). Sisanya sekitar 27 persen responden berusia di atas 36 tahun dengan yang responden tertua berusia 60 tahun.

    Berada di usia produktif, mayoritas responden (51,6 persen) mengaku bekerja di berbagai bidang, paling banyak dari sektor F&B, retail, pemasaran, edukasi, dan manufaktur. Terdapat juga 15,4 persen responden yang merupakan pelajar atau mahasiswa. Sisanya ada 11,3 persen yang berwiraswasta dan 10,3 persen lainnya ibu rumah tangga. Terdapat pula 11.3 persen lainnya yang mengaku saat ini sedang tidak bekerja.

    Kebanyakan responden memiliki latar pendidikan SMA/sederajat (53 persen). Sedangkan mereka yang lulusan S1 sebanyak 31,93 persen. Terdapat juga responden yang lulusan D3 sebanyak 6,13 persen. Sisanya lulusan SMP (4,2 persen), S2 (1,93 persen), SD (1,07 persen), dan lain-lain (1,73 persen).

    Sebaran responden masih dominan dari Pulau Jawa yang mencapai 80,53 persen. Kebanyakan responden ini tinggal di Jawa Barat (27,6 persen), DKI Jakarta (17,87 persen), Jawa Timur (12,53 persen), dan Jawa Tengah (10,57 persen). Terdapat pula responden dari Pulau Sumatera (9,8 persen), Sulawesi (3,27 persen), Kalimantan (2,67 persen). Sisanya responden tersebar dari wilayah lain di Tanah Air. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya dari total keseluruhan responden ini 50,6 persen di antaranya (759 orang) mengasosiasikan diri sebagai generasi sandwich, yang memiliki tanggungan minimal seorang anak dan seorang kerabat keluarga. Infografik Riset Mandiri Survei Sandwich Generation. tirto.id/Quita

    Terapkan mindful parenting2_alineaku

    • Menjadi Generasi Sandwich Mempengaruhi Kesehatan Mental

    Dari 759 orang responden yang mengaku sebagai generasi sandwich tersebut, hampir 60 persen mengatakan adanya keterkaitan antara posisi sebagai generasi sandwich dengan kesehatan mental mereka. Sebanyak 39,13 persen responden menjawab bahwa menjadi generasi sandwich berpengaruh terhadap kesehatan mental mereka, sementara 19,89 persen responden bahkan menjawab sangat berpengaruh.

    Di spektrum berseberangan, terdapat 19,5 persen responden yang menjawab kondisi ini tidak berpengaruh terhadap kesehatan mental mereka dan hanya 3,43 persen yang mengatakan sangat tidak berpengaruh. Terdapat pula 18,05 persen responden yang tidak yakin. Infografik Riset Mandiri Survei Sandwich Generation. tirto.id/Quita

    Terapkan mindful parenting3_alineaku

    Fenomena ini pun ditemukan juga di belahan dunia lain. Dalam artikel yang diterbitkan American Psychological Association (APA), disebut bahwa mereka yang secara khusus berada di kelompok umur antara 35-54 tahun –kelompok dengan jumlah generasi sandwich terbanyak– merasakan lebih stres dibanding kelompok umur lainnya. Hal ini tidak lepas dari posisi mereka yang berada di kondisi harus merawat anak yang tengah bertumbuh dan orang tua yang mulai memasuki masa senja. 

    Executive Director APA Katherine Nordal menyebut hal ini sangat wajar dialami. “Kekhawatiran terhadap kesehatan orang tua dan kesejahteraan anak-anak, ditambah urusan finansial untuk menyekolahkan anak sampai perguruan tinggi, serta menabung untuk masa pensiun sendiri, sangat banyak hal yang harus dipikirkan,” ujarnya. Perkara beban finansial yang kemudian merambah ke permasalahan psikis ini kemungkinan juga yang dirasakan generasi sandwich di Indonesia. Lantaran berdasar hasil survei, kebanyakan dari mereka merasa kesulitan mencapai tujuan finansial pribadi. Mereka bahkan mengaku perlu mengubah gaya hidup. Hal ini berdampak ke kesulitan mereka menyisihkan uang untuk dana darurat dan dana pensiun untuk masa depan. Infografik Riset Mandiri Survei Sandwich Generation. tirto.id/Quita

    Terapkan mindful parenting4_alineaku

    Lebih lanjut, intensitas rasa cemas atau khawatir terkait upaya memenuhi kebutuhan keluarga juga berbeda-beda antar responden. Mayoritas responden merasa cemas tidak tentu waktu (26,88 persen) dalam upaya memenuhi kebutuhan keluarga.

    Terdapat juga responden yang merasa cemas terkait pemenuhan kebutuhan keluarga beberapa kali dalam satu bulan (23,19 persen) dan bahkan setiap hari (22,66 persen), serta beberapa kali dalam sepekan (19,5 persen). Hanya 7,77 persen responden yang mengaku tidak merasa cemas sekali dalam upaya memenuhi kebutuhan keluarga. Rasa cemas atau khawatir terkait pemenuhan keluarga ini juga memberi pengaruh ke kinerja dalam bekerja. Lebih dari 50 persen responden mengaku hal ini. Rinciannya, 39,71 persen mengaku rasa cemas berpengaruh terhadap kinerja mereka dan 12,14 persen lainnya menjawab sangat berpengaruh.

    Terdapat juga 22 persen responden yang tidak yakin adanya pengaruh dari rasa cemas terhadap pemenuhan kebutuhan keluarga terhadap kinerja mereka. Namun ada juga 24,57 persen responden yang mengaku tidak terpengaruh dan 1,57 persen yang mengaku tak menemukan korelasi antara rasa cemas ini dengan kinerja mereka. Infografik Riset Mandiri Survei Sandwich Generation. tirto.id/Quita

    Terapkan mindful parenting5_alineaku

    Hal ini perlu menjadi perhatian sebab berdasar hasil survei juga diketahui kalau kebanyakan generasi sandwich beranggapan perlunya pendapatan tambahan, salah satunya dari pekerjaan lain. Namun, masalahnya, menurut 33,33 persen responden, pendapatan tambahan ini tidak terlalu membantu meringankan beban finansial mereka. 

    Dalam artikelnya, Dokter Spesialis Psikiatri Rumah Sakit Pondok Indah dr. Zulvia Oktanida Syarif, Sp.KJ menjelaskan, generasi sandwich rentan terhadap masalah mental, termasuk di antaranya kelelahan fisik dan mental, gangguan tidur, baik banyak tidur atau kurang tidur, perasaan bersalah, merasa khawatir terus-menerus, hilang minat terhadap aktivitas yang sebelumnya disenangi, kecemasan, dan depresi. Menurutnya, menyeimbangkan peran menjadi hal yang sangat penting untuk menekan tingkat stres. Beberapa cara yang disarankan dalam upaya mengelola rasa stres ini dapat dengan meminta bantuan, meluangkan waktu untuk diri sendiri, melakukan pertemuan keluarga, menjaga komunikasi yang baik, dan menikmati momen yang ada saat ini. Bila pembaca memiliki saran, ide, tanggapan, maupun bantahan terhadap klaim Periksa Fakta dan Periksa Data, pembaca dapat mengirimkannya ke email factcheck@tirto.id.

     

