Sekitar tahun 1950-an, Eyang Kakung Tardjo dan Eyang Putri Tyas Oetami mulai menempati rumah di jalan Walikota Mustajab 74. Rumah Belanda yang biasa disebut ‘rumah loji’ itu terletak di lokasi strategis, berhadapan dengan Balai Kota yang merupakan nol kilometer kota Surabaya.
Jika dari arah Jalan Pemuda dan mulai memasuki jalan Yos Sudarso, terdapat jalan kembar yang di tamannya berdiri gagah Patung Panglima Besar Soedirman. Ambil arah kanan yang menuju ke Jalan Kusuma Bangsa, tepat di pojokan, berdiri rumah Eyang Tardjo, menghadap ke Barat dan Utara. Jika berdiri di teras Barat rumah, maka terlihatlah bangunan Gereja Maranatha di seberang jalan kembar melintasi patung Panglima Sudirman. Jika berdiri di teras utara, maka tampaklah Taman Surya di depan mata dan atap bangunan Balai Kota di kejauhannya. Sekarang, rumah penuh kenangan itu sudah menjadi Rumah Makan Anda (tahun 1990, rumah keluarga ini bukan menjadi hak keluarga lagi karena sudah dibeli oleh teman Pakde).
Rumah Walikota Mustajab itu penuh kenangan bagiku, juga cucu-cucu Eyang lainnya. Bagiku, karena aku lahir dan menjalani tahun-tahun awal kehidupanku di rumah tersebut sebelum Papa dan Mama pindah rumah ke Jalan Bumiarjo di awal tahun 1972. Dulu, Eyang Kakung dapat berumah di kawasan elit tersebut karena Eyang Kakung yang berprofesi sebagai dokter hewan tengah menjabat sebagai Kepala Inspeksi Kehewanan Jawa Timur. Kantor eyang di Grahadi jalan Pemuda.
Mama pernah bercerita bahwa beliau merasa beruntung sekali karena sudah pernah menyinggahi semua kota-kota di Jawa Timur.
Aku sempat bertanya, “Kok bisa, Ma?”
“Ya bisa dong,” jawab beliau.
Aku sempat mikir-mikir tapi nggak ketemu jawabnya. Ternyata, mama adalah pengikut setia kalau Eyang Kung harus inspeksi ke kota-kota yang ada di Jawa Timur. Oh ternyata, berkah menjadi anak bungsu yang selalu nginthil Sang Ayah. Kata mama, pakaian dinas Eyang cukup keren. Setelan celana panjang baggy, kemeja putih lengan panjang, dasi panjang, dilengkapi topi polka dan tongkat kayu. Bisa kubayangkan gagahnya kakekku, yang meninggal empat tahun sebelum kelahiranku itu.
Jalan Walikota Mustajab punya nama lain, sepertinya kosa kata bahasa Belanda. ONDOMOHEN itu sebutannya. Maka, Eyang Putri Tyas Oetami dikenal juga dengan panggilan Eyang Ondomohen oleh cucu-cucu beliau.
Sejak menjadi yatim piatu di tahun 1984, Eyang Ondomohen adalah sosok yang sangat dekat denganku. Kami jadi sering punya waktu bersama. Jadi sering kangen-kangenan. 💕♥️💖 Kangennya juga lucu, gantian. Kalau Eyang kangen aku, pasti Cak Ma’i, driver sekaligus tukang kebun Eyang akan segera menuju ke rumahku di Simomulyo Baru, membawa pesan khusus, ditunggu Eyang di rumah. Aku pun segera berangkat ke Ondomohen bersama cak Ma’i. Sesampai di rumah Eyang, yang kami lakukan adalah ngobrol dan makan bersama. Duh senangnya. Jika ini hari Sabtu, maka aku akan bermalam di rumah Eyang dan baru pulang di hari Ahad sore atau malam, dijemput Abang sepupuku.
Pernah suatu hari, Eyang memintaku untuk menguruskan hal kompor gas Eyang yang sedang bermasalah. Kalau tidak salah, sekitar tahun 1987. Waktu itu, aku kelas II SMA.
