Hari-hari berikutnya kujalani walau masih dengan gamang. Aku kembali beraktivitas, Mengajar. Setiap pagi aku pergi menuju sekolah tempatku mengajar. Sekolah masih menerapkan keberangkatan siswa ke sekolah dengan teknik absen ganjil genap.
Kehadiran di sekolah juga dengan menerapkan protokol kesehatan, seperti wajib menggunakan masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan dengan sabun sebelum dan setelah keluar kelas. masih sangat dibatasi hanya sampai sebelum dhuhur, pukul 11.00 WIB mereka sudah dipulangkan.
Sepanjang jalan hingga sampai di sekolah, air mata tak hentinya berderai. Aku tergugu. Kehilangan ini terasa bagaikan hantaman keras dalam hidupku, bagaikan petir di siang hari. Aku berharap ini semua hanya mimpi dan ketika aku terbangun aku menemukan kembali wujud suamiku berada di sisiku.
Namun, ternyata duka itu adalah benar adanya. Aku tak berdaya, tubuhku luruh tak bertenaga. Sungguh kehilangan suami bagaikan kehilangan separuh nafasku, sebagian hidupku. Pandanganku kosong menatap gedung-gedung sekolah ini. Aku ingin menyerah. Aku merasa tak mampu menjalani sisa hidupku tanpa suamiku.
“Mas…” panggilku lirih dengan suara parau, berharap sosok suamiku hadir di hadapanku.
Namun hanya hampa yang kudapatkan. Aku kembali menangis.
Dalam perasaan putus asa, sekelebat wajah anak-anakku bermain di pelupuk mataku. Sulungku yang kini telah berada di asrama pondok, anak tengahku juga telah mulai masuk sekolah kembali. Sedangkan kembarku, ada yang mengurusnya.
Tiap pagi, mereka dijemput oleh pengasuhnya. Bermain ceria bersama teman-temannya di lingkungan sekitar rumah pengasuh kembarku. Seolah tiada duka yang hinggap di hatinya. Ya, mereka belum mengerti apa sebenarnya yang terjadi. Bagi mereka mungkin seperti biasanya. Ayahnya hanya pergi sementara waktu dan beliau akan pulang lagi. Sangat sederhana pikiran mereka. Tinggallah di sini aku sendiri, dalam sepi dan sunyi.
Ku akui, aku terlalu lemah. Aku tak berdaya. Aku merasa ujian ini sungguh berat. Namun, aku bersyukur jiwa anak-anakku tak terlalu terpengaruh dengan kembalinya Sang Ayah ke pangkuan Ilahi rabbi. Walau air mata terus menetes mengiringi aktivitasku, aku harus mencoba berdamai dengan keadaan. Aku akan memeluk semua duka dengan do’a dan harapan. Bahwa kelak, kehilangan itu akan digantikan dengan kebahagiaan.
Aku mulai mencari-cari kegiatan yang akan membuatku fokus pada kesibukan tersebut. Aku seolah menjadi orang yang “gila” kegiatan. Berbagai pelatihan online aku ikuti. Aku mulai akrab dengan laptop dan tugas-tugas pelatihan. Akan tetapi, ternyata itu masih belum cukup membuat ingatan kesedihanku teralihkan.
Hingga pada suatu ketika, pencarian itu seolah menemukan titik terangnya ketika suatu siang, aku menghibur diriku dengan membuka ponsel. Ku buka aplikasi hijau, aku mulai membuka status WhatsApp beberapa teman. Salah satunya adalah status WhatsApp tetanggaku. Di statusnya, dia mengajak siapa saja untuk bergabung bersama membentuk komunitas sedekah subuh dengan ketentuan yang dijelaskannya secara rinci.
Aku tertarik dengan ajakannya. Ku balas statusnya dengan mengatakan bahwa aku ingin bergabung. Maka, ditentukan lah waktu untuk kami bertemu dengan beberapa orang yang juga sudah menghubunginya.
Dari pembicaraan itu dibentuklah grup WA yang berisi orang-orang yang memang secara sukarela menyatakan bergabung. Hingga akhirnya terkumpul sepuluh orang membentuk Gerakan Sedekah Subuh (GASSMU). Aktivitas baru itu begitu membuatku bahagia, bertemu dengan banyak orang, menebarkan manfaat kepada orang yang membutuhkan.
Namun ternyata, kegiatan itu belum juga membuat aku sepenuhnya teralihkan rasa sedih karena kehilangan. Aku merasa ujian ini bagaikan pukulan keras yang telak mengenai ulu hatiku. Aku menghela nafas pelan untuk mengusir embun yang membayang di pelupuk mataku.
“Aku harus kuat. Kasihan anak-anakku kalau mereka melihat ibunya selalu dirundung kesedihan.” Aku bermonolog dalam hati.
Seiring berlalunya waktu, aku sering menghabiskan waktu sore dengan duduk sendiri di teras rumah kala anak-anakku sibuk bermain. Seperti sore itu, saat menatap Zamzami yang sedang bermain bola bersama teman-temannya di halaman rumah, aku menyadari sesuatu. Saat ini aku memang sedang diuji, saat ini cobaan berat sedang menerpaku, bagai pukulan keras yang menghantam diriku.
Aku tidak boleh berlama-lama hanyut dalam perasaan kehilangan itu. Ibarat sebuah bola, pukulan keras itu tidak boleh membuatku tersungkur, terguling ke dalam jurang kesedihan. Aku harus mampu melenting lebih tinggi. Aku tidak boleh terus terpuruk dalam duka yang mendalam, inilah saatnya aku harus kembali bangkit.
Aku akan menggali segala kemampuan yang ada pada diriku. Aku ingin menjadi orang yang tegar dan tangguh meski itu tidak mudah. Namun, ku yakin, aku mampu. Aku mempunyai orang-orang baik di sekelilingku. Mereka orang-orang terdekat yang selalu menyuntikkan semangat hidup kepadaku, menguatkan hatiku, selalu memberi motivasi kala aku lemah.
Yang terpenting lagi, aku masih memiliki Allah, Tuhan tempat aku berlindung dan menggantungkan semua harapanku.
“Ampuni hamba-Mu yang selama ini lalai dari-Mu, ya Allah.” ratapku mengiba.
Kreator : Suharni
Comment Closed: Bangkit Dari Keterpurukan
Sorry, comment are closed for this post.