    • Beratnya Hidup Menjadi Generasi Sandwich

    Generasi sandwich rentan akan tekanan psikologis karena himpitan hidup yang dirasa terlalu berat. Bagaimana caranya keluar dari lubang neraka tersebut? Sudah tiga tahun Patricia (37 tahun) memilih untuk keluar dari pekerjaannya sebagai konsultan di sebuah perusahaan public relation (PR). Ia memilih untuk membesarkan usaha katering keluarganya, langkah yang diambil sebagai bentuk kompromi untuk tetap bisa membiayai kebutuhan orang tua dan juga dua orang anaknya. “Daripada usaha orang tua terbengkalai nggak keurus, jadinya saya mengalah dari pekerjaan dan berusaha untuk mengembangkan. Selain itu juga, supaya bisa punya waktu lebih dengan anak-anak, karena saya adalah orang tua tunggal,” tutur Patricia kepada Tirto. Patricia hanya satu dari sekian banyak orang dewasa yang juga harus membantu keuangan orang tua serta memikirkan kelangsungan rumah tangganya. Jika diibaratkan, posisi Patricia terjepit di tengah-tengah antara generasi sebelumnya yaitu orang tua, dan generasi setelahnya yaitu anak. Situasi Patricia ini dikenal dengan istilah sandwich generation atau generasi sandwich. Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Dorothy A. Miller, pada 1981. Profesor sekaligus direktur praktikum Universitas Kentucky, Lexington, Amerika Serikat (AS), itu memperkenalkan istilah generasi sandwich dalam jurnal berjudul “The ‘Sandwich’ Generation: Adult Children of the Aging.” Di dalam jurnal tersebut, Dorothy mendeskripsikan generasi sandwich sebagai generasi orang dewasa yang harus menanggung hidup tidak hanya orang tua dan juga anak-anak mereka. Generasi sandwich ini rentan mengalami banyak tekanan karena mereka merupakan sumber utama penyokong hidup orang tua dan juga anak-anak mereka. Tekanan psikologis yang dialami oleh generasi ini bisa terjadi karena orang tua atau generasi tua tidak menyiapkan masa tuanya dengan baik. Dalam hal ini, bukan hanya kehidupan finansial yang perlu dipersiapkan, tetapi juga menjaga kehidupan kesehatan. Tekanan psikologis berupa stres pada generasi sandwich menurut Anna Surti Ariani, psikolog dari Klinik Terpadu Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Depok, bisa menyebabkan terganggunya pekerjaan serta kehidupan berumah tangga dan juga pergaulan. “Kondisi spesifik berupa ‘terjepit’ seperti sandwich ini hendaknya jangan sampai berpengaruh terhadap anak-anak maupun keluarganya sendiri. Sehingga, sangat penting untuk mempunyai teman sesama generasi sandwich supaya bisa saling berbagi agar tidak merasa sendirian dan stres berkepanjangan,” jelas Anna kepada Tirto. Oleh karena itu, sangat penting bagi generasi sandwich untuk bisa mengkomunikasikan kepada orang tua berapa besar bantuan dari segi keuangan yang bisa diberikan setiap bulan. Sebab, faktor bantuan ekonomi memang menjadi faktor yang lebih besar dirasakan bagi generasi sandwich yang terhimpit kebutuhan untuk membiayai rumah tangga sendiri dan juga kebutuhan orang tua. Selain itu, penting juga untuk menyadari keterbatasan diri untuk membantu orang tua. Sebab menurut Anna, pada dasarnya manusia memang memiliki keterbatasan. “Membantu orang tua memang kewajiban seorang anak, tetapi juga penting bagi sang anak untuk bisa mengkomunikasikan bantuan yang bisa diberikan kepada orang tua sebatas apa karena anak juga memiliki kebutuhannya sendiri,” imbuh Anna.

     

    • Penghasilan Tambahan hingga Berbagi Beban

    Langkah dramatis berupa penataan ulang keuangan menjadi hal yang perlu dilakukan oleh generasi sandwich jika memang dirasa arus kas atau cash flow untuk kehidupan rumah tangga dan orang tua sudah tidak terkendali lagi. Budi Raharjo, perencana keuangan dari Oneshildt Financial Planning menyebutkan terdapat beberapa cara yang bisa dilakukan generasi sandwich untuk menata ulang keuangan. Pertama adalah dengan mencatat pengeluaran baik pengeluaran keluarga sendiri dan juga kebutuhan untuk orang tua. Catatan pengeluaran diperlukan untuk selanjutnya dibandingkan dengan sumber-sumber pendapatan dan penghasilan generasi sandwich. Jika pengeluaran lebih besar dibanding pendapatan, lanjutnya, maka mencari penghasilan tambahan merupakan solusi dasar yang harus segera dilakukan. “Pendapatan tambahan misalnya saja dari yang tadinya single income menjadi double income. Sang istri mungkin bisa bekerja kembali atau mencari penghasilan tambahan dari rumah,” sebut Budi kepada Tirto. Langkah berikutnya adalah dengan mengakali pengeluaran berupa tinggal bersama orang tua. Langkah ini mungkin dirasa sebagai langkah mundur oleh generasi sandwich yang telah berkeluarga dan ingin mandiri. Tetapi, Budi beralasan, dengan tinggal bersama dengan orang tua, pengeluaran dua rumah tangga bisa ditekan menjadi pengeluaran satu rumah tangga saja. Selanjutnya, rumah tinggal yang tidak ditempati bisa disewakan sehingga menjadi aset yang berproduksi. “Aset yang disewakan bisa menjadi pendapatan tambahan, sehingga cash flow rumah tangga generasi sandwich tidak terganggu oleh bantuan yang diberikan kepada orang tua,” imbuh Budi. Langkah kecerdasan finansial berikutnya adalah dengan melakukan prioritas keuangan. Di sini, generasi sandwich harus disiplin dalam membuat prioritas pengeluaran. Ini artinya, pengeluaran yang sifatnya tersier seperti melakukan rekreasi hingga konsumsi barang-barang mahal harus dilakukan dengan pertimbangan yang matang. “Disiplin membuat prioritas keuangan artinya hanya melakukan pengeluaran yang butuh dan penting. Untuk yang sudah berkeluarga, langkah ini tentu harus dilakukan komunikasi dan kompromi dengan pasangan,” ucap Budi. Langkah lain adalah dengan meminta bantuan dengan saudara kandung, jika memang bukan merupakan anak tunggal. Ini dilakukan agar beban dirasa tidak terlalu memberatkan salah satu anak saja. Tidak dapat dipungkiri, kemampuan keuangan masing-masing rumah tangga berbeda-beda. Tapi, alangkah baiknya jika bantuan keuangan kepada orang tua dapat ditanggung bersama-sama.

    Terapkan mindful parenting6_alineaku

    • Memutus Rantai Generasi Sandwich

    Untuk memutus rantai generasi sandwich, maka langkah paling dasar yang paling dibutuhkan adalah mengembangkan kecerdasan finansial. Terkait ini, hal utama yang perlu dilakukan adalah belajar mengenai investasi meski memiliki sumber penghasilan dan juga besaran nilai yang terbatas. “Belajar investasi menjadi hal yang mutlak bagi generasi sandwich. Tidak bisa tidak dilakukan, meski hanya menyisihkan sebesar 20 persen dari penghasilan,” rinci Budi. Generasi sandwich dituntut untuk belajar menempatkan uang serta melakukan manajemen risiko dengan baik. Sebab, belajar mengelola risiko instrumen investasi yang dipilih baik jangka pendek, menengah maupun panjang, juga tidak kalah penting. Ini dilakukan supaya bisa memenuhi tujuan-tujuan keuangan yang memang telah dicita-citakan. Selain itu, ada baiknya juga bagi generasi sandwich untuk memiliki proteksi diri baik berupa asuransi kesehatan maupun asuransi jiwa. Langkah ini perlu dilakukan, lagi-lagi, agar tidak mengganggu arus kas keuangan rumah tangga jika mengalami musibah mendadak berupa sakit maupun kematian. “Pastikan diri kita sebagai pencari nafkah terproteksi dan juga memproteksi orang tua dengan baik. Walaupun tidak sanggup untuk membeli asuransi kesehatan, akan sangat membantu jika memiliki BPJS Kesehatan dan membayar iuran secara rutin agar jika sewaktu-waktu dibutuhkan bisa langsung digunakan,” ungkap Budi. Selain itu, penting pula untuk mulai memikirkan dan memikirkan dana hari tua atau pensiun. Dana hari tua ini bisa disiapkan secara pribadi dengan membuat rekening khusus untuk dana pensiun di bank-bank maupun perusahaan asuransi yang menyediakan produk Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK). Dengan begitu, saat generasi sandwich memasuki usia pensiun, mereka diharapkan tidak lagi memberatkan generasi berikutnya. “Mulai menyisihkan uang untuk dana hari tua adalah sebagian kecil dari beberapa langkah dari pengelolaan keuangan serta persiapan hari tua, sehingga fenomena generasi sandwich bisa terputus,” pungkas Budi.

     

    • Dipakai Sekarang atau Buat Tabungan? Dilema Gen Z Terhadap Uang

    Memprioritaskan kenyamanan, investasi pada pertumbuhan pribadi & kesehatan mental semasa muda tentu bagus, namun apa konsekuensinya buat masa pensiun kelak? https://tirto.id/dipakai-sekarang-atau-buat-tabungan-dilema-gen-z-terhadap-uang-gYT7.

    Nasihat keuangan lazimnya menganjurkan kita untuk berorientasi ke masa depan demi kehidupan pensiun yang layak. Maka jangan heran apabila kemudian tak sedikit orang yang menganggap penting bekerja keras di masa muda agar dapat menyisihkan sejumlah pendapatannya untuk masa pensiun. Nah, beberapa tahun belakangan, muncul tren menarik terkait ini. Pandangan soal kerja keras dan menyimpan uang secara agresif untuk bekal di hari tua ternyata mengalami pergeseran. Kalangan pekerja muda, terutama Gen Z, justru cenderung memilih untuk menerapkan soft saving. Apa itu? Soft saving mengacu pada upaya menyisihkan lebih sedikit uang untuk masa depan dan memilih menggunakannya lebih banyak untuk kepentingan pada masa kini. Yup, angkatan muda lebih memilih untuk mencapai keseimbangan hidup dan membelanjakan uang untuk hal-hal yang disukainya saat ini, seperti hobi atau pelesiran, alih-alih punya tabungan yang sumbernya harus diperoleh lewat usaha keras dengan mendapatkan promosi, mencari pekerjaan tambahan, atau menghemat pengeluaran.

