“Hanif, makan siang dulu, Nak,” panngilku. Aku memanggil Hanif yang masih belum keluar sejak pulang sekolah tadi. Ini waktunya makan siang.
“Hanif, buka pintunya. Kok pintunya dikunci. Hanif lagi apa? Apa lagi shalat?” tanyaku bertubi-tubi.
Masih belum ada jawaban dari dalam. Aku mulai cemas. Ada apa ya? Apa Hanif sakit? Aku bergegas mengambil kunci cadangan. Begitu pintu terbuka aku melihat Hanif duduk di sudut kamar di sebelah meja belajarnya. Kepalanya diletakkan diatas kaki yang ditekuk ke atas. Aku bergegas mendekati.
“Hanif, ada apa Nak? Ap Hanif sakit? Kok duduk di sini?” cecarku sambil mengangkat kepala Hanif. Deg, jantungku berdegup kencang. Aku melihat airmata membasahi pipi Hanif. Anakku sedang menangis. Tapi kenapa?
“Loh, kok Hanif menangis Nak? Ada apa? Apa ada yang sakit?” aku bertanya dengan suara lembut sambil memegang dahinya. Suhu tubuhnya normal, membuat aku semakin heran.
Hanif tidak menjawab pertanyaanku. Hanif malah menjatuhkan badannya ke pangkuanku lalu menangis dengan terisak-isak. Tentu saja keadaan Hanif ini membuat aku menjadi bingung sekaligus cemas. Tapi aku membiarkan saja Hanif menangis terlebih dahulu. Aku ingin memberi waktu untuk Hanif mengeluarkan sesak di dadanya.
“Hanif kalah, Bunda, Hanif nggak menang lagi. Sekarang Hanif udah jadi orang yang kalah,” kata Hanif setelah tenang dan berhenti menangis.
“Kalah? Kalah apa?” tanyaku heran.
“Hanif kalah lomba lukisnya Bunda. Kan tadi pagi ada lomba lukis antar sekolah di kompleks sekolah Hanif. Bunda lupa?” tanya Hanif balik sambil menjelaskan keadaannya.
“Oh, itu. Maaf Nak, Bunda nggak lupa sih. Kirain Bunda Hanif ada ikut lomba lukis yang lain,” jawabku pelan.
“Memangnya Hanif nggak dapat juara?” tanyaku balik.
“Nggak Bunda. Yang jadi juara satu Dion dari SD 09, juara dua Sisi dari SD 06 dan juara tiganya Anto dari SD 12. Hanif dikalahkan oleh Anto,’ jelas Hanif lalu Kembali menangis dalam pangkuanku.
Oh, itu yang membuat Hanif jadi begini. Pulang sekolah langsung mengunci diri di kamar. Tidak makan siang bahkan menangis sesengukkan seperti ini. Hatiku miris mendengarnya. Aku paham seperti apa kecewanya Hanif. Melukis adalah hobi yang sangat disenangi Hanif. Sejak usia 5 tahun Hanif sudah suka melukis. Waktu sekolah di Taman Kanak-Kanak Hanif sering ikut lomba mewarnai dan selalu jadi juara.
Ketika mulai masuk sekolah dasar, sejak kelas satu Hanif mulai sering ikut melukis untuk kategori anak-anak dalam berbagai perlombaan. Dan selalu jadi juara, kadang juara satu, kadang juara dua dan juga kadang juara tiga. Yang pasti, hanif selalu pulang dengan membawa piagam. Mungkin itulah yang telah membentuk mental Hanif jadi mental juara.
Lomba Lukis yang diikuti Hanif bukan sekedar karena hobi coba-coba di rumah. Hanif minta ikut les melukis dan sudah berlangsung sejak Hanif kelas satu sekolah dasar. Jadi mungkin itu yang membuat kemampuan melukis Hanif lebih terasah dan terarah. Jadi wajar, kalau setiap ikut lomba, Hanif berharap jadi juara, selain sudah ikut kursus, juga karena sejak di taman kanak-kanak sudah sering menjadi juara.