Sempat terbersit di pikiranku, ”Apa nggak salah ya, kok Eyang meminta tolong padaku, anak yang masih kelas II SMA ini? Apa yang bisa kulakukan di kantor Gas Negara nanti?”
Didorong rasa sayang pada Eyang dan ingin membantu beliau, aku pun berangkat diantar Cak Ma’i dengan becaknya ke kantor tersebut di jalan Pemuda, sederetan dengan RRI dan BTN.
Alhamdulillah, berkat laporanku ke kantor, besoknya aliran gas ke dapur Eyang yang sejak kemarin tidak mengalir, akhirnya bisa mengalir lagi. Kompor yang ada bisa beroperasi kembali untuk urusan masak memasak dan isi termos air panas. Ufff …. pendelegasian tugas yang happy ending.
Lain urusan gas lain pula urusan listrik. Suatu hari, Eyang memintaku kembali untuk mengurus rekening listrik yang melonjak tajam dari besaran tagihan bulan-bulan sebelumnya. Kata Eyang, kita harus segera laporan ke kantor PLN dan aku yang akan berangkat menyelesaikan urusan tagihan ini. Kali ini aku agak lebih PD, berbekal pengalaman urusan ke kantor Gas beberapa waktu lalu. Seperti biasa, cak Ma’i yang mengawal aku dengan becak setianya sampai ke kantor PLN di jalan Gemblongan.
Sesampai di depan kantor, aku segera masuk dan menuju ke salah satu loket yang terletak di lantai 1. Aku sampaikan apa yang menjadi tujuanku. Oleh petugas, aku diarahkan untuk menemui bapak A di ruang pengaduan di lantai 2. Segera aku menuju ke ruang yang dimaksud, menyapa hormat bapak yang duduk di belakang meja dalam ruang tersebut dan menyampaikan keluhan tentang tagihan listrik di rumah Eyang. Alhamdulillah laporanku direspon positif oleh beliau dan akan ditindaklanjuti segera. Beliau sempat bertanya padaku dan berkomentar tentangku begitu mengetahui bahwa aku masih kelas II SMA. Aku sampaikan bahwa nenek sudah sepuh dan sendiri.
Alhamdulillah, urusan selesai dan sudah ada penyelesaian terhadap permasalahan tagihan listrik rumah Eyang. Aku senang dan puas bisa membantu Eyang menyelesaikan permasalahan rumah tangga di rumah Eyang.
Bertahun-tahun kemudian, saat Eyang sudah tidak membersamaiku lagi, aku baru menyadari bahwa semua yang Eyang lakukan, dengan menugasiku, dengan mempercayakan urusan ini dan itu padaku, sejatinya adalah latihan buatku. Berlatih untuk belajar menyelesaikan masalah, untuk mengasah rasa percaya diriku, untuk berkomunikasi formal dengan orang lain, untuk peduli dan bertanggung jawab. Kurasakan betul hikmah semua itu dalam kehidupanku selanjutnya.
Kenangan lain bersama Eyang Ondomohen adalah tentang ketaatan beliau dalam menjalankan ibadah kepada Rabbnya. Masih segar dalam ingatanku, bagaimana beliau melakukan sholat 5 waktu dengan duduk di kursi 🪑. Sejak masuk usia 67 tahun di tahun 1982-an, Eyang sudah tidak bisa sholat dengan duduk di bawah. Kedua lutut Eyang mulai bermasalah seiring bertambahnya usia. Maka, menjadi pemandangan biasa kala melongok ke kamar tidur Eyang yang cukup besar, ukuran 5 x 6 meter itu, ada kursi 🪑di ujung timur pembaringan Eyang 🛏️. Ya, Eyang sholat sambil duduk menghadap ke kiblat dengan ujung timur tempat tidur beliau sebagai tempat sujud beliau. Tak pernah ada kata-kata tentang menjaga sholat dari Eyang tapi sungguh apa yang aku lihat melebihi kata-kata yang sekiranya terucap. Terima kasih Eyang, untuk teladan ketaatan ini. Sungguh, Eyang keren dalam hal menjaga sholat ini.