    “Gen Z tertarik untuk menikmati hidupnya sekarang dan merasakan kualitas hidup lebih baik,” terang Brittney Castro, perencana keuangan bersertifikat dan advokat keuangan konsumen di perusahaan financial software Intuit, dikutip dari situs Money Wise. Pergeseran itu juga ditangkap dalam Studi Indeks Kemakmuran (2023) yang dikeluarkan oleh Intuit. Studi tersebut menemukan bahwa pendekatan investasi dan keuangan pribadi Gen Z memang lebih lunak dibandingkan generasi-generasi sebelumnya.

    Apa yang memicu generasi muda ini memilih untuk menjalani soft saving? Keputusan Gen Z memilih soft saving salah satunya berkaitan dengan ketidakstabilan situasi global. Angkatan ini baru saja memulai perjalanan finansialnya, yang sayangnya harus terdampak oleh gejolak ekonomi—mulai dari pandemi, tingkat inflasi tinggi, gaji pas-pasan, hingga kenaikan suku bunga.

    Akibatnya, situasi demikian tak jarang membikin pengeluaran sehari-hari generasi muda ini jadi tidak sebanding dengan pendapatan yang didapat. Gen Z hanya mampu menyisihkan sedikit uang, sementara mengejar ketertinggalan finansial jadi upaya yang melelahkan dan menegangkan. Costumer Affairs menuturkan, Gen Z memiliki daya beli 86 persen lebih rendah dibandingkan generasi Baby Boomer pada kisaran usia 20-an.

    Secara proporsional, generasi muda membayar jauh lebih besar untuk kebutuhan pokok seperti makanan, perumahan, dan bahan bakar—serta punya lebih banyak utang. Kondisi ini mau tak mau memengaruhi cara dalam membelanjakan, menabung, berinvestasi, dan memandang masa depan, yang akhirnya membikin anak muda semakin ragu-ragu menetapkan tujuan jangka panjang. Tekanan finansial demikian bahkan dapat berdampak pada kesehatan mental! Bankrate’s Money and Mental Health Survey baru-baru ini menyebutkan, sekitar 47 persen Gen Z (berusia 18-27 tahun) mengatakan uang berdampak negatif pada kesehatan mental mereka.

    Akibatnya, mereka jadi berpotensi mengalami kecemasan, stres, khawatir, kurang tidur, bahkan sampai depresi. Tekanan ini semakin terasa dengan kencangnya paparan media sosial. Tak sedikit Gen Z dan Milenial mengatakan bahwa mereka menganggap negatif kondisi keuangannya sendiri setelah melihat dan membandingkannya dengan unggahan orang lain di media sosial.

    Unggahan yang berasal dari lingkaran pertemanan atau kalangan influencer ini kerap kali memamerkan pakaian mewah atau pengalaman liburan mahal, yang belum tentu mampu mereka jangkau. Bagi generasi muda lainnya, paparan media sosial seperti itu justru menggiring pada meningkatnya biaya hidup akibat aktivitas belanja yang di luar jangkauan.

    Menurut survei tahunan Gen Z dan Milenial oleh Deloitte (2023), dari 22.000 responden Gen Z dan Millennial di 44 negara, terungkap satu dari lima (20 persen) Gen Z menghabiskan lima jam atau lebih sehari di platform media sosial, sementara 17 persen Milenial menghabiskan lima jam atau lebih dalam sehari untuk menonton video. “Sesi yang panjang untuk menggulir, menggeser, dan mengetuk jadi membikin otak kita memeriksa dan mengirimkan sinyal neurokimia tentang demotivasi dan kegagalan,” ungkap Brittany Harker Martin, profesor kepemimpinan, kebijakan, dan tata kelola di University of Calgary.

    Ketika akhirnya Gen Z merasa terbebani dengan berbagai tekanan finansial tersebut, jadilah mereka lebih mengutamakan pengalaman yang memprioritaskan kualitas hidup lebih baik, seperti pertumbuhan pribadi dan kesehatan mental, alih-alih menabung untuk masa depan. “Ini lebih tentang kenyamanan, mengurangi stres, mengurangi tekanan untuk menabung demi masa depan dan menginvestasikan uang untuk pertumbuhan pribadi serta kesejahteraan mental,” ungkap Castro.

    Di balik itu semua, selalu ada konsekuensi dari pilihan sebuah gaya hidup. Pilihan untuk menjalankan soft saving bukan tidak mungkin melahirkan generasi yang tidak siap menghadapi masa pensiun. Pensiun, dalam arti sederhananya, adalah meninggalkan dunia kerja secara permanen. Menariknya, potensi ketidaksiapan menghadapi masa tua dapat dipatahkan karena makna pensiun juga bergeser antargenerasi.

    Laporan Intuit mengungkapkan, kekhawatiran tentang masa pensiun tidak terlalu jadi soal bagi generasi muda. Pasalnya, sebagian besar tidak ingin pensiun dini. Beberapa dari mereka bahkan enggan pensiun sama sekali. Sekitar 41 persen Gen Z dan 44 persen Milenial cenderung ingin melakukan pekerjaan berbayar selama masa pensiun. Kendati demikian, Bola Sokunbi, pendiri Clever Girl Finance, tetap menyoroti soal pentingnya untuk melakukan persiapan. Meski Gen Z punya gagasan berbeda mengenai kesejahteraan, Shokunbi menyarankan supaya mencapai keseimbangan antara kebahagiaan jangka pendek dan keamanan finansial jangka panjang. “Masa depan tidak dapat diprediksi, sedangkan tingkat harapan hidup kita lebih tinggi dibandingkan generasi sebelumnya. Kita harus mampu menjaga masa depan kita,” kata Sokunbi.

    Sokunbi meneruskan, “Dan sangat mungkin untuk melakukan soft saving sambil tetap menyisihkan sesuatu untuk masa depan.” Nah, untuk tetap menikmati hidup sambil tetap menabung, salah satu hal yang bisa dilakukan adalah menyusun perencanaan keuangan. Langkah ini dapat dimulai dengan budgeting atau membuat anggaran. Meski terkesan sulit, menetapkan anggaran adalah awal yang penting untuk mengetahui keinginan dan kebutuhanmu.

    Kamu bisa membuat rencana pengeluaran bulanan ini di buku catatan, spreadsheet, atau aplikasi budgeting. Jenis metode budgeting umumnya mencakup aturan 50-30-20, yang merupakan persentase untuk kebutuhan, keinginan, dan tabungan. “Budgeting itu maksudnya menetapkan batasan dan melacak pengeluaran, sehingga membuat kamu tetap bertanggung jawab dan mengidentifikasi area mana yang bisa dikurangi,” papar Greg McBride, CFA, kepala analis keuangan Bankrate. Pada akhirnya, pilihan soal kualitas hidup dan kesehatan finansial jangka panjang lagi-lagi merupakan pilihan pribadi. Seperti apa yang diungkapkan oleh Sokumbi, semuanya tergantung pada nilai dan keadaan individu. Nah, dengan semua plus dan minusnya, mana yang akan kamu pilih?

     

    • Mother Wound, Luka Pengasuhan Akibat Ibu yang Toksik 

    Pengasuhan yang salah—terutama jika dilakukan oleh ibu—dapat meninggalkan luka batin mendalam bagi anak. Luka dari pengasuhan ibu disebut juga dengan mother wound, baik anak laki-laki dan perempuan dapat mengalaminya. Pahami apa dampak mother wound bagi anak dan cara mengatasinya di sini!

    Apa itu Mother Wound? Mother wound adalah luka ibu atau luka batin akibat salah pengasuhan yang dilakukan seorang ibu kepada anaknya. Luka ini bukan hanya akan berpengaruh kepada mental anak di masa itu, tetapi juga di masa depan. Mengutip psikolog senior Elly Risman yang mengatakan “parenting is wearing”. Artinya, pola pengasuhan yang dialami seorang wanita akan dilakukannya juga kepada anak-anaknya kelak. Begitu juga dengan mother wound. 

    Seorang perempuan yang mengalami luka pengasuhan yang diakibatkan oleh ibunya akan melukai anaknya dengan cara yang sama pula. Sehingga bisa dikatakan mother wound adalah pola pengasuhan yang salah, yang diturunkan oleh generasi sebelumnya ke generasi selanjutnya. 