Tapi hari ini berbeda. Ini pertama kalinya Hanif tidak meraih peringkat juara dalam perlombaan lukisnya. Kegiatan lukis kali ini diadakan oleh kompleks sekolah Hanif. Katanya dalam rangka memperingati Hari Ibu. Sekolah Hanif berada dalam satu kompleks yang terdiri dari empat sekolah, yaitu: SD 03, SD 06, SD 09, dan SD 12. Hanif bersekolah di SD 12. Masing-masing sekolah mengutus 3 orang peserta dan hari ini Hanif dikalahkan oleh Anto.
Aku memeluk Hanif dengan hangat. Ku elus rambutnya dengan penuh kasih sayang, lalu ku dekap ke dadaku. Hanif masih menangis tapi tangisnya sudah mulai mereda.
“Hanif, kalau kali ini Hanif nggak jadi juara, itu bukan berarti Hanif dikalahkan oleh Anto. Tapi kali ini Anto melukis dengan lebih semangat. Biarkan kali ini Anto jadi juara agar Anto bisa merasakan kebahagiaan yang pernah Hanif rasakan saat Hanif dulu jadi juara. Rasanya bahagia bukan?” tanyaku. Hanif mengangguk pelan.
“Nah, memberi kesempatan teman untuk bahagia itu juga berarti Hanif sudah jadi juara. Juara dalam berbagi kebahagiaan. Kalau sekarang Anto menang, itu berarti Anto belajar melukisnya lebih semangat lagi sehingga Anto meraih hasil yang juga lebih baik dengan menjadi juara,” kataku lagi sambil mengelus pipi mulus anakku itu.
“Kalau Hanif mau jadi juara lagi, berarti Hanif juga harus belajar melukisnya lebih semangat lagi ya Bunda?” tanya Hanif. Wajahnya mulai tersenyum.
“Iya, kalau kali ini Hanif belum menang lagi, artinya Hanif sebaiknya belajar melukis dengan lebih semangat lagi. Tingkatkan lagi kemampuan Hanif dengan lebih giat berlatih,” kataku lagi membalas senyum Hanif.
“Kata Riki, sekarang Hanif sudah jadi pecundang karena sudah dikalahkan Anto. Hanif jadi sedih dan marah. Hanif nggak mau jadi pecundang Bunda. Hanif maunya jadi juara terus,” cerita Hanif.
Oh, sepertinya kata-kata Riki itulah yang membuat Hanif terpukul. Aku kasihan pada anakku itu.
“Hanif, Riki berkata begitu karena belum paham apa itu pecundang. Pecundang itu orang yang tidak bisa apa-apa. Orang yang mudah putus asa. Kalau tidak jadi juara, lalu patah semangat, tidak mau belajar lagi dan menyalahkan orang lain. Nah, itu baru pecundang. Tapi Hanif kan tidak patah semangat untuk terus melukiskan? Hanif akan berlatih lebih semangat lagikan?” kataku.
“Iya, Bunda. Hanif masih senang kok melukis dan Hanif akan belajar lebih semangat lagi. Hanif mau jadi juara lagi agar tidak dikatain pecundang lagi. Kan kalau Hanif jadi juara Bunda jadi senangkan?” tanya Hanif.
“Iya sayang, Bunda jadi senang. Tapi sebaiknya Hanif belajar lebih semangat lagi dan jadi juara bukan untuk membuat Bunda senang dan agar tidak dikatain pecundang. Sebaiknya Hanif berusaha untuk jadi juara itu untuk membuat Hanif senang dan membuat Hanif mengucaap Alhamdulillah karena Allah sudah memberikan kemampuan pada Hanif untuk melukis ya. Juara atau tidak juara itu bukan tujuan utama ikut berlomba. Tujuan utama ikut berlomba itu untuk Hanif bisa merasakan bahwa Hanif berani melukis bersama banyak orang, bukan hanya melukis sendirian dalam kamar,” kataku lagi sambil Kembali mendekap Hanif.
“Kalau anak Bunda sudah tenang dan paham, sekarang ayo kita makan siang,” ajakku sambil membimbing Hanif keluar kamarnya.
Mudah memang menerima saat jadi pemenang tapi perlu usaha lebih besar untuk menerima kekalahan. Aku tidak mau Hanif jadi pecundang dengan menolak kekalahannya. Karena itulah arti pecundang sesungguhnya bagiku.
Comment Closed: Anakku Bukan Pecundang
Sorry, comment are closed for this post.