Di sebuah rumah kecil yang nyaman, Siti duduk di meja makan sambil menangis. Mata ibunya, Ibu Ratna, memandang putrinya dengan tenang sambil menyeka tangannya dengan handuk kecil.
“Ada apa, Siti? Kenapa kamu menangis?” tanya Ibu Ratna dengan suara lembut.
“Bu, aku nggak tahan lagi. Setelah menikah, aku baru tahu ternyata suamiku, Budi, itu keras kepala, gampang emosi, dan sering marah-marah. Aku kira dia akan berubah setelah menikah, tapi ternyata tidak,” keluh Siti sambil mengusap air matanya.
Ibu Ratna tidak segera menjawab. Dia hanya menatap putrinya dengan penuh kasih, kemudian bangkit dan berjalan ke dapur. Siti, merasa tidak mendapat dukungan, mengikuti ibunya dengan langkah cepat.
“Bu, kok ibu diam saja? Aku benar-benar butuh nasihat ibu,” desak Siti.
Ibu Ratna tetap diam. Dia menyalakan kompor dan menaruh panci berisi air di atasnya. Siti yang semakin bingung, berdiri di samping ibunya sambil terus bercerita tentang masalahnya dengan Budi.
Setelah beberapa saat, air dalam panci mulai mendidih. Ibu Ratna menyiapkan tiga gelas di meja. Di gelas pertama, dia memasukkan sebuah telur. Di gelas kedua, dia memasukkan wortel. Dan di gelas ketiga, dia memasukkan bubuk kopi.
“Apa yang ibu lakukan?” tanya Siti, matanya masih basah oleh air mata.
“Tunggu sebentar, Nak,” jawab Ibu Ratna singkat sambil tersenyum.
Beberapa menit kemudian, Ibu Ratna mematikan kompor dan menuangkan air mendidih ke dalam ketiga gelas yang sudah diisi tadi. Mereka menunggu dalam keheningan, sementara Siti terus mengamati tindakan ibunya dengan rasa penasaran.
Setelah beberapa saat, Ibu Ratna mengeluarkan wortel dari gelas pertama. Wortel yang sebelumnya keras sekarang menjadi lembut. Lalu dia mengeluarkan telur dari gelas kedua, yang sebelumnya mudah pecah, sekarang menjadi keras. Terakhir, dia menunjukkan gelas ketiga yang berisi kopi, yang mengubah air mendidih menjadi minuman dengan aroma yang harum.
Ibu Ratna menatap Siti dan berkata, “Lihatlah, Nak. Masalah dalam hidup itu seperti air mendidih ini. Namun, sikap kita yang akan menentukan dampaknya. Wortel yang keras menjadi lunak, telur yang mudah pecah menjadi keras, dan kopi yang lembut menghasilkan aroma yang harum.”
Siti masih bingung, tapi dia mendengarkan dengan seksama.
“Anakku, wortel dan telur tidak mempengaruhi air, tapi mereka berubah karena air panas ini. Sementara kopi mengubah air menjadi harum. Kita bisa menjadi lembek seperti wortel, mengeras seperti telur, atau harum seperti kopi. Jadilah kamu seperti kopi yang lembut dan membawa keharuman, serta menciptakan rumah tangga yang nyaman dan harmonis. Berilah nasihat baik dan manis pada suamimu agar dia menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Tetap perlakukan suamimu dengan hormat dan penuh kasih sayang.”
Siti terdiam, merenungkan kata-kata ibunya. “Tapi, Bu, bagaimana kalau Budi tidak berubah? Aku sudah mencoba berbicara dengannya, tapi dia tetap keras kepala.”
Ibu Ratna tersenyum bijak. “Perubahan itu butuh waktu, Nak. Tidak semua orang bisa langsung berubah. Tapi ingatlah, bukan apa yang terjadi padamu yang penting, tapi bagaimana kamu bereaksi terhadapnya. Seperti kata filsuf Epictetus, ‘It is not what happens to you, but how you react to it that matters.'”
Siti menarik napas panjang dan mengangguk pelan. “Aku mengerti, Bu. Aku akan mencoba lebih sabar dan bijaksana dalam menghadapi Budi. Aku akan berusaha menjadi seperti kopi yang mengubah air panas menjadi minuman yang harum.”
Ibu Ratna memeluk putrinya dengan hangat. “Itulah yang ibu harapkan darimu. Jangan selalu mengadu atau menceritakan masalah keluargamu kepada orang-orang di luar rumah tanggamu. Bersikaplah seperti kopi yang mengubah air panas menjadi minuman yang harum dan nikmat.”
Siti merasa hatinya lebih ringan setelah berbicara dengan ibunya. Dia sadar bahwa sikap dan reaksinya terhadap masalah dalam rumah tangga adalah kunci untuk menciptakan kebahagiaan dan keharmonisan.
Dengan semangat baru, Siti pulang ke rumahnya dan mulai melihat Budi dengan sudut pandang yang berbeda. Dia tidak lagi fokus pada kekurangan suaminya, tapi lebih pada bagaimana dia bisa menjadi pengaruh positif dalam kehidupan suaminya. Setiap kali Budi marah atau keras kepala, Siti mengingat pelajaran dari ibunya dan berusaha bersikap lembut dan sabar. Perlahan-lahan, dia melihat perubahan dalam diri Budi. Hubungan mereka menjadi lebih baik, dan rumah tangga mereka dipenuhi dengan keharuman cinta dan kasih sayang.
Pesan moral dari cerita ini adalah bahwa dalam menghadapi masalah, reaksi dan sikap kita sangat menentukan hasilnya. Ketika kita memilih untuk bersikap positif dan penuh kasih, kita tidak hanya mengatasi tantangan, tetapi juga mengubah situasi menjadi lebih baik.
Kreator : Wista
Comment Closed: Wortel ,Telur dan Kopi
Sorry, comment are closed for this post.