    Ciri-Ciri Mother Wound Secara umum dalam ilmu medis, mother wound tidak didiagnosis secara resmi. Luka dan ciri yang dialami penyandangnya nyata dan amat terasa. 

    Jika satu atau lebih hal di bawah ini terjadi pada seseorang, maka dia mengalami mother wound. 

    1. Ibu Anda tidak mendampingi saat Anda mengalami peristiwa emosional. 
    2. Anda tidak mendapatkan kenyamanan dan keamanan dari ibu Anda. 
    3. Anda selalu meragukan penerimaan ibu, sehingga terus berusaha menjadi anak yang sempurna. 
    4. Ada rasa takut dan grogi ketika bersama ibu. 
    5. Ibu berulang kali  mengharapkan Anda untuk memahami dan memakluminya secara fisik maupun emosional.

    Ibu Yang Mengakibatkan Mother Wound Dilansir dari Healthline, ibu yang mengalami hal-hal berikut di masa kecilnya berpotensi menimbulkan mother wound pada anak-anaknya di masa depan: 

    1. Diasuh oleh ibu yang tidak memberikan cinta, perhatian, dan keamanan bagi anak-anak mereka. 
    2. Diasuh oleh ibu yang tidak berempati kepada perasaaan anak-anak mereka. 
    3. Memiliki ibu yang tidak membantu anaknya untuk mengenali serta meregulasi emosi mereka. 
    4. Tidak diizinkan menunjukkan emosi negatif. 
    5. Terlalu sering dikritik oleh ibu mereka. 
    6. Dipaksa untuk memahami gejolak emosi ibu mereka, namun emosi mereka tidak dipahami oleh sang ibu. 
    7. Diasuh oleh ibu yang terlalu sibuk dengan urusan pribadinya, baik itu pekerjaan maupun masalah pribadi sehingga sang anak merasa ditelantarkan. 
    8. Mengalami kekerasan fisik dan emosional, tidak mendapat dukungan saat mengalami kejadian traumatis. 
    9. Memiliki ibu yang tidak bisa mengungkapkan rasa cinta mereka kepada anak-anaknya. 
    10. Diasuh oleh ibu dengan masalah mental dan atau masalah kecanduan alkohol dan obat-obatan. 

    Dampak Mother Wound bagi Anak Mother wound dapat mengakibatkan masalah emosional, sosial, bahkan mental bagi anak. Beberapa dampak yang ditimbulkannya adalah: 

    1. Kepercayaan diri yang rendah Ibu yang terlalu banyak mengkritik, mengharap kesempurnaan, dan tidak memberi validasi emosi anaknya akan menjadikan anak-anaknya rendah diri. Anak akan kesulitan menerima dirinya apa adanya. Anak menjadi selalu tidak puas dan terlalu keras pada diri mereka sendiri. Mereka juga cenderung meletakkan dirinya dalam sisi negatif serta tidak mampu menerima pujian dengan baik. 
    2. Kesadaran emosional yang rendah Seorang ibu harus dapat menunjukkan bagaimana dia mengatur emosinya. Ibu juga perlu membantu anak melabeli dan meregulasi emosi mereka. Hanya membantu, bukan melabeli dan mengatur emosi anak. Anak-anak sebenarnya memiliki kemampuan alami untuk mengendalikan emosi dan perasaannya. Namun jika ibu terlalu banyak ikut campur dan menekan mereka, anak-anak akan kesulitan mengenali emosinya sendiri. Di masa dewasa, hal ini akan menyebabkan anak tidak peka terhadap emosi orang lain. Salah mengartikan gestur serta tidak mampu bereaksi secara tepat terhadap emosi orang di sekitarnya. 
    3. Ketidakmampuan untuk menenangkan diri Tanpa memiliki kesadaran emosi yang benar, anak akan kesulitan untuk menenangkan diri. Kondisi ini akan anak bawa hingga mereka dewasa. Ketidaknyamanan emosi seperti kecemasan, rasa sedih, marah, bosan, atau tersisihkan akan mereka hadapi dengan hal-hal yang salah. Misalnya, membahayakan diri sendiri, terjebak dalam kecanduan alkohol, merokok, serta mengkonsumsi narkoba. 4. Kesulitan dalam hubungan romantis Anak yang dibesarkan oleh ibu yang kaku, tidak bisa mengekspresikan kasih sayang, serta tidak bahagia dalam hubungan romantisnya akan mengalami hal yang sama. Mereka kelak akan kesulitan mengekspresikan perasaan, kesulitan menerima perhatian dan cinta dari pasangan. Mereka tidak mengerti bagaimana menjalani hubungan yang bahagia, karena mereka tidak pernah mempelajarinya dari sang ibu.

    Cara Mengatasi Mother Wound Walaupun mother wound dialami saat masa kanak-kanak dan berefek hingga dewasa. Kondisi ini cenderung diturunkan dari ibu yang mengalaminya kepada anak mereka. Bukan berarti luka ini tidak bisa diatasi. Berikut adalah beberapa cara untuk mengatasi mother wound. 

    1. Menjalani terapi untuk menyembuhkan inner child yang terluka. 
    2. Perasaan diabaikan, tidak dicintai, tidak diinginkan dan perasaan negatif lainnya dapat disembuhkan. 
    3. Berlatih untuk mencintai diri sendiri dan menerima serta memberi validasi semua perasaan yang dirasa. 
    4. Bangunlah emosi positif dan fokuslah pada masa sekarang. 
    5. Relakan masa lalu yang menyedihkan dan melukai antara Anda dan ibu Anda. 
    6. Buat batasan. Jika ibu adalah sosok yang sangat toksik bahkan hingga sekarang, lakukan yang terbaik bagi diri Anda. 
    7. Membatasi interaksi dengan ibu tidak masalah, selama silaturahmi tidak terputus. 

    Masa lalu bersama ibu tidak bisa dilupakan, namun seorang anak yang terluka selalu bisa memaafkan ibu kita. Maka maafkan kelalaian mereka dan fokuslah kepada masa depan Anda. Jangan biarkan perangkap mother wound mengenai kita dan anak-anak Anda kelak. 

    • Mengenal Istilah Mommy Issues dan Cara Mengatasinya 

    Mommy issues adalah manifestasi pengalaman seorang anak yang memiliki dinamika hubungan kurang baik dengan ibunya di masa kecil. Kondisi ini dapat berdampak buruk pada pribadi seseorang hingga dewasa. Baik dalam hubungan dengan pasangan, maupun dalam proses pengasuhan kelak bila penyandangnya adalah anak perempuan.

    Apa itu Mommy Issues? Mommy Issue adalah kondisi yang dialami seseorang akibat hubungannya yang kurang baik dengan sang ibu di masa kecil. Bisa jadi karena keterikatan yang tidak sempurna dengan sang ibu, atau pola asuh ibu yang menyakiti dan menuntut. Kondisi psikologi ini bisa juga terjadi bila sang anak diasuh dengan cara yang sangat protektif/posesif sehingga memiliki ketergantungan yang tidak sehat terhadap ibunya. Mommy issues dapat terjadi pada anak laki-laki dan perempuan, walaupun lebih banyak terjadi pada anak laki-laki. Anak perempuan yang mengalami mommy issues biasanya mendapat banyak kritikan dari sang bunda serta menjadikan ibunya sebagai saingannya. Sigmund Freud pernah meneliti tentang hal ini dan memandangnya sebagai kompleksitas Oedipus dan Electra. Oedipus yaitu istilah saat anak lelaki berkompetisi dengan ayahnya untuk mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari ibu. Sebaliknya Electra adalah anak perempuan berkompetisi melawan ibunya untuk mendapat perhatian dari ayah. Masalah ini muncul saat anak berusia 3 sampai 5 tahun. Bila masalah ini berlangsung terus menerus dan tidak teratasi maka akan berpengaruh pada hubungan asmara ketika dewasa nanti. Awalnya Freud meneliti pada anak lelaki, tetapi kemudian tidak terbatas pada gender. Lalu seorang psikolog Inggris bernama John Bowlby menemukan pola kedekatan (attachment style) yang terjadi sejak masa kecil. Selanjutnya, akan membentuk pola hubungan pada anak dengan orang lain di masa yang akan datang.

