Secara alamiah, manusia akan merasa takut pada hal yang tidak diketahuinya. Ada beberapa orang yang cukup berani untuk mengambil langkah untuk maju dan melampaui rasa takutnya, sedangkan beberapa orang memilih untuk tetap berada dalam zona nyamannya. Di Indonesia Mengajar sendiri, kami “didoktrin” bahwa ketidaknyamanan yang kami rasakan akan memperluas zona nyaman kami.
Pada saat hari pelantikan pengajar muda, entah kenapa air mataku mengalir cukup deras. Entah karena rasa lega karena sudah menyelesaikan pelatihan, rasa haru karena suasana pelantikan yang khidmat dan menumbuhkan rasa nasionalisme, rasa cemas sebelum berangkat ke daerah penempatan, atau rasa takut karena ketidaktahuan akan tantangan apa yang akan kuhadapi di daerah yang sama sekali asing buatku. Semua perasaan yang bercampur aduk dalam hati membuatku tidak bisa melakukan apapun selain terus maju.
Aku dan teman-teman satu tim penugasanku berangkat pada dini hari ke Bandara Soekarno Hatta. Dari Jakarta, kami transit sebentar di Bandara Kuala Namu, Medan, kemudian melanjutkan perjalanan kami ke Bandara Gunung Sitoli di pulau Nias. Sesampainya di Nias, kami dijemput oleh kakak-kakak pengajar muda angkatan 23 dengan supir dari dinas Pendidikan. Di Bandara, kami juga bertemu dengan Pak Kadis Pendidikan yang juga akan berangkat dinas luar ke Medan.
Masih teringat bagaimana cuaca saat itu; sedikit mendung ketika kami meninggalkan bandara. Sembari perjalanan, aku membuka jendela mobil dan memejamkan mata untuk menikmati udara Nias yang baru pertama kali kuhirup. Beberapa saat kemudian, turun hujan dengan cukup deras. Kami menepi sejenak di RM Suci, salah satu tempat makan halal dimana kami makan siang untuk pertama kalinya di tanah Nias.
Sesaat setelah sampai di kabupaten Nias Barat, aku agak sedikit tertegun. Kabupaten ini memiliki suasana yang tenang dan jauh dari hiruk-pikuk kota besar. Jalanan terlihat lengang, jarang dilalui kendaraan, menciptakan kesan damai yang khas daerah pedesaan. Tidak terdapat minimarket modern seperti Indomaret atau Alfamart yang biasa ditemui di kota-kota besar. Sepanjang jalan, rumah-rumah kayu berdiri dengan sederhana, mencerminkan gaya hidup yang masih tradisional, meskipun beberapa rumah sudah dibangun dengan material semen dan bata. Sejujurnya, saat itu aku masih meragu apakah aku bisa bertahan selama satu tahun di kabupaten ini.
Untungnya, hari-hari pertama kami di Nias didampingi oleh kakak-kakak angkatan 23, yang bisa dibilang adalah “pelari estafet kebaikan” sebelum kami. Selama seminggu, kami dibantu dalam berorientasi dengan lingkungan dan budaya yang ada di Nias Barat serta mengajak kami berkenalan dengan orang-orang yang akan bekerjasama dengan kami untuk mengusahakan iklim pendidikan terbaik bagi anak-anak di Nias Barat. Setelah seminggu usai, kakak-kakak angkatan 23 pergi meninggalkan Nias Barat, sedangkan kami angkatan 25 memulai lembaran baru kami untuk mewarnai iklim pendidikan di Nias Barat.
Kreator : Fadiya Dina H
Comment Closed: Awal Perjalanan Menuju Nias Barat
Sorry, comment are closed for this post.