Pengalaman ritual lain adalah di tengah keterbatasan fisik dan ingatan beliau, Eyang masih sangat semangat menjalankan ibadah sholat tahajud, shaum Ramadhan dan sholat tarawih. Beliau tetap sholat di kursi seperti biasanya. Namun, pasti ada meja kecil yang beliau letakkan di samping kursi duduk beliau. Dulu, waktu aku masih SD, masih suka diajak mama silaturahmi ke rumah Eyang, aku suka melihat tempat sholat Eyang dan meja kecil itu. Ternyata, di atas meja bertaplak putih itu, tampak beberapa batang korek api 📍📍📍.
Beberapa waktu kemudian, dari penjelasan mama, baru kutahu, ternyata batang korek api itu sengaja Eyang letakkan di atas meja samping kursi tempat beliau sholat, sebagai alat bantu pengingat jumlah bilangan rakaat sholat tahajud dan sholat tarawih beliau. Kalau tak ada batang korek api itu, beliau sudah suka lupa berapa rakaat yang telah ditunaikan dan masih berapa rakaat lagi yang tersisa. Masha Allah. Eyang, sungguh engkau dikaruniai Allah semangat dalam ketaatan. Sekali lagi, bagiku Eyang keren. Tak menggurui tapi memberiku pelajaran hidup berharga tentang istiqomah dan sungguh-sungguh dalam menjalankan perintah-Nya.
Masih segar dalam ingatan juga betapa pagi di hari Idul Fitri itu, kami bersama menyeberang jalan untuk menunaikan sholat Ied di Taman Surya. Papa yang membawakan kursi Eyang 🪑untuk Eyang gunakan saat sholat berjamaah. Untung jarak rumah ke Taman Surya dekat, tinggal menyeberang saja, jadi Papa nggak perlu jauh-jauh mengangkatkan kursi. Shaf paling ujung kiri biasa menjadi tempat ideal kami karena Eyang bisa duduk menjalankan sholat dilanjut menyimak khotbah tanpa terganggu ataupun mengganggu jamaah lain. Kali ini pun engkau tetap keren lho Eyang. Tak mau hilang jamaah sholat Ied hanya karena keterbatasan fisik yang ada. 💖 u Eyang.
Di tahun-tahun itu, tahun 70-an sampai 80-an belum banyak wanita berjilbab seperti sekarang. Sepulang dari tanah suci 🕋di tahun 1971, Eyang mulai menjalani hari-harinya dengan memakaikan kerpus untuk menutup rambut beliau. Hanya kalau ke acara pengajian atau ke masjid 🕌, Eyang tampil lengkap. Kerpus hitam ditutup kerudung segitiga atau segi panjang berbordir di bagian tepinya. Eyang makin cantik dengan bentuk wajah yang oval dan kulit putih berserinya dalam balutan kerudung warna putih, pink atau ungu muda favoritnya.
Bagiku, Eyang tetap keren. Terlebih dalam busana lengkapnya, kain panjang truntum atau parang, kebaya kutu baru kembang-kembang plus kerudung bordir warna senada kebaya. Sungguh, ini menjadi pelajaran berharga bagiku tentang kewajiban menutup aurat bagi muslimah. Alhamdulillah, tahun 1986, saat aku kelas II di SMA I Kompleks, aku berazam untuk mulai mengenakan jilbab. Selain karena Allah kesadaran itu, bahwa menutup aurat adalah kewajiban setiap muslimah yang sudah baligh juga karena melihat Eyang yang sudah sepuh tapi masih bersemangat berhijab🧕🏻.
Terima kasih Eyang, untuk semua pelajaran hidup berharga ini. 🙏🙏🙏 Fatihah terkirim untukmu Eyang. Semoga Allah jadikan kuburmu sebagai taman surga-Nya. Aamiin ya Rabb. 🤲🤲🤲
Pesan moral:
Kreator : Maryam Damayanti Payapo
Part 15: Warung Kopi Klotok Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]
Part 16 : Alun – Alun Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]
Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]
Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]
Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]
Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]
Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]
Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,, begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]
Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]
Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]
Comment Closed: 31. Eyang Putriku ‘Emang’ Keren 1
Sorry, comment are closed for this post.