    Penyebab Mommy Issues Mommy issues terjadi sebagai akibat dari bagaimana seorang ibu mendapat pola asuh dari ibunya dulu. Seandainya mereka merasa mendapat dukungan dan penerimaan maka akan terbentuk hubungan seimbang bersama anak-anaknya sendiri. Bila hubungan mereka dulu baik, mereka juga akan merasa lebih sensitif dan tidak terlalu mendominasi. Seorang ibu dengan pola asuh penuh kasih sayang akan membangun hubungan dekat bersama anak-anaknya kelak. Sebaliknya, seorang ibu yang mendapat pengekangan dan sering mendapat konflik dengan ibunya maka akan menghindari anaknya sendiri. Demikian juga dengan ibu yang sering mengkritik anaknya, kemungkinan besar mendapat masalah yang sama di masa lalu. Hubungan antar generasi mempunyai dampak besar untuk masa depan anaknya. Siklus ini akan terus berlanjut jika tidak segera terdeteksi dan teratasi. Ciri Ciri Mommy Issues Mommy issues dapat dilihat dari pola hubungan seseorang dengan ibu mereka. Juga dengan anak perempuannya. Berikut ini adalah tanda-tanda seseorang mengalami mommy issues: Terlalu Bergantung pada Orang Lain Seseorang yang terlalu bergantung kepada ibunya saat kecil akan memiliki kemelekatan yang sama kepada pasangannya saat dewasa. Hal ini dilakukannya untuk memenuhi kebutuhan yang tidak terpenuhi oleh ibunya. Bersikap Sangat Menuntut atau Kritis Seseorang yang mempunyai perilaku menuntut, kritis, atau mengendalikan bisa jadi karena pengaruh pola asuh sebelumnya. Sikap ini akan ditunjukkannya kepada pasangan, anak-anak, dan rekan kerja. Berjuang untuk Mengungkapkan Kasih Sayang Anak akan sulit mengungkapkan rasa kasih sayang kepada orang-orang di sekitarnya bila di waktu kecil ibunya juga tertutup secara emosional. Selalu Mencari Perhatian Penyandang mommy issues akan bersikap kurang mandiri dan tergantung pada orang lain. Dia ingin pasangannya, temannya, dan orang lain selalu memperhatikannya. Cenderung Mengorbankan Diri Sendiri Kadang-kadang seseorang dengan masalah ini akan merawat dan mencintai yang lain dengan mengorbankan diri mereka sendiri. Seharusnya anak belajar mengenai cinta dari cara orang tua merawatnya. Namun karena hal itu tidak didapatnya, dia berpikir untuk mengorbankan diri agar dicintai. Hubungan yang Tegang Bersama Ibu Anak mengalami hubungan yang tidak baik bersama ibunya. Meskipun sang anak merasa baik-baik saja, hubungan seperti ini akan mempengaruhi kehidupannya. Dampak Mommy Issues di Masa Depan Baik anak laki-laki maupun perempuan yang mengalami dampak mommy issues cenderung akan mengalami masalah hubungan dengan orang lain, baik pasangan, rekan, maupun anak-anaknya kelak. Ini disebut juga dengan insecure attachment style. Berikut ini dampak buruk mommy issue terkait attachment style: Anxious-Preoccupied Bila seseorang lebih suka banyak menuntut dan ingin bersama seseorang secara terus-menerus. Dia khawatir pasangan tidak hadir ketika dia sangat memerlukannya. Fearful-Avoidant Karakter ini mempunyai ciri-ciri sulit merasa dekat dengan seseorang. Adakalanya, lebih baik menjaga jarak dan tidak membanggun hubungan asmara. Menurutnya, daripada terluka lebih baik menutup diri. Dismissive-Avoidant Karakter ini menghindari segala jenis hubungan asmara. Mereka menghindari hubungan terlalu dekat karena kegagalannya di masa lalu. Penyebab, Gejala, dan Pengobatan Cara Mengatasi Mommy Issues Bila Anda sempat mengalami hubungan buruk dengan ibu di masa lalu, bukan berarti masalahnya tidak akan bisa diatasi. Berikut cara mengatasi mommy issues. Mendapat Dukungan Orang Terdekat Orang-orang yang berhasil memutus siklus mommy issues biasanya karena mereka mendapat dukungan dari pasangan dan teman-temannya. Bisa juga dengan berkonsultasi pada pakar hubungan. Dengan begitu, mereka dapat mencukupi dukungan emosional dan sosialnya. Memaafkan Masa Lalu Cara memutus siklus mommy issues yaitu dengan menyadari dan memaafkan masa lalu. Perasaan marah dengan apa yang terjadi pada masa kecil menandakan ada yang salah di masa lalu. Sadari bila Anda punya masalah masa lalu yang belum selesai. Hadapi dan terima agar masalah tersebut tidak abadi menghantui Anda. Terapi psikologis Terapi akan membantu untuk mengidentifikasi kekerasan masa lalu, merenungkan, dan memahaminya. Sehingga penyandang mommy issues paham mengapa hal itu terjadi dan bagaimana mengatasinya. Mommy issues akan terus berlangsung jika tidak diputus dengan bantuan terapi dan dukungan orang sekitar. Setelah mengetahui penyebab, dan cirinya, segera lakukan tindakan untuk mengatasi masalah ini.

     

    • 7 Tujuh Tanda Seseorang Mungkin Memiliki Daddy Issue

    Daddy issue adalah istilah yang sering digunakan untuk seseorang yang tumbuh tanpa kasih sayang seorang ayah atau memiliki ayah disfungsional. Hal ini menyebabkan mereka kesulitan untuk mendapatkan rasa aman dalam hubungannya ketika ia tumbuh dewasa, namun di saat yang sama ia ingin menemukan sosok ayah dalam diri pasangannya nanti. Ketahui lebih lanjut tentang apa itu daddy issue dan apa saja tanda seseorang tumbuh dengan daddy issue.

    Apa Itu Daddy Issue? Daddy issue tidak bisa disebut sebagai sebuah kelainan psikologis dan tidak diketahui bagaimana awal kemunculannya. Namun, konsep daddy issue dimulai dari gagasan Father Complex dari Sigmund Freud. Father Complex menggambarkan seseorang yang memiliki sebuah impuls yang tidak disadari, yang berasal dari hubungannya dengan sang ayah. Impuls ini bisa positif atau negatif. Impuls negatif terhadap pasangan bisa berupa ketakutan atau ketidakpercayaan, sementara impuls positif berupa kekaguman terhadap pasangan. Father Complex terjadi ketika seorang anak perempuan mengembangkan hubungan yang tidak sehat dengan pria lain yang menyayanginya. Ia seolah ingin menciptakan kembali hubungannya yang rusak dengan sang ayah bersama pria yang kini menjadi pasangannya. 

    Tanda Seseorang Memiliki Daddy Issue Hingga saat ini, belum diketahui dengan jelas apa definisi dari daddy issue. Namun, tanda-tanda daddy issue dapat dilihat dengan cukup jelas pada seseorang yang memilikinya, tepatnya dari cara dia memilih pasangan dan menjalin hubungan. Berikut ini adalah tanda seseorang memiliki daddy issue: 

    1. Tertarik pada pria lebih tua Perempuan yang tumbuh bersama ayah yang disfungsional atau tanpa kehadiran ayah secara tidak sadar menginginkan seseorang (pasangan) yang bisa menyayangi dan memanjakannya layaknya seorang ayah. Ketika menjalin hubungan, orang tersebut berpikir bahwa kehadiran pria yang menjadi pasangannya kini harus dapat memberikan kasih sayang yang tidak dimiliki saat masih kecil. Itulah mengapa orang yang memiliki daddy issue menyukai laki-laki yang jauh lebih tua, mapan secara finansial, penyayang seperti layaknya seorang ayah, dan memiliki gaya hidup yang baik. 
    2. Posesif, protektif, dan terlalu bergantung pada pasangan Dalam menjalin hubungan, seseorang dengan daddy issue akan terus menerus merasa cemas akan ditinggalkan pasangan, sehingga membuat dirinya menjadi posesif, protektif, dan sangat bergantung pada pasangannya. Kecemasan ini muncul dari hubungan masa kecil yang tidak baik dengan orang tua, terutama ayah. Sifat ini membuat orang dengan daddy issue mudah tersinggung dan khawatir. Dia akan sering-sering membuka handphone pasangan karena khawatir dengan perselingkuhan, serta cemas berlebihan saat pasangan pulang terlambat. Jika dibiarkan, hal ini akan menghancurkan hubungan sendiri.   
    3. Selalu membutuhkan kepastian dari pasangan Ciri-ciri daddy issue adalah seseorang yang merasa tidak nyaman dengan hubungan yang dijalani sekarang. Dia terus membandingkan dirinya dengan mantan dari pasangannya, dan selalu mencari kepastian akan perasaan pasangan. Hal ini bisa membuat pasangan merasa sangat tidak nyaman, apalagi jika terlalu bergantung dan tidak memberikan kebebasan pada pasangan. Kondisi ini akan membawanya pada trauma terbesar, yaitu ditinggalkan oleh orang yang disayangi. 
    4. Menyukai pasangan yang abusif Secara tidak sadar, ketika Anda memiliki daddy issue, Anda cenderung tertarik dengan pasangan yang abusif atau berperilaku kasar. Ini didasari oleh keinginan memperbaiki hubungan yang buruk dengan sang ayah, sehingga laki-laki yang berperilaku abusive lebih menarik bagi Anda karena sifatnya yang mirip dengan seorang ayah terhadap anaknya. 
    5. Memberikan kesan seperti kecanduan seks Tidak hanya menyukai seks, tetapi juga kecanduan seks. Ini karena orang dengan daddy issue akan merasa dicintai ketika sedang berhubungan seksual dengan pasangannya. Sehingga seolah-olah harga dirinya tergantung pada apakah seseorang menginginkan dirinya secara seksual atau tidak. Tidak jarang, orang dengan daddy issue juga akan menggunakan seks untuk membuat orang lain mencintai dirinya. Padahal, hubungan seks tidak selalu berdasarkan rasa cinta, sehingga hal ini akan sangat melukai dirinya pada akhir waktu. 
    6. Tidak pernah sendiri Tidak pernah sendiri, artinya orang dengan daddy issue ingin selalu memiliki pasangan, bahkan berganti pasangan terlalu cepat setelah mengakhiri sebuah hubungan. Ini adalah tanda daddy issue yang serius, apalagi jika Anda tidak peduli seperti apa sifat dan kepribadian pasangan Anda. Jika seseorang terus-menerus menjalin hubungan seperti ini, akan sulit bagi Anda untuk menemukan cinta yang tulus, serta memiliki hubungan yang sehat dan serius. 
    7. Sadar bahwa hubungannya dengan sang ayah tidak sehat Tanda daddy issue adalah orang itu biasanya sadar dengan kondisi bahwa dia tidak memiliki hubungan sehat. 

