Demokrasi secara substantif tidak hanya diukur dari keberadaan pemilu, tetapi dari kualitas dan integritas proses pemilu itu sendiri. Dalam konteks Indonesia, pemilu merupakan sarana utama untuk mewujudkan kedaulatan rakyat sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa:
“Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”
Untuk menjamin bahwa pelaksanaan kedaulatan rakyat melalui pemilu berjalan secara jujur, adil, dan demokratis, dibutuhkan sistem pengawasan yang kuat dan kredibel. Dalam sistem demokrasi modern, pengawasan bukan hanya fungsi teknis, tetapi bagian integral dari mekanisme checks and balances yang mencegah penyalahgunaan kekuasaan, manipulasi suara, atau intimidasi terhadap pemilih.
Pengawasan pemilu di Indonesia secara legal diatur secara komprehensif dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Dalam Pasal 93 ayat (1) disebutkan:
“Bawaslu bertugas mengawasi penyelenggaraan Pemilu di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.”
Lebih lanjut, Pasal 95 ayat (1) menjelaskan bahwa pengawasan dilakukan terhadap seluruh tahapan penyelenggaraan Pemilu, termasuk:
- Pemutakhiran dan penyusunan daftar pemilih,
- Pencalonan peserta pemilu,
- Pelaksanaan kampanye,
- Pelaksanaan pemungutan suara dan perhitungan suara,
- Hingga penetapan hasil pemilu.
Dengan cakupan tugas yang luas tersebut, Bawaslu memiliki kewenangan strategis sebagai penjaga integritas demokrasi elektoral.
Perjalanan demokrasi elektoral Indonesia tidak dapat dilepaskan dari dinamika politik nasional. Pada masa Orde Baru, meskipun pemilu dilaksanakan secara berkala, praktik demokrasi mengalami kemunduran. Pemilu dijadikan sekadar legitimasi kekuasaan, dengan kontrol ketat oleh penguasa. Keterlibatan militer dalam politik, dominasi Golkar, serta tidak adanya lembaga pengawasan independen menjadikan proses pemilu kehilangan substansi demokratisnya.
Baru setelah Reformasi 1998, lahirlah tuntutan terhadap pemilu yang bebas dan adil. Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) yang semula bersifat ad hoc dibentuk untuk memastikan pemilu berjalan sesuai asas Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur, dan Adil (LUBER JURDIL) sebagaimana diatur dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945.
Perkembangan signifikan terjadi pada 2008 ketika pengawasan pemilu diperkuat melalui pembentukan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sebagai lembaga permanen. Hal ini diperkuat oleh Putusan Mahkamah Konstitusi No. 11/PUU-VI/2008 yang menegaskan perlunya pengawasan pemilu yang independen dan berkelanjutan.
Dengan sistem pemilu yang sangat besar dan kompleks—lebih dari 204 juta pemilih pada Pemilu 2024 menurut KPU RI—tantangan dalam pengawasan pun semakin besar. Beberapa tantangan krusial yang dihadapi antara lain:
- Politik uang (money politics) yang merajalela,
- Netralitas ASN yang masih sering dilanggar,
- Penyebaran hoaks dan ujaran kebencian di media sosial,
- Mobilisasi birokrasi dan aparat keamanan,
- Manipulasi data pemilih.
Dalam konteks pengawasan partisipatif, masyarakat seringkali belum menyadari hak dan kewajibannya untuk terlibat aktif. Menurut data Bawaslu RI, pada Pemilu 2019 terdapat lebih dari 10.000 pelanggaran yang tercatat, dengan sebagian besar terkait pelanggaran administratif dan politik uang. Di Daerah Istimewa Yogyakarta, pelanggaran yang umum ditemukan adalah netralitas ASN, kampanye terselubung, dan keterlibatan anak-anak dalam kegiatan kampanye.
Pengawasan tidak hanya menjadi tugas lembaga formal. Dalam kerangka Pasal 104 UU No. 7 Tahun 2017, Bawaslu memiliki tanggung jawab untuk mendorong pengawasan partisipatif:
“Bawaslu dapat membentuk dan mengembangkan pengawasan partisipatif berbasis masyarakat.”
Melalui program seperti “Sekolah Kader Pengawasan Partisipatif”, Pojok Pengawasan, dan kolaborasi dengan perguruan tinggi, Bawaslu mencoba membangun budaya pengawasan yang melibatkan masyarakat secara aktif.
Di Yogyakarta, keterlibatan mahasiswa, aktivis LSM, dan komunitas adat menjadi kekuatan tersendiri. Budaya gotong royong dan tradisi kritik yang kuat di kalangan akademisi dan masyarakat sipil menjadikan DIY sebagai salah satu daerah yang aktif dalam pengawasan pemilu berbasis masyarakat.
Kepercayaan publik terhadap hasil pemilu sangat ditentukan oleh persepsi terhadap prosesnya. Pemilu yang diawasi secara ketat, transparan, dan profesional cenderung menghasilkan legitimasi yang kuat terhadap para pemenangnya. Survei LSI tahun 2020 menyebutkan bahwa:
“64,2% responden menyatakan bahwa mereka lebih percaya terhadap hasil pemilu jika ada pengawasan ketat oleh lembaga independen.”
Artinya, pengawasan bukan hanya tentang mencegah pelanggaran, tetapi juga tentang menjaga integritas institusional dari proses demokrasi secara keseluruhan.
Pengawasan pemilu adalah wujud nyata dari prinsip kehati-hatian demokrasi. Ia menjadi pagar yang membatasi kemungkinan kekuasaan disalahgunakan, dan memastikan bahwa setiap suara rakyat benar-benar dihitung. Di tengah tantangan demokrasi elektoral modern, termasuk disinformasi, politisasi birokrasi, dan apatisme publik, penguatan sistem pengawasan menjadi semakin urgen.
Di Daerah Istimewa Yogyakarta, pengawasan pemilu bukan hanya soal regulasi dan struktur kelembagaan, tetapi juga soal partisipasi budaya dan semangat kebangsaan. DIY bukan hanya istimewa dalam struktur pemerintahan, tetapi juga dalam potensi pengawasan yang berbasis nilai-nilai lokal, kearifan budaya, dan semangat kolektif.
Melalui kolaborasi antara lembaga pengawas, masyarakat, akademisi, media, dan tokoh adat, cita-cita mewujudkan pemilu yang adil, jujur, dan berintegritas dapat diwujudkan secara nyata.
Kreator : Hastotomo
Comment Closed: Bab I. Pendahuluan. Latar belakang: Pengawasan Pemilu sebagai Pilar Demokrasi
Sorry, comment are closed for this post.