Di sebuah kafe hipster, Alya terlihat sedang menikmati me time sambil duduk membuat sketsa. Rupanya rencana tinggal rencana sebab di tengah momennya menikmati waktu, Randy, anak ekonomi, datang menghampirinya dan menyapa,”Hai, masih menggarap tugas? Sketsa apa kali ini?”
Rupanya mereka sudah saling mengenal. Alya membalas menyapa,“Hai, Ren! Gabung. Iya nih, sketsa perspektif. Aku pilih di sini soalnya tempatnya asik banget. Kamu sendiri cuma mampir? Bukannya sibuk? Katanya sedang ada riset ya?”
“Ya, tugas dampak konsumerisme berlebihan. Dua minggu sebetulnya, tapi aku mau cepat selesai minggu ini,”jawab Randy.
“Memang cukup? Caranya seperti apa? Pasti udah bikin persiapan. Gak mungkin soalnya kalau belum, nggak mungkin beres dalam seminggu,”Alya memang anak seni yang lumayan smart dalam menganalisa masalah.
“Justru itu. Kebetulan kamu di sini, aku mau diskusi. Topiknya Dampak Konsumerisme Berlebihan terhadap Kesehatan Mental Remaja di Kota Bandung. Rencananya tentang kaitan antara perilaku konsumerisme berlebihan dengan melonjaknya tingkat stres, kecemasan, dan depresi pada remaja di Kota Bandung,”mencoba menjelaskan mengenai proyeknya, sambil mengambil posisi santai di salah satu sofa di dekatnya.
“Berat juga. Apa memang ada hubungannya? Antara belanja dan stress? Baru tahu,”cetus Alya.
“Itulah kenapa aku rajin scrolling Instagram dan TikTok belakangan ini. Di sana banyak sekali kan?”
“Cara mendatanya bagaimana? Belum terbayang sama sekali,”Alya terbengong.
“Analisa konten, wawancara online sama mereka, tanya pengalaman mereka dengan stres terkait konsumerisme, seperti tekanan sosial untuk membeli barang, penyesalan setelah membeli, dan kecemasan tentang keuangan, terus bikin kelompok diskusi online di situ, bikin survei pakai Google Forms atau SurveyMonkey, bikin analisa statistik, terus jadi deh. Nanti bantu aku buatkan laporannya ya, please?”Randy tersenyum berharap.
“Dasar! Bilang dari tadi. Minta tolong, ada tugas!”kilah Alya.
“Itu kamu tahu! Syukurlah, terima kasih sebelumnya. Aku traktir kamu satu kopi krimer,”Randy tersenyum.
“Terus tugas aku? Kamu yang kerjakan? Memang sanggup?”Alya membalas.
“Jelas gak dong. Aku kan gak bisa menggambar,”Randy segera menjawab dengan ringan sambil berselfie dengan kopi yang baru saja tersaji.
“Kamu pernah jadi babu shopping, Ren?”tanya Alya membuka pembahasan.
“Dulu. Sekarang udah enggak.”
“Kapok?”
“Aku dulu suka banget beli baju branded.”
“Kamu? Serius? Betulan? Aku gak percaya. Gak nyangka ya? Bukan kamu banget gitu lho,”bantah Alya tak percaya.
“Betulan. Niatnya waktu itu memang cuma buat dapetin like doang. Sampai bingung sendiri, sebenarnya aku betulan suka sama baju ini atau gak.”
“Jujur ya, aku juga pernah kepikiran beli barang mahal buat pamer di Instagram,”Alya berterus terang.
“Gak jadi? Kok bisa nahan? Gak jadi belanja?”Randy antusias.
“Gak punya duit!”jawab Alya puas.
“Itu sih aku juga bisa! Tapi masa iya aku mesti bangkrut dulu supaya gak boros belanja?”balas Randy kemudian lanjutnya menjelaskan,”Dulu rasanya gimana gitu kalau ada viewer yang komen,’Wow, outfit-nya keren banget!’ Sensasinya itu wah rasanya di otak.”
“Ternyata parah juga kamu dulu ya? Kamu gak sadar diiket sama ekspektasi orang lain? Jadi babu mereka? Ih, kamu kok bisa kuat gitu sih? Kalau aku sih males banget mesti nurutin keinginan mereka. Aku jadi babu, mereka jadi majikan. Kita mesti nurut sama mereka. Amit-amit, amit-amit, amit-amit,”Alya mengetuk-ngetuk meja sampai tiga kali.
Randy menarik napas dalam-dalam,”Sekarang aku sudah bertobat, sudah insyaf, Al.”
“Syukurlah. Males kalau punya temen jadi budak shopping,”Alya merespon ketus.
“Ternyata memang lebih berharga kalau kita fokus sama hal-hal yang bener-bener bikin kita bahagia, bukan sekedar ngejar likes doang.”
“Tuh, itu kamu tahu! By the way, sejak kapan kamu mendadak bijak begitu?”ujar Alya.
“Ya, sejak kepaksa pakai barang yang sebetulnya bukan gue banget gitu tapi sudah kadung keluar duit banyak buat beli. Begitu barangnya udah dapet, aku pikir sayang banget kalau gak dipake kan? Jadi ya udah, aku terpaksa pakai dan rasanya gak nyaman banget. Kapok buang-buang duit.”
“Ngak dijual lagi, dilempar ke siapa gitu?”tanya Alya.
“Justru itu, gak ada yang mau beli! Duit gue gak jadi balik!”kenang Randy menyesal.
“Baru sadar ya jadi orang bodoh?”Alya memberi kesimpulan, dan lanjutnya,”Iya, jadikan pelajaranlah, jangan sampe kita jadi budak tren dan jadi babu materi lagi. Seberapa penting sih followers? Kalau kita lagi susah juga, mereka gak pernah bantu kita? Iya kan?”
Randy merespon,”Bener banget, Al, jadi bijak itu jauh lebih benar daripada jadi orang yang hanyut arus.”
Pesan Moral:
Kebahagiaan sejati lahir dari dalam, dari rasa syukur dan kepuasan, bukan dari barang mewah dan popularitas semu.
Cintai diri sendiri dengan hidup sesuai dengan karaktermu. Bangun kehidupan bermakna dan bermanfaat bagi sesama. Berbagilah kebahagiaanmu dengan orang lain, agar menciptakan dampak positif bagi dunia.
Kreator : Adwanthi
Comment Closed: THE PRICE OF LIKES
Sorry, comment are closed for this post.