    Apabila Anda ingin memastikan apakah Anda memiliki daddy issue, coba tanyakan pada diri anda: Apakah Anda tumbuh tanpa ayah? Apakah Anda hidup bersama ayah yang abusif? Apakah Anda memiliki sosok ayah yang tidak stabil secara mental dan tidak memiliki hubungan dekat dengannya? Jika ada jawaban “ya” pada satu atau semua pertanyaan di atas, maka Anda cenderung  memiliki daddy issue yang terbawa hingga dewasa.   Apa yang Harus Dilakukan Bila Memiliki Tanda Daddy Issue? Apabila Anda memiliki hubungan yang tidak sehat dengan ayah Anda, jangan menjadikannya patokan atau standar untuk hubungan Anda di masa depan. Carilah contoh hubungan lain di sekitar Anda yang lebih sehat dan positif untuk diterapkan ke hubungan Anda sendiri di masa sekarang atau masa depan. Anda juga bisa menemui terapi untuk mendapatkan bantuan psikologis, sehingga Anda bisa memperbaiki perilaku daddy issue dalam hubungan Anda. Beberapa orang mungkin memiliki daddy issue tersendiri dalam diri mereka, baik itu disebabkan ketiadaan figur ayah, orang tua yang sering bertengkar, atau perceraian kedua orang tua. Namun Anda harus ingat bahwa Anda berhak untuk bahagia, meskipun tumbuh di lingkungan yang tidak ideal. Jangan biarkan kisah sedih Anda di masa kecil menghantui Anda hingga dewasa.  

     

    • 5 Lima Tanda Pasangan Merasa Insecure, Bisa Bikin Hubungan Jadi Toksik Kenali tandanya dan sikapi dengan bijak.

    Dalam hubungan yang sehat dan bahagia pun, akan selalu ada rasa insecure yang muncul di beberapa titik dalam hubungan. Tidak ada yang salah dengan menjadi sedikit insecure sesekali.Namun, ada perbedaan besar antara merasa insecure sesekali dan menjadi orang yang insecure. Ketika salah satu pihak dalam hubungan selalu merasa insecure, itu dapat menimbulkan dampak serius pada hubungan, sehingga sulit untuk bertahan dalam jangka panjang.Rasa insecure bisa mengubah hubungan menjadi toksik, dipenuhi rasa cemburu, dominasi, dan sebagainya. Jadi, ada baiknya kamu mengenali tanda insecure dalam diri pasanganmu dan mengambil sikap untuk hal itu. 

    1. Ia sering membatalkan janji dengan temannya demi kamu. Ini mungkin tampak seperti sesuatu yang manis. Namun, ini bukanlah tanda dari hubungan yang sehat. Sebaliknya, ini bisa menjadi indikasi awal dari hubungan kodependen.Seseorang yang merasa percaya diri dan aman akan menjaga keseimbangan dalam hidupnya. Ia akan menjadikanmu prioritas, tetapi bukan berarti menjadikan seluruh hidupnya adalah tentang kamu. Dia selalu merasa cemas saat kamu tidak menghubunginya.  Orang yang merasa insecure cenderung kritis dan cemburu. Dengan demikian, ia akan menuntut komunikasi yang konstan denganmu.Jika ia tidak bisa bersama kamu, ia harus tahu apa yang terjadi pada kamu agar ia merasa tetap aman. Perilaku semacam ini juga bisa menjadi cikal bakal kecemburuan dan sikap posesif. Ia akan merasa iri dengan waktu yang kamu curahkan untuk orang lain. Ketika kamu berurusan dengan pasangan yang seperti ini, ingatlah bahwa perilaku seperti ini bisa mengarah pada hubungan yang mengendalikan. 
    2. Dia selalu merasa cemas saat kamu tidak menghubunginya. Dia selalu merasa cemas saat kamu tidak menghubunginya. Orang yang merasa insecure cenderung kritis dan cemburu. Dengan demikian, ia akan menuntut komunikasi yang konstan denganmu. Jika ia tidak bisa bersama kamu, ia harus tahu apa yang terjadi pada kamu agar ia merasa tetap aman. Perilaku semacam ini juga bisa menjadi cikal bakal kecemburuan dan sikap posesif. Ia akan merasa iri dengan waktu yang kamu curahkan untuk orang lain. Ketika kamu berurusan dengan pasangan yang seperti ini, ingatlah bahwa perilaku seperti ini bisa mengarah pada hubungan yang mengendalikan. 
    3. Cenderung meminta maaf untuk hal-hal kecil. Orang yang insecure cenderung meminta maaf secara berlebihan pada pasangannya. Ini semua dilakukan karena ia takut membuat kamu kesal dan kemudian merusak hubungan.Sebagai akibatnya, kamu mungkin merasa terganggu karena ia tidak bisa berhenti meminta maaf atau memastikan bahwa kamu segera memaafkannya. Anggap itu sebagai tanda bahwa ia benar-benar khawatir bahwa segala sesuatunya akan berantakan.
    4. Tidak bisa mengatakan ‘tidak’  Orang yang insecure cenderung takut mengecewakan orang lain dan khawatir bahwa kamu akan meninggalkan dirinya jika ia tidak menyenangkan kamu. Akibatnya, ia akan selalu mengiyakan semua permintaanmu. Walaupun sebenarnya ia tidak benar-benar bersedia atau mampu memenuhi keinginanmu. Ini juga menjadi indikasi bahwa ia tidak tahu bagaimana caranya menetapkan batasan yang tegas. Orang seperti ini juga akan sering kesulitan mengungkapkan apa yang sebenarnya dirinya rasakan dan apa yang benar-benar dibutuhkan.
    5. Terobsesi mem-posting hubungan di media social. Memang, bukan hal yang baik untuk  merahasiakan hubungan. Namun, mengekspos hubungan secara berlebihan juga bukanlah tanda hubungan yang sehat.Sebuah penelitian yang diterbitkan dalam Personality and Social Psychology Bulletin menemukan bahwa pasangan yang mem-posting hubungan mereka terus-menerus menunjukkan bahwa mereka merasa insecure di dalam hubungan.Sikap seperti ini bisa menandakan bahwa ia ingin mengklaim kamu sebagai miliknya dan menunjukkan bahwa ia ingin mengawasi kamu. Jika ini membuat kamu merasa tidak nyaman, komunikasikan ini dengan pasanganmu. Penting untuk diingat bahwa tidak semua tanda ini menjadi indikasi bahwa pasanganmu merasa insecure dalam hubungan.Namun, jika kamu memiliki keyakinan kuat bahwa pasanganmu merasa insecure dan ini membuat hubungan jadi tidak sehat, ajak pasanganmu berdiskusi tentang hal ini.Bila perlu, tawarkan untuk berkonsultasi dengan psikolog jika rasa insecure ini didapat dari pengalaman di masa lalu.

     

    • 9 Sembilan Cara Menyembuhkan Luka Batin atau Luka Pengasuhan, Terapkan!

    Pengalaman-pengalaman sulit atau traumatis dalam kehidupan mungkin sulit untuk dilupakan. Gak jarang, pengalaman traumatis atau sulit pada masa anak-anak sering kali dapat membentuk pola pikir dan perilaku yang berkelanjutan hingga dewasa dan mempengaruhi kesejahteraan emosional serta hubungan orang tersebut dengan orang lain.Memiliki dampak yang serius, luka batin atau luka pengasuhan sangat perlu untuk disembuhkan. Proses penyembuhannya pun melibatkan pemahaman, dukungan, dan terkadang campur tangan profesional. Biar gak berlarut-larut dalam situasi ini, cari tahu beberapa cara menyembuhkan luka batin atau luka pengasuhan lewat artikel berikut, yuk!

    1. Memprioritaskan perawatan diri dan belas kasih pada diri sendiri

    Memprioritaskan perawatan diri dan belas kasih pada diri sendiri sangat penting untuk menyembuhkan luka batin atau luka pengasuhan. Ini karena kedua aspek tersebut memberikan fondasi yang kuat untuk proses menyembuhkan trauma, seperti yang dijelaskan oleh Sharon Martin, MSW, LCSW, adalah psikoterapis berlisensi, dilansir Psych Central.

    Perawatan diri mencakup tindakan-tindakan yang mendukung kesejahteraan fisik, emosional, dan mental seseorang. Begitu juga, belas kasihan pada diri sendiri melibatkan pengertian dan penerimaan terhadap diri sendiri, bahkan ketika menghadapi kesalahan atau tantangan. 

    “Mempunyai belas kasihan pada diri sendiri seringkali berkaitan dengan cara kita berbicara pada diri sendiri secara positif dan kemampuan untuk memberikan toleransi serta pengertian terhadap kesalahan yang kita buat,” jelas Elizabeth Fedrick, PhD, LPC, psikoterapis berlisensi yang berbasis di Gilbert dan Phoenix, dilansir laman yang sama .

    1. Ambil langkah-langkah kecil

    Mencoba membuat terlalu banyak perubahan sekaligus bisa menjadi bumerang bagi diri sendiri. Menurut Sharon Martin, mengambil terlalu banyak perubahan sekaligus dapat membuat kita kewalahan dan merasa gagal jika perubahan besar yang diharapkan tidak sesuai dengan kenyataan.Untuk menyembuhkan luka batin atau luka pengasuhan, penting untuk mengambil langkah-langkah kecil dalam proses penyembuhannya. Perubahan kecil cenderung mudah dikelola, dan bertahap. Perubahan kecil ini dapat memberikan ruang untuk merasakan pencapaian, mendorong harapan, dan menciptakan dasar yang kuat untuk mendukung proses seseorang menyembuhkan luka batin atau luka pengasuhan.

    1. Menulis surat untuk diri sendiri

    Praktik menulis juga bisa menjadi salah satu terapi untuk menyembuhkan luka batin atau luka pengasuhan. Menurut  Dr. Charity Godfrey, LMHC, therapist and founder of Lifescape Integrative Therapy in Ft. Myers, dilansir Psych Central, menulis surat kepada “diri kecil” merupakan suatu bentuk terapi atau latihan inner child yang efektif. Surat ini ditujukan untuk berkomunikasi dengan aspek diri kita yang mungkin mengalami luka, trauma, atau kebutuhan yang tidak terpenuhi selama masa kecil. Menyampaikan kata-kata dukungan, pengertian, dan kasih sayang melalui surat ini merupakan cara untuk memberikan perhatian kepada inner child. Ini menciptakan kesempatan untuk menyembuhkan luka batin dan membangun kembali hubungan positif dengan diri sendiri.

    1. Bersedia untuk memproses perasaan terkait masa lalu

    Untuk menyembuhkan luka batin atau luka pengasuhan, seseorang juga perlu menghadapi dan memproses perasaan terkait masa lalu. Menghindari luka tersebut justru tidak efektif karena mereka cenderung tetap ada dan bisa kembali kapan saja, bahkan lebih besar. Menghadapi dan memahami perasaan terkait pengalaman traumatis atau pahit dari masa lalu merupakan langkah pertama untuk menuju penyembuhan.Proses ini memungkinkan seseorang untuk mengenali, menerima, dan meresapi emosi yang mungkin telah terpendam atau diabaikan. Dengan memproses perasaan ini, seseorang dapat memecahkan pola-pola pikiran negatif, mengatasi rasa takut, dan mengembangkan pemahaman yang lebih dalam tentang diri sendiri serta dapat mengarahkan diri menuju pemulihan yang lebih menyeluruh.

    1. Memeluk diri setiap hari

    Proses penyembuhan luka batin atau luka pengasuhan membutuhkan perhatian khusus terhadap aspek emosional dan fisik seseorang. Sentuhan fisik yang mendukung dapat membantu menenangkan inner child, sehingga Godfrey menyarankan untuk melakukan pelukan pada diri sendiri. “Genggamlah diri dengan erat, izinkan air mata mengalir, atau tersenyumlah dengan tulus, dan pahamilah bahwa proses penyembuhan sedang berlangsung. Praktik ini dapat dijalani selama 3 menit setiap hari,” kata Godfrey. Melalui tindakan seperti memeluk diri sendiri dan memberikan dukungan fisik, seseorang dapat memberikan kenyamanan pada inner child. Teknik tambahan, seperti latihan pelukan kupu-kupu, dapat membantu individu dalam pemrosesan trauma lebih lanjut. Terapis trauma menggunakan teknik ini dalam terapi Desensitisasi dan Reprogramming Gerakan Mata (EMDR).

    Untuk berlatih pelukan kupu-kupu, ikuti langkah-langkah berikut : Silangkan tangan di atas dada Sambungkan ibu jari untuk membentuk tubuh kupu-kupu Letakkan ujung jari tepat di bawah tulang selangka Ketuk dada dengan menggantikan gerakan tangan, dan ketuk dengan tangan kiri, lalu tangan kanan Ambil napas perlahan dan dalam, serta perhatikan dengan lembut pikiran dan perasaan tanpa penilaian.

    1. Membayangkan momen bahagia di masa kecil.

    Salah satu cara lain dalam menyembuhkan luka batin atau luka pengasuhan adalah dengan membayangkan dan menghidupkan kembali momen-momen bahagia dalam masa kecil. Kembali ke kenangan yang aman dan tenang dapat memberikan dukungan emosional yang diperlukan ketika kita merasa terlalu terbebani. Misalnya, mencoba mengingat momen paling bahagia, seperti saat membuat kue bersama nenek atau mengunjungi kebun binatang, dapat membawa kita kembali ke pengalaman positif. Luangkan waktu beberapa menit untuk memikirkan bagaimana rasanya melalui gambar, suara, aroma, dan perasaan yang terkait.Perhatikan bagaimana perasaan bahagia ini memberikan rasa aman pada tubuh. Jika kesulitan mengingat momen-momen bahagia tersebut, membayangkan pengalaman positif yang diinginkan juga dapat menjadi cara efektif untuk mendukung proses penyembuhan.

    1. Hindari perasaan tidak berdaya atau pemikiran pesimistis

    Proses penyembuhan luka batin atau trauma pengasuhan sering kali dimulai dengan mengatasi konstruksi negatif yang dapat terbentuk selama masa kecil, seperti perasaan tidak berarti atau kurangnya kepercayaan diri. Menurut Godfrey, konstruksi negatif ini sering kali berasal dari perlakuan atau pelecehan selama tahun-tahun tersebut.Godfrey merekomendasikan “mirror work”, yaitu sebuah kegiatan atau latihan di mana individu memanfaatkan cermin sebagai sarana untuk memperbaiki hubungan positif dengan diri sendiri. Melalui metode ini, seseorang dapat mengatasi narasi-narasi negatif dan berfokus pada upaya pengembangan hubungan yang penuh kasih sayang dengan diri sendiri.Godfrey juga menyarankan untuk secara rutin melihat diri sendiri dengan teliti di depan cermin setiap hari, sambil mengungkapkan pernyataan penyembuhan yang mampu menguatkan. Pernyataan-pernyataan ini meliputi : “Saya penting.” “Apa yang saya inginkan penting.” “Saya tidak akan bertahan dalam diam.”

    1. Lakukan meditasi

    Meditasi dapat menjadi alat efektif dalam menyembuhkan luka batin atau luka pengasuhan. Praktik meditasi membuka peluang untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan inner child, meningkatkan kesadaran diri terhadap emosi, dan membantu lebih nyaman menghadapi perasaan yang tidak diinginkan.Menerima dan duduk bersama emosi melalui meditasi, dapat membantu mengungkapkan perasaan dengan cara yang sehat, dan mendukung proses penyembuhan inner child. Terdapat pula salah satu meditasi khusus untuk mengatasi inner child, yaitu meditasi inner infant.Meditasi inner infant adalah teknik meditasi yang kuat yang diciptakan oleh John Bradshaw, yang dikenal sebagai pelopor dalam pekerjaan inner child dan penulis buku “Homecoming.” Dalam meditasi ini, kamu diajak untuk kembali ke masa bayi dan mengambil kembali esensi diri yang masih bayi, membawanya kembali ke “rumah” batiniah. Berlatih meditasi ini secara teratur dapat membantumu menyembuhkan dari trauma masa lalu.

    1. Pergi ke terapis

    Jika tidak bisa menyelesaikannya sendiri, cobalah pergi ke terapis untuk mengatasi luka batin atau luka pengasuhan ini. Terapis dapat menciptakan ruang aman untuk menjelajahi gejolak emosional dan mengajarkan strategi penyembuhan untuk inner child.Namun, tidak semua jenis terapi memberikan prioritas pada eksplorasi peristiwa masa lalu atau konsep terkait, seperti inner child. Meskipun terapi perilaku kognitif cukup efektif, terapi psikodinamis lebih fokus pada eksplorasi masa lalu, khususnya inner child. Jika tertarik untuk mengeksplorasi masa lalu dan mengenal inner child, carilah terapis yang berpengalaman dalam bidang ini. Dalam menjalani proses penyembuhan luka batin atau luka pengasuhan membutuhkan langkah-langkah yang tepat dan bijak. Lakukan beberapa cara di atas untuk menyembuhkan luka batin atau luka pengasuhan yang kamu alami. Melalui cara dan bimbingan yang tepat, kamu dapat memulai penyembuhan untuk menciptakan hubungan yang lebih positif dengan diri sendiri maupun orang lain.

     

    • 5 Lima tahap cara membasuh luka pengasuhan antara lain :

    1. Mengawalinya dengan menghadapinya serta meluruskan niat.
    2. Memaafkan (Dijelaskan secara secara detail terapi memaafkan)
    3. Mendoakan
    4. Melakukan birrul walidain (berbakti kepada orang tua)
    5. Melibatkan Allah.

     

    • 5 Tips Menyembuhkan Diri dari Hubungan Asmara Toksik, Traumatis! Gak perlu berharap maaf darinya, ya.

    Lepas dari hubungan asmara yang toksik bukanlah perkara mudah. Korban harus menghadapi manipulasi pasangan, dan gak jarang ancaman yang membuat keinginan untuk pisah jadi maju mundur.Setelah lepas pun gak langsung normal. Banyak yang kemudian trauma, dan membuat korban membutuhkan waktu lama untuk bisa kembali percaya diri seperti dulu, atau memulai kembali hubungan yang baru.Berikut ini akan diulas beberapa tips yang dapat membantumu menyembuhkan diri dari luka pasca menjalani hubungan asmara toksik. Apa saja tipsnya? Mari kita simak! 

    1. Kenali emosi yang kamu rasakan

    Lepas dari hubungan toksik gak hanya memberimu kebebasan, tapi juga banyak emosi lain yang terkadang jadi membingungkan. Alasan ini yang kerap membuat kamu jadi tergoda untuk balikan.Sebaiknya jangan putuskan apa-apa dulu. Ambil waktu sendiri dulu untuk bisa mengenali emosi yang kamu rasakan, dan akui itu.Gak perlu malu mengakui kalau kamu rindu dan merasa sepi ketika lepas darinya. Cukup akui saja, tapi jangan lakukan apa pun. Fase ini ibarat mengenali apa saja racun yang mencemari tubuhmu sehingga proses penyembuhan jadi efektif dan segera.                       

    2. Hindari menghubungi mantan

    Setelah lepas dari jeratan hubungan asmara yang toksik, segera putuskan semua kontak dengan mantan. Ini penting banget. Selain bisa mencegahnya menghubungimu kembali, juga bisa menahanmu dari kembali mengontraknya ketika rasa rindu itu seperti tak tertahankan.Proses healing dan adaptasi dari kehidupan sebelumnya ketika kamu masih bersamanya itu memang sulit. Tapi, percayalah segala upayamu saat ini akan berbuah manis. Kamu akan mendapati kehidupan yang lebih damai tanpanya.

    3. Gak perlu berharap dia sadar dan meminta maaf

    Sangatlah manusiawi ketika disakiti, kemudian berharap dia sadar kalau perilakunya itu buruk sekali. Alasan ini pula yang kerap membuatmu tetap membuka jalinan komunikasi dengan mantan. Rasanya tenang banget kalau dia mau mengakui kesalahan dan meminta maaf.Perasaan itu hendaknya dibuang jauh. Gak perlu berharap dia sadar atau meminta maaf padamu. Memang, saat itu terjadi bisa memberimu rasa puas. Hanya saja, itu gak ada manfaatnya.Bila kamu membuka komunikasi hanya demi menunggu maaf darinya justru bikin gak fokus dalam proses healing yang jauh lebih kamu butuhkan.

    4. Kelilingi dirimu dengan orang yang positif.

    Di antara senjata andalan pasangan toksik, yakni berusaha manipulasi mentalmu untuk merasa gak layak dicintai, dan berusaha membuatmu rendah diri. Maka dari itu, penting banget supaya kamu mengelilingi diri dengan orang-orang yang positif atau yang bisa jadi support system.Efeknya mungkin gak seketika. Akan tetapi, kalau kamu sabar, cara ini lambat laun akan membangkitkan rasa percaya dirimu lagi. Pikiranmu jadi terbuka bahwa apa yang sering dikatakan mantan itu gak benar.Kamu layak, kok, disayang. Buktinya saja, banyak banget orang-orang yang mencintaimu dan mendukung supaya kamu bisa segera kembali jadi sosok bahagia seperti dulu.

    5. Berbaik hati pada diri sendiri.

    Saat sadar kalau hubunganmu sudah gak sehat, dan lepas dari pasangan yang senantiasa menyakiti, ada kalanya timbul perasaan membodohkan diri. Kenapa harus menunggu lama untuk lepas darinya, padahal jelas banget kalau kamu gak bahagia.Gak perlu lakukan itu. Berbaik hatilah pada diri sendiri. Tiap keputusan yang kamu buat pasti ada pertimbangannya. Kenapa baru sekarang kamu lepas, tentu ada sebabnya. Maka dari itu, berwelas asihlah ke diri sendiri. Bila trauma yang kamu rasakan terlalu berat, gak ada salahnya berkonsultasi langsung ke ahli. Semoga tips tadi bisa sedikit membantu pemulihan diri akibat pernah terjerembap dalam hubungan yang toksik. Kamu kuat, kamu pasti bisa kembali pulih!.

     

    Kreator : Tutut Sugiarti

    Bagikan ke

    Comment Closed: Terapkan mindful parenting. Mengasuh anak dengan penuh kesadaran

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Menurut Stephen Covey Manusia Memiliki Kebutuhan Dasar, Kecuali? a. To Live b. To Love c. To Listen d. To Leave the Legacy Jawaban: c. To Listen Menurut Stephen Covey Manusia Memiliki Kebutuhan Dasar, Berikut Pembahasannya: Stephen Covey, seorang penulis dan konsultan manajemen terkenal, dalam karya-karyanya sering membahas tentang kebutuhan dasar manusia. Dalam bukunya yang terkenal, […]

      Jun 25, 2024
    • Hari sudah menunjukkan pukul 14.30. Suasana di sekolah tempat Ustadz Hamdi mengabdikan diri sudah mulai sepi. Anak-anak sudah banyak yang pulang. Ustadz Hamdi masih duduk di meja kerjanya sambil memeriksa satu persatu tugas murid-muridnya. Saat itu tiba-tiba HP Ustadz Hamdi berdering “Kriiing, kriiing, kriiing…”  “Halo…., Assalamu alaikum !”  “Wa alaikum salam. Ini Lisa, pak Ustadz.” […]

      Jun 06, 2024
    • Aku adalah teman sekelas Sky di SMP, kami berada dikelas yang sama selama 3 tahun. Sekarang setelah masuk SMA kami berada di sekolah dan kelas yang sama. Sky selalu menjadi orang terpopuler di sekolah, Sky tinggi,  tampan, dan sangat ramah. Namun sayangnya aku merasa dia selalu dingin hanya padaku, aku bahkan tidak tau alasan dibalik […]

      Jun 10, 2024
    • Mahaga Belom Bahadat adalah bahasa Dayak Ngaju yang mempunyai makna yaitu menjaga kehidupan yang saling menghargai, menghormati serta menjunjung tinggi kehidupan Adat Istiadat maupun tradisi kearifan lokal di wilayah yang kita tempati. Era zaman sekarang ini sudah banyak sekali para generasi yang melupakan prinsif-prinsif hidup yang telah dulu ditinggalkan para leluhur(nenek moyang) kita, padahal banyak […]

      Jun